Dari definisinya, tanah ulayat adalah bidang tanah yang di atasnya terdapat hak
ulayat dari suatu masyarakat hukum adat tertentu (Keputusan No. 5 Tahun
1999 Menteri Negara Agraria / Kepala Badan Pertanahan Nasional, Pasal 1 ayat 2).
Hak ini adalah hak masyarakat adat (gampong, nagari, dusun, dll) atau komunitas
asli desa untuk menguasai tanah lokal. Walaupun hak ini mempunyai kekuatan yang
berbeda di setiap daerah, pada umumnya hak ini meliputi hak-hak komunitas untuk
mengalokasikan tanah, menyetujui peralihan tanah, mengelola pemakaian tanah dan
menyelesaikan sengketa tanah di daerah tertentu.
Secara historis, Simulie (2004) memberi
penjelasan bahwa pada zaman penjajahan Belanda, berdasarkan Pasal 720 Burgerlijk Wetboek (BW), Hak Guna Usaha
(Erfpachtsrecht) adalah hak
keberadaan untuk menikmati sepenuhnya barang tak bergerak milik orang lain
dengan kewajiban membayar upeti tahunan kepada pemilik tanah, sebagai pengakuan
tentang pemilikannya, baik berupa uang maupun hasil atau pendapatan. Dengan
digunakannya alas hak Erfpacht
tersebut di atas, tanah tidak lepas dari pemiliknya, sementara investor
(pengguna tanah) berkewajiban membayar upeti tahunan kepada pemilik tanah
sebagai pengakuan tentang kepemilikannya. Setelah Jepang masuk, investor
meninggalkan Indonesia, dan menurut adat tanah harus kembali kepada pemiliknya
(kabau pai kubangan tingga).
Sayangnya, melalui UU No. 5 Tahun 1960 (Undang-Undang
Pokok Agraria) Tanah eks Erfpacht
tersebut dikonversi menjadi tanah negara. Pada masa Orde Baru peraturan tentang
pemanfaatan tanah ulayat belum ada, sedangkan investor memedukan tanah untuk
perusahaan. Untuk mengatasinya pemerintah menggunakan Undang-Undang Pokok
Agraria (UU No. 5 Tahun 1960), dengan ketentuan bahwa pemilik ulayat
menyerahkan tanah kepada Pemerintah Daerah. Selanjutnya, Pemerintah Daerah
menyerahkannya kepada investor untuk diganti alas haknya menjadi HGU. Implikasi
dari perubahan hak Erfpacht menjadi HGU ini adalah bahwa tanah (hak ulayat)
lepas dari pemiliknya menjadi tanah Negara, sementara investor tidak mempunyai
kewajiban membayar upeti tahunan kepada pemilik ulayat. Menurut catatan
Simulie (ibid.), tanah ulayat yang sudah lepas dari pemiliknya hingga saat ini
berjumlah kurang lebih 182.141,56 hektar, karena berubah alas haknya menjadi
Hak Guna Usaha.
Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 Tentang
Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA), secara tegas dalam penyusunannya
berpedoman pada hukum adat dan hukum agama. Hak ulayat diakui dengan tegas
dalam Pasal 3 UUPA yang menentukan: "Dengan mengingat ketentuan-ketentuan
dalam Pasal 1 dan 2, pelaksanaan hak ulayat dan hak-hak yang serupa itu dari
masyarakat-masyarakat hukum adat, sepanjang menurut kenyataan masih ada, harus
sedemikian rupa, sehingga sesuai dengan kepentingan nasional dan negara yang
berdasarkan atas persatuan bangsa, serta tidak boleh bertentangan dengan
undang-undang dan peraturan-peraturan (hukum) lain yang lebih tinggi".
Selain itu, sebenarnya telah ada beberapa
kebijakan yang menyebutkan dan mengakui keberadaan masyarakat adat, antara lain
dalam UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (yang diperbarui), UU Nomor 11
Tahun 1999 tentang Pertambangan, UU Nomor 10 tahun 1992 tentang Kependudukan,
Keppres Nomor 111 tahun 1999 tentang Komunitas Adat Terpencil (KAT), SK Menteri
Kehutanan Nomor 47 tahun 1998 tentang Kawasan dengan tujuan Istimewa dan Peraturan
Menteri Negara Agraria/Kepala Badan pertanahan Nasional Nomor 5 tahun 1999
tentang Pedoman Penyelesaian Masalah hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat, serta
UU No 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah pasal 2.
Tentang pelaksanaan hak ulayat itu dijelaskan
dalam Pasal 5 UUPA sebagai berikut: "Hukum agraria yang berlaku atas bumi
air dan ruang angkasa ialah hukum adat, sepanjang tidak bertentangan dengan
kepentingan nasional dan negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa, dengan
sosialisme Indonesia serta dengan peraturan-peraturan yang tercantum dalam
undang-undang ini dengan peraturan perundangan lainnya, segala sesuatu dengan
mengindahkan unsur-unsur yang berdasarkan hukum agama.”
Bardasarkan hak ulayat yang bersumber pada
hukum adat, maka masyarakat hukum adat yang bersangkutan tidak boleh
menghalangi pemberian hak guna usaha yang hendak dilakukan oleh Pemerintah.
Jika Pemerintah akan melaksanakan pembukaan hutan secara besar-besaran dan
teratur dalam rangka proyek-proyek besar untuk penambahan bahan makanan dan transmigrasi,
maka hak ulayat dari suatu masyarakat hukum adat tidak boleh menjadi
penghalang. Jika hak ulayat dari masyarakat hukum dapat menghambat dan
menghalangi sesuatu, maka kepentingan umum akan dikalahkan oleh kepentingan
masyarakat-masyarakat hukum yang bersangkutan. Hal ini tidak dapat dibenarkan,
dengan kata lain kepentingan suatu masyarakat hukum harus tunduk kepada
kepentingan nasional dan negara (Abdul Syani, ibid.).
Dalam Memori Penjelasan UUPA ditegaskan:
"Tidak dapat di benarkan, jika dalam alam bernegara dewasa ini suatu
masyarakat hukum masih mempertahankan isi dan pelaksanaan hak ulayatnya secara
mutlak, seakan-akan ia terlepas dari hubungan dengan masyarakat hukum dan
daerah-daerah lainnya di dalam lingkungan negara kesatuan". Jika
dipertahankan sikap demikian, maka bertentangan dengan asas pokok yang
tercantum dalam Pasal 2 UUPA yang berbunyi: "Atas dasar ketentuan dalam
Pasal 33 UUD 1945 dan hal-hal sebagai yang dimaksud dalam Pasal 1, bumi, air,
dan ruang angkasa termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya itu
"hukum adat yang mana saja yang dimaksudkan dalam UUPA" (Abdul Syani,
ibid.).
Selain itu, hak ulayat juga tidak ada jika
terhadap sebuah bidang tanah telah melekat hak milik secara inidividual. Hal
ini sesuai dengan Keputusan No. 5 Tahun 1999 Menteri Negara Pertanian/Kepala
Badan Pertanahan Nasional yang mengatur prosedur untuk menyelesaikan masalah
sehubungan dengan hak ulayat yang dimiliki masyarakat. Dalam Keputusan ini
disebutkan: hak ulayat tidak akan diakui dan
dicatat apabila tanah itu sudah menjadi hak milik (termasuk hak pengusahaan
hutan).
Dalam kaitan ini, Maria
Sumardjono (1993) menyebutkan bahwa ukuran hak ulayat dapat ditentukan melalui tiga
ciri pokok yaitu: 1) adanya masyarakat hukum adat yang memenuhi ciri-ciri
tertentu sebagai subyek hak ulayat; 2) tanah / wilayah dengan batasan-batasan
tertentu yang merupakan obyek hak ulayat; dan 3)
adanya kewenangan mesyarakat hukum untuk
melakukan tindakan-tindakan tertentu sebagaimana yang telah ditentukan.
Ketiga kriteria tersebut di
atas secara komulatif cukup memberikan nilai yang obyektif. Dengan demikian hak
ulayat menunjukkan hubungan hukum antara masyarakat hukum adat dengan tanah
atau wilayahnya. Kemudian pernyataan yang menyatakan bahwa pengakuan atas hak
adat itu berlaku "sejauh adat itu masih ada/hidup" dapat pula
dipertanyakan lebih lanjut. Pernyataan itu mengandung asumsi bahwa adat itu
"bisa mati". Apa sebenarnya hakekat hukum adat itu?. Secara sederhana
dapat dikatakan bahwa adat tidak pernah mati; adat selalu hidup; hanya saja
selalu berubah sesuai dengan perkembangan zaman yang menyertai.
Zulfikar (tanpa tahun) memberi
analisis yang menarik dengan mengatakan bahwa berbagai kebijakan yang diterbitkan oleh
pemerintah sampai saat ini masih dalam taraf “pengakuan” terhadap hak atas
kepemilikan tanah ulayat masyarakat hukum adat, tetapi belum memberikan
“perlindungan” yang selayaknya terhadap hak kepemilikan atas tahah ulayat
dalam masyarakat adat. Namun demikian, diakui bahwa beberapa kebijakan pemerintah
mulai ada upaya memberi pengakuan dan perlindungan (terbatas) terhadap hak
pemilikan tanah ulayat pada masyarakat adat, antara lain: TAP MPR No.
XVII Tahun 1998 tentang Hak Asasi Manusia (Pasal 41), TAP MPR No. XI tahun
2001, tentang Pembaruan Agraria dan UUD 1945 yang diamandemen. Kebijakan ini
sampai sekarang belum dibuatkan UU atau kebijakan lain sebagai pelaksanaan
ketetapan MPR. Selanjutnya muncul Peraturan Menteri Negara Agraria Nomor 3
tahun 1995 yang mengakui dan memberikan perlindungan atas tanah rakyat dan adat
(ulayat).
Dari uraian diatas dapat dipahami bahwa
telah terjadi transformasi yang sangat mendasar terhadap status dan pemanfaatan
tanah hak ulayat. Hak yang dahulu melekat secara jelas dan tegas dalam struktur
sosial kemasyarakatan, saat ini lebih menjelma sebagai hak milik negara. Dengan
demikian, hak atas tanah ulayat secara faktual sulit ditemukan, khususnya
secara legal formal, karena memang tidak ada sertifikasi atas tanah ulayat ini.
Pergeseran tersebut dalam realitanya
sering kali tidak dapat dihindari karena interaksi sosial ekonomi antar
kelompok masyarakat, proses urbanisasi dan migrasi (perpindahan) penduduk.
Akibatnya, corak masyarakat adat yang berbasis kesamaan genealogis mulai
terkikis, dan sebagai gantinya muncullah konsep masyarakat majemuk yang terdiri
dari beragam suku bangsa dan adat istiadat.
Sementara itu, penghormatan terhadap
masyarakat desa juga diakui dalam konstitusi dan peraturan perundang-undangan
yang berlaku. Dalam konsep revisi UU No. 32 Tahun 2004, misalnya, muncul ide
pengaturan desa secara khusus. Dalam hal ini, pengaturan tentang desa yang
selama ini dituangkan dalam tingkat Peraturan Pemerintah (PP No. 72 Tahun 2005)
akan meningkat dalam level Undang-Undang. Ini berarti bahwa eksistensi desa
semakin dihormati. Oleh karena itu, atribut-atribut masyarakat desa, termasuk
hak ulayat, secara otomatis juga harus semakin dihormati. Sehubungan dengan hal
tersebut, maka pengaturan tentang status dan kedudukan serta penggunaan dan
pemanfaatan tanah hak ulayat perlu semakin diperjelas pada masa yang akan
datang, seiring dengan penataan desentralisasi yang ditandai oleh revisi UU
Pemerintahan Daerah.
Daftar Bacaan
Anonim, tanpa tahun, Urgensinya Hak Ulayat di Minangkabau, tersedia online di http://qbar.or.id/index.php?option=com_content&task=view&id=54&Itemid=33
Firmansyah, Nurul, 2009, Nasib Hak Ulayat atas Tanah dan Hutan
(Refleksi Persoalan Hak Ulayat di Sumatera Barat Untuk Tahun 2009), tersedia
online di http://www.legalitas.org/?q=content/nasib-hak-ulayat-tanah-dan-hutan-refleksi-persoalan-hak-ulayat-sumatera-barat-untuk-tahun-20
IDLO (International
Development Law Organization), “Tanah Hak Milik Adat”, dalam Buletin Anda dan Keseharian Hukum No. 57.
Kartohadikoesoemo, Soetardjo, 1965, Desa, Sumur Bandung cet. 2.
Narihisa, , tanpa tahun, Tanah Ulayat and the Pembangunan Issues in West Sumatra, Bulletin of the Faculty of Intercultural Communication,
Hosei Univeresity, Japan.
Saptomo, 1995, Berjenjang Naik
Bertangga Turun: Sebuah Kajian Antropologi Hukum tentang Proses Penyelesaian
Sengketa Tanah di Minangkabau, Tesis S-2. Jakarta: PPs UI.
Simulie, Kamardi Rais Dt P, 2004, Status Tanah Ulayat dan Potensinya
(Bagian Terakhir dari Dua Tulisan), tersedia online di http://www.padangekspres.com/mod.php?mod=publisher&op=viewarticle&artid=2325
Sudijat, Iman, 1981, Hukum Adat, Sketsa Azas, Liberty Yogyakarta, cet. ke-2.
Syani, Abdul, tanpa tahun, Hak
Atas Tanah Ulayat Bagi Masyarakat Adat Lampung.
Taqwadin,
2008, Tanah Hak Ulayat, tersedia
online di http://ajrc-aceh.org/artikel/tanah-hak-ulayat/
Utomo,
Tri Widodo W., 2002, Hukum Pertanahan Dalam
Perspektif Otonomi Daerah, Yogyakarta: Navila.
Zulfikar,
tanpa tahun, Nasib Tanah Hak Ulayat Aceh,
tersedia online di http://www.acehinstitute.org/opini_zulfikar_hak_tanah-ulayat.htm
(Tulisan lama yang ketemu lagi)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar