Senin, 02 Juni 2014

Apa dan Bagaimana Difusi/Diseminasi Inovasi?


Salah satu bagian terpenting dari manajemen inovasi adalah difusi atau diseminasi. Tanpa adanya difusi, maka inovasi tidak akan menghasilkan kemanfaatan yang besar, sama halnya majelis ilmu yang tidak didatangi oleh anggotanya, gula yang tidak dikerubuti oleh semutnya, atau penyanyi tanpa pendengarnya. Sebab, inovasi pada hakekatnya bukanlah tujuan, melainkan hanya sebuah cara untuk membuat hidup seseorang atau suatu institusi lebih baik dan lebih bermakna, dengan cara memberi makna untuk orang lain. Oleh karena itu, inovasi baru akan mendatangkan kemanfaatan yang lebih besar jika dapat diketahui secara luas oleh pihak-pihak diluar penggagas atau pelakunya, dan akan semakin bermanfaat jika dapat diterapkan oleh semakin banyak pihak. Inovasi juga tidak berarti selesai sekali ditemukan, namun selalu membutuhkan perbaikan dan peningkatan secara terus-menerus. Singkatnya, inovasi selalu membutuhkan inovasi-inovasi lainnya. Disinilah pentingnya difusi / diseminasi, sebagai sebuah media interaksi gagasan yang saling mengasah dan menimbulkan inspirasi baru. 

Difusi inovasi sangat diperlukan karena menurut Everett M. Rogers (Diffusion of Innovations, 1983, 3rd Edition, London: The Free Press) terdapat gap yang sangat lebar antara apa yang diketahui dengan apa yang dipraktekkan. Selain itu, difusi juga diperlukan karena adanya perbedaan keyakinan dan tradisi/budaya dalam suat kelompok sosial. Kegagalan diseminasi di Los Molinos, Peru, dalam kasus peningkatan derajat kesehatan masyarakat dengan cara membuat kakus dan merebus air minum, membuktikan kuatnya pengaruh tradisi dalam mengadopsi atau menolak inovasi baru. Selain itu, diseminasi juga diperlukan untuk mempercepat penerapan sebuah inovasi. Jika ada 10 kelompok sosial yang menemukan masing-masing 1 inovasi, kemudian saling mengkomunikasikan dengan kelompok lain, dan selanjutnya setiap kelompok mengadopsi inovasi dari 9 kelompok lainnya, maka setiap kelompok akan memiliki 10 inovasi tanpa harus memikirkan, merencanakan, dan mengelola secara satu per satu.  

Difusi (inovasi) sendiri adalah bagian dari atau bentuk spesifik dari komunikasi. Dalam buku berjudul Communication of Innovations: A Cross-Cultural Approach (Everett M. Rogers and F. Floyd Shoemaker, 1971, 2nd Edition, London: The Free Press) dijelaskan bahwa perbedaan antara difusi dengan komunikasi adalah bahwa difusi merupakan proses menyebarluaskan inovasi kepada kelompok sosial tertentu yang hanya berhubungan dengan pesan-pesan baru; sedangkan komunikasi meliputi penyampaian segala macam pesan. Selain itu, difusi lebih mengarah pada terjadinya perubahan perilaku, yakni kemauan mengadopsi atau menolak ide baru; sedangkan perubahan yang dibawa oleh komunikasi cukup hanya sampai pada pengetahuan saja. Karena ingin mengubah perilaku, maka difusi sering kali membutuhkan beberapa transmisi atau proses penyampaian pesan kepada kelompok sasaran tertentu; berbeda seperti komunikasi yang cukup dilakukan sekali atau dua kali.  

Disamping itu, komunikasi biasanya akan efektif jika terjadi diantara sumber (source) dan penerima (receiver) yang memiliki atribut sama atau serupa seperti bahasa, kepercayaan, pendidikan, status sosial ekonomi, suku bangsa, kewarganegaraan, dan seterusnya. Ini yang disebut dengan Homophily, yakni derajat kemiripan antara sumber dan penerima pesan. Namun pada difusi inovasi, seringkali terjadi situasi Heterophily, dimana antara sumber dan penerima memiliki karaker yang berbeda. Artinya, inovasi yang terjadi di sebuah negara di Eropa pada sektor atau bidang A, bisa saja didifusikan untuk negara di Asia pada sektor selain A. Adopsi inovasi tidak harus terjadi pada bidang, lembaga, atau tugas-tugas yang sama atau serupa. Adopsi inovasi tidak perlu bersifat Apple to Apple, karena meskipun penghasil inovasi dan penerima inovasi memiliki atribut yang sama, tetap saja adopsi inovasi mensyaratkan modifikasi sesuai dengan kebutuhan dan situasi pengadopsi.  

Proses difusi tentu menginginkan terjadinya sebuah efek. Dalam hal ini, efek difusi (diffusion effect) oleh Rogers and Shoemaker (1971) didefinisikan sebagai: the cumulative increasing degree of influence upon an individual within a social system to adopt or reject innovation. Baik dalam situasi sebuah inovasi diadopsi maupun ditolak, ada tiga bentuk konsekuensi yang muncul dari inovasi, yakni: 1) konsekuensi berfungsi atau tidak berfungsinya inovasi (functional or dysfunctional), tergantung apakah efek inovasi dikehendaki atau tidak dikehendaki; 2) konsekuensi langsung atau tidak langsung (direct or indirect); dan 3) konsekuensi yang nyata atau tersamar (manifest or latent), tergantung pada apakah perubahan itu disengaja oleh suatu kelompok sosial atau tidak. 

Untuk menghasilkan efek dan konsekuensi yang diinginkan, maka difusi inovasi dapat dilakukan dengan menggabungkan antara pendekatan personal dengan pendekatan media massa. Masih menurut Rogers and Shoemaker (1971), pendekatan personal lebih efektif untuk mengubah sikap terhadap inovasi, sedangkan pendekatan media massa penting untuk menciptakan kepedulian dan pengetahuan terhadap sebuah ide baru. Dalam kaitan ini, program-program pendampingan atau advokasi, konsultasi, dan bimbingan teknis dapat dikategorikan kedalam pendekatan personal. Sementara konferensi, publikasi, atau kompetisi inovasi lebih condong masuk dalam kategori pendekatan media massa.  

Satu hal yang sangat penting dan harus dipahami dalam konteks difusi dan diseminasi inovasi ini adalah munculnya beberapa kelompok dengan karakter yang khas. Ada kelompok innovators, yakni sekelompok kecil yang menjadi pionir perubahan, penggagas inovasi, dan bertindak selaku sumber pengetahuan dalam transmisi inovasi. Kelompok innovators ini akan diikuti oleh munculnya kelompok baru yang disebut early adopters, yakni angkatan pertama yang mengikuti trend inovasi sehingga menjadi pembentuk opini di tengah masyarakat. Selanjutnya akan muncul lagi kelompok early majority, yakni kelompok baru yang berjumlah cukup banyak dan telah dapat menerima dan menerapkan inovasi yang diperkenalkan. Pada tahap selanjutnya, muncullah kelompok mate majority yakni mereka yang sebelumnya skeptis dan cenderung menolak inovasi namun akhirnya dapat menerima karena kemanfaatan yang dibawa oleh inovasi tersebut. Dan akhirnya, akan tetap ada kelompok laggards yang tetap tertinggal, serta tidak mampu beradaptasi dengan perkembangan jaman baik karena kompetensinya yang rendah maupun sikapnya yang cenderung negatif terhadap setiap bentuk perubahan.  

Dalam skema seperti itu, maka sebuah difusi akan dapat dikatakan berhasil jika mampu dengan cepat menghasilkan early adopters. Jumlah orang atau lembaga yang mengadopsi tidaklah penting, namun munculnya kelompok ini mengindikasikan bahwa sebuah inisiatif baru cenderung dapat diterima oleh khalayak atau target group tertentu. Jika kaum early adopter sudah muncul, maka proses diseminasi menjadi lebih mudah karena tidak dilakukan sendiri oleh para innovators melainkan juga oleh para adopter yang baru tadi. Dalam kaitan ini pula, keberadaan kaum laggard tidak menunjukkan keburukan atau kegagalan inovasi, karena sebaik apapun inovasi akan selalu ada seseorang yang tidak menyukai dan tidak mengikutinya, karena kebutuhan setiap orang memang berbeda-beda, dan inovasi seringkali tidak bisa memenuhi kebutuhan semua orang. Untuk itu, perlu dipahami bahwa meskipun difusi / diseminasi inovasi sangat diperlukan untuk menjaring sebanyak mungkin pengikut yang prospektif untuk memanfaatkannya, namun inovasi sendiri tidak pernah menjadi kewajiban bagi setiap orang.  

Jakarta, 2 Juni 2014

Tidak ada komentar: