Tidak ada orang yang senang
disebut bodoh. Orang bodoh sekalipun tidak senang dikatakan bodoh. Bahkan
banyak orang berlaku bodoh hanya supaya tidak dianggap bodoh. Maka wajarlah
jika semua orang pintar akan menunjukkan perilaku yang mencerminkan
kepintarannya dan menghindari kesan bodoh. Sebaliknya, orang bodoh akan
berusaha terlihat pintar dengan menyembunyikan kebodohannya.
Faktanya, banyak orang pintar
yang berlaku bodoh dengan tidak mau bertanya dan tidak mau mengemukakan
gagasan, hanya karena takut dicap sebagai pertanyaan atau gagasan yang bodoh. Kebodohan
seperti inilah yang dalam catatan sejarah telah mendatangkan musibah besar bagi
seseorang, sebuah organisasi, bahkan suatu bangsa, sebagaimana yang terjadi pada
peristiwa tenggelamnya Titanic, meledaknya Challenger, atau kekalahan telak
tentara AS di Teluk Babi, Kuba (baca tulisan sebelumnya berjudul “Tentang Bertanya”). Kebodohan seperti
ini mungkin lebih bodoh dibanding kebodohan orang-orang yang tidak pernah
mengenyam bangku sekolah sama sekali, sehingga untuk menjawab pertanyaan
sederhana 1 + 1 pun mereka tidak mampu. Kebodohan karena tidak sekolah barangkali
layak untuk dimaklumi, namun kebodohan karena takut dikatakan bodoh adalah
kebodohan sejati yang tidak termaafkan.
Nah, yang kita bicarakan kali ini
adalah “kebodohan” tipe ketiga, yakni gagasan-gagasan yang dikemukakan
seseorang dan sulit dimengerti oleh orang lain. Gagasan itu seperti sesuatu
yang tidak masuk akal dan tidak mungkin, bahkan terkesan gila. Orang dengan tingkat
intelektual tinggi dan cara berpikir rasional sulit menerima pemikiran manusia “bodoh”,
yang memang sulit dijelaskan dengan common
sense. Maka, kebodohan identik dengan “kegilaan”. Namun sejarah membuktikan
bahwa dunia ini penuh dengan “orang gila” dan “orang bodoh” yang telah memberi
pengaruh besar terhadap kemajuan peradaban umat manusia. Ketika Thomas Alva
Edison bermimpi “memancarkan matahari di malam hari”, misalnya, tentulah
orang-orang di sekitarnya menganggapnya sebagai sebuah ketidakwarasan. Setelah bola
lampu akhirnya ditemukan, barulah orang menganggapnya sebagai sebuah
kejeniusan. Inilah “kebodohan” yang dimaksudkan oleh Richie Norton dalam
bukunya berjudul The Power of Starting
Something Stupid (versi Indonesia berjudul “Kekuatan Dalam Memulai Hal
Bodoh”, penerbit Gramedia, 2014) sebagai kecerdasan baru.
Dalam buku Norton tadi kita juga
bisa menyaksikan tindakan “bodoh” yang akhirnya diakui sebagai kecerdasan yang dialami
oleh Clay Leavitt, orang Kanada yang mengajarkan bahasa Inggris di Jepang tahun
1980-an. Dia mengamati bahwa semua remaja yang diajarnya memakai jins Levi’s
belel, sebagai imbas tontonan di MTV yang menayangkan gaya anak-anak muda di jalanan
Amerika. Jins belel tiba-tiba menjadi trend yang digandrungi anak muda. Mungkin
saat itu Leavitt terpikir, berapa tahun yang dibutuhkan oleh seseorang untuk
menunggu jins barunya menjadi belel, hingga ia dapat bergaya dengan temannya sesama
pemakai jins belel? Ketika ia mendatangi took bekas, ia begitu takjub dengan
harga jins bekas di Jepang yang mencapai USD 100 atau lebih, sementara di
Amerika sendiri hanya dijual seharga USD 1-2 saja. Maka, seketika terpikir oleh
Leavitt untuk membeli jins-jins bekas dari toko-toko bekas di Amerika, untuk
dijual di berbagai negara yang sedang terkena demam jins belel. Akhirnya ia
pindah ke AS dan mendirikan perusahaan yang mengumpulkan jins-jins bekas. Pada saat
ia mengungkapkan ide itu kepada temannya, mereka mengatakan bahwa itu adalah ide
gila. Faktanya, hingga lebih dari tiga dekade sejak Leavitt menjalankan usahanya,
“kegilaan” dan ”kebodohan” generasi muda yang menggandrungi jins belel masih
terus berlangsung.
Selain Leavitt, masih banyak
manusia “bodoh” yang dikisahkan oleh Norton. Rovio, pencipta Angry Birds, pada
mulanya juga disepelekan ketika menciptakan permainan dimana pemainnya tidak
melakukan apapun kecuali melempar burung-burung ke babi-babi. Faktanya, akhir
tahun 2011 Rovio mengkonfirmasi keuntungan yang diperoleh sebesar USD 106 juta.
Demikian pula Sara Blakely, penemu Spanx, stoking pas badan tanpa bagian kaki. Pada
waktu itu, yang disebut stoking adalah kain tipis dan elastis khusus untuk
kaki, bukan untuk bagian lain selain kaki. Sara justru membalikknya, sehingga
saat mendatangi pabrik pembuat stoking, dia mendapat respon negatif dan
dikatakan bahwa itu adalah ide bodoh dan tidak masuk akal. Namun bagi Sara,
hanya karena orang menyebutnya sebagai ide bodoh, tidak berarti bahwa itu
benar. Terbukti, dengan usaha barunya merevolusi dunia perstokingan ini, Sara mampu
mengembangkan tabungan pribadinya yang semula hanya sebesar USD 5,000 menjadi
lebih dari USD 1 juta.
Ada lagi cerita tentang Jeff
Bezos. Awal tahun 1990-an dia sudah bekerja di Wall Street, bergaji tinggi,
bahagian, dan memiliki segalanya, termasuk ide yang luar biasa bodoh. Pada waktu
itu, teknologi internet sudah semakin maju yang menawarkan peluang-peluang baru
bagi orang-orang kreatif dan berjiwa entrepreneur seperti Bezos. Maka,
muncullah ide “bodoh”nya untuk mundur dari pekerjaannya dan memulai sebuah
usaha baru jual beli buku melalui internet. Ketika alasan mundur itu diajukan kepada
bossnya, si boss mengatakan: “Kau tahu, ide ini kedengarannya sangat bagus,
tetapi sepertinya akan lebih bagus lagi untuk orang yang belum memiliki
pekerjaan yang bagus.” Bezos tetap dalam pendiriannya, dan bersama istrinya ia
pindah dari New York ke Seattle untuk memulai sebuah situs dari garasinya, yang
kita kenal sekarang dengan Amazon.com.
Cerita tentang Leavitt, Rovio,
Sara, atau Bezos menambah panjang deretan manusia-manusia “bodoh” sebelumnya. Misalnya
saja, karena “kebodohannya” Walt Disney pernah dipecat oleh editor surat kabar
yang menilai Disney kurang imajinasi dan tidak memiliki ide bagus. Begitu pula
Michigan Savings Bank pada tahun 1903 yang menasihati pengacara Henry Ford
untuk tidak berinvestasi pada Ford Motor dengan alasan bahwa kuda adalah
transportasi abadi, dan mobil hanyalah barang baru yang terlalu
dibesar-besaran.
Ide-ide “bodoh” memang selalu terlihat
“bodoh” pada masanya, sehingga sering ditolak oleh pihak lain. Sebut saja
misalnya pada tahun 1876 dimana Western Union menolak telepon dan menyatakan
dalam memo mereka bahwa “telepon sama sekali tidak berharga bagi kami”. Atau lihat
juga kasus pengembangan satelit. Pada tahun 1961, T. Craven, komisaris FCC
berkata bahwa tidak ada kemungkinan satelit ruang angkasa akan digunakan untuk
memberikan layanan telepon, telegraf, televisi, atau radio di wilayah Amerika. Bahkan
seorang manusia jenius sekelas Thomas Alva Edison dianggap bodoh oleh gurunya,
sehingga si guru mengatakan kepada penilik sekolah bahwa tidak ada untungnya
membiarkan Edison bersekolah lebih lanjut disana.
Apa yang dilakukan oleh
orang-orang “gila” dengan gagasan “bodoh”nya, sesungguhnya menunjukkan kecerdasan
mereka yang mampu berpikir diluar kotak (out
of the box thinking). Mereka mampu melihat peluang dan masa depan yang
tidak dilihat orang lain (see the unseen);
mereka mampu berpikir sesuatu yang tidak terpikirkan oleh orang lain (think the unthinkable); meramalkan
sesuatu yang tidak pernah terbayangkan orang lain (predict the unpredictable); dan mereka memiliki imajinasi tentang
masa depan yang begitu kuat dan mengakar dalam keyakinan mereka.
Belajar dari orang-orang “bodoh” namun
hebat tadi, mestinya membawa kita untuk berani berbeda, berani mengungkapkan
gagasan, berani menghadapi kebaruan, berani meninggalkan kenyamanan, berani
dianggap bodoh, dan berani mengambil resiko atas setiap “kebodohan” yang kita
lakukan. Jika ada orang yang berani menilai gagasan kita sebagai gagasan bodoh,
anggap saja mereka orang-orang medioker yang terbatas jangkauan pemikirannya. Jika
ada orang lain yang meragukan gagasan kita, percayalah bahwa gagasan kita
adalah kecerdasan baru yang baru bisa diterima oleh cara berpikir generasi yang
akan datang. Teruslah untuk berpikir berbeda yang penuh alternatif, atau
berpikir terbalik yang sarat dengan spirit inovasi (against the mainstream, creating our own mainstream). Sunggung beruntung
planet bumi kita jika banyak penghuninya yang masuk kategori “bodoh” tipe ini.
Jakarta, 4 Juni 2014.
*tepat tiba di kampus
pejompongan, siap menguji proyek perubahan peserta diklatpim 2*
Tidak ada komentar:
Posting Komentar