Ketika
seseorang tengah menghadapi ujian, atau mendapat tugas baru yang sama sekali
belum dikuasai, atau dikejar deadline laporan
sementara anaknya sedang sakit, atau target yang belum tercapai sedangkan waktu
telah habis, atau ketika ia memiliki ide-ide besar namun diacuhkan bahkan
dicibir oleh lingkungannya, adalah masa-masa meningkatnya stress bagi orang
tersebut. Stress sendiri secara umum dapat diartikan sebagai sebuah sikap atau
reaksi psikologis maupun fisiologis dari seseorang manakala mengalami
ketidakseimbangan antara tuntutan/beban yang dihadapi dengan kemampuannya untuk
memenuhi tuntutan/beban tersebut. Lazimnya, ketika kadar stress semakin
membesar, maka tingkat kemampuan seseorang untuk bekerja cepat dan unjuk
kinerja justru semakin turun. Maka, menjadi sangat lumrah jika orang-orang
disekitarnya kemudian memberi nasihat untuk rileks, santai, dan tidak
memasukkan masalah yang dihadapi kedalam hati.
Itulah
ilustrasi kehidupan yang sering kita lihat di sekitar tempat tinggal atau
pekerjaan kita. Stress memang berwajah ganda. Disatu sisi, stress (yang
berlebih) akan dapat menyebabkan naiknya tekanan darah yang mengancam pecahnya
pembuluh darah atau datangnya serangan jantung. Dan itu sangat fatal akibatnya.
Stress tinggi juga akan mengurangi kemampuan konsentrasi dan kapasitas memori
manusia, bahkan sering menimbulkan keram otot. Namun disisi lain, hidup tanpa
stress juga ibarat daun kering tertiup angin: kesana kemari tanpa arah, tanpa
darah, tanpa gairah. Hidup menjadi sangat tawar, hambar, dan gersang. Seseorang
yang tidak memiliki stress sama sekali adalah laksana mayat hidup yang tanpa
visi, tanpa ambisi, dan hanya mengisi hari dengan sesuatu yang serba tidak
pasti.
Oleh
karena itu, stress harus dikelola dengan baik agar tidak menjadi surplus, namun
juga jangan sampai terjadi defisit stress. Sebab, stress yang proporsional
terbukti mampu memacu adrenalin, yang pada gilirannya akan mempercepat denyut
jantung untuk memompa lebih banyak darah segar ke otak. Disinilah otak akan
meningkat kemampuannya sehingga lebih kreatif. Kadar stress yang tepat akan
menjadi pendorong (push factor) atau
pembakar (burning factor) terhadap
seluruh potensi intrinsik dalam tubuh manusia. Secara teoretis, hal ini akan bermutasi
menjadi virus berprestasi (N-Ach = needs for achievement) dan selanjutnya
terkonversi dalam wujud enerji yang jauh lebih besar. Jika kita melihat
seseorang yang terlihat tidak pernah capek namun bisa menghasilkan banyak
karya-karya penting, pastilah orang itu memiliki N-Ach yang besar dibalik stress yang berhasil dikuasainya.
Oleh
karena itu, janganlah berusaha untuk menghilangkan stress dalam diri kita.
Inilah tekanan yang memberi tenaga bagi kita untuk bisa menyelesaikan berbagai
tugas-tugas seberat apapun. Mengurangi boleh, namun jangan sampai menjadi
nihil. Bahkan kadang kala kita tahu kapan harus menambah kadar stress dalam
keseharian kita. Bahkan sebuah pesawat bisa terbang ke angkasa juga karena
tekanan atau dorongan horizontal pada mesin, yang menimbulkan perbedaan
kecepatan aliran udara dibawah dan diatas sayap pesawat. Ketka tekanan udara
dibawah sayap menjadi jauh lebih besar dibanding bagian atas sayap, maka
muncullah gaya angkat (lifting) yang
menyebabkan pesawat bisa terbang. Sebagian besar dari kita juga pasti mengenal
dan bahkan sering mempraktekkan prinsip SMS alias sistem kebut semalam. Ketika
deadline semakin mendekat, stress semakin meningkat, adrenalin semakin cepat,
jantung berdenyut makin kencang, dan kita bekerja makin efektif, dan pada
akhirnya tugaspun dapat terselesaikan dengan baik. Ini semua bukti bahwa stress
itu kita butuhkan, stress itu perlu dikelola dengan baik, dan stress itu adalah
bagian penting dari kesuksesan kita.
Untuk
itu, sedapat mungkin kita tidak perlu menunggu atasan atau orang lain sebagai
sumber stress, namun diri kita sendirilah yang bisa menentukan kapan harus
stress kapan harus rileks. Inilah yang saya sebut dengan upaya mengelola
stress. Konkritnya, kita harus memberi pembebanan, tekanan, target, kewajiban,
dan tanggungjawab tertentu kepada diri sendiri, diluar tugas dan tanggung jawab
kita kepada organisasi. Beban itu misalnya berupa target untuk menulis satu
artikel setiap hari, seperti yang saat ini sedang saya lakukan. Atau bisa juga
mewajibkan diri sendiri untuk membaca jurnal berbahasa Inggris seminggu satu
artikel. Atau pembebanan dalam bentuk apapun yang terpenting mampu menjadi
stimulus untuk mengasah bakatnya, mendisiplinkan diri pada aktivitas yang
terprogram, menopang kinerja organisasi, dan menjadi media pembelajaran
individual yang efektif.
Saya
bahkan berpikir, ada baiknya kontrak kinerja yang selama ini dibuat antara
pegawai dengan atasan langsungnya ditambah dengan kontrak kinerja dengan diri
sendiri. Jika kontrak kinerja dengan pimpinan cenderung formal dan terbatas
hanya pada kegiatan yang dibiayai oleh anggaran institusi, maka kontrak kinerja
dengan diri sendiri jauh lebih luas cakupannya hingga aktivitas apapun
sepanjang relevan untuk pengembangan diri dan institusi. Dan jika kontrak
kinerja dengan pimpinan cenderung di level medioker yang tidak terlalu
membebani pegawai dan tidak menimbulkan stress, maka kontrak kinerja dengan
diri sendiri bisa memberi pembebanan yang jauh lebih berat atau
seberat-beratnya sesuai kemampuan dirinya. Pada saat yang sama, jika selama ini
seorang pejabat bersumpah di hadapan pejabat yang melantik, ada baiknya
dikembangkan pola baru yakni sumpah kepada diri sendiri untuk selalu taat
aturan, untuk berperilaku terpuji sejak datang hingga pulang kantor, untuk
terus berbagi ilmi atau pengalaman dengan orang lain, untuk menjadi yang
pertama dalam menolong rekan kerja yang mendapat kesulitan, untuk menjaga
kehormatan diri dan organisasi, dan seterusnya. Bagi saya, kontrak kinerja
dengan diri sendiri dan sumpah kepada diri sendiri memiliki efek penghayatan
(internalisasi) yang jauh lebih berarti dibanding membuat kontrak atau
bersumpah kepada/di depan orang lain. Saya yakin bahwa sebuah niat yang tumbuh
dari dalam, akan memiliki power yang
lebih tangguh dan tahan lama alias tidak lekas pudar dan buyar.
Kembali
ke topik artikel ini, kesimpulan yang dapat ditarik adalah bahwa stress itu
baik, maka janganlah orang yang sedang stress diberi nasihat untuk rileks dan
bersantai. Pastilah dia sedang menjalankan manajemen stress dalam batinnya.
Biarkan dia keluar dari belitan stress dengan membawa seabreg kreativitasnya.
Jakarta,
14 Maret 2014.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar