Catatan saya kali ini masih
terkait dengan Inpres No. 4/2014 tentang Penghematan
dan Pemotongan Belanja K/L Dalam Rangka Pelaksanaan APBN 2014. Keinginan
Presiden untuk melakukan efisiensi sebesar Rp 100 trilyun dengan memangkas
anggaran K/L, dirasakan selaksa killing
punch-nya Mike Tyson yang membuat K/L pingsan atau mati suri. Pemotongan anggaran
itu secara langsung menghentikan pembicaraan tentang program-program prioritas
nasional atau prioritas bidang. Jangankan untuk membiayai kegiatan strategis,
pemeliharaan gedung dan kebersihan-pun terancam berhenti. Aparat pemerintah
terancam “menganggur” karena tidak dapat menjalankan aktivitas yang telah
direncanakan.
Jika mau jujur, maka hakekatnya
pemerintah sedang mengalami hibernasi atau government
shutdown. Kebijakan penghematan yang
super ketat ini harus dibayar mahal dengan merosotnya produktivitas lembaga secara
drastis, bahkan banyak program yang berhenti sama sekali. Negara nampak sekali
sudah berada pada kondisi gawat darurat, yang secara de facto bisa dikatakan sudah bangkrut. Jika dianalisis dengan teknik
SWOT, situasi seperti ini nampaknya masuk dalam kuadran ke-4 dimana organisasi
menghadapi ancaman dari luar dan pada saat yang bersamaan memiliki kelemahan
internal yang sangat besat, sehingga strategi yang bisa diambil hanyalah
bertahan agar masalah yang dihadapi tidak semakin parah. Dan memang, Inpres No.
4/2014 tidak memiliki spirit untuk mengembangkan strategi ofensif yang
berorientasi pertumbuhan atau bahkan juga strategi diversifikasi. Fakta seperti
ini tentu saja menjadi legacy yang
tidak diharapkan dari Kabinet Indoensia Bersatu II di ujung masa baktinya,
karena tidak mengakhiri tugas dalam kondisi yang baik (husnul khatimah).
Meskipun “krisis” keuangan dapat
dirasakan secara nyata (tanpa harus dinyatakan), sungguh disayangkan bahwa
pemerintah seperti tidak memiliki contingency
plan selain memangkas anggaran K/L secara besar-besaran. Jika faktor yang
menyebabkan beban APBN meledak adalah subsidi BBM yang membengkak, pemerintah
tidak berani mengambil resiko dengan menaikkan harga BBM, padahal itu adalah
kebijakan yang paling rasional, meskipun memang tidak populis. Pemerintah juga
seperti gagal mendongkrak kinerja sektor riil dan UMKM maupun sektor non-migas
lainnya sebagai andalan sumber penerimaan negara. Neraca perdagangan Indonesia
dengan berbagai negara semakin timpang dengan defisit di pihak Indonesia dan
surplus di negara lain. Bahkan dengan Vietnam-pun neraca perdagangan kita
semakin tidak seimbang. Pemerintah ternyata lebih memilih memangkas anggaran
sendiri ketimbang mencari opsi kebijakan yang lebih tepat. Dengan memotong
anggaran sendiri, maka sindrom “penyakit perut diobati dengan obat sakit
kepala” menjadi tidak terelakkan.
Disayangkan pula bahwa dalam
menghadapi krisis besar saat ini pemerintah tidak belajar dari pemerintah AS
yang belum lama ini mengalami government
shutdown. Pada waktu itu, pemerintah AS mengambil kebijakan yang sangat
tidak populis dengan merumahkan ribuan PNS dan menutup instansi-instansi
tertentu yang memang tidak produktif. Sementara di Indonesia, sangat tidak
jelas apa skenario jangka pendek, jangka menengah, dan jangka panjang untuk
memastikan krisis seperti ini tidak lagi terjadi di kemudian hari.
Itulah sebabnya, saya mencoba melempar
ide tentang reformasi sektor keuangan yang harus dilaksanakan dengan sangat
segera. Bagi saya, pengalaman pahit dalam penyelenggaraan pemerintahan kali ini
– untuk tidak menyebut kegagalan pemerintah – adalah momentum yang sangat baik
untuk melakukan reformasi total sistem keuangan/penganggaran kita selama ini.
Sebagai orang yang tidak berasal dari disiplin ekonomi dan keuangan, sangat
mungkin ide saya dinilai tidak layak oleh mereka yang berlatar pendidikan
ekonomi atau bekerja di sektor keuangan. Tidak ada masalah bagi saya. Namun
sebagai praktisi yang turut menggunakan dan sedikit mengetahui seluk beluk
perencanaan hingga pemanfaatan anggaran publik, saya memiliki pengalaman yang
mengantarkan pada kesimpulan bahwa sistem keuangan dan/atau penganggaran kita
saat ini memang amat sangat buruk yang terbukti telah melahirkan krisis besar
saat ini. Pendapat saya ini tidak berbasis pada teori ekonomi apapun, namun
lebih pada refleksi berbasis hal-hal yang saya temui dalam tugas-tugas saya
selaku PNS yang menduduki jabatan struktural.
Pertama,
saya sangat tidak setuju sejak awal tentang sistem at cost, dimana PNS dalam perjalanan dinas dibiayai sesuai biaya
riil yang dibayarkan, sepanjang tidak melampaui batas yang ditetapkan. Sebagai
contoh, seseorang boleh membeli tiket Garuda atau Lion yang promo, atau bahkan boleh
pula bepergian dengan kereta api atau bis kota. Pemerintah hanya mengganti
sesuai bukti tiket. Tentu saja, tidak ada pegawai yang ingin melakukan
penghematan dengan memberi tiket Lion yang promo, apalagi kereta api. Contoh
lain, untuk pejabat setingkat Eselon II dapat menginap di hotel berbintang
dengan tarif berkisar Rp 1 juta. Jika dia memilih tidur di losmen yang tarifnya
hanya Rp. 200 ribu, maka hanya itulah yang dibiayai oleh negara. Tentu saja,
semua pejabat cenderung mengambil kelas kamar yang maksimal sesuai standar, dan
tidak ada kesadaran untuk menghemat. Singkatnya, kebijakan at cost itu adalah model pemborosan yang dibalut oleh dalih
efisiensi. Oleh karena itu, sistem ini harus dibuang jauh-jauh dan diciptakan
model incentive dan disincentive dalam penggunaan dana
perjalanan dinas. Instansi dan pejabat yang bisa melakukan penghematan anggaran
perjalanan dinas mereka, mestinya mendapat penghargaan. Penghargaan ini tidak
perlu berupa uang, namun bisa berupa plakat seagai pegawai berintegritas, atau
pengumuman secara resmi dalam website instansi pemerintah, atau diundang dalam
forum tertentu di kantor kepresidenan, dan seterusnya.
Terkait dengan upaya penghematan
sebagaimana dikemukakan diatas, maka reformasi kedua yang bisa dilakukan adalah dengan mengubah sistem zero budget yang diterapkan selama ini.
Dengan sistem zero budget ini,
pemerintah selalu “harus” menghabiskan anggaran setiap akhir tahun.
Ketidakmampuan menyerap anggaran dianggap sebagai kinerja yang rendah dan
diancam dengan pengurangan anggaran pada tahun berikutnya. Sebenarnya ini tidak
terlalu salah, mengingat kebutuhan program dan anggaran sudah harus
direncanakan secara matang, sehingga logikanya tidak akan terjadi sisa
anggaran. Namun faktanya, dalam pelaksanaan anggaran dan kegiatan ada beberapa
hal yang bisa diefisienkan, misalnya mengurangi jumlah pegawai dalam perjalanan
dinas, atau mengurangi hari dan lokus kunjungan, mengganti pesawat dengan
maskapai yang menyediakan tiket murah, menginap di hotel standar atau di rumah saudara/teman,
mengurangi jumlah nara sumber, menjalankan kegiatan sepenuhnya di kantor dan
menghundari rapat-rapat di hotel, dan masih banyak lagi cara untuk menempuh
efisiensi tanpa harus mengganggu output
dari kegiatan.
Maka, mindset efisiensi itu harus melekat pada setiap pegawai/pejabat,
baik yang menggunakan uang maupun yang merencanakan (Bappenas), mengalokasikan
(Kementerian Keuangan), membahas (Komisi dan Badan Anggaran DPR), maupun yang
memeriksa (BPK). Dengan mindset
efisiensi tadi, maka besaran sisa anggaran (SILPA) di sebuah instansi justru
akan menjadi indikator kemampuannya melakukan efisiensi anggaran. Dalam kaitan
ini, maka akan lebih baik jika SILPA tadi dikembalikan kepada instansi yang
bersangkutan untuk dapat dimanfaatkan dalam perencanaan anggaran tahun
berikutnya. Ini akan menimbulkan motivasi besar untuk self-assessment bahkan self-blocking
terhadap mata-mata anggaran yang tidak prioritas, untuk dialihkan dalam
program yang lebih mendesak, atau untuk membiayai investasi fisik maupun personil.
Sistem ini sudah lama berlaku untuk kalangan pemerintah daerah, sehingga tidak
ada salahnya untuk diadopsi dalam sistem anggaran K/L.
Alternatif ketiga untuk mereformasi sektor keuangan adalah dengan mengubah
pola perencanaan yang selalu berbasis baseline
anggaran tahun sebelumnya untuk menetapkan pagu anggaran tahun berjalan
atau tahun yang akan datang. Dengan sistem ini, setiap instansi mendapat
tambahan anggaran dengan persentase yang relatif sama, misalnya antara 10-15
persen setiap tahunnya. Celakanya, penambahan anggaran itu tidak didasarkan
pada analisis kebutuhan pembiayaan program, tidak didukung oleh skala prioritas
yang bisa dibandingkan antar instansi, dan tidak ada sistem kompetisi yang
sehat untuk mendapatkan anggaran. Akibatnya, instansi yang telah terlanjur
memiliki anggaran sangat besar, akan mendapat tambahan yang besar pula,
sementara instansi yang anggarannya kecil, penambahannyapun kecil. Sebagai
contoh, sehebat apapun LAN berkontribusi dalam membangun kompetensi pegawai,
dan sestrategis apapun program diklat kepemimpinan perubahan, tetap saja tidak
memungkinkan mendapat tambahan anggaran yang signifikan. Fenomena ini
menagaskan bahwa sistem anggaran berbasis kinerja (performance based budgeting) sesungguhnya belum berjalan di negeri
ini. Padahal, secara teori telah lama kita kenal konsep competitive government, dimana sebuah instansi untuk bisa
memperoleh anggaran harus berlomba untuk meyakinkan bahwa proposalnya memiliki
nilai dan urgensi sangat tinggi untuk pembangunan dan perbaikan bangsa. Dari
mekanisme kompetisi itulah kemudian ditetapkan mana program yang menjadi
prioritas dan mana yang hanya sekedar rutinitas belaka.
Reformasi keempat yang saya pikirkan adalah perlunya keseimbangan antara cost-center dengan revenue center. Selama ini instansi pemerintah adalah cost center yang hanya bisa menghabiskan
anggaran tanpa kemampuan entreprenership
dan berpikir kreatif untuk mengurangi ketergantungannya terhadap anggaran
negara. Akibatnya, begitu kebijakan seperti Inpres No. 4/2014 keluar, instansi
banyak yang bingung dan kehilangan orientasi dalam pelayanan publik yang harus
mereka jalankan. Padahal, sejak lama sudah banyak gagasan tentang perlunya
pemerintah untuk berpikir seperti swasta. Sebagai contoh, awal 1990-an lahir
buku karangan David Osborne dan Peter Plastrik berjudul Reinventing Government, yang sempat menjadi perbincangan banyak
orang di Indonesia. Buku yang ditulis karena hasil poling yang menunjukkan
bahwa “pemerintahan AS sudah mati” ini menawarkan nilai baru yang harus
diadopsi oleh pemerintah, salah satunya adalah prinsip wirausaha yang harus
lebih menghasilkan sesuatu dari apda membelanjakan (earning rather than spending). Prinsip ini dapat dilakukan,
misalnya dengan menetapkan biaya yang harus dibayarkan pengguna atas dampak
positif yang dihasilkan dari pelaksanaan fungsi pemerintah tertentu (impact fees); atau pendapatan atas
investasi yang dilakukan sehingga dapat digunakan sebagai insentif seperti dana
usaha (swadana). Sayangnya, ketika kita telah memiliki sistem pembiayaan
organisasi melalui Inpres No. 38/1991 tentang Unit Swadana dan Tata Cara
Pengelolaan Keuangan, justru aturan ini hilang setelah semangat pemerintahan
wirausaha diperkenalkan.
Secara alamiah memang karakter pemerintah
sangat berbeda dengan swasta, namun seiring dengan perkembangan jaman, batas-batas
antara keduanya semakin menipis, sementara ruang irisan (interseksi) semakin
membesar. Artinya, banyak fungsi pemerintah yang bisa diserahkan kepada swasta,
sementara beberapa sistem dan budaya kerja swastapun perlu diadopsi oleh
kalangan sektor publik. Dalam hubungan ini, dibutuhkan pemerintah dengan DNA
baru, kecerdasan baru yang tidak sekedar mengedepankan prinsip rule driven namun mengabaikan mission driven, serta mindset baru yang menempatkan anggaran
pemerintah bukan sebagai sumber daya yang harus dihabiskan melainkan untuk
dikembangkan menjadi benefit yang
semakin besar untuk seluruh rakyat Indonesia. Inilah lesson learned yang perlu dipikirkan agar bangsa ini tidak
terjerumus di lubang yang sama di masa mendatang.
Makasar, 9 Juni 2014
*kamar 1017 hotel clarion,
melanjutkan ide semalam yang tertunda karena laptop low-bat*
Tidak ada komentar:
Posting Komentar