Bicara tentang
Jokowi pada masa-masa menjelang Pemilu Presiden seperti saat ini, sungguh
dilematis bagi seorang PNS seperti saya yang dituntut untuk netral. Meskipun
secara politik netral dan tidak menunjukkan dukungan secara tersamar sekalipun,
tetap saja bicara tentang dia dengan seabreg prestasinya akan dianggap sebagai
bagian dari “kampanye”.
Dulu, sewaktu
masih menjadi Walikota Solo, Jokowi begitu dielu-elukan dengan segudang
keberhasilannya menyulap Solo menjadi kota yang inovatif dan humanis. Persoalan
pedagang kaki lima (PKL) yang kumuh atau tata kota yang semerawut, bisa
diselesaikan dengan cara-cara yang tidak terpikirkan oleh banyak pimpinan
daerah. Tidak aneh jika kemudian beliau diundang ceramah kemana-mana, dan Solo
dikunjungi oleh ribuan orang dan ratusan instansi hanya untuk bisa melihat
bagaimana transformasi kota ini bisa terjadi dengan begitu baik. Jokowi-pun
menjadi idola media (media darling)
dan kekasih publik (public darling).
Itulah sebabnya, ketika dicalonkan sebagai Gubernur DKI, meskipun dikeroyok
oleh partai-partai lain, namun dengan modalnya sebagai idola tadi Jokowi dapat
meluluhlantakkan semua prediksi, poling dan survey, untuk keluar sebagai
pemenang Pilgub DKI dengan angka yang telak. Jokowi seolah menjawab kerinduan
masyarakat akan datangnya pemimpin yang mampu menyelesaikan banyak masalah
kronis dan klasik di tengah masyarakat. Pendeknya, Jokowi adalah sebuah
fenomena tentang satria piningit dan juru selamat.
Namun dalam
sistem politik kontemporer dewasa ini, “juru selamat” sekalipun akan mendapat
perlawanan dari para kompetitornya. Pada saat Jokowi mulai maju sebagai
kandidat gubernur, Amien Rais mulai “berani” mengkritik Jokowi yang dianggap
tidak berhasil memimpin Solo karena masih banyak penduduk miskin dan berbagai alasan
lainnya, suatu hal yang tidak pernah dilakukannya saat Jokowi masih berstatus
sebagai Walikota Solo. Jokowi juga dianggap bohong dan ingkar janji untuk
menyelesaikan tugasnya sebagai walikota hingga masa baktinya berakhir.
Untunglah, semua keraguan itu dijawab Jokowi dengan kinerja. Saat menjadi
Gubernur DKI, kiprah Jokowi semakin menjadi-jadi. Dengan senjata barunya
bernama “blusukan”, media semakin gencar memuat berita atas aktivitas hariannya
yang makin fenomenal. Tidak ada lagi suara-suara yang menyebutkan Jokowi
bohong, karena dia berhasil memberi kemanfaatan yang jauh lebih luas untuk
masyarakat kelas bawah yang semakin banyak. Tidak sampai 100 hari, Jokowi
langsung meluncurkan Kartu Jakarta Sehat, terlepas dari kontroversi yang
muncul. Pasar Tanah Abang beres ditata dengan apik, Waduk Ria-Rio dan Waduk
Pluit disulap menjadi ruang terbuka hijau dan dikembalikan fungsinya menjadi
wilayah serapan guna menahan banjir. Konsep kampung deret diperkenalkan untuk
mengatasi permasalahan permukiman kumuh, sementara sistem rekrutmen pejabat
dibuat terbuka dan kompetitif. Pendeknya, rentetan gebrakan yang dilakukan
menjadikannya semakin menjadi fenomena. Itulah sebabnya, ketika mekanisme
kepemimpinan nasional bergulir, banyak pihak berharap Jokowi akan naik mimbar
sebagai kandidat presiden pengganti SBY. Ditambah lagi dengan stok pemimpin lama
yang sudah uzur dan terbukti tidak membawa perubahan signifikan terhadap nasib
bangsa, Jokowi tampil sebagai sosok dengan elektabilitas tertinggi dalam
seluruh survey yang dilakukan kapanpun dan oleh lembaga survey manapun.
Nah, dengan
terpilihnya Jokowi sebagai kandidat Presiden saat ini, sentimen anti Jokowi
semakin merebak. Peribahasa yang mengatakan “semakin tinggi pohon akan semakin
kencang anginnya”, benar-benar terjadi pada diri Jokowi. Blusukan yang semula
diberi label sangat indah, tiba-tiba dianggap hanya sekedar upaya pencitraan
yang bisa digantikan dengan pemanfaatan teknologi informasi. Tanpa bermaksud
“membela” Jokowi (karena memang dia tidak butuh pembelaan dari saya dan sayapun
tidak mendapat keuntungan apapun dari Jokowi), bagi saya blusukan itu akan
selalu relevan sampai kapanpun. Aksi Sayidina Umar dan raja-raja terdahulu yang
melakukan penyamaran untuk mengetahui secara langsung masalah rakyat, pada hakekatnya
adalah aksi blusukan. Blusukan ini adalah media yang memungkinkan terjadinya
hubungan interpersonal antara pemimpin dengan warganya, sehingga tidak boleh
digantikan dengan teknologi secanggih apapun. Selain itu, masyarakat secara
teknologi belum memiliki kemajuan yang sama, sehingga gejala digital divide akan selalu mengemuka.
Dalam kondisi seperti itu, teknologi jelas tidak dapat menggantikan peran dan
kehadiran seorang pemimpin.
Selain
penolakan terhadap aksi blusukan, Jokowi juga dicitrakan sebagai capres boneka.
Mungkin ada benarnya kalau mengingat fakta bahwa selama ini capres selalu
berasal dari ketua umum partai atau ketua dewan pertimbangan partai, sementara
Jokowi tidak memiliki darah biru politik sama sekali, melainkan benar-benar berasal
dari rakyat. Bagi saya, kemampuannya menyeruak diantara para petinggi dan elit
partai, dan akhirnya terpilih sebagai kandidat capres, justru menunjukkan
kehebatan seorang Jokowi, sekaligus kehebatan partai pengusung yang rela tidak
menonjolkan elitnya. Ini adalah budaya politik baru yang saya yakin akan lebih
berkembang pada proses pemilihan presiden di masa mendatang. Secara teori,
partai memang bertugas sebagai mesin rekrutmen politik untuk melahirkan
negarawan berbobot, namun tidak ada kewajiban hanya petinggi partailah yang
diusung sebagai kandidat negarawan tadi.
Terlepas dari
itu semua, saya melihat Jokowi memiliki kemampuan yang luar biasa sebagai
kolaborator dalam menangani masalah sosial atau masalah perkotaan. Sejak di
Solo hingga di Jakarta, beliau telah membuktikan dalam banyak kasus, sebut saja
salah satunya adalah penataan Pasar Tanah Abang dan penataan Waduk Pluit.
Jokowi dalam pandangan saya juga seorang inovator ulung yang selalu menawarkan
kebaruan dalam kebijakan yang digulirkan. Sebut saja misalnya saat di Solo dia
memperkenalkan Kartu Solo Sehat dan Solo Pintar. Konsep ini langsung diterapkan
di Jakarta menjadi Kartu Jakarta Pintar dan Jakarta Sehat. Dan jika terpilih
menjadi presiden, diapun sudah berancang-ancang untuk memberlakukan Kartu
Indonesia Sehat dan Indonesia Pintar. Teknik adopsi best practice ini adalah salah satu teknik dalam mendorong
inovasi.
Jika saya
menulis tentang Jokowi ini, sama sekali bukan bagian dari kampanye. Namun saya
sadar bahwa orang bisa saja memiliki pendapat berbeda sekuat apapun saya
meyakinkan bahwa itu tidak benar. Tadinya=pun saya tidak tertarik untuk menulis
tentang hal ini, terlebih dalam situasi seperti saat ini. Namun akhirnya saya
tulis juga sebagai bentuk “curhat” saya karena kasus-kasus yang menyangkut
Jokowi (bahkan juga Rismaharini, walikota Surabaya) untuk sementara harus saya
tangguhkan untuk tidak saya sampaikan dalam berbagai kesempatan mengajar atau
ceramah. Sebab, meski materi ceramah saya arahkan pada substansi, dan saya
jamin tidak ada pretensi dukungan terhadap salah satu capres, namun ada saja
yang berprasangka bahwa saya membawa pesan terselubung dibalik ceramah saya.
Saya sudah jelaskan bahwa jika saya ceramah terkait pembangunan ekonomi, maka
saya pasti akan membawa MP3EI yang karya pak Hatta Rajasa selaku Menko
Perekonomian. Dan kalau itu yang terjadi, bukan berarti pula bahwa saya
mendukung kandidat presiden dan wapres nomor 1. Masalahnya adalah saya bicara
tentang inovasi sektor publik dan kepemimpinan kolaboratif, maka Jokowi
(termasuk Risma) adalah kasus yang sangat tepat menurut saya. Memang masih ada
pemimpin daerah yang inovatif dan kolaboratif, namun karena miskinya publikasi
menjadikan aksi positif mereka tidak terpotret dengan maksimal, sementara
bicara kasus ini harus ada bukti-bukti yang bisa dipertanggungjawabkan (evidence-based). Pertanyaannya, apakah memang selama masa pemilu seperti ini kita
dilarang (secara etika) bicara tentang program seorang kandidat dalam jabatan
lamnaya, dan bukan bicara soal pribadinya? Jika ya, bagi saya itu adalah
kesempatan yang hilang untuk belajar sesuatu yang baik, namun menjadi buruk
karena melekat status politik dari pelakunya sebagai kandidat presiden. Dan ini
menunjukkan bahwa kita belum dewasa dalam berpolitik, dan lebih mengedepankan
emosi dari pada logika dan rasionalitas.
Semoga bangsa
Indonesia akan semakin dewasa secara politik dan kultural, bisa memisahkan mana
yang baik dan tidak, bisa memilah mana yang tulus dan mana yang mengandung
pamrih. Semoga momentum Pemilu Presiden 2014 akan memperkuat persatuan dan
kesatuan antar elemen bangsa, dan bukan sebaliknya.
Jakarta, 12
Juni 2014.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar