Dalam Pemilu Presiden 2014 ini,
awalnya saya memiliki pilihan yang sudah pasti. Banyak alasan mengapa saya
tidak lagi ada keraguan untuk mendukung salah satu kandidat. Namun belakangan
ini saya mengubah sikap untuk “berdiri di tengah”, meskipun saya akan tetap
menggunakan hak pilih pada saat hari “H” nanti.
Dengan sikap “baru” saya tadi, saya
mencoba untuk melakukan “kampanye” yang saya sebut sebagai kampanye untuk
“politik yang sehat dan pintar” (smart
campaign for healthy and smart politics). Istilah ini saya rumuskan karena
saya mengamati dari berbagai diskusi di media massa, sosial media, maupun
berbagai forum, ada kecenderungan penyebaran virus kebencian dan kebohongan
dari pihak-pihak tertentu. Mereka mem-posting beragam berita, pendapat,
interpretasi, bahkan fakta yang sangat subyektif dan tidak proporsional, serta cenderung
menjadi fitnah dan black campaign.
Meski hanya bersifat sementara, namun saya melihat fenomena ini berpotensi
menumbuhkan distrust atau sikap
saling tidak percaya, serta ungroup atau
renggangnya hubungan antar kelompok sosial dalam masyarakat. Dalam skala kecil
mungkin hal ini bisa ditolerir, namun jika tidak dikelola dengan conflict management yang baik, maka akan
bisa menjadi menimbulkan efek bola api yang semakin luas.
Itulah sebabnya, saya memutuskan
untuk bergeser ke wilayah “tengah” dengan melempar berbagai postings atau
status yang berhaluan “tengah”. Tujuan saya adalah membangun collective awareness, collective solidarity,
collective vision, sekaligus collective
action, bahwa beragam perbedaan bangsa Indonesia (termasuk perbedaan
pilihan calon presiden), akan tetap disatukan oleh kesamaan visi, nasib,
tujuan, dan cita-cita mewujudkan bangsa yang bersatu, berdaulat, adil, dan
makmur.
Dengan semangat inilah, saya menulis
berbagai status guna mengurangi friksi antar individu dan antar kelompok,
sekaligus menguatkan ikatan sosial diantara sesama anak bangsa. Adapun status
yang saya unggah melalui media Facebook tersebut adalah sebagai berikut:
1. Memilih calon
presiden itu banyak alasannya: 1) karena taqlid dengan seorang tokoh tertentu, pokoke pasrah bongkokan, pejah gesang
ndherek panjenengan; 2) karena kesesuaian visi dan program yang ditawarkan
kandidat dengan harapan pemilihnya; 3) karena relasi dan ikatan sosial (teman,
kerabat, tetangga, asal daerah yang sama, dll); 4) karena taat aturan dan sudah
terlanjur mendapat undangan untuk mencoblos meski gak tahu siapa yang akan dipilih dan
untuk apa memilih; 5) karena faktor pengaruh tertentu (money politics, iming-iming mendapat jabatan, harapan dapat proyek,
dll); dan alasan-alasan lainnya (silakan ditambahkan sendiri).
Apapun alasan anda semua,
tetaplah memilih. Tidak masalah pilihan anda menang atau kalah. Apapun hasilnya
adalah pilihan rakyat yang harus dihormati. Rakyatlah yang akan menentukan siapa
pemimpin terbaik diantara mereka. Maka, jika anda dan kita semua merasa menjadi
rakyat, inilah saatnya anda menjadi penentu arah kemana bangsa ini akan dibawa ....
2. Media terbelah,
Kiai terbelah, Jenderal terbelah, LSM terbelah, Birokrat terbelah, Mahasiswa
terbelah, Tetangga terbelah, bahkan Keluarga juga terbelah. Semua hanya karena
fanatisme sempit No. 1 dan No 2. Ayo ah
kita melihat hal yang lebih besar dari sekedar 1 atau 2, yaitu: kepentingan
bersama, tujuan bersama, kehidupan bersama, kemanfaatan bersama, kesejahteraan
bersama ...
Selamat menentukan pilihan tanpa prasangka, serta
cerca dan cela yang tanpa etika. Ayo kita bangun budaya politik yang sehat dan
kokoh untuk membuktikan bahwa konsolidasi demokrasi di Indonesia sudah berhasil
!!
3. Tidak ada 1 kalau
tidak ada 2, dan tidak ada 2 kalau tidak ada 1. Sama seperti siang dan malam,
keduanya selalu berdampingan, bergantian, berhubungan, dan berpelukan.
No 1 dan No 2 memang berbeda, namun keduanya sama-sama
bertemu dalam cawan yang sama bernama Indonesia yang toleran, beradab, dan
indah. Sama juga seperti asam dan garam, meski datang dari tempat yang
berjauhan namun ketemu dalam cawan yang sama yang menjadikan rasa enak, gurih,
dan lezat.
So, jangan pertentangkan 1 dengan 2. Biarkan keduanya
bergerak dinamis dalam suasana harmonis. Ayo kita buat keduanya menggelorakan
spirit silih asah, silih asih, dan silih asuh, seperti siang dan malam, atau
seperti asam dan garam.
4. Obama
dari negeri Paman Sam memberi contoh yang baik untuk kedua kandidat capres kita
dengan mengatakan "yesterday's
competitor is today's collaborator", sehingga beliau mengangkat
Hillary Clinton sebagai Menteri LN. Saya sedang berandai-andai, andai saja
prinsip itu juga bisa berlaku di negeri ini nantinya ...
Ya, kompetisi selalu
bersifat musiman, sedang kolaborasi itu abadi. Semoga prinsip ini tidak
dibolak-balik oleh para pendukung kedua kubu yang nampaknya semakin kehilangan
akal sehatnya, hehe ...
5. Saya
yakin, Gerindra itu memperjuangkan demokrasi Indonesia. Sayapun yakin, PDIP itu
punya gerakan mewujudkan Indonesia Raya. 1 dan 2 itu, atau Gerindra dan PDIP
itu ibarat satu keping mata uang dengan dua sisi yang berbeda. Mau
dibolak-balik berapa kalipun, nilai mata uang itu tetaplah sama. Jadi, yang
suka bagian gambar, lanjutkan; dan yang suka bagian angka, teruskan saja. Yang
1 itu sesungguhnya 2, dan yang 2 itu hakekatnya 1. Siapapun yang nantinya dipilih
lebih banyak, pasti akan menjadi mitra bagi yang dipilih lebih sedikit dalam
sistem pemerintahan yang partisipatif dan kolaboratif. Jadi, untuk apa kita
pertentangkan apalagi permusuhkan keduanya? Ayo kita simpan energi untuk masa
depan negeri, jangan hanya berpikir untuk hari ini.
6. Sekedar
mengingatkan bagi yang lupa, beberapa butir pengamalan Pancasila, khususnya
dari Sila Kemanusiaan itu meliputi: 1) saling mencintai sesama manusia; 2) mengembangkan
sikap tenggang rasa, dan 3) tidak semena-mena terhadap orang lain.
Nah, saat menulis
status, membuat komentar, memforward berita, dll, sudahkah anda memperhatikan
semangat tsb? Jika belum, boleh jadi anda harus mengikuti lagi Penataran P4
Pola 100 jam, hehe ...
7. Mencintai
Indonesia itu tanpa syarat, tidak boleh terdistorsi oleh kecintaan terhadap
partai politik tertentu, terhadap tokoh tertentu, terhadap golongan tertentu,
terhadap suku tertentu, terhadap aliran tertentu, dst. Mencintai Indonesia itu
tidak boleh luntur hanya karena diantara kita beda status sosial, beda tingkat
pendidikan, beda latar belakang budaya, atau beda pilihan calon presiden.
Mencintai Indonesia itu apa adanya ... Ayo, buktikan kecintaanmu pada negerimu
Indonesia !!
8. Bagi saya, program-program yang
ditawarkan oleh Prabowo dan Jokowi itu tidak perlu dilihat sebagai dikotomi. Kedua
tokoh itu juga tidak sedang memainkan strategi “zero-sum game” atau “negative-sum
game”. Visi mereka berdua itu bukanlah thesis dan antithesis, melainkan
diskursus yang bermutu untuk dijadikan sebagai konsensus nasional. Bagi saya,
materi kampanye dan debat yang diusung keduanya akan saling menghasilkan energi
bagi kedua belah pihak, karena yang satu akan belajar dari yang lain. Jadi,
debat Capres itu adalah strategi “positive-sum
game” dalam membangun sistem politik yang cerdas. Sungguh aneh jika
kemudian para supporter dan simpatisan kedua kubu menjadikannya kesempatan
untuk saling ejek dan saling ledek, saling pojok dan saling olok, saling
pancing dan saling banting, dan seterusnya.
9. Nasionalisme itu adalah tidak marah
atau terusik ketika sahabat kita berbeda pendapat. Nasionalisme itu adalah
tidak kehilangan kepercayaan sesama teman meski beda aliran. Nasionalisme itu
adalah menjaga harmoni dan toleransi sekalipun saudara kita berada di seberang
sana. Nasionalisme itu adalah terus optimis dan berharap yang terbaik untuk
bangsa & negara. Nasionalisme itu adalah terus bekerja keras dan menjaga
konsistensi di jalur masing-masing.
Politik yang sehat membutuhkan nasionalisme
yang sehat pula, dan pemilu yang cerdas membutuhkan nasionalisme yang cerdas
pula. Ayo kawan-kawan, kita tunjukkan bahwa kita semua memiliki semangat
nasionalisme yang sehat dan cerdas itu !!
Sampai dengan artikel ini saya
tulis, akan sangat boleh jadi jumlah postings / status saya akan semakin
bertambah. Bagi saya, ini adalah kontribusi saya untuk negeri yang telah rela
menjadi tempat kelahiran saya, dan tempat kelak saya akan kembali. Meski
mungkin tidak berarti, paling tidak saya telah mencoba sesuatu. Sebab,
kecintaan saja (kepada bangsa, keluarga, lembaga, dan sebagainya) tidaklah
cukup. Kecintaan terhadap sesuatu haruslah dibuktikan dengan sesuatu yang
nyata, sekecil apapun itu.
Jakarta, 17 Juni 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar