Triple
Helix adalah sebuah konstruksi
sinergis antara pemerintah, industri, dan lembaga penelitian/ pendidikan
(terutama perguruan tinggi) yang diyakini menjadi faktor kunci untuk
berkembangnya inovasi. Dalam sistem konfigurasi ini, pemerintah berkewajiban
untuk menyediakan perangkat kebijakan yang kondusif untuk tumbuhnya iklim usaha
yang sehat dan budaya penelitian di kalangan masyarakat terpelajar, termasuk
penyediaan anggaran dan berbagai skema insentif untuk mendorong knowledge production dan knowledge transfer di berbagai bidang.
Sementara itu, lembaga riset dan perguruan tinggi selain bertugas mendidik
tenaga terampil, juga wajib melakukan penelitian untuk melahirkan ide-ide,
teori-teori. dan model-model ilmu dan pengetahuan baru untuk mempercepat
pencapaian tujuan dan sasaran pembangunan di berbagai sektor. Adapun industri
berperan untuk menyerap produk-produk kreatif perguruan tinggi, menyerap tenaga
kerja, dan menjadi sumber pendapatan bagi masyarakat. Bukankah itu adalah
hubungan yang sangat indah?
Sayangnya,
jangankan integrasi dan kohesi antar tiga pilar tadi, interaksi dan komunikasi
antar sesana lembaga pemerintah, antar sesama perguruan tinggi, dan antar
sesana pelaku industri pun masih sangat lemah. Alokasi anggaran untuk riset dan
inovasi masih teramat kecil, sementara lembaga penelitian pemerintahan masih
berjalan sendiri-sendiri. Meskipun sudah ada ARN (Agenda Riset Nasional) dan
FKK (Forum Komunikasi Kelitbangan), namun keduanya belum mampu memecahkan
persoalan klasik tidak sistematisnya kelembagaan dan program litbang
pemerintah. Akibatnya, overlap
kegiatan dan penganggaran masih menjadi pemandangan biasa bukan hanya antar
instansi, bahkan dalam instansi yang sama.
Kondisi serupa
terjadi pula di kalangan perguruan tinggi. Antar universitas terbentuk
persaingan bukan dalam banyaknya karya ilmiah dan hak cipta yang dihasilknan,
namun lebih pada persaingan menggaet dan meluluskan mahasiswa
sebanyak-banyaknya. Yang terjadi kemudian adalah fenomena mass production yang mengabaikan kualitas. Perguruan tinggi juga
terjebak pada “bisnis intelektual” dengan menjadi konsultan di berbagai tempat
dan menjadikan konsentrasinya mengembangkan ilmu semakin meredup. Inilah yang
dimaksud oleh Heru Nugroho sebagai banalitas intelektual (Negara, Universitas, dan Banalitas Intelektual: Sebuah Refleksi Kritis
Dari Dalam, Pidato Pengukuhan Guru Besar Sosiologi UGM, Februari 2012).
Dunia industri
nampaknya juga terjangkit “penyakit” yang serupa karena terjebak pada nafsu profit maximization dan melupakan
kepentingan bangsa yang lebih besar. Konsep “bapak asuh” dari perusahaan besar
kepada perusahaan kecil tinggal cerita, sementara banyak pengusaha merasa sudah
selesai menjalankan tugas sosialnya setelah mengeluarkan dana CSR (corporate social responsibility).
Pengangguran masih saja menjadi masalah besar bangsa ini karena dunia usaha
tidak sanggup menampungnya. Bahkan sarjana-sarjana menganggur juga semakin
biasa kita saksikan. Banyak perusahaan juga membentuk unit R & D nya
masing-masing dan tidak memanfaatkan hasil riset dari perguruan tinggi. Lembaga
riset perusahaan dan litbang perguruan tinggi seolah-olah adalah dua dunia yang
berbeda dan dipisahkan oleh jarak yang amat jauh.
Deskripsi
diatas mengilustrasikan tidak bekerjanya mekanisme triple helix di negeri kita. Dan ini menjadi faktor yang memperumit
upaya menumbuhkan inovasi. Oleh karena itu, revitalisasi triple helix hanya bisa dilakukan jika ada proses untuk melakukan
revitalisasi peran masing-masing pilar. Dalam hal ini, pemerintah dituntut
untuk menunjukkan komitmen melalui perumusan kebijakan yang berpihak pada
pengembangan ilmu dan teknologi. Anggaran riptek dan litbang sudah saatnya
dinaikkan secara signifikan, paling sedikit 2 persen dari total APBN dan APBD.
ARN perlu disempurnakan dengan memperluas area litbang yang secara riil
dilakukan oleh lembaga litbang pemerintah, sementara mekanisme koordinasi antar
lembaga litbang pemerintah perlu ditata ulang agar dapat menghasilkan efek mainstreaming dalam pengusulan program
dan anggaran litbang. Pemerintah juga harus segera menyusun rancang bangun
pengembangan teknologi dan inovasi dalam jangka menengah dan panjang, yang
antara lain berisi tentang skema pembiayaan program-program strategis
litbang/riptek nasional, skema pengembangan SDM litbang/riptek, dan seterusnya.
Selanjutnya,
perguruan tinggi juga tidak boleh tinggal diam dan bertahta dalam comfort-zone. Para pendekar dari kawah
Candradimuka harus turun gunung dan membantu menyelesaikan masalah aktual yang
dihadapi masyarakat, bukan membantu sebuah lembaga secara personal. Perguruan
tinggi harus memiliki peta permasalahan yang jelas dan menetapkan agenda
litbang yang jitu untuk mengatasi masalah tersebut. pada saat bersamaan,
kalangan industri dituntut semakin membuka diri terhadap dunia luar. Mereka
perlu menjalin kerjasama yang lebih intens dengan perguruan tinggi, misalnya
untuk mengadopsi hasil risetnya, atau untuk menampung para alumninya, untuk
turut membiayai sebagian proyek litbangnya, dan seterusnya. Sebaliknya,
perguruan tinggi juga harus komit untuk memenuhi sebagian kebutuhan pelaku
industri, untuk memobilisasi SDM riset, untuk melakukan inkubasi inovasi, dan seterusnya.
Secara
konseptual, semua upaya itu cukup mudah dilaksanakan, namun yang sulit adalah
komitmen untuk memulainya. Yang pasti, jika negeri ini tidak segera
merekonstruksi triple helix dalam
kerangka Sistem Inovasi Nasional (SIN), jika anggaran litbang/riptek tidak juga
mengalami perbaikan, jika setiap pilar masih saja berpikir egosentris, maka
Indonesia akan semakin tertinggal dengan negara lain dan inovasi hanya tinggal
sebagai mimpi.
Jakarta, 3
Juni 2014
*sepanjang
“jalan kenangan”, tol bonjer yang selalu macet. macet = produktivitas*
Tidak ada komentar:
Posting Komentar