Kamis, 12 Juni 2014

Tentang Jokowi

Bicara tentang Jokowi pada masa-masa menjelang Pemilu Presiden seperti saat ini, sungguh dilematis bagi seorang PNS seperti saya yang dituntut untuk netral. Meskipun secara politik netral dan tidak menunjukkan dukungan secara tersamar sekalipun, tetap saja bicara tentang dia dengan seabreg prestasinya akan dianggap sebagai bagian dari “kampanye”.

Dulu, sewaktu masih menjadi Walikota Solo, Jokowi begitu dielu-elukan dengan segudang keberhasilannya menyulap Solo menjadi kota yang inovatif dan humanis. Persoalan pedagang kaki lima (PKL) yang kumuh atau tata kota yang semerawut, bisa diselesaikan dengan cara-cara yang tidak terpikirkan oleh banyak pimpinan daerah. Tidak aneh jika kemudian beliau diundang ceramah kemana-mana, dan Solo dikunjungi oleh ribuan orang dan ratusan instansi hanya untuk bisa melihat bagaimana transformasi kota ini bisa terjadi dengan begitu baik. Jokowi-pun menjadi idola media (media darling) dan kekasih publik (public darling). Itulah sebabnya, ketika dicalonkan sebagai Gubernur DKI, meskipun dikeroyok oleh partai-partai lain, namun dengan modalnya sebagai idola tadi Jokowi dapat meluluhlantakkan semua prediksi, poling dan survey, untuk keluar sebagai pemenang Pilgub DKI dengan angka yang telak. Jokowi seolah menjawab kerinduan masyarakat akan datangnya pemimpin yang mampu menyelesaikan banyak masalah kronis dan klasik di tengah masyarakat. Pendeknya, Jokowi adalah sebuah fenomena tentang satria piningit dan juru selamat.

Namun dalam sistem politik kontemporer dewasa ini, “juru selamat” sekalipun akan mendapat perlawanan dari para kompetitornya. Pada saat Jokowi mulai maju sebagai kandidat gubernur, Amien Rais mulai “berani” mengkritik Jokowi yang dianggap tidak berhasil memimpin Solo karena masih banyak penduduk miskin dan berbagai alasan lainnya, suatu hal yang tidak pernah dilakukannya saat Jokowi masih berstatus sebagai Walikota Solo. Jokowi juga dianggap bohong dan ingkar janji untuk menyelesaikan tugasnya sebagai walikota hingga masa baktinya berakhir. Untunglah, semua keraguan itu dijawab Jokowi dengan kinerja. Saat menjadi Gubernur DKI, kiprah Jokowi semakin menjadi-jadi. Dengan senjata barunya bernama “blusukan”, media semakin gencar memuat berita atas aktivitas hariannya yang makin fenomenal. Tidak ada lagi suara-suara yang menyebutkan Jokowi bohong, karena dia berhasil memberi kemanfaatan yang jauh lebih luas untuk masyarakat kelas bawah yang semakin banyak. Tidak sampai 100 hari, Jokowi langsung meluncurkan Kartu Jakarta Sehat, terlepas dari kontroversi yang muncul. Pasar Tanah Abang beres ditata dengan apik, Waduk Ria-Rio dan Waduk Pluit disulap menjadi ruang terbuka hijau dan dikembalikan fungsinya menjadi wilayah serapan guna menahan banjir. Konsep kampung deret diperkenalkan untuk mengatasi permasalahan permukiman kumuh, sementara sistem rekrutmen pejabat dibuat terbuka dan kompetitif. Pendeknya, rentetan gebrakan yang dilakukan menjadikannya semakin menjadi fenomena. Itulah sebabnya, ketika mekanisme kepemimpinan nasional bergulir, banyak pihak berharap Jokowi akan naik mimbar sebagai kandidat presiden pengganti SBY. Ditambah lagi dengan stok pemimpin lama yang sudah uzur dan terbukti tidak membawa perubahan signifikan terhadap nasib bangsa, Jokowi tampil sebagai sosok dengan elektabilitas tertinggi dalam seluruh survey yang dilakukan kapanpun dan oleh lembaga survey manapun.

Nah, dengan terpilihnya Jokowi sebagai kandidat Presiden saat ini, sentimen anti Jokowi semakin merebak. Peribahasa yang mengatakan “semakin tinggi pohon akan semakin kencang anginnya”, benar-benar terjadi pada diri Jokowi. Blusukan yang semula diberi label sangat indah, tiba-tiba dianggap hanya sekedar upaya pencitraan yang bisa digantikan dengan pemanfaatan teknologi informasi. Tanpa bermaksud “membela” Jokowi (karena memang dia tidak butuh pembelaan dari saya dan sayapun tidak mendapat keuntungan apapun dari Jokowi), bagi saya blusukan itu akan selalu relevan sampai kapanpun. Aksi Sayidina Umar dan raja-raja terdahulu yang melakukan penyamaran untuk mengetahui secara langsung masalah rakyat, pada hakekatnya adalah aksi blusukan. Blusukan ini adalah media yang memungkinkan terjadinya hubungan interpersonal antara pemimpin dengan warganya, sehingga tidak boleh digantikan dengan teknologi secanggih apapun. Selain itu, masyarakat secara teknologi belum memiliki kemajuan yang sama, sehingga gejala digital divide akan selalu mengemuka. Dalam kondisi seperti itu, teknologi jelas tidak dapat menggantikan peran dan kehadiran seorang pemimpin.

Selain penolakan terhadap aksi blusukan, Jokowi juga dicitrakan sebagai capres boneka. Mungkin ada benarnya kalau mengingat fakta bahwa selama ini capres selalu berasal dari ketua umum partai atau ketua dewan pertimbangan partai, sementara Jokowi tidak memiliki darah biru politik sama sekali, melainkan benar-benar berasal dari rakyat. Bagi saya, kemampuannya menyeruak diantara para petinggi dan elit partai, dan akhirnya terpilih sebagai kandidat capres, justru menunjukkan kehebatan seorang Jokowi, sekaligus kehebatan partai pengusung yang rela tidak menonjolkan elitnya. Ini adalah budaya politik baru yang saya yakin akan lebih berkembang pada proses pemilihan presiden di masa mendatang. Secara teori, partai memang bertugas sebagai mesin rekrutmen politik untuk melahirkan negarawan berbobot, namun tidak ada kewajiban hanya petinggi partailah yang diusung sebagai kandidat negarawan tadi.

Terlepas dari itu semua, saya melihat Jokowi memiliki kemampuan yang luar biasa sebagai kolaborator dalam menangani masalah sosial atau masalah perkotaan. Sejak di Solo hingga di Jakarta, beliau telah membuktikan dalam banyak kasus, sebut saja salah satunya adalah penataan Pasar Tanah Abang dan penataan Waduk Pluit. Jokowi dalam pandangan saya juga seorang inovator ulung yang selalu menawarkan kebaruan dalam kebijakan yang digulirkan. Sebut saja misalnya saat di Solo dia memperkenalkan Kartu Solo Sehat dan Solo Pintar. Konsep ini langsung diterapkan di Jakarta menjadi Kartu Jakarta Pintar dan Jakarta Sehat. Dan jika terpilih menjadi presiden, diapun sudah berancang-ancang untuk memberlakukan Kartu Indonesia Sehat dan Indonesia Pintar. Teknik adopsi best practice ini adalah salah satu teknik dalam mendorong inovasi. 

Jika saya menulis tentang Jokowi ini, sama sekali bukan bagian dari kampanye. Namun saya sadar bahwa orang bisa saja memiliki pendapat berbeda sekuat apapun saya meyakinkan bahwa itu tidak benar. Tadinya=pun saya tidak tertarik untuk menulis tentang hal ini, terlebih dalam situasi seperti saat ini. Namun akhirnya saya tulis juga sebagai bentuk “curhat” saya karena kasus-kasus yang menyangkut Jokowi (bahkan juga Rismaharini, walikota Surabaya) untuk sementara harus saya tangguhkan untuk tidak saya sampaikan dalam berbagai kesempatan mengajar atau ceramah. Sebab, meski materi ceramah saya arahkan pada substansi, dan saya jamin tidak ada pretensi dukungan terhadap salah satu capres, namun ada saja yang berprasangka bahwa saya membawa pesan terselubung dibalik ceramah saya. Saya sudah jelaskan bahwa jika saya ceramah terkait pembangunan ekonomi, maka saya pasti akan membawa MP3EI yang karya pak Hatta Rajasa selaku Menko Perekonomian. Dan kalau itu yang terjadi, bukan berarti pula bahwa saya mendukung kandidat presiden dan wapres nomor 1. Masalahnya adalah saya bicara tentang inovasi sektor publik dan kepemimpinan kolaboratif, maka Jokowi (termasuk Risma) adalah kasus yang sangat tepat menurut saya. Memang masih ada pemimpin daerah yang inovatif dan kolaboratif, namun karena miskinya publikasi menjadikan aksi positif mereka tidak terpotret dengan maksimal, sementara bicara kasus ini harus ada bukti-bukti yang bisa dipertanggungjawabkan (evidence-based). Pertanyaannya, apakah memang selama masa pemilu seperti ini kita dilarang (secara etika) bicara tentang program seorang kandidat dalam jabatan lamnaya, dan bukan bicara soal pribadinya? Jika ya, bagi saya itu adalah kesempatan yang hilang untuk belajar sesuatu yang baik, namun menjadi buruk karena melekat status politik dari pelakunya sebagai kandidat presiden. Dan ini menunjukkan bahwa kita belum dewasa dalam berpolitik, dan lebih mengedepankan emosi dari pada logika dan rasionalitas.

Semoga bangsa Indonesia akan semakin dewasa secara politik dan kultural, bisa memisahkan mana yang baik dan tidak, bisa memilah mana yang tulus dan mana yang mengandung pamrih. Semoga momentum Pemilu Presiden 2014 akan memperkuat persatuan dan kesatuan antar elemen bangsa, dan bukan sebaliknya.


Jakarta, 12 Juni 2014.

Tidak ada komentar: