Selasa, 11 Maret 2014

Inovasi Administrasi Negara: Perlukah Sebuah Masterplan?



Diantara kita pasti sudah banyak yang mendengar polemik tentang banyaknya pribadi saleh di sekitar kita namun pada saat yang sama sulit sekali menemukan kesalehan sosial. Siapa yang menyangsikan sikap dermawan manusia Indonesia? Di setiap lebaran atau imlek, misalnya, begitu banyak kelompok mampu yang berbagi rejeki dengan saudaranya yang kurang beruntung. Begitu pula ketika terjadi bencana alam yang menimpa daerah tertentu, mengumpulkan sumbangan melalui media televisi, koran, hingga kolektor di berbagai simpang jalan, seperti hal yang sangat mudah. Namun disisi lain, betapa orang juga mudah tersinggung bahkan berkelahi di jalanan hanya karena disalip kendaraannya atau dibunyikan klakson. Begitu pula, betapa kejahatan sering terjadi di depan mata banyak orang tanpa keberanian untuk melawan si penjahat yang tengah beraksi. Keselamatan sendiri menjadi prioritas yang tidak mungkin digadaikan untuk membela keselamatan orang lain, yang bahkan dikenalpun tidak. Dalam kasus sederhana, siapa kira-kira yang mau memungut sampah di tempat umum di sekitar kita tinggal atau bekerja? Pastilah semua merasa bahwa ada orang lain yang bertanggungjawab terhadap hal itu.

Menjadi menarik dipertanyakan, mengapa kesalehan individu tadi tidak mampu menjelma menjadi kesalehan kolektif? Menurut saya, belum terbangun sistem yang menyatukan potensi individu menjadi kekuatan kolektif. Kesalehan individu dibiarkan berjalan sesuai tujuan masing-masing, mencari salurannya masing-masing, dan dengan caranya masing-masing. Tidak ada sebuah rancang bangun bagaimana mengelola kesalehan individu tadi agar dapat mengarah pada tujuan bersama (common goals) seluruh anggota masyarakat atau untuk mengatasi masalah yang dihadapi bersama (common enemies). Situasi ini analog dengan batang lidi yang tersebar tanpa pengikat, atau alat music yang dibunyikan tanpa aransemen. Akibatnya, lidi-lidi tadi tidak memiliki kekuatan untum membersihkan sampah, sementara alat music tadi hanya menjadi kegaduhan yang memekakkan telinga dan tidak menimbulkan keindahan.

Demikian pula dengan inovasi. Banyaknya inisiatif inovasi tidak menghasilkan arus perbaikan yang signifikan bagi sistem penyelenggaraan pemerintahan di segala lini. Tidak ada efek pembelajaran timbal balik antar inovasi, banyak inovasi yang tidak diketahui oleh pihak lain, bahkan jauh lebih banyak lagi yang tidak bisa atau tidak tahu bagaimana melakukan inovasi. Lebih parah lagi, banyak yang keliru menafsirkan inovasi dan menjadikan inovasi sebagai dalih dibalik niat-niat melakukan pelanggaran. Dalam situasi seperti itu, adanya satu dokumen yang bisa menjadi media saling berkomunikasi antar pelaku inovasi nampaknya menjadi sangat penting.

Sebagaimana kita ketahui, saat ini pelaku inovasi tersebar dari Sabang sampai Merauke, dari Ibukota negara hingga wilayah perbatasan, dan dari pusat hingga unit pemerintahan terkecil. Demikian pula, dokumen yang berisi gagasan inovasi tersebar di berbagai dokumen dan kebijakan, mulai dari Sistem Inovasi Nasional yang digulirkan oleh Komite Inovasi Nasional, MP3EI yang diinisiasi oleh Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, RUU Pemerintahan Daerah yang masih di bahas di DPR-RI, dan sebagainya. Belum lagi masing-masing lembaga memiliki inisiatif seperti One Agency One Innovation dari Kementerian PAN dan RB, Open Government Indonesia dari UKP4, Innovation Government Award dari Kementerian Dalam Negeri, dan seterusnya. Berbagai aktor dan dokumen inovasi tadi sangat disayangkan jika hanya membentuk arus kecil dengan arah yang berbeda-beda. Alangkah bagusnya jika semuanya dapat membentuk efek arus besar (mainstream) yang mengarah pada pencapaian cita-cita besar yang telah diukir para founding parent republik ini dalam Konstitusi 1945.

Maka, masterplan inovasi administrasi negara harapannya akan menjadi konsensus nasional dari segenap institusi yang telah memiliki kerangka inovasi di bidangnya. Para ahli yang berada di belakang lahirnya dokumen tadi akan dipertemukan dalam sebuah expert panel untuk membuka kemungkinan mengintegrasikan dokumen inovasi yang satu dengan yang lainnya. Akan sangat baik lagi jika diantara mereka akan tumbuh kesadaran bahwa selama ini pengembangan inovasi antar sektor tidak terkomunikasikan dengan baik, untuk tidak mengatakan berjalan secara divergen. Dari sini diharapkan akan tumbuh keinginan untuk untuk bersinergi, berkolaborasi, saling membuka diri dan merumuskan strategi terbaik untuk membangun negeri melalui inovasi. Dengan demikian, masterplan ini akan membangun sistem koridor antar sistem inovasi yang sudah eksis terlebih dahulu. Hal ini bisa dilakukan jika antar sistem inovasi tadi dapat saling didekatkan atau dilakukan intermediasi antar sistem. Ketika upaya mendekatkan berbagai sistem inovasi di tingkat pusat ini sudah bisa dilakukan, tahap berikutnya tinggal melakukan uji petik atau uji publik dengan jajaran aparat di daerah untuk melihat sejauhmana disintegrasi sistem inovasi selama ini terjadi di daerah dan kemungkinan manfaat positif bagi mereka dari adanya penyelarasan antar sistem tadi.

Dengan terkoneksinya antar sistem inovasi tadi, maka masterplan inovasi administrasi negara ini diharapkan menjadi sebuah panduan yang praktis bagi aparat dimanapun berada untuk merencanakan, mengelola, dan menjalankan inovasi mereka. Untuk itu, paling tidak ada beberapa informasi dasar yang harus terkandung dalam mastrplan ini. Pertama, tentu pengertian inovasi dan ciri-ciri yang bisa membedakan sesuatu sebagai inovasi atau bukan. Termasuk dalam hal ini adalah ruang lingkup “administrasi negara” yang perlu mendapat sentuhan inovasi. Informasi seperti ini menurut saya penting, selain untuk mencegah agar tidak terjadi mispersepsi terhadap inovasi, juga membuat kita percaya diri bahwa sebuah inisiatif perubahan termasuk atau tidak termasuk dalam lingkup inovasi administrasi negara. Kedua, alasan-alasan mengapa inovasi harus dilakukan. Bisa saja alasan itu tentang banyaknya permasalahan yang dihadapi masyarakat karena belum efektifnya pelaksanaan tugas instansi pemerintah. Bisa pula alasan itu berupa landasan filosofis dari pembentukan lembaga pemerintah, atau konteks kompetisi global yang selalu menuntut pembaharuan, dan seterusnya. Intinya, bagian ini ingin menyadarkan semua pihak jika ada pertanyaan tentang inovasi, maka jawabannya adalah “why not”?

Selanjutnya, dalam masterplan inovasi juga perlu diungkapkan berbagai faktor pendorong dan penghambat inovasi, sehingga dengan cara mengenalinya kita dapat mengoptimalkan faktor pendorong sekaligus menghindari atau menyiasati faktor penghambatnya. Tidak kalah pentingnya, dokumen ini nantinya perlu mengeksplorasi siapa saja sesungguhnya yang berpotensi menjadi inovator? Ini penting untuk meng­-encourage setiap orang supaya memiliki motivasi untuk berinovasi. Dan yang paling urgen untuk diuraikan disini adalah pertanyaan tentang apa dan bagaimana melakukan inovasi itu. Tentu tidak semua orang bisa dengan mudah menentukan area yang ingin diubah atau dilakukan inovasi. Mungkin sekali perlu sebuah diagnosis awal untuk mencari dan menetapkan permasalahan organisasi sebagai pintu masuk (entry point) inovasi. Setelah masalah atau area perubahan teridentifikasi, pertanyaan selanjutnya adalah bagaimana melanjutkannya sampai menjadi inovasi yang riil, bukan hanya dalam gagasan belaka? Disinilah perlu adanya pengenalan tentang beberapa konsep kunci terkait inovasi, misalnya benchmarking, adopsi, inkubasi, disseminasi, replikasi, dan seterusnya.
                                                                                                             
Sedapat mungkin, masterplan ini juga bisa memberikan gambaran tentang arah kebijakan pembangunan administrasi negara dalam jangka menengah, syukur-syukur hingga jangka panjang, yang mendesak untuk dilakukan inovasi baik oleh aktor di tingkat pusat maupun di daerah. Dari arah kebijakan ini selanjutnya perlu diturunkan dalam agenda inovasi secara nasional. Dan agenda inovasi nasional inilah yang akan menjadi rujukan berbagai pihak, terutama di sektor publik, untuk merencanakan inovasi di tingkat instansinya. Dengan cara kerja seperti ini, maka setiap inovasi dimanapun dan pada level apapun akan membawa efek mainstreaming berupa perbaikan sistem administrasi negara yang jauh lebih mengesankan.

Kembali ke judul tulisan ini, apakah inovasi administrasi negara memerlukan sebuah masterplan? Ya, saya pribadi menjawab secara tegas bahwa masterplan inovasi sangat diperlukan. Tanpa dokumen ini, inovasi ibarat bintang-bintang di langit yang tersebar dan redup sinarnya. Sementara jika ada mainstreaming inovasi, maka gugusan bintang tadi akan menjadi matahari yang bersinar terang benderang.

Serpong, 11 Maret 2014

Tidak ada komentar: