Paul Arden mengatakan “you don’t have to be creative to be
creative”. Ya, sebuah ungkapan kreatif yang hanya bisa disetujui oleh
orang-orang kreatif. Mungkin yang dimaksudkan oleh Arden adalah bahwa untuk
menjadi orang kreatif, kita tidak perlu belajar secara khusus tentang
kreativitas, atau melakukan studi banding tentang praktek-praktek kreatif di
sebuah institusi, dan sebagainya. Pada hakekatnya kreativitas itu sudah melekat
pada otak kanan manusia, sehingga setiap manusia pada dasarnya adalah kreatif.
Tinggal yang dibutuhkan adalah upaya kecil untuk merangsang, menggugah, dan
memancing kreativitas itu agar bisa berkembang secara lebih nyata.
Dalam tulisan-tulisan tentang
kreativitas dan inovasi, terlalu banyak teknik, cara, atau trik untuk
membangkitkan kreativitas ini. Dalam artikel saya sebelumnya berjudul
“Kreativitas: Bawaan Lahir atau produk Kreatif?”, telah saya kemukakan pendapat
Tim Wesfix (Kreativitas Itu Dipraktekin,
Grasindo, 2013) bahwa kreativitas itu butuh 8 (delapan) langkah pembiasaan agar
menjadi habit atau budaya kreatif
bagi seseorang. Nah, selain pembiasaan tadi, masih banyak lagi strategi untuk
menumbuhkan kreativitas yang akan saya uraikan dalam tulisan kali ini. Buku Tim
Wesfix diatas masih saya jadikan rujukan dengan tambahan referensi dari
berbagai sumber.
Saya mulai dari yang paling
sederhana yakni rekam dan catatlah setiap ide yang seringkali datang secara
tiba-tiba. Berulang kali saya sampaikan di forum-forum penulisan karya tulis, bahwa
ide yang muncul pertama kali di benak kita adalah sesuatu yang genuine, unique,
dan itu sesungguhnya adalah rahmat
dan hidayah Ilahi. Mengapa? Karena setiap orang dianugerahi dengan ide yang
berbeda-beda, dimana antar ide itu tidak ada yang lebih baik, lebih bermutu,
atau lebih hebat. Sesederhana atau bahkan sebodoh apapun sebuah ide, asal
dicatat dan kemudian dipikirkan kelanjutannya, akan jauh lebih hebat dibanding
ide besar yang menguap begitu saja karena tidak tercatat dengan baik. Dan
faktanya, tokoh-tokoh besar yang terkenal kreatif dan inovatif selalu membawa
buku catatan kemanapun pergi, seperti yang dilakukan Stephen King, seorang
novelis kelas dunia. Konon, ia menulis salah satu novelnya berdasarkan catatan
yang ditulis sambil mengantuk di pesawat. Begitu pentingnya membuat catatan
ini, sampai-sampai banyak anjuran agar kitapun memabwa catatan saat buang air
besar, sebab saat-saat seperti itulah ide-ide liar sering berkeliaran dan
berhamburan.
Langkah selanjutnya yang bisa dilakukan
adalah membuat asosiasi atau menghubung-hubungkan satu ide dengan ide lainnya,
satu data dengan data lainnya, atau satu kondisi/peristiwa dengan
kondisi/peristiwa lainnya. Bahasa kerennya adalah connecting the dots. Antar ide-ide yang berserakan di otak kita
mungkin sudah ada saling keterkaitan, namun sangat mungkin pula belum terbentuk
koneksitas ataupun kausalitas satu dengan yang lain. Maka, itulah tugas yang
harus kita lakukan, yakni menghubungkan banyak ide meskipun terlihat acak dan tidak
saling berhubungan. Dalam hal ini, Jerry Della Femina, seorang pengusaha
restoran dan perusahaan periklanan di AS, mengatakan bahwa kreativitas adalah
upaya membuat banyak koneksitas secara cepat terhadap segala sesuatu yang kita
tahu atau kita lihat. Sebagai contoh, jika kita sedang berada di dalam
kendaraan yang terjebak kemacetan amat parah, sedangkan pada saat itu kita
sedang memikirkan strategi menekan angka Golput (golongan putih) dalam Pemilu,
dan pada saat bersamaan pula kita gelisah dengan kualitas pendidikan di
Indonesia dibanding dengan negara-negara tetangga, maka cobalah menghubungkan
ketiganya. Dengan cara berpikir biasa, mungkin tidak kita temukan sama sekali
hubungan diantara tiga hal tersebut. namun dengan cara berpikir kreatif, akan
lahir banyak sekali kemungkinan yang tidak terduga. Bukan hal mustahil kita
menjadi terbelalak dan tidak percaya bahwa ide kreatif kita akan bisa menekan
kemacetan sekaligus menaikkan partisipasi pemilih dan kualitas pendidikan.
Selain menyambungkan titik, kita
juga bisa “melanjutkan” sendiri titik menjadi garis. Maksudnya, begitu kita
memiliki ide, lanjutkan dengan imajinasi akan seperti apa ide itu pada
akhirnya. Ketika kita mendengar seorang tokoh berpidato di TV, misalnya, segera
matikan TV saat kita sudah menangkap ide tertentu. Tugas kita adalah melanjutkan
ide tadi menjadi berbagai arah, skenario, atau alternatif, yang pasti akan jauh
berbeda dari akhir pidato sang tokoh tadi. Disinilah kita bisa membuktikan
bahwa antara seorang tokoh yang sudah terkenal dengan kita yang biasa-biasa
saja, sama-sama memiliki kemampuan kreatif. Begitu pula saat kita membaca
ringkasan atau pendahuluan sebuah buku. Saat kita sudah menangkap ide tertentu,
maka tutuplah buku itu, dan tulislah “buku” kita sendiri.
Mungkin saja, ide yang muncul
dari mendengar pidato atau membaca buku akan dianggap sebagai “mencuri” ide. Kalaupun
iya, sesungguhnya tidak ada yang salah dengan “mencuri” ide tersebut. Selain asumsi
umum bahwa there is nothing new under the
sun (tidak ada yang baru dibawah matahari), juga karena sesungguhnya tidak
ada ide yang benar-benar sama. Meskipun beberapa orang bicara tentang hal yang
sama dengan orang yang sama dengan metode yang sama, dan seterusnya, namun
pasti ada uniqueness diantara ide-ide
mereka. Secara seimbang, manakala kita boleh mencuri ide dari orang lain, maka
kitapun harus siap seandainya ide kita “dicuri” oleh orang lain. Sehebat apapun
orang lain mencuri, meniru, atau mengimitasi ide kreatif kita, yakinlah hal itu
tidak akan sama persis dengan milik kita. Jadi, janga khawatir dan takut
kecurian ide. Dalam kaitan ini, “mencuri” ide sering disamakan dengan “mencuri”
salam. Saat seseorang mengucap “assalamu’alaikum”,
meski tidak ditujukan kepada kita, kita boleh menjawabnya dengan “wa’alaikumsalam”, dan kita akan mendapat
pahala. Untuk itu, mencuri ide/ilmu dan mencuri salam adalah “mencuri” yang
baik.
Teknik lain yang unik untuk
menggelitik indera kreatif kita, yakni membuat Oksimoron. Kata ini berasal dari
bahasa Yunani yang berari tajam (oxy)
dan tumpul (moron). Maknanya, ada dua
kata yang berlawanan yang dilebur menjadi kata baru dan arti yang berbeda. Jika
kita termasuk orang yang suka membaca novel atau karya sastra lain, mungkin
kita sering menemukan kata-kata seperti tertawa getir, senyum kehancuran,
kegelapan cahaya, sunyi dalam keramaian, serigala berbulu domba, dan
sejenisnya.
Kreativitas dapat pula digali
dengan melakukan hal-hal yang tidak biasa dilakukan. Sebagai contoh, jika kita
biasa menulis dan sikat gigi dengan tangan kanan, cobalah dengan tangan kiri.
Jika kita pergi kerja naik mobil atau kereta, cobalah sekali-kali pakai sepeda
dan berangkat 3 jam lebih awal dari biasanya. Jika kita biasa makan makanan
yang disediakan istri, cobalah masak sendiri dan ajaklah istri menikmati
masakan kita. Atau, jika rumah kita dekat sungai yang relatif bersih airnya,
mengapa tidak kembali ke masa silam dengan mandi dan mencuci pakaian di sungai?
Mengganti warna cat kamar atau merotasi posisi barang-barang di rumah kita, adalah
ide sederhana lain yang diyakini mampu mengaktivasi otak kanan yang
bertanggungjawab terhadap penguatan kreativitas. Dalam berbagai aktivitas baru
tadi, dapat dipastikan ada sensasi dan inspirasi baru. Dalam ilmu kedokteran,
ternyata hal seperti ini membantu memperlambat proses penuaan sel-sel otak.
Artinya, “tua” itu bukan fenomena degradasi fisik saja, namun lebih bersumber dari
menurunnya kemampuan otak untuk terus berpikir secara kreatif.
Terlepas dari berbagai cara
diatas, mungkin “menantang diri sendiri” adalah cara terbaik namun terberat
untuk merangsang kreativitas. Beranikah kita menantang diri sendiri untuk
berinovasi setiap hari? Mampukah kita untuk secara konsisten melakukan hal yang
selalu lebih baik dibanding kemaren? Sanggupkah kita untuk selalu mencari dan memilih
cara baru dalam menjalankan aktivitas rutin harian? Siapapun yang berani dan
sanggup menantang dirinya sendiri, saya kira akan menjadi manusia paling
kreatif di muka bumi. Intinya, kreativitas membutuhkan motivasi secara
terus-menerus. Motivasi adalah vitamin dan gizi bagi suburnya kreativitas, dan
motivasi yang terbaik adalah yang tumbuh dari dalam diri seseorang. Ini berarti
pula bahwa kreativitas adalah soal kemauan yang sungguh-sungguh. Adakah kemauan
kita untuk selalu kreatif dalam segala hal? Jawabannya kembali kepada diri kita
masing-masing.
Jakarta, 3 Maret 2014.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar