Selasa, 03 Juni 2014

Kompatibilitas Inovasi


Di berbagai kesempatan saya sering mengungkapkan bahwa salah satu kriteria inovasi yang baik dalam bidang administrasi negara adalah bahwa inovasi itu kompatibel dengan sistem diluar dirinya. Kriteria ini memang saya rumuskan atas dasar pertimbangan banyaknya pandangan yang keliru dengan mengartikan inovasi sebagai sesuatu yang tidak sesuai dengan kaidah normatif. Bagi saya, tidak perlu dengan melanggar aturan untuk dapat dikatakan sebagai sebuah inovasi. Justru inovasi yang berbahan bakar kreativitas itu akan tumbuh subur dalam sistem hukum yang didukung oleh budaya ketaatan. Singkatnya, inovasi itu sejalan atau kompatibel dengan hukum atau kebijakan publik. 

Kompatibilitas sendiri dapat diartikan sebagai the degree to which an innovation is perceived as consistent with the existing values, past experiences, and needs of the receiver (Everett M. Rogers and F. Floyd Shoemaker, 1971, Communication of Innovations: A Cross-Cultural Approach, 2nd Edition, London: The Free Press). Dengan demikian, selain harus berjalan seiring dengan hukum atau kebijakan, inovasi juga harus selaras dengan tata nilai yang berkembang dalam masyarakat, gagasan yang sudah dikenal sebelumnya, serta kebutuhan pihak-pihak yang ingin mengadopsi inovasi. 

Jika inovasi ternyata tidak kompatibel dengan sistem diluar dirinya, maka hampir dapat dipastikan bahwa inovasi itu akan gagal. Contoh-contoh di berbagai negara membuktikan hal tersebut. Di India, misalnya, sapi adalah binatang yang dikeramatkan dan dilarang untuk disembelih. Oleh karenanya, tingkat konsumsi daging sapi dan meminum susu sapi menjadi sangat rendah. Pada tahun 1964, para ahli dari AS memperkenalkan susu kambing sebagai pengganti susu sapi, namun ternyata inipun tidak kompatibel dengan nilai agama di India, sehingga gagal diadopsi. Bagi penduduk pedesaan di India, memelihara kambing hanya berlaku untuk kasta terendah dari struktur sosial yang ada, sementara kehormatan seseorang lebih dilihat pada seberapa banyak sapi yang dimiliki. Itulah sebabnya, gagasan untuk menjadikan susu kambing sebagai sumber nutrisi selain sapi menjadi gagal. 

Kegagalan inovasi juga terjadi di pedesaan Peru, dimana kasus infeksi usus begitu merebak karena sistem sanitasi yang buruk dan kebiasaan buang air besar di sembarang tempat. Setiap kali diobati, dalam beberapa minggu mereka akan terjangkit penyakit yang sama. Itulah sebabnya, aparat kesehatan memperkenalkan pembangunan kakus. Pada awalnya penduduk seperti menerima, namun kenyataanya kakus yang sudah dibangun teramat jarang digunakan, karena mereka sudah terbiasa buang air dengan cara jongkok, sehingga merasa risih saat disediakan WC duduk. Masih di Peru, di sebuah desa bernama Los Molinos, pemerintah setempat bermaksud meningkatkan taraf kesehatan dan harapan hidup rakyat dengan cara merebus air sebelum diminum. Di desa itu ada tiga sumber air yang seluruhnya tercemar, yakni mata air yang berjarak 1 mil dari desa, saluran irigasi musiman, dan sumur umum. Setelah dua tahun upaya kampanye memasak air tadi, ternyata hanya 11 dari 200 rumah tangga yang mau mengikuti. Salah satu tradisi di desa itu menyebutkan bahwa sesuatu yang sangat panas atau sangat dingin harus dihindari oleh orang sakit. Maka, seseorang yang jatuh sakit akan menghindar dari makan babi (lambang sangat dingin) atau arak / brandy (lambang sangat panas). Kalaupun mereka merebus air, tujuannya bukan untuk menghilangkan bakteri, melainkan menghilangkan sifat bawaan dari air (yang dipersepsikan sebagai benda sangat dingin). Karena tujuannya bukan untuk membunuh bakteri, maka cara memasaknyapun tidak sampai mendidih yang mematikan bakteri didalamnya.  

Disisi lain, pengetahuan penduduk yang sangat minim tentang kuman juga berkontribusi pada penolakan terhadap inovasi yang ditawarkan. Mereka berargumen, bagaimana mungkin kuman dan mikroba yang begitu kecil bisa hidup di air yang bisa menenggelamkan manusia? Jika kuman dan mikroba itu terlalu kecil, bagaimana mungkin mereka bisa menyebabkan manusia dewasa sakit? Hal ini menjadi sesuatu yang sangat tidak logis bagi penduduk lokal. Masalah lainnya adalah faktor kemiskinan yang parah, yang menyebabkan para ibu rumah tangga tidak punya alat masak serta tidak punya waktu untuk mencari kayu bakar. Meskipun mereka mau menerima manfaat memasak air, tetap saja mereka menolak untuk melakukannya. 

Sementara itu, di sebuah negara Asia (tidak disebutkan pastinya oleh penulis buku), diperkenalkan alat bajak sawah/ladang yang terbuat dari baja, menggantikan alat lama dari kayu. Pada petani menerimanya dengan senang hati, namun hanya dijadikan pajangan di rumahnya dan tidak dipergunakan untuk membajak. Hal ini terjadi karena selama ini mereka membajak dengan satu tangan, sedangkan bajak baja hanya bisa digunakan dengan dua tangan.  

Satu contoh lagi inkompatibilitas inovasi terjadi di sebuah desa di New Mexico, yang diperkenalkan bibit jagung hibrida. Pada tahun 1946, 40 persen dari 84 petani mengadopsi benih baru ini, dan hasilnya sangat spektakuler, dimana panennya menjadi dua kali lipat dari sebelumnya. Pada tahun 1947, jumlah petani yang menggunakan bibit hibrida tadi meningkat lagi menjadi 60 persen dengan hasil yang juga luar biasa. Namun pada tahun 1948, jumlah petani pemakai bibit itu turun drastis menjadi 30 persen, dan akhirnya tidak digunakan sama sekali pada tahun 1949. Apa yang salah dengan hal ini? Jawabanya bukan karena kelemahan inovasi, namun karena istri-istri petani tadi tidak suka dengan jagung hibrida. Selain rasanya yang dianggap aneh, juga tidak cocok untuk membuat Tortilla (kue pipih berbentuk bulat terbuat dari jagung) yang merupakan sumber diet masyarakat. 

Dari berbagai contoh diatas kita dapat belajar bahwa inovasi itu hidup tidak dalam ruang hampa. Inovasi memiliki konteks sosial yang harus diperhatikan oleh para inovatornya. Faktor ekologi perlu diperhitungkan agar inovasi tidak membentur pada sistem (hukum, sosial, ekonomi, budaya, dll) yang sudah eksis di tengah masyarakat yang diharapkan menerima dan mengadopsi sebuah inovasi. Meskipun dalam inovasi selalu terkandung unsur kebaruan, namun bukan berarti harus mengabaikan unsur-unsur lama yang hidup dalam alam pikiran masyarakat (living values). Justru tantangannya adalah bagaimana memperkenalkan sesuatu yang baru tanpa menggusur kearifan lokal dalam masyarakat. Spirit inovasi adalah melakukan perbaikan untuk kemaslahatan manusia (innovation for the sake of human well-being), sehingga inovasi yang membentur sistem diluar dirinya tidak dapat dikatakan sebagai sebuah inovasi. 

Salam Inovasi Tiada Henti !! 

Jakarta, 3 Juni 2014

*di dalam kesendirian dan keheningan malam selalu menghasilkan sesuatu. kini saatnya kembali ke pangkuan anak istri di rumah*

Tidak ada komentar: