Pada tulisan sebelumnya saya
sudah menguraikan cara sederhana, unik, dan fun
untuk merangsang kreativitas. Intinya, kreativitas itu adalah dunia kebebasan
yang “tanpa batas”. Apapun boleh dan apapun mungkin dalam “disiplin ilmu” kreativitas.
Sebab, kreativitas dan kebebasan adalah saudara kembar. Kebebasan haruslah
melahirkan kreativitas, dan mustahil kreativitas lahir tanpa dilandasi oleh
iklim dan jiwa merdeka. Maka, seorang yang kreatif biasanya adalah masuk
kategori “pemakan segala” (omnivore).
Artinya, orang kreatif selalu membuka diri terhadap berbagai hal yang belum
dimengerti atau belum dikuasai. Mereka tidak alergi dengan ilmu filsafat,
ekonomi, hukum, hingga matematik atau hubungan internasional. Mereka juga
tertarik untuk mencoba pengalaman baru dari memanah, menggambar, memasak,
meditasi, bahkan bermain sulap. Variasi dan kebaruan dalam pengalaman maupun pembelajaran
diyakini akan mengasah indera-indera kreatif sehingga membuat pelakunya semakin
kreatif.
Nah, kali ini saya akan
menuliskan sisi lain kreativitas yang mungkin tidak sepenuhnya bebas merdeka.
Ada kaidah dan tahapan tertentu yang harus diikuti untuk menjadi kreatif. Ini
dia sisi kreativitas sebagai sebuah science.
Sebagai ilmu, maka kreativitas bukan hanya harus dilakukan, tapi juga bisa
dipelajari. Meskipun demikian, kaidah dan tahapan tadi tentu bukan tanpa
kompromi. Sesuai hukum kreativitas yang penuh kebebasan, maka terhadap kaidah
dan tahapan dalam teknik berpikir kreatif-pun juga dapat dimodifikasi sesuai kebutuhan,
gaya, tujuan, dan kehendak hati dari pelakunya.
Baik, mari kita mulai dari teknik
pertama yang paling sering kita temukan dalam aktivitas sehari-hari, yakni brainstorming atau curah pendapat. Ide
dasarnya sangat sederhana, bahwa banyak kepala akan selalu lebih baik dibanding
satu kepala. Dengan keterbatasan yang dimiliki oleh setiap orang, tidak mungkin
ia dapat berpikir secara sempurna. Seseorang yang merasa dapat berpikir dengan
memperhatikan semua aspek lengkap dengan ide-ide inovatifnya, mampu menjangkau
semua kemungkinan, dan bisa mengakomodasi aspirasi semua pihak, pastilah itu
sebuah kesombongan jika bukan kebohongan. Dengan melakukan brainstorming, kita dapat menelorkan banyak ide dalam waktu relatif
singkat dan cepat. Ide kita sendiripun seringkali berkembang setelah
mendengarkan ide-ide dari orang lain. Artinya, ide-ide yang saling bertemu itu
sesungguhnya berproses melakukan refinasi (refinement).
Semakin banyak gagasan yang bisa digali dari peserta brainstorming, maka
peluang mendapatkan ide yang lebih jernih dan bermutu akan semakin tinggi.
Pertanyaannya, bagaimana
melakukan brainstorming itu? Prinsip
dasar brainstorming sebenarnya
sangatlah sederhana. Pada tahap awal, harus sudah ditetapkan issu pokok yang
akan didiskusikan, yang didukung informasi terkait issu/masalah tersebut. Hal
ini penting agar diskusi tidak terjebak menjadi wacana yang lebih berbasis pada
asumsi-asumsi tanpa didukung oleh evidence
empiris yang terukur. Selanjutnya, dilakukanlah idea generation dimana setiap peserta memiliki hak yang sama untuk
mengungkapkan pemikirannya. Pada tahap ini, tidak boleh ada yang merasa lebih
benar, tidak boleh ada yang menyalahkan, tidak boleh ada penyimpulan atau
penafsiran, dan tidak boleh ada interupsi. Setelah terkumpul banyak ide,
barulah dilakukan penseleksian untuk menyaring berbagai ide itu menjadi
alternatif solusi yang diyakini memiliki efektivitas untuk menyelesaikan
masalah. Cara penyaringan ide ini bisa dilakukan misalnya dengan membuat
klasifikasi atas dasar ide-ide yang serupa. Dari ide-ide yang sudah
terklasifikasikan ini kemudian dilihat kelebihan dan kekurangannya, serta
diberi pembobotan sehingga dapat diketahui alternatif mana yang memiliki advantages terbanyak dan disadvantages paling sedikit. Itulah
yang akan dipilih sebagai opsi untuk direkomendasikan dalam menyelesaikan
masalah bersama. Pada tahap ini, tinggal dipersiapkan berbagai hal terkait bagaimana
rekomendasi tadi dapat dieksekusi.
Meskipun brainstorming merupakan salah satu cara berpikir kreatif, namun ada
kekurangan dari metode ini, diantaranya memakan waktu relatif panjang,
rendahnya efisiensi pengambilan keputusan karena harus mendengar pendapat semua
orang, kemungkinan terjadinya kompromi sebagai dampak sikap terlalu
mengakomodir gagasan dan harapan orang banyak, serta peluang dominasi seseorang
atas orang lain dalam kelompok. Dengan mengetahui kelemahan ini, diharapkan
peserta brainstorming dapat mencegah
sejak dini inefisiensi yang mungkin terjadi selama proses diskusi berlangsung.
Teknik
berikutnya dalam berpikir kreatif adalah analogi, yang secara sederhana bisa
dimaknakan sebagai upaya mencari kesamaan atau kesesuaian kondisi,
karakteristik, dan cara bekerja dari sesuatu hal, untuk diterapkan pada hal
lainnya. Analogi yang menarik dapat disimak dari pengalaman John Vaught dari
perusahaan Hewlett Packard. Pada tahun 1979, ia menemukan mesin printer yang
dikenal dengan Thermal
InkJet Technology. Ternyata, asal mula penemuan mesin itu amat sederhana,
yakni terinspirasi oleh cara kerja mesin pembuat kopi otomatis. Konon, Motorola
belajar dari Domino’s Pizza untuk mengurangi waktu produksinya, sementara Southwest Airlines belajar mengurangi waktu pemberhentian
pesawatnya dengan melihat bagaimana tim balap mobil melakukan pit stop.
Teknik
analogi ini sering disamaartikan dengan teknik metafora, yakni membuat
perumpamaan atau mentransfer suatu kondisi kedalam kondisi yang lain. Membuat
perumpamaan kehidupan sebagai panggung sandiwara, adalah contoh sebuah
metafora. Atau, hasil scenario planning yang pernah dibuat untuk
menggambarkan Indonesia 2010, yang salah satunya menyebutkan tentang “mengayuh
biduk retak” (rowing the leaking boat) adalah juga metafora. Saya
sendiri pernah membuat metafora antara karakter Rahwana atau Dasamuka dengan
sistem kebijakan yang disusun tanpa pertimbangan
rasional, tidak ada analisis cost-benefit
atau resiko dari sebuah kebijakan. Sesuatu yang seharusnya diatur justru tidak
dibuat aturannya, sementara sesuatu yang tidak perlu diatur justru dibahas
secara serius. Kesepakatan antar pihak dalam perumusan kebijakan juga sering
dikhianati oleh pihak tertentu. Kualitas kebijakan menjadi sangat rendah,
sehingga hanya menguntungkan sedikit orang namun mengakibatkan protes banyak
orang lainnya. Kemungkinan terjadinya policy
failure sangat tinggi, sehingga kebijakan juga dengan sendirinya gagal untuk
meningkatkan taraf hidup masyarakat. Pelajaran dari ketiga contoh metafora itu
adalah, jangan ragu-ragu untuk membuat perumpamaan antara satu hal dengan hal
lain, meski terlihat bodoh, ekstrim, atau tidak masuk akal.
Variasi
dari teknik brainstorming adalah
sinektik (synectics), yang pertama
kali diperkenalkan oleh William Gordon pada tahun 1961 lewat bukunya
berjudul Synectics. Berbeda dengan brainstorming
yang membiarkan para peserta mengeluarkan ide tanpa batasan yang jelas, synectics
memberikan beberapa batasan sehingga terkesan lebih terstruktur. Namun
sebagaimana teknik-teknik berpikir kreatif lainnya, sinektik mengajarkan untuk
“mempercayai hal-hal asing dan mengasingkan hal-hal yang dipercayai.” Kita diajak
untuk memanfaatkan analogi yang kelihatannya tidak berhubungan dengan masalah yang
hendak diselesaikan, dan pada saat sama melupakan ide-ide konvensional yang
biasa dipakai (It Pin Arifin, “Menggandakan Kekuatan Analogi Dengan Synectic”).
Dalam buku
Gordon yang telah diringkas oleh Arifin dijelaskan bahwa struktur synectics
bisa dilihat dari penentuan empat jenis analogi yang akan dipakai selama sesi
pemecahan masalah, yakni personal analogy, direct analogy, symbolic
analogy, dan fantasy analogy. Personal analogy meminta
peserta mengidentifikasikan dirinya dengan bagian atau keseluruhan masalah atau
solusinya. Direct analogy mencoba menyelesaikan masalah dengan mencari
analogi langsung dari tempat lain, aplikasi lain, teknologi lain, pengetahuan
lain, dan sebagainya. Symbolic analogy hampir sama dengan personal
analogy, tetapi identifikasi dilakukan bukan dengan peserta, melainkan
dengan objek lain. Fantasy analogy memperbolehkan peserta berkhayal
sejauh-jauhnya untuk menyelesaikan masalah. Contohnya, sebuah kelompok yang
terdiri dari 5 orang sedang berdiskusi bagaimana merancang semacam ritsleting
untuk baju astronot. Penggunaan keempat analogi untuk kasus itu kurang lebih
sebagai berikut:
·
Personal
analogy: “Saya
membayangkan menjadi seorang penyelamat pantai. Bayangkan badai besar di laut.
Kapal terombang-ambing. Sebagai penyelamat pantai, saya berusaha menambatkan
kapal dengan menggigit seutas tali tambang dan berenang mencari tambatan.”
·
Direct
analogy: “Saya
membayangkan ritsleting yang mirip dengan seekor serangga mekanik. Jika Anda
menggunakan seekor laba-laba, dia bisa memintal sehelai benang dan menjahit
kedua sisi agar tertutup.”
·
Symbolic
analogy: “Kita bisa
menjahit dengan baja.”
·
Fantasy
analogy: “Saya
membayangkan seorang jin yang bisa menutupnya untuk saya. Cukup sebutkan
mantranya dan tertutup!”
Teknik
selanjutnya yang ingin saya perkenalkan adalah Morfologi. Sangat boleh jadi,
teknik ini mengadopsi pengertian morfologi dari disiplin linguistik, yakni
cabang ilmu bahasa yang mempelajari seluk-beluk bentuk kata serta pengaruh
perubahan-perubahan bentuk kata terhadap golongan dan arti kata. Dengan
pengertian seperti itu, kita dapat menerapkan teknik morfologis secara analogis
dalam berbagai bidang. Intinya, kita ingin menghasilkan situasi baru, ide baru,
konsep baru atau kebaruan dalam hal apapun, melalui perubahan dari
situasi-situasi, ide-ide, dan konsep-konsep lain atau mencampuradukkan diantara
mereka menjadi varian baru.
Untuk lebih
mudahnya memahami teknik morfologi ini, langsung saja kita membuat contoh. Jika
kita ingin bicara soal “diklat“ dan mencari model diklat baru yang lebih unik,
misalnya, maka tahap pertama yang harus dilakukan adalah menetapkan aspek-aspek
atau dimensi “diklat” tersebut, misalnya menjadi tempat diklat, waktu diklat, peserta,
metode, media, pengajar, dan seterusnya. Dari sini kemudian merinci lagi masing-masing
aspek/dmensi kedalam kemungkinan jawaban atau atributnya. Dengan lima aspek
diklat tadi, kurang lebih dapat dikembangkan kedalam atribut-atribut sebagai
berikut:
·
Tempat diklat: kelas, rumah, kantor, alam
terbuka, wilayah konflik, lokasi pengungsian, kantong kemiskinan, daerah rawan
bencana, kantong-kantong kemiskinan, puncak gunung yang sepi.
·
Waktu diklat: pagi (06.00-12.00), siang
(12.00-16.00), sore (16.00-18.00), malam (18.00-24.00), dini hari
(01.00-03.00), fajar/subuh (03.00-06.00), bersamaan dengan jam kerja, diluar
jam kerja, dalam hari kerja, musim liburan.
·
Peserta: pimpinan organisasi, pejabat tinggi dan
menengah, para pejabat fungsional, pelaksana, tenaga kontrak, mitra organisasi,
office boy, tenaga outsourcing, anggota keluarga pegawai.
·
Metode: ceramah (kuliah), tanya jawab, diskusi
kelompok, simulasi (role play),
praktek, studi kasus, story-telling, pro-kontra,
visitasi, pembelajaran mandiri (self-learning),
kontemplasi.
·
Media: bahan tayang powerpoint, film pendek, musik, papan tulis/flipchart, alat peraga.
·
Pengajar: Widyaiswara, pejabat fungsional selain
Widyaiswara, pejabat struktural, pengusaha, politikus, LSM, masyarakat, orang asing.
Setelah
seluruh atribut teridentifikasi, barulah dilakukan analisis dengan
mengkombinasikan berbagai atribut tadi. Sebagai contoh, mungkin kita akan
menghasilkan kombinasi berupa “Pimpinan organisasi mengikuti diklat pada waktu
fajar/subuh melalui metode pembelajaran mandiri, bersama-sama dengan masyarakat
di wilayah konflik”. Inilah ide kreatif yang bisa muncul dari teknik morfologis
ini. Teknik ini sekaligus membuktikan bahwa berpikir kreatif itu “mudah” dan
tidak membutuhkan kejeniusan seperti Einstein atau Habibie.
Jakarta, 7 Maret 2014.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar