Meskipun cukup banyak referensi terkait
budaya inovasi, namun teramat sedikit – untuk tidak disebut tidak ada – yang
mendefinisikan apa itu budaya inovasi. Saya mencoba mendefiniskan sebagai
seperangkat kebijakan atau aturan, kebiasaan, sikap, kondisi lingkungan, dan
faktor-faktor organisasi yang memungkinkan tumbuh dan berkembangnya kreativitas
dan inovasi secara progresif dalam sebuah organisasi. Mari kita lihat satu per
satu dari setiap aspek tersebut.
Pertama adalah
soal kebijakan atau aturan. Betapa banyak dalam dunia nyata (real world) kita temukan aturan yang
berjiwa deterministik, mengekang, membatasi kreasi dan inisiatif, dan cenderung
menjadi alat untuk menjerat seseorang, bukannya untuk melindungi, melayani dan
memudahkan. Itulah sebabnya, teramat sulit menemukan aturan yang memuat istilah
inovasi, apalagi memberikan ruang-ruang ekspresi melalui inovasi. Sistem
peraturan perundang-undangan kita selama ini disadari atau tidak telah
menempatkan inovasi sebagai “musuh” bagi hukum positif. Karakter aturan yang
teramat kaku ini pada gilirannya membentuk belief
system dalam alam bawah sadar aparatur negeri ini bahwa inovasi identik
dengan pelanggaran aturan. Seolah-olah, inovasi hanya bisa dipandang dengan
asas praduga bersalah (presumption of
guilty) semata, sehingga menimbulkan keengganan dan ketakutan orang untuk
berinovasi. Aspek aturan inilah yang secara riil telah memberangus dan
mematikan budaya inovasi di sektor publik.
Untunglah, era reformasi telah memberi
sedikit pencerahan akan pentingnya inovasi, sehingga paling tidak ada 3 (tiga)
undang-undang atau rancangan undang-undang yang telah “berdamai” dengan inovasi
dan mengadopsinya kedalam substansi yang diatur. Ketiga aturan itu adalah UU
No. 18/2002 tentang Sistem Nasional Litbang dan Penerapan Iptek, UU No. 5/2014
tentang Aparatur Sipil Negara, dan RUU Pemerintahan Daerah. Sayangnya,
ketiganya belum berani menjadikan inovasi sebagai sebuah affirmative action. UU No. 18/2002, misalnya, memang cukup detil
mengatur tentang inovasi, namun inovasi tidak didudukkan sebagai sebuah sistem
tersendiri, melainkan hanya istilah yang digunakan secara bersama-sama dengan
perekayasaan dan difusi teknologi. UU ini nampaknya juga belum melihat inovasi
sebagai sebuah sistem manajemen, namun masih terkesan memandang inovasi sebagai
aktivitas belaka, jika bukan obyek dari aktivitas tertentu. Sementara itu, UU
No. 5/2014 hanya menyebut inovasi sebanyak satu kali sebagai salah satu tugas
LAN. Demikian pula, RUU Pemda masih terasa setengah hati dengan menyebutkan
bahwa dalam rangka
peningkatan kinerja, pemerintah daerah dapat melakukan
inovasi. Penggunaan kata “dapat” disini menegaskan bahwa inovasi hanyalah
pilihan yang dapat diabaikan, bukan sebuah kewajiban yang melekat dalam
penyelenggaraan pemerintahan daerah. Selain itu, RUU Pemda ini masih lebih
banyak mengatur inovasi secara makro meliputi prinsip-prinsip, pelaporan dan
penilaian inovasi, atau terkait penghargaan atas inisiatif inovasi, sementara
pengaturan lebih rinci didelegasikan kepada presiden untuk menetapan Peraturan
Pemerintah tentang inovasi pemerintah daerah.
Jika semangat inovasi sudah mulai merasuk dalam kebijakan
setingkat UU, maka “PR” selanjutnya bangsa ini adalah menjamin bahwa seluruh kebijakan dibawah hirarkhi UU harus memiliki konten inovasi yang lebih kental dan lebih operasional. Paradigma para pembentuk kebijakan harus makin berpihak pada upaya pembaharuan sistemik melalui inisiasi inovasi di segala bidang. Regulasi sudah saatnya diutilisasi sebagai enabling factor yang memampukan dan menyuburkan potensi inovasi, bukan yang menghambat budaya inovasi.
Kedua, budaya inovasi adalah
persoalan kebiasaan. Siapapun yang terjebak pada kebiasaan yang dipelihara
terus-menerus tanpa upaya mencari kemungkinan-kemungkinan lain yang lebih baik,
sudah pasti dia bukanlah seorang yang inovatif. Semangat inovasi sangat tidak sejalan
dengan tradisi turun-temurun, rutinitas yang kaku, ketidakberanian berpikir melampaui
tempurungnya (out of the box thinking),
atau sesuatu yang melanggengkan status
quo. Sebaliknya, inovasi sangat berpihak pada keinginan mencari kebaruan (novelty) dan keluar dari belenggu
bernama zona nyaman (comfort zone).
Maka, kita perlu mengadopsi tradisi baru yakni “membiasakan pembaharuan dan
memperbaharui kebiasaan”. Begitu kita merasa terkungkung dalam rutinitas,
merasa tidak ada tantangan dalam pekerjaan, resistance
terhadap ide-ide baru, dan merasa tidak perlu berubah, pada saat itulah
sesungguhnya kita telah berada di titik kronis bernama kenyamanan, sehingga
secepatnya harus kita ambil langkah darurat untuk mendobrak kebiasaan lama
sekaligus melakukan inovasi.
Faktor ketiga
pembentuk budaya inovasi adalah sikap. Sikap ini adalah sebuag cara pandang
kita terhadap suatu hal, misalnya bagaimana kita memberi makna terhadap tugas
dan tanggungjawab dalam organsiasi, bagaimana menghargai sebuah usaha dan kerja
keras dari orang lain, bagaimana menyikapi adanya perbedaan atau munculnya
tantangan-tantangan baru, bagaimana merespon kegagalan dan konflik yang mungkin
terjadi, dan seterusnya. Sikap itu bisa saja bersifat terbuka, adaptif,
positif, optimis, apresiatif, dan demokratis, namun bisa pula sebaliknya. Nah,
inovasi akan tumbuh subur dalam sebuah lingkungan yang terbuka, adaptif,
positif, optimis, apresiatif, dan demokratis tersebut.
Adapun mengenai faktor-faktor organisasional yang
berpengaruh terhadap budaya inovasi, Lynne
Maher dalam presentasinya berjudul “Creating
the Culture of Innovation” (NHS Institute for Innovation and Improvement)
menyebutkan adanya 7 (tujuh) faktor penting meliputi pengambilan goals), penghargaan (rewards), alat/sarana (tools), serta hubungan (relationship).
Soal risk taking, inovasi apapun selalu memiliki resiko gagal. Sebagai
sebuah proses menemukan sesuatu yang baru, tentu tidak ada jaminan bahwa hal
itu akan selalu berhasil memenuhi harapan banyak orang. Jika tidak ada
keberanian untuk menerima resiko kegagalan dari sebuah inovasi, maka tidak mungkin
akan pernah ada inovasi. Untuk itu, perlu ada dukungan moril
bagi siapa saja yang berani mencoba berinovasi dan berani mengambil resiko dari
inovasi tersebut. Kegagalan dalam berinovasi juga tidak boleh dilihat sebagai
sebuah kinerja buruk yang lahir dari kapasitas dan kedisiplinan yang rendah.
Kegagalan dalam inovasi harus dipandang sebagai bagian tidak terpisahkan dari
proses belajar seseorang atau suatu komunitas. Ingatlah bahwa ketika Thomas
Alva Edison mengalami 10.000 kali “kegagalan” dalam menemukan bola lampu, hal
itu dianggap sebagai “keberhasilan menemukan 10.000 cara yang salah untuk
membuat bola lampu”. Jadi, satu-satunya kemungkinan gagal dalam ujian inovasi
adalah kegagalan untuk belajar sesuatu dari kegagalan. Tanpa adanya keberanian
mengambil resiko dan tanpa adanya dukungan terhadap kemungkinan inovasi yang
gagal, maka tidak akan pernah terbangun kultur organisasi yang inovatif.
Sementara soal resources, meskipun terkesan teknis,
namun memiliki peran cukup penting dalam membentuk budaya inovasi. Meskipun
tidak harus mahal, namun implementasi ide kreatif sering membutuhkan dukungan
dana, perlengkapan, media, hingga otoritas untuk mengimplementasikan. Tanpa itu
semua, inovasi hanya menjadi mimpi indah yang sekedar memuaskan dahaga
intelektual, namun tidak menjelma menjadi arus perubahan yang terasa manfaatnya
bagi banyak orang. Untuk itu, komitmen sense
of ownership dari pimpinan organisasi terhadap ide-ide inovasi harus
ditumbuhkan agar dengan sukarela mau mengalokasikan sumber daya organisasi
untuk melahirkan banyak inovasi. Pada saat yang sama, para pemegang otoritas
perlu memperluas substansi untuk didelegasikan kepada tim atau stafnya, guna
menimbulkan kesan bagi tim atau individu yang menerima delegasi tersebut bahwa
merekapun memiliki otoritas untuk menempuh pilihan atau upaya inovatif
tertentu.
Faktor berikutnya adalah knowledge. Ini mengandung arti bahwa
dalam sebuah organisasi mestilah tidak pernah berhenti menggali pengetahuan.
Menggali pengetahuan itu harus menjadi kebutuhan dan tidak terbatas pada
pengetahuan yang terkait langsung dengan tugas dan fungsinya. Keberanian
mengungkapkan ide/gagasan diantara pegawai harus ditumbuhkan, sehingga akan
terbentuk arus besar ide-ide brilian tentang pembaharuan organisasi secara
berkesinambungan. Jika perlu, berpikir kreatif dijadikan sebagai kompetisi
rutin dalam sebuah organisasi. Prinsip sensor, filterisasi, atau penyaringan
ide oleh pimpinan perlu dikurangi karena akan menimbulkan keengganan untuk
berinovasi. Sebaliknya, keberhasilan kecil hasil sebuah inovasi perlu dirayakan
bersama sebagai sebuah bentuk pengakuan atas knowledge seseorang.
Selanjutnya, penting juga untuk
diklarifikasi soal goals. Sebuah
organisasi penting untuk menyusun setting
atau kerangka logis mengapa inovasi harus dilakukan, apa saja yang perlu
dilakukan, dan apa target-target yang perlu dicapai dari setiap inisiasi
inovasi? Lebih konkritnya, seorang pimpinan haruslah memiliki pandangan jauh ke
depan kemana organisasinya akan dibawa, bagaimana merespon tantangan-tantangan
yang muncul dari lingkungan strategis, serta memberi gambaran tentang apa manfaat
dan kebanggaan yang bakal diraih jika mampu mewujudkan visi. Hal ini penting
untuk memotivasi dan merangsang kreativitas pegawai. Sebagaimana dikatakan oleh
Amabile (dalam Lynne Maher), bahwa “clearly
specified strategic goals often enhance people’s creativity … Creativity
thrives when managers let people decide how to climb a mountain.”
Rewards adalah faktor pembentuk
budaya inovatif lainnya. Faktor ini menghendaki bahwa sekecil apapun upaya
inovatif seseorang mestilah dihargai, meski hanya secara lisan dengan ucapak
“terima kasih”, atau “luar biasa”, atau “sudah lama saya yakin bahwa anda bisa”,
atau ucapan sejenis. Penghargaan juga bisa ditempuh dengan mengkaitkan inovasi
staf dengan tujuan organisasi yang lebih besar, sehingga staf tersebut merasa
memiliki arti penting bagi organisasinya. Seperti dikatakan Ann-Charlotte Norman (dalam Lynne Maher):
“money
incentives do not create energy for change: the energy comes from connecting to
meaningful goals.”
Hal yang tidak kalah penting adalah tools. Makna tools disini
bukan sekedar alat atau instrumen kerja, namun lebih kepada media/wahana, proses,
dan metode untuk pengembangan bakat-bakat inovasi melalui pelatihan,
forum-forum diskusi, atau bentuk pengembangan kapasitas lainnya. Menurut Basadur
(dalam Lynne Maher): “organizational roadblocks to creative
thinking is lack of support for training on and application of innovation
processes”. Dalam kaitan ini, sebuah organisasi yang kreatif dituntut untuk
mampu menciptakan media/wahana, proses, dan metode baru untuk semakin
menyuburkan budaya inovasi.
Adapun relationship
adalah faktor pembentuk budaya inovasi yang memiliki asumsi bahwa setiap orang
memiliki sesuatu untuk dibagi, dan setiap mereka memiliki sesuatu untuk
dipelajari. Untuk itu, harus ada iklim kerja atau interaksi yang terbuka,
saling menghargai, dan saling percaya. Beberapa cara yang bisa dilakukan untuk
itu adalah dengan menambah frekuensi dialog, atau merotasi staf agar muncul
efek cross fertilization, melakukan
sebuah tugas/pekerjaan secara tim, mendudukkan yang yunior sebagai koordinator
dalam sebuah teamwork, dan
seterusnya.
Satu hal yang pasti adalah bahwa membangun budaya inovasi
atau budaya apapun (antri, tertib lalu lintas, membuang sampah, dan lain-lain),
bukanlah pekerjaan sepele. Proses ini bisa membutuhkan waktu panjang hingga
hitungan generasi. Namun jika tidak dilakukan sekarang, negeri ini akan semakin
tertinggal dengan negara-negara lain dalam hal inovasi. LAN sendiri akan
memulai dari hal-hal kecil dengan melakukan lomba inovasi internal seperti
inovasi penataan ruang kerja, inovasi pelayanan melalui pembudayaan 3S (senyum,
sapa, salam), inovasi pengelolaan kegiatan, dan sebagainya. Dalam perspektif
kedepan, tradisi seperti ini akan terus direpikasikan di berbagai instansi sehingga
menjadi kesadaran sekaligus kebutuhan yang melekat pada diri setiap pegawai
dimanapun berada. Dari hal kecil seperti ini, diharapkan akan menjelma menjadi
budaya inovasi bagi seluruh anak negeri. Semoga!
Jakarta, 27 Maret 2014.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar