Konon,
tidak perlu keterampilan tingkat tinggi untuk menjinakkan seekor gajah liar. Cukup
rantailah salah satu kakinya kuat-kuat. Pada tahap awal, gajah itu pasti akan
memberontak dan terus meronta untuk melepaskan diri dari belenggu rantai yang
menjeratnya. Setiap kali ia lapar, instingnya pasti akan menuntunnya untuk
pergi ke suatu tempat yang ada rumput atau dedaunan segar. Begitu pula ketika
libidonya sedang menuntut pemuasan, pasti ia akan berusaha sekuat tenaga untuk
lepas dari jeratan rantai tersebut dan menemui kekasihnya di tengah hutan. Namun,
ketika dia gagal setiap kali mencoba melepaskan diri, sedikit demi sedikit akan
terbentuk keyakinan bahwa dia memang tidak bisa melakukannya. Perlahan-lahan akan
terbangun sugesti bahwa dia tidak bisa berjalan lebih jauh dari panjang rantai
yang membelit kakinya. Maka, yang terjadi kemudian adalah bahwa gajah tadi
tidak lagi mencoba memberontak, meronta, atau berusaha melepaskan diri dari
belenggu rantai. Akhirnya, ketika lapar ia cukup berteriak dan si pawang dengan
sendirinya akan datang memberi makan. Dan akhirnya, si pawang melepaskan rantai
di kaki gajah tadi karena yakin bahwa si gajah tidak lagi liar seperlu sedia
kala. Gajah seperti ini sudah berubah mindset-nya
bahwa cara mendapatkan makan bukanlah dengan berkelana ke dalam hutan,
melainkan cukup berteriak dan makanan akan tersaji dengan sendirinya. Gajah seperti
ini tidak lagi memiliki rantai di kakinya, namun sudah berpindah ke pikirannya.
Pikirannyalah yang telah membelenggu insting, tenaga, bahkan perilakunya bahwa
ia tidak lagi bisa berlari kencang atau menentukan nasibnya sendiri.
Cerita
serupa terjadi pula pada kisah seekor ikan Piranha yang hidup dalam akuarium
yang sama dengan seekor ikan Nila. Meskipun tinggal dalam satu tempat, namun
keduanya dipisahkan oleh kaca transparan. Mereka bisa saling melihat namun
tidak pernah bisa menyentuh. Nah, si Piranha merasa senang karena dia pikir
akan dapat makan kenyang dengan menyantap si Nila. Ketika mencoba menerkam
pertama kali, dia terkejut karena membentur dengan keras sesuatu yang tidak
nampak. Dia mencoba lagi, ternyata sama, dan dia mulai merasakan sakit pada
mulutnya. Terdorong oleh lapar yang semakin hebat, Piranha tadi mencoba lagi
dan mencoba lagi meski hasilnya gagal lagi dan gagal lagi. Pada saat itulah
Piranha tadi memiliki keyakinan bahwa dia tidak bisa memakan si Nilai dengan
cara bagaimanapun. Maka, ketika kaca transparan dibuang sehingga tidak ada lagi
penghalang antara kedua ikan tadi, Piranha tadi tetap saja tidak agresif
sebagaimana layaknya seekor Piranha. Mindset-nya
telah terbentuk bahwa dia tidak bisa melakukan hal apapun terhadap diri si Nila.
Kaca penghalang tadi telah berpindah ke pikiran si Piranha.
Ada
juga cerita tentang anak burung Rajawali yang menetas dalam eraman induk ayam
bersama anak-anak ayam lainnya. Karena tumbuh dalam lingkungan ayam, maka anak
Rajawali inipun merasa dirinya adalah ayam. Meski postur tubuhnya sangat
berbeda, tetap saja dia berperilaku layaknya ayam. Dia bergerak dengan kakinya,
dan lupa bahwa dia memiliki sayap yang dapat menerbangkannya ke angkasa. Dia
mengambil makanan dengan paruhnya, dan tidak menyadari bahwa dia memiliki cakar
yang bisa mencengkeram anak kelinci sekalipun. Rupanya, anak Rajawali ini
terkena sindrom “seeing is believing”,
sehingga apa yang dia lihat sehari-hari menjadi keyakinan yang begitu kuat
dalam alam bawah sadarnya.
Nah,
kitapun sering tanpa sadar berperilaku seperti Gajah, Piranha, atau anak
Rajawali tadi. Tanpa bermaksud untuk meremehkan diri sendiri, namun faktanya
aka fenomena bahwa kita memelihara berbagai belenggu dalam pikiran kita. Akibatnya,
kita sering merasa sangsi atas kemampuan kita sendiri dan merasa minder untuk
melakukan sesuatu. Kita takut bahwa yang kita kerjakan akan mendapat kritik
atau cemoohan dari orang lain. Kita juga merasa malu jika yang kita kerjakan
tidak sempurna di mata orang lain, terutama atasan kita. Pada kasus lain,
mungkin kita tidak berani melakukan sesuatu karena berbagai alasan dari pendidikan
yang rendah, kesehatan yang tidak mendukung, penampilan yang kurrang menarik,
masa kerja yang masih sedikit, pengalaman yang masih minim, jabatan yang masih
sekedar staf pelaksana, dan sejuta alasan lain. Ary Ginanjar Agustian dalam
bukunya tentang ESQ menambahkan 7 (tujuh) macam belenggu yakni prasangka, prinsip hidup, pengalaman (kebiasaan),
kepentingan, sudut pandang, pembanding, dan literatur. Dalam kasus anak
Rajawali diatas, faktor lingkungan juga bisa menjadi belenggu kreativitas bagi
seseorang. Bahkan
umur, jenis kelamin, dan nasibpun bisa dijadikan alasan untuk tidak mencoba
sesuatu, takut menerima tantangan baru yang lebih berat, atau untuk tidak
menjadi pribadi yang lebih baik dibanding waktu-waktu sebelumnya.
Itulah
belenggu-belenggu yang membuat kita tidak kreatif, tidak mengalami kemajuan
yang berarti, menjadikan potensi dalam diri kita ridak tergali dan
teraktualisasikan dengan maksimal, dan bahkan membuat kita seperti jalan di
tempat. Sepanjang belenggu tadi masih mendekam dalam alam sadar dan bawah sadar
kita, maka selama itu pula kata “kreativitas” tidak akan pernah hadir dalam
kamus hidup kita, sehingga mustahil pula bagi kita untuk membuat terobosan atau
inovasi guna meningkatkan kualitas dan derajat hidup kita.
Maka,
yang harus kita lakukan hanyalah menyadari adanya belenggu dalan jiwa-jiwa
kita, untuk kemudian membuangnya jauh-jauh, menenggelamkannya di dasar palung Samudera
Atlantik yang terdalam, atau membakarnya hingga menjadi abu yang hilang tertiup
angin. Namun, ini bukanlah hal yang mudah. Kita harus mengenal diri sendiri,
mengetahui potensi yang dianugerahkan oleh Sang Pencipta jagad raya, dan
meyakini bahwa setiap diri kita tercipta dalam kondisi terbaik untuk bisa
menjalankan tugas sebagai khalifah di muka bumi.
Sekedar mengingatkan
apa yang ditulis Ary Ginanjar, bahwa setiap makhluk hidup memiliki
alphabet basa DNA yang sama, yaitu A (Adenine),
C (Cytosine), G (Guanine) dan T (Thymine).
Dalam struktur helix ganda DNA, basa A berpasangan dengan T, sedang C
berdampingan dengan G. Dalam tubuh manusia diperkirakan terdapat 100 trilyun
sel. Dalam setiap inti sel itu terdapat 23 pasang kromosom yang disusun oleh 3 milyar
huruf alphabet tadi. Jika DNA dalam setiap tubuh manusia direntangkan, maka
panjangnya akan melebihi 600 kali jarak bumi dan matahari. Betapa dahsyat dan
sempurnanya manusia hasil kreasi The
Great Creator, Allah Sang Penguasa alam semesta. Sekedar mengingatkan juga
bahwa setiap diri kita adalah pemenang, karena kita adalah satu-satunya sel
spermatozoa yang berhasil membuahi sel telur diantara berjuta sel yang ada.
Potensi yang demikian dahsyat tadi,
tidak cukup hanya kita syukuri, namun lebih dari itu harus sungguh dimanfaatkan
sebesar mungkin untuk menghasilkan perbedaan dan perubahan di sekitar kita, untuk
mewarnai kehidupan sosial dan organisasi kita, untuk menjadikan bumi tempat
tinggal kita lebih baik lagi dan lagi. Itulah wujud syukur yang paling hakiki. Sungguh
sebuah kerugian besar jika manusia hanya berdiam diri berpangku tangan menunggu
orang lain berbuat sesuatu untuk dirinya. Sungguh merugi jika kita hanya
menjadi obyek dan penonton dari panggung dinamika lingkungan strategis kita, serta
hanya menjadi beban bagi pihak lain. Bisa dibayangkan, jika bukan kemurkaan, betapa
kecewanya Allah yang telah menciptakan kita dengan kita potensi teramat besar
namun kita sia-siakan begitu saja.
Intinya, diri kita sendirilah yang
bertanggungjawab pada diri kita sendiri. Kita adalah raja atas jiwa kita sendiri dan tuan atas pikiran kita yang bebas merdeka. Carilah
berbagai hal yang bisa memotivasi kita untuk mengubur dalam-dalam belenggu
dalam diri kita. Lebih baik stress karena banyak pekerjaan dari pada stress
karena bingung mencari pekerjaan. Lebih baik kecapean karena kesibukan dari
pada letih karena menjadi pengangguran. Lebih baik salah karena mencoba sesuatu
yang baru dari pada tidak pernah salah karena tidak melakukan apapun. Lebih baik
tidak disenangi seseorang karena kita melakukan perubahan dari pada tidak
disenangi karena tidak memiliki inisiatif sama sekali. Lebih baik diolok-olok
sebagai seorang idealis dari pada dipuji sebagai penjilat yang loyalis. Lebih baik
dicibir karena ide-ide ”gila” dari pada menjadi ”orang gila” yang tidak
memiliki ide sama sekali.
So, jangan tunda sampai nanti
atau sampai besok, hancur leburkan belenggu yang membelit kreativitas kita,
sekarang juga. Selamat mencoba !!
Villa
Melati Mas Serpong, 15 Maret 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar