Tahan dulu pertanyaan anda tentang apa
itu OBU, nanti akan saya jelaskan. Sekarang, saya ingin mengajak anda untuk
berimajinasi sejenak. Bayangkan saja, di jalan-jalan yang anda lalui, meski
hujan atau macet, tidak ada seorangpun polisi yang mengatur, namun tidak
seorangpun pengendara kendaraan yang saling menyerobot, saling memotong, atau
saling mengunci. Demikian pula pada sebuah ruas jalan yang sepi, seorang
pengendara tidak berani berbalik arah di tempat yang bertanda larangan berbalik
arah, meski sama sekali tidak ada polisi. Mereka juga tidak berani memarkir
kendaraannya di tempat yang jelas-jelas dilarang untuk parkir, meskipun jika
dilakukan tetap tidak mengganggu kelancaran lalu lintas. Kesadaran berlalu
lintas begitu kuat dalam diri setiap anggota masyarakat, sehingga keberadaan
polisi di jalanan menjadi sangat tidak diperlukan.
Sekarang, mari kita simak kisah dalam
film Robocop. Ide cerita ini mirip dengan ilustrasi diatas. Di Kota Teheran, setting dari cerita Robocop tadi, cukup
ditempatkan robot-robot yang mengambil peran dan tugas polisi. Robot itu dengan
sangat cepat dapat mengenali dan membuat analisis terhadap sebuah obyek
tertentu, misalnya terduga teroris. Siapa namanya, bagaimana catatan
kriminalnya, senjata apa saja yang disembunyikan dibagian manapun dari
tubuhnya, akan tertangkap dengan sensor yang ada pada robot tadi. Itulah
sebabnya, robot tadi tidak mungkin salah tembak, salah tangkap, atau salah
sasaran. Sistem ini akan sangat mengurangi resiko kematian polisi, mengurangi
biaya operasional, dan mengurangi jatuhnya korban yang tidak bersalah.
Kedua cerita diatas pada dasarnya adalah
sebuah proses berpikir kreatif dalam merancang masa depan. Keduanya memang
belum terjadi saat ini, namun sangat mungkin menjadi kenyataan dalam waktu yang
tidak terlalu lama. Dan salah satu hal yang membuat kemungkinan itu semakin
cepat adalah OBU (on board unit),
sebuah perangkat elektronik yang menempel pada mobil dan merekam berbagai
peristiwa secara visual, dan terkoneksi dengan sistem informasi di kantor
kepolisian. Dengan demikian, polisi dapat mendeteksi setiap pelanggaran secara real-time tanpa harus berada di jalan.
Selanjutnya, polisi tinggal mengirimkan surat tilang (bukti pelanggaran) ke
alamat si pemilik kendaraan yang melanggar. Demikian pula, jika terjadi
pencurian kendaraan atau kecelakaan, maka dengan cepat dan mudah akan dapat
diketahui dan ditindaklanjuti oleh polisi. Tentu hal seperti ini akan sangat
menguntungkan bagi pemilik kendaraan.
Inilah inovasi besar yang tengah dikembangkan
di tubuh kepolisian. Namun tentu tidak mudah. Banyak prakondisi yang harus
terpenuhi agar inovasi tersebut bisa diaplikasikan, misalnya kewajiban setiap
produsen mobil memasang OBU di setiap unit yang dijual, adanya kedisiplinan
pembeli mobil bekas untuk membaliknamakan BPKB dan STNK, adanya kesesuaian data
antara SIM/STNK dengan KTP, konsistensi dalam penegakan aturan, dan sebagainya.
Dengan asumsi bahwa seluruh prakondisi terpenuhi, maka akan ada revolusi
perilaku para pihak terkait dalam sistem pelayanan lalu lintas. Dari sisi
pengendara, mereka akan semakin tertib hukum tanpa harus ada ada polisi yang
mengawasi secara langsung. Dari sisi kepolisian, akan berkurang polisi lusuh,
capek, dan stress berdiri berjam-jam di jalanan yang berpolusi tinggi. Ini akan
menjadi sumber efisiensi besar-besaran baik dalam hal anggaran, SDM, maupun
waktu yang selama ini banyak terbuang. Interaksi tatap muka antara polisi dengan
pengendara juga akan hilang, yang berarti pula hilangnya peluang “perdamaian”
atau “tau sama tau” yang berujung pada perilaku suap sebagai solusi terhadap
pelanggaran lalu lintas. Ini berarti pula bahwa inovasi berupa produk seperti
OBU, tidak hanya berpotensi menghasilkan dampak perbaikan sistem lalu lintas,
namun juga budaya berlalu lintas. Jika hal ini benar-benar terjadi, maka OBU
ini dapat dikatakan sebagai sebuah inovasi dalam rekayasa sosial (social reengineering).
Analog dengan OBU, pembangunan MTR (mass rapid transportation) adalah inovasi
“fisik” lain yang berpotensi menjadi instrumen rekayasa sosial dan revolusi
perilaku. Perilaku penduduk Jabodetabek yang lebih memilih menggunakan
kendaraan pribadi karena buruknya sistem transportasi umum dan telah
mengakibatkan kemacetan yang amat parah, akan berubah dengan sendirinya ketika
MTR itu benar-benar terwujud. Pada saat MRT itu terealsiasi, maka kemacetan
akan dapat dikurangi secara signifikan, efisiensi penggunaan BBM akan meningkat
tajam, penggunaan waktu makin efektif yang dapat berujung pada peningkatan
produktivitas kerja individu / organisasi. Anggaran negara untuk subsidi BBM
pun akan dapat berkurang secara signifikan, sehingga dapat direalokasikan untuk
membiayai sektor-sektor yang lebih mendesak, misalnya infrastruktur atau
pendidikan dan kesehatan dasar.
Namun, OBU bisa pula menghasilkan dampak
yang tidak diharapkan. Sebagai contoh, jika benar polisi tidak perlu lagi turun
ke jalanan, akan dikemanakan ribuan tenaga itu? Rasanya tidak mungkin mereka
dipensiunkan dini begitu saja, namun juga tidak mungkin tidak diberi tugas baru
sebagai pengganti tugas-tugas sebelumnya sebagai pengatur lalu lintas.
Kegagalan mengatur hal seperti ini akan menimbulkan situasi krisis, yang hanya
mengurangi makna inovasi. untuk itu, ada baiknya jika setiap inisiasi inovasi
dapat disertai dengan upaya untuk mengkaji dampak (impact assessment) dari diberlakukannya sebuah inovasi.
Jakarta, 28 Maret 2014.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar