Diantara kita pasti sudah banyak
yang mendengar polemik tentang banyaknya pribadi saleh di sekitar kita namun
pada saat yang sama sulit sekali menemukan kesalehan sosial. Siapa yang
menyangsikan sikap dermawan manusia Indonesia? Di setiap lebaran atau imlek,
misalnya, begitu banyak kelompok mampu yang berbagi rejeki dengan saudaranya
yang kurang beruntung. Begitu pula ketika terjadi bencana alam yang menimpa
daerah tertentu, mengumpulkan sumbangan melalui media televisi, koran, hingga
kolektor di berbagai simpang jalan, seperti hal yang sangat mudah. Namun disisi
lain, betapa orang juga mudah tersinggung bahkan berkelahi di jalanan hanya
karena disalip kendaraannya atau dibunyikan klakson. Begitu pula, betapa
kejahatan sering terjadi di depan mata banyak orang tanpa keberanian untuk
melawan si penjahat yang tengah beraksi. Keselamatan sendiri menjadi prioritas
yang tidak mungkin digadaikan untuk membela keselamatan orang lain, yang bahkan
dikenalpun tidak. Dalam kasus sederhana, siapa kira-kira yang mau memungut
sampah di tempat umum di sekitar kita tinggal atau bekerja? Pastilah semua
merasa bahwa ada orang lain yang bertanggungjawab terhadap hal itu.
Menjadi menarik dipertanyakan,
mengapa kesalehan individu tadi tidak mampu menjelma menjadi kesalehan
kolektif? Menurut saya, belum terbangun sistem yang menyatukan potensi individu
menjadi kekuatan kolektif. Kesalehan individu dibiarkan berjalan sesuai tujuan
masing-masing, mencari salurannya masing-masing, dan dengan caranya
masing-masing. Tidak ada sebuah rancang bangun bagaimana mengelola kesalehan
individu tadi agar dapat mengarah pada tujuan bersama (common goals) seluruh anggota masyarakat atau untuk mengatasi
masalah yang dihadapi bersama (common
enemies). Situasi ini analog dengan batang lidi yang tersebar tanpa
pengikat, atau alat music yang dibunyikan tanpa aransemen. Akibatnya, lidi-lidi
tadi tidak memiliki kekuatan untum membersihkan sampah, sementara alat music
tadi hanya menjadi kegaduhan yang memekakkan telinga dan tidak menimbulkan
keindahan.
Demikian pula dengan inovasi.
Banyaknya inisiatif inovasi tidak menghasilkan arus perbaikan yang signifikan
bagi sistem penyelenggaraan pemerintahan di segala lini. Tidak ada efek
pembelajaran timbal balik antar inovasi, banyak inovasi yang tidak diketahui
oleh pihak lain, bahkan jauh lebih banyak lagi yang tidak bisa atau tidak tahu
bagaimana melakukan inovasi. Lebih parah lagi, banyak yang keliru menafsirkan
inovasi dan menjadikan inovasi sebagai dalih dibalik niat-niat melakukan
pelanggaran. Dalam situasi seperti itu, adanya satu dokumen yang bisa menjadi
media saling berkomunikasi antar pelaku inovasi nampaknya menjadi sangat penting.
Sebagaimana kita ketahui, saat
ini pelaku inovasi tersebar dari Sabang sampai Merauke, dari Ibukota negara
hingga wilayah perbatasan, dan dari pusat hingga unit pemerintahan terkecil.
Demikian pula, dokumen yang berisi gagasan inovasi tersebar di berbagai dokumen
dan kebijakan, mulai dari Sistem Inovasi Nasional yang digulirkan oleh Komite
Inovasi Nasional, MP3EI yang diinisiasi oleh Kementerian Koordinator Bidang
Perekonomian, RUU Pemerintahan Daerah yang masih di bahas di DPR-RI, dan
sebagainya. Belum lagi masing-masing lembaga memiliki inisiatif seperti One Agency One Innovation dari
Kementerian PAN dan RB, Open Government
Indonesia dari UKP4, Innovation
Government Award dari Kementerian Dalam Negeri, dan seterusnya. Berbagai
aktor dan dokumen inovasi tadi sangat disayangkan jika hanya membentuk arus
kecil dengan arah yang berbeda-beda. Alangkah bagusnya jika semuanya dapat
membentuk efek arus besar (mainstream)
yang mengarah pada pencapaian cita-cita besar yang telah diukir para founding parent republik ini dalam
Konstitusi 1945.
Maka, masterplan inovasi
administrasi negara harapannya akan menjadi konsensus nasional dari segenap
institusi yang telah memiliki kerangka inovasi di bidangnya. Para ahli yang
berada di belakang lahirnya dokumen tadi akan dipertemukan dalam sebuah expert panel untuk membuka kemungkinan
mengintegrasikan dokumen inovasi yang satu dengan yang lainnya. Akan sangat
baik lagi jika diantara mereka akan tumbuh kesadaran bahwa selama ini
pengembangan inovasi antar sektor tidak terkomunikasikan dengan baik, untuk
tidak mengatakan berjalan secara divergen. Dari sini diharapkan akan tumbuh
keinginan untuk untuk bersinergi, berkolaborasi, saling membuka diri dan
merumuskan strategi terbaik untuk membangun negeri melalui inovasi. Dengan
demikian, masterplan ini akan membangun sistem koridor antar sistem inovasi
yang sudah eksis terlebih dahulu. Hal ini bisa dilakukan jika antar sistem
inovasi tadi dapat saling didekatkan atau dilakukan intermediasi antar sistem.
Ketika upaya mendekatkan berbagai sistem inovasi di tingkat pusat ini sudah
bisa dilakukan, tahap berikutnya tinggal melakukan uji petik atau uji publik
dengan jajaran aparat di daerah untuk melihat sejauhmana disintegrasi sistem
inovasi selama ini terjadi di daerah dan kemungkinan manfaat positif bagi
mereka dari adanya penyelarasan antar sistem tadi.
Dengan terkoneksinya antar sistem
inovasi tadi, maka masterplan inovasi administrasi negara ini diharapkan
menjadi sebuah panduan yang praktis bagi aparat dimanapun berada untuk
merencanakan, mengelola, dan menjalankan inovasi mereka. Untuk itu, paling
tidak ada beberapa informasi dasar yang harus terkandung dalam mastrplan ini. Pertama, tentu pengertian inovasi dan
ciri-ciri yang bisa membedakan sesuatu sebagai inovasi atau bukan. Termasuk
dalam hal ini adalah ruang lingkup “administrasi negara” yang perlu mendapat
sentuhan inovasi. Informasi seperti ini menurut saya penting, selain untuk
mencegah agar tidak terjadi mispersepsi terhadap inovasi, juga membuat kita
percaya diri bahwa sebuah inisiatif perubahan termasuk atau tidak termasuk
dalam lingkup inovasi administrasi negara. Kedua,
alasan-alasan mengapa inovasi harus dilakukan. Bisa saja alasan itu tentang
banyaknya permasalahan yang dihadapi masyarakat karena belum efektifnya pelaksanaan
tugas instansi pemerintah. Bisa pula alasan itu berupa landasan filosofis dari
pembentukan lembaga pemerintah, atau konteks kompetisi global yang selalu
menuntut pembaharuan, dan seterusnya. Intinya, bagian ini ingin menyadarkan
semua pihak jika ada pertanyaan tentang inovasi, maka jawabannya adalah “why not”?
Selanjutnya, dalam masterplan
inovasi juga perlu diungkapkan berbagai faktor pendorong dan penghambat
inovasi, sehingga dengan cara mengenalinya kita dapat mengoptimalkan faktor
pendorong sekaligus menghindari atau menyiasati faktor penghambatnya. Tidak kalah
pentingnya, dokumen ini nantinya perlu mengeksplorasi siapa saja sesungguhnya
yang berpotensi menjadi inovator? Ini penting untuk meng-encourage setiap orang supaya memiliki motivasi untuk berinovasi.
Dan yang paling urgen untuk diuraikan disini adalah pertanyaan tentang apa dan
bagaimana melakukan inovasi itu. Tentu tidak semua orang bisa dengan mudah
menentukan area yang ingin diubah atau dilakukan inovasi. Mungkin sekali perlu
sebuah diagnosis awal untuk mencari dan menetapkan permasalahan organisasi
sebagai pintu masuk (entry point)
inovasi. Setelah masalah atau area perubahan teridentifikasi, pertanyaan
selanjutnya adalah bagaimana melanjutkannya sampai menjadi inovasi yang riil,
bukan hanya dalam gagasan belaka? Disinilah perlu adanya pengenalan tentang
beberapa konsep kunci terkait inovasi, misalnya benchmarking, adopsi, inkubasi, disseminasi, replikasi, dan
seterusnya.
Sedapat mungkin, masterplan ini
juga bisa memberikan gambaran tentang arah kebijakan pembangunan administrasi
negara dalam jangka menengah, syukur-syukur hingga jangka panjang, yang
mendesak untuk dilakukan inovasi baik oleh aktor di tingkat pusat maupun di
daerah. Dari arah kebijakan ini selanjutnya perlu diturunkan dalam agenda
inovasi secara nasional. Dan agenda inovasi nasional inilah yang akan menjadi
rujukan berbagai pihak, terutama di sektor publik, untuk merencanakan inovasi
di tingkat instansinya. Dengan cara kerja seperti ini, maka setiap inovasi
dimanapun dan pada level apapun akan membawa efek mainstreaming berupa perbaikan sistem administrasi negara yang jauh
lebih mengesankan.
Kembali ke judul tulisan ini,
apakah inovasi administrasi negara memerlukan sebuah masterplan? Ya, saya
pribadi menjawab secara tegas bahwa masterplan inovasi sangat diperlukan. Tanpa
dokumen ini, inovasi ibarat bintang-bintang di langit yang tersebar dan redup
sinarnya. Sementara jika ada mainstreaming
inovasi, maka gugusan bintang tadi akan menjadi matahari yang bersinar
terang benderang.
Serpong, 11 Maret 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar