Setiap kali saya berangkat ke
kantor atau pulang ke rumah, saya selalu melewati Alam Sutera, sebuah kawasan
hunia berkelas di wilayah Tangerang Selatan. Kawasan ini tumbuh dengan sangat
pesat, ditandai oleh munculnya mall dan ruko-ruko baru, cluster perumahan
mewah, dan tentu saja apartemen. Situasi yang sama bisa diamati di kawasan yang
berdekatan dengan Alamt Sutera seperti BSD, Gading Serpong, atau Karawaci.
Bahkan kota-kota penyangga Jakarta lain seperti Bogor, Depok, dan Bekasi juga
terjangkit booming properti yang
sama. Terlintas pertanyaan dalam hati saya, mengapa apartemen-apartemen itu
begitu laku keras, bahkan sering sudah terjual habis (sold out) sebelum pembangunan dimulai? Benarkah itu cerminan dari
kebutuhan pokok masyarakat akan papan (kebutuhan pokok selain sandang dan
pangan)?
Saya memiliki hipotesis bahwa itu
bukan kebutuhan pokok (primer), namun sudah menjadi kebutuhan tersier atau
bahkan kuarter. Saya yakin bahwa golongan kaya yang membeli apartemen itu sudah
memiliki rumah atau apartemen yang lain. Mereka membeli bukan untuk memenuhi
kebutuhan pokoknya, namun sebagi bagian dari investasi, bisnis, atau bahkan
sekedar foya-foya. Ya, sebuah apartemen memiliki nilai investasi yang
menggiurkan, karena hanya dalam waktu 3-5 tahun dia akan bisa mendapat nilai
properti yang lebih besar dari pada saat dia membelinya. Apartemen juga
memiliki nilai bisnis karena bisa disewakan untuk ruko, kantor, dan sebagainya.
Tidak jarang pula apartemen hanya menjadi “sarang” bagi seseorang untuk
“menyembunyikan” istri-istri mudanya.
Oleh karena pembangunan apartemen
itu bukan untuk memenuhi kebutuhan primer akan papan, maka persoalan kebutuhan
rumah bagi sebagian besar masyarakat juga tidak pernah terpenuhi. Kondisi ini
menimbulkan kerugian ganda. Disatu sisi, pembangunan apartemen dan rumah mewah
itu menyita lahan-lahan produktif dan daerah serapan air. Akibatnya, potensi
banjir dan pemanasan global semakin tinggi, ruang terbuka hijau semakin langka,
dan segregasi sosial semakin kuat. Disisi lain, masyarakat kebanyakan yang
tidak memiliki kemampuan untuk membeli aparteme bahkan RS sekalipun, terpaksa
menduduki lahan-lahan kosong di bantaran sungai, dibawah kolong jembatan, atau
di pinggir rel kereta, yang menimbulkan kawasan kumuh dan merusak tata kota.
Sehubungan dengan hal tersebut,
tersirat pemikiran dalam benak saya untuk mengatur tata niaga properti yang
lebih berpihak pada kepentingan rakyat banyak, berpihak pada perlindungan
lingkungan, sekaligus berpihak pada penataan kota yang tertib, seimbang,
inklusif, dan berkeadilan. Untuk menjalankan fungsi regulasi ini, ada baiknya
dibentuk Komisi Regulasi dan Tata Niaga Properti Nasional. Beberapa substansi
yang perlu diatur misalnya bahwa sepasang suami istri tidak boleh memiliki
hunian (rumah atau apartemen) lebih dari satu. Agar dapat dikontrol tingkat
kepemilikan seseorang atas sebuah hunian, maka Komisi ini harus membangun
database yang dikumpulkan dari data BPN, Notaris, serta data transaksi dari
seluruh developer. Termasuk yang harus dimiliki adalah data tentang catatan
pernikahan atau perceraian dari KUA atau Kantor Catatan Sipil. Sedapat mungkin,
data-data tadi harus saling terkoneksi sehingga memudahkan dalam pengendalian
pembangunan, peruntukan, dan distribusi properti, khususnya rumah dan
apartemen.
Namun masalahnya, seseorang dapat
membeli rumah dengan mengatasnamakan anaknya. Maka, Komisi tadi harus mengatur
bahwa hak kepemilikan rumah hanya dapat dipegang oleh seseorang yang telah
mencapai batas usia dewasa (misalnya 23 tahun menurut Burgelijke Wetboek atau KUH Perdata). Nah, bagaimana jika seseorang
membeli beberapa unit rumah atau apartemen yang bersebelahan atau berhimpitan,
kemudian menyatukan sertifikatnya, seolah-olah beberapa bangunan itu adalah
satu bangunan besar? Maka, Komisi tadi juga harus mengatur luas minimal dan
maksimal lahan yang dapat dimiliki. Pengaturan seperti ini selain untuk
mencegah ketimpangan dalam kepemilikan rumah, juga untuk mengurangi kesenjangan
sosial antara golongan kaya dan miskin. Sekaya apapun seseorang, bukan berarti
ia dapat membeli apapun yang diinginkannya. Dalam kondisi dimana masih jutaan
masyarakat belum memiliki rumah seperti saat ini, maka rumah merupakan public goods murni. Ketika rumah
diperlakukan sebagai private goods
dengan memberlakukan hukum ekonomi, maka terjadilah disparitas sosial beserta
problematika yang kita saksikan selama ini.
Implikasi dari perlakuan rumah
hunian sebagai public goods murni ini
adakah bahwa rumah hunian harus dikembalikan sebagai komoditas pokok untuk
memenuhi kebutuhan dasar manusia, dan bukan sebagai komoditas komersil belaka.
Rumah memang memiliki nilai komersial, namun bukan untuk dikomersialisasikan.
Rumah memang barang ekonomi, namun pemerintah tetap perlu mengatur agar harga
tesebut tidak bergerak liar. Sama halnya ketika pemerintah mengatur harga
eceran tertinggi atau terencah dalam komoditas minyak tanah, beras, atau
komoditas lainnya pada saat terjadi shortage.
Nah, faktanya, saat inipun mengalami keterbatasan supply rumah untuk rakyat, sehingga wajar jika pemerintah memperlakukan
sebagai public goods yang butuh
intervensi langsung pemerintah. Jika rumah diperlakukan sebagai private goods maka harga komoditi ini
bergerak tidak rasional dan hanya berpihak kepada pemilik modal yang kuat,
sementara bagi sebagian yang lain memiliki rumah hanyalah sebuah mimpi di siang
bolong.
Jakarta, 19 Jun 2014.