Salah satu
bagian terpenting dari manajemen inovasi adalah difusi atau diseminasi. Tanpa
adanya difusi, maka inovasi tidak akan menghasilkan kemanfaatan yang besar,
sama halnya majelis ilmu yang tidak didatangi oleh anggotanya, gula yang tidak
dikerubuti oleh semutnya, atau penyanyi tanpa pendengarnya. Sebab, inovasi pada
hakekatnya bukanlah tujuan, melainkan hanya sebuah cara untuk membuat hidup
seseorang atau suatu institusi lebih baik dan lebih bermakna, dengan cara
memberi makna untuk orang lain. Oleh karena itu, inovasi baru akan mendatangkan
kemanfaatan yang lebih besar jika dapat diketahui secara luas oleh pihak-pihak
diluar penggagas atau pelakunya, dan akan semakin bermanfaat jika dapat
diterapkan oleh semakin banyak pihak. Inovasi juga tidak berarti selesai sekali
ditemukan, namun selalu membutuhkan perbaikan dan peningkatan secara
terus-menerus. Singkatnya, inovasi selalu membutuhkan inovasi-inovasi lainnya.
Disinilah pentingnya difusi / diseminasi, sebagai sebuah media interaksi
gagasan yang saling mengasah dan menimbulkan inspirasi baru.
Difusi inovasi
sangat diperlukan karena menurut Everett M.
Rogers (Diffusion of Innovations, 1983, 3rd Edition, London: The
Free Press) terdapat gap yang sangat lebar antara apa yang diketahui dengan apa
yang dipraktekkan. Selain itu, difusi juga diperlukan karena adanya perbedaan
keyakinan dan tradisi/budaya dalam suat kelompok sosial. Kegagalan diseminasi
di Los Molinos, Peru, dalam kasus peningkatan derajat kesehatan masyarakat dengan
cara membuat kakus dan merebus air minum, membuktikan kuatnya pengaruh tradisi
dalam mengadopsi atau menolak inovasi baru. Selain itu, diseminasi juga
diperlukan untuk mempercepat penerapan sebuah inovasi. Jika ada 10 kelompok
sosial yang menemukan masing-masing 1 inovasi, kemudian saling mengkomunikasikan
dengan kelompok lain, dan selanjutnya setiap kelompok mengadopsi inovasi dari 9
kelompok lainnya, maka setiap kelompok akan memiliki 10 inovasi tanpa harus
memikirkan, merencanakan, dan mengelola secara satu per satu.
Difusi (inovasi)
sendiri adalah bagian dari atau bentuk spesifik dari komunikasi. Dalam buku
berjudul Communication of Innovations: A
Cross-Cultural Approach (Everett M. Rogers and F. Floyd Shoemaker, 1971, 2nd
Edition, London: The Free Press) dijelaskan bahwa perbedaan antara difusi
dengan komunikasi adalah bahwa difusi merupakan proses menyebarluaskan inovasi
kepada kelompok sosial tertentu yang hanya berhubungan dengan pesan-pesan baru;
sedangkan komunikasi meliputi penyampaian segala macam pesan. Selain itu,
difusi lebih mengarah pada terjadinya perubahan perilaku, yakni kemauan
mengadopsi atau menolak ide baru; sedangkan perubahan yang dibawa oleh komunikasi
cukup hanya sampai pada pengetahuan saja. Karena ingin mengubah perilaku, maka difusi
sering kali membutuhkan beberapa transmisi atau proses penyampaian pesan kepada
kelompok sasaran tertentu; berbeda seperti komunikasi yang cukup dilakukan
sekali atau dua kali.
Disamping itu,
komunikasi biasanya akan efektif jika terjadi diantara sumber (source) dan penerima (receiver) yang memiliki atribut sama
atau serupa seperti bahasa, kepercayaan, pendidikan, status sosial ekonomi, suku
bangsa, kewarganegaraan, dan seterusnya. Ini yang disebut dengan Homophily, yakni derajat kemiripan
antara sumber dan penerima pesan. Namun pada difusi inovasi, seringkali terjadi
situasi Heterophily, dimana antara
sumber dan penerima memiliki karaker yang berbeda. Artinya, inovasi yang
terjadi di sebuah negara di Eropa pada sektor atau bidang A, bisa saja
didifusikan untuk negara di Asia pada sektor selain A. Adopsi inovasi tidak
harus terjadi pada bidang, lembaga, atau tugas-tugas yang sama atau serupa.
Adopsi inovasi tidak perlu bersifat Apple
to Apple, karena meskipun penghasil inovasi dan penerima inovasi memiliki atribut
yang sama, tetap saja adopsi inovasi mensyaratkan modifikasi sesuai dengan
kebutuhan dan situasi pengadopsi.
Proses difusi
tentu menginginkan terjadinya sebuah efek. Dalam hal ini, efek difusi (diffusion effect) oleh Rogers and
Shoemaker (1971) didefinisikan sebagai: the
cumulative increasing degree of influence upon an individual within a social
system to adopt or reject innovation. Baik dalam situasi sebuah inovasi
diadopsi maupun ditolak, ada tiga bentuk konsekuensi yang muncul dari inovasi,
yakni: 1) konsekuensi berfungsi atau tidak berfungsinya inovasi (functional or dysfunctional), tergantung
apakah efek inovasi dikehendaki atau tidak dikehendaki; 2) konsekuensi langsung
atau tidak langsung (direct or indirect);
dan 3) konsekuensi yang nyata atau tersamar (manifest or latent), tergantung pada apakah perubahan itu disengaja
oleh suatu kelompok sosial atau tidak.
Untuk
menghasilkan efek dan konsekuensi yang diinginkan, maka difusi inovasi dapat
dilakukan dengan menggabungkan antara pendekatan personal dengan pendekatan
media massa. Masih menurut Rogers and Shoemaker (1971), pendekatan personal
lebih efektif untuk mengubah sikap terhadap inovasi, sedangkan pendekatan media
massa penting untuk menciptakan kepedulian dan pengetahuan terhadap sebuah ide
baru. Dalam kaitan ini, program-program pendampingan atau advokasi, konsultasi,
dan bimbingan teknis dapat dikategorikan kedalam pendekatan personal. Sementara
konferensi, publikasi, atau kompetisi inovasi lebih condong masuk dalam
kategori pendekatan media massa.
Satu hal yang
sangat penting dan harus dipahami dalam konteks difusi dan diseminasi inovasi
ini adalah munculnya beberapa kelompok dengan karakter yang khas. Ada kelompok innovators, yakni sekelompok kecil yang
menjadi pionir perubahan, penggagas inovasi, dan bertindak selaku sumber
pengetahuan dalam transmisi inovasi. Kelompok innovators ini akan diikuti oleh munculnya kelompok baru yang
disebut early adopters, yakni
angkatan pertama yang mengikuti trend inovasi sehingga menjadi pembentuk opini
di tengah masyarakat. Selanjutnya akan muncul lagi kelompok early majority, yakni kelompok baru yang
berjumlah cukup banyak dan telah dapat menerima dan menerapkan inovasi yang
diperkenalkan. Pada tahap selanjutnya, muncullah kelompok mate majority yakni mereka yang sebelumnya skeptis dan cenderung
menolak inovasi namun akhirnya dapat menerima karena kemanfaatan yang dibawa
oleh inovasi tersebut. Dan akhirnya, akan tetap ada kelompok laggards yang tetap tertinggal, serta
tidak mampu beradaptasi dengan perkembangan jaman baik karena kompetensinya
yang rendah maupun sikapnya yang cenderung negatif terhadap setiap bentuk
perubahan.
Dalam skema
seperti itu, maka sebuah difusi akan dapat dikatakan berhasil jika mampu dengan
cepat menghasilkan early adopters.
Jumlah orang atau lembaga yang mengadopsi tidaklah penting, namun munculnya
kelompok ini mengindikasikan bahwa sebuah inisiatif baru cenderung dapat
diterima oleh khalayak atau target group tertentu.
Jika kaum early adopter sudah muncul,
maka proses diseminasi menjadi lebih mudah karena tidak dilakukan sendiri oleh
para innovators melainkan juga oleh
para adopter yang baru tadi. Dalam kaitan ini pula, keberadaan kaum laggard tidak menunjukkan keburukan atau
kegagalan inovasi, karena sebaik apapun inovasi akan selalu ada seseorang yang
tidak menyukai dan tidak mengikutinya, karena kebutuhan setiap orang memang berbeda-beda,
dan inovasi seringkali tidak bisa memenuhi kebutuhan semua orang. Untuk itu,
perlu dipahami bahwa meskipun difusi / diseminasi inovasi sangat diperlukan
untuk menjaring sebanyak mungkin pengikut yang prospektif untuk
memanfaatkannya, namun inovasi sendiri tidak pernah menjadi kewajiban bagi setiap
orang.
Jakarta, 2
Juni 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar