Jumat, 28 Maret 2014

OBU


Tahan dulu pertanyaan anda tentang apa itu OBU, nanti akan saya jelaskan. Sekarang, saya ingin mengajak anda untuk berimajinasi sejenak. Bayangkan saja, di jalan-jalan yang anda lalui, meski hujan atau macet, tidak ada seorangpun polisi yang mengatur, namun tidak seorangpun pengendara kendaraan yang saling menyerobot, saling memotong, atau saling mengunci. Demikian pula pada sebuah ruas jalan yang sepi, seorang pengendara tidak berani berbalik arah di tempat yang bertanda larangan berbalik arah, meski sama sekali tidak ada polisi. Mereka juga tidak berani memarkir kendaraannya di tempat yang jelas-jelas dilarang untuk parkir, meskipun jika dilakukan tetap tidak mengganggu kelancaran lalu lintas. Kesadaran berlalu lintas begitu kuat dalam diri setiap anggota masyarakat, sehingga keberadaan polisi di jalanan menjadi sangat tidak diperlukan. 

Sekarang, mari kita simak kisah dalam film Robocop. Ide cerita ini mirip dengan ilustrasi diatas. Di Kota Teheran, setting dari cerita Robocop tadi, cukup ditempatkan robot-robot yang mengambil peran dan tugas polisi. Robot itu dengan sangat cepat dapat mengenali dan membuat analisis terhadap sebuah obyek tertentu, misalnya terduga teroris. Siapa namanya, bagaimana catatan kriminalnya, senjata apa saja yang disembunyikan dibagian manapun dari tubuhnya, akan tertangkap dengan sensor yang ada pada robot tadi. Itulah sebabnya, robot tadi tidak mungkin salah tembak, salah tangkap, atau salah sasaran. Sistem ini akan sangat mengurangi resiko kematian polisi, mengurangi biaya operasional, dan mengurangi jatuhnya korban yang tidak bersalah. 

Kedua cerita diatas pada dasarnya adalah sebuah proses berpikir kreatif dalam merancang masa depan. Keduanya memang belum terjadi saat ini, namun sangat mungkin menjadi kenyataan dalam waktu yang tidak terlalu lama. Dan salah satu hal yang membuat kemungkinan itu semakin cepat adalah OBU (on board unit), sebuah perangkat elektronik yang menempel pada mobil dan merekam berbagai peristiwa secara visual, dan terkoneksi dengan sistem informasi di kantor kepolisian. Dengan demikian, polisi dapat mendeteksi setiap pelanggaran secara real-time tanpa harus berada di jalan. Selanjutnya, polisi tinggal mengirimkan surat tilang (bukti pelanggaran) ke alamat si pemilik kendaraan yang melanggar. Demikian pula, jika terjadi pencurian kendaraan atau kecelakaan, maka dengan cepat dan mudah akan dapat diketahui dan ditindaklanjuti oleh polisi. Tentu hal seperti ini akan sangat menguntungkan bagi pemilik kendaraan.  

Inilah inovasi besar yang tengah dikembangkan di tubuh kepolisian. Namun tentu tidak mudah. Banyak prakondisi yang harus terpenuhi agar inovasi tersebut bisa diaplikasikan, misalnya kewajiban setiap produsen mobil memasang OBU di setiap unit yang dijual, adanya kedisiplinan pembeli mobil bekas untuk membaliknamakan BPKB dan STNK, adanya kesesuaian data antara SIM/STNK dengan KTP, konsistensi dalam penegakan aturan, dan sebagainya. Dengan asumsi bahwa seluruh prakondisi terpenuhi, maka akan ada revolusi perilaku para pihak terkait dalam sistem pelayanan lalu lintas. Dari sisi pengendara, mereka akan semakin tertib hukum tanpa harus ada ada polisi yang mengawasi secara langsung. Dari sisi kepolisian, akan berkurang polisi lusuh, capek, dan stress berdiri berjam-jam di jalanan yang berpolusi tinggi. Ini akan menjadi sumber efisiensi besar-besaran baik dalam hal anggaran, SDM, maupun waktu yang selama ini banyak terbuang. Interaksi tatap muka antara polisi dengan pengendara juga akan hilang, yang berarti pula hilangnya peluang “perdamaian” atau “tau sama tau” yang berujung pada perilaku suap sebagai solusi terhadap pelanggaran lalu lintas. Ini berarti pula bahwa inovasi berupa produk seperti OBU, tidak hanya berpotensi menghasilkan dampak perbaikan sistem lalu lintas, namun juga budaya berlalu lintas. Jika hal ini benar-benar terjadi, maka OBU ini dapat dikatakan sebagai sebuah inovasi dalam rekayasa sosial (social reengineering).  

Analog dengan OBU, pembangunan MTR (mass rapid transportation) adalah inovasi “fisik” lain yang berpotensi menjadi instrumen rekayasa sosial dan revolusi perilaku. Perilaku penduduk Jabodetabek yang lebih memilih menggunakan kendaraan pribadi karena buruknya sistem transportasi umum dan telah mengakibatkan kemacetan yang amat parah, akan berubah dengan sendirinya ketika MTR itu benar-benar terwujud. Pada saat MRT itu terealsiasi, maka kemacetan akan dapat dikurangi secara signifikan, efisiensi penggunaan BBM akan meningkat tajam, penggunaan waktu makin efektif yang dapat berujung pada peningkatan produktivitas kerja individu / organisasi. Anggaran negara untuk subsidi BBM pun akan dapat berkurang secara signifikan, sehingga dapat direalokasikan untuk membiayai sektor-sektor yang lebih mendesak, misalnya infrastruktur atau pendidikan dan kesehatan dasar. 

Namun, OBU bisa pula menghasilkan dampak yang tidak diharapkan. Sebagai contoh, jika benar polisi tidak perlu lagi turun ke jalanan, akan dikemanakan ribuan tenaga itu? Rasanya tidak mungkin mereka dipensiunkan dini begitu saja, namun juga tidak mungkin tidak diberi tugas baru sebagai pengganti tugas-tugas sebelumnya sebagai pengatur lalu lintas. Kegagalan mengatur hal seperti ini akan menimbulkan situasi krisis, yang hanya mengurangi makna inovasi. untuk itu, ada baiknya jika setiap inisiasi inovasi dapat disertai dengan upaya untuk mengkaji dampak (impact assessment) dari diberlakukannya sebuah inovasi. 

Jakarta, 28 Maret 2014.

Tidak ada komentar: