Jumat, 14 Maret 2014

Mengelola Stress Untuk Memacu Kreativitas



Ketika seseorang tengah menghadapi ujian, atau mendapat tugas baru yang sama sekali belum dikuasai, atau dikejar deadline laporan sementara anaknya sedang sakit, atau target yang belum tercapai sedangkan waktu telah habis, atau ketika ia memiliki ide-ide besar namun diacuhkan bahkan dicibir oleh lingkungannya, adalah masa-masa meningkatnya stress bagi orang tersebut. Stress sendiri secara umum dapat diartikan sebagai sebuah sikap atau reaksi psikologis maupun fisiologis dari seseorang manakala mengalami ketidakseimbangan antara tuntutan/beban yang dihadapi dengan kemampuannya untuk memenuhi tuntutan/beban tersebut. Lazimnya, ketika kadar stress semakin membesar, maka tingkat kemampuan seseorang untuk bekerja cepat dan unjuk kinerja justru semakin turun. Maka, menjadi sangat lumrah jika orang-orang disekitarnya kemudian memberi nasihat untuk rileks, santai, dan tidak memasukkan masalah yang dihadapi kedalam hati.

Itulah ilustrasi kehidupan yang sering kita lihat di sekitar tempat tinggal atau pekerjaan kita. Stress memang berwajah ganda. Disatu sisi, stress (yang berlebih) akan dapat menyebabkan naiknya tekanan darah yang mengancam pecahnya pembuluh darah atau datangnya serangan jantung. Dan itu sangat fatal akibatnya. Stress tinggi juga akan mengurangi kemampuan konsentrasi dan kapasitas memori manusia, bahkan sering menimbulkan keram otot. Namun disisi lain, hidup tanpa stress juga ibarat daun kering tertiup angin: kesana kemari tanpa arah, tanpa darah, tanpa gairah. Hidup menjadi sangat tawar, hambar, dan gersang. Seseorang yang tidak memiliki stress sama sekali adalah laksana mayat hidup yang tanpa visi, tanpa ambisi, dan hanya mengisi hari dengan sesuatu yang serba tidak pasti.

Oleh karena itu, stress harus dikelola dengan baik agar tidak menjadi surplus, namun juga jangan sampai terjadi defisit stress. Sebab, stress yang proporsional terbukti mampu memacu adrenalin, yang pada gilirannya akan mempercepat denyut jantung untuk memompa lebih banyak darah segar ke otak. Disinilah otak akan meningkat kemampuannya sehingga lebih kreatif. Kadar stress yang tepat akan menjadi pendorong (push factor) atau pembakar (burning factor) terhadap seluruh potensi intrinsik dalam tubuh manusia. Secara teoretis, hal ini akan bermutasi menjadi virus berprestasi (N-Ach = needs for achievement) dan selanjutnya terkonversi dalam wujud enerji yang jauh lebih besar. Jika kita melihat seseorang yang terlihat tidak pernah capek namun bisa menghasilkan banyak karya-karya penting, pastilah orang itu memiliki N-Ach yang besar dibalik stress yang berhasil dikuasainya.

Oleh karena itu, janganlah berusaha untuk menghilangkan stress dalam diri kita. Inilah tekanan yang memberi tenaga bagi kita untuk bisa menyelesaikan berbagai tugas-tugas seberat apapun. Mengurangi boleh, namun jangan sampai menjadi nihil. Bahkan kadang kala kita tahu kapan harus menambah kadar stress dalam keseharian kita. Bahkan sebuah pesawat bisa terbang ke angkasa juga karena tekanan atau dorongan horizontal pada mesin, yang menimbulkan perbedaan kecepatan aliran udara dibawah dan diatas sayap pesawat. Ketka tekanan udara dibawah sayap menjadi jauh lebih besar dibanding bagian atas sayap, maka muncullah gaya angkat (lifting) yang menyebabkan pesawat bisa terbang. Sebagian besar dari kita juga pasti mengenal dan bahkan sering mempraktekkan prinsip SMS alias sistem kebut semalam. Ketika deadline semakin mendekat, stress semakin meningkat, adrenalin semakin cepat, jantung berdenyut makin kencang, dan kita bekerja makin efektif, dan pada akhirnya tugaspun dapat terselesaikan dengan baik. Ini semua bukti bahwa stress itu kita butuhkan, stress itu perlu dikelola dengan baik, dan stress itu adalah bagian penting dari kesuksesan kita.

Untuk itu, sedapat mungkin kita tidak perlu menunggu atasan atau orang lain sebagai sumber stress, namun diri kita sendirilah yang bisa menentukan kapan harus stress kapan harus rileks. Inilah yang saya sebut dengan upaya mengelola stress. Konkritnya, kita harus memberi pembebanan, tekanan, target, kewajiban, dan tanggungjawab tertentu kepada diri sendiri, diluar tugas dan tanggung jawab kita kepada organisasi. Beban itu misalnya berupa target untuk menulis satu artikel setiap hari, seperti yang saat ini sedang saya lakukan. Atau bisa juga mewajibkan diri sendiri untuk membaca jurnal berbahasa Inggris seminggu satu artikel. Atau pembebanan dalam bentuk apapun yang terpenting mampu menjadi stimulus untuk mengasah bakatnya, mendisiplinkan diri pada aktivitas yang terprogram, menopang kinerja organisasi, dan menjadi media pembelajaran individual yang efektif.

Saya bahkan berpikir, ada baiknya kontrak kinerja yang selama ini dibuat antara pegawai dengan atasan langsungnya ditambah dengan kontrak kinerja dengan diri sendiri. Jika kontrak kinerja dengan pimpinan cenderung formal dan terbatas hanya pada kegiatan yang dibiayai oleh anggaran institusi, maka kontrak kinerja dengan diri sendiri jauh lebih luas cakupannya hingga aktivitas apapun sepanjang relevan untuk pengembangan diri dan institusi. Dan jika kontrak kinerja dengan pimpinan cenderung di level medioker yang tidak terlalu membebani pegawai dan tidak menimbulkan stress, maka kontrak kinerja dengan diri sendiri bisa memberi pembebanan yang jauh lebih berat atau seberat-beratnya sesuai kemampuan dirinya. Pada saat yang sama, jika selama ini seorang pejabat bersumpah di hadapan pejabat yang melantik, ada baiknya dikembangkan pola baru yakni sumpah kepada diri sendiri untuk selalu taat aturan, untuk berperilaku terpuji sejak datang hingga pulang kantor, untuk terus berbagi ilmi atau pengalaman dengan orang lain, untuk menjadi yang pertama dalam menolong rekan kerja yang mendapat kesulitan, untuk menjaga kehormatan diri dan organisasi, dan seterusnya. Bagi saya, kontrak kinerja dengan diri sendiri dan sumpah kepada diri sendiri memiliki efek penghayatan (internalisasi) yang jauh lebih berarti dibanding membuat kontrak atau bersumpah kepada/di depan orang lain. Saya yakin bahwa sebuah niat yang tumbuh dari dalam, akan memiliki power yang lebih tangguh dan tahan lama alias tidak lekas pudar dan buyar.

Kembali ke topik artikel ini, kesimpulan yang dapat ditarik adalah bahwa stress itu baik, maka janganlah orang yang sedang stress diberi nasihat untuk rileks dan bersantai. Pastilah dia sedang menjalankan manajemen stress dalam batinnya. Biarkan dia keluar dari belitan stress dengan membawa seabreg kreativitasnya.

Jakarta, 14 Maret 2014.

Tidak ada komentar: