Di berbagai
kesempatan saya sering mengungkapkan bahwa salah satu kriteria inovasi yang
baik dalam bidang administrasi negara adalah bahwa inovasi itu kompatibel
dengan sistem diluar dirinya. Kriteria ini memang saya rumuskan atas dasar
pertimbangan banyaknya pandangan yang keliru dengan mengartikan inovasi sebagai
sesuatu yang tidak sesuai dengan kaidah normatif. Bagi saya, tidak perlu dengan
melanggar aturan untuk dapat dikatakan sebagai sebuah inovasi. Justru inovasi
yang berbahan bakar kreativitas itu akan tumbuh subur dalam sistem hukum yang
didukung oleh budaya ketaatan. Singkatnya, inovasi itu sejalan atau kompatibel
dengan hukum atau kebijakan publik.
Kompatibilitas
sendiri dapat diartikan sebagai the
degree to which an innovation is perceived as consistent with the existing
values, past experiences, and needs of the receiver (Everett M. Rogers and
F. Floyd Shoemaker, 1971, Communication
of Innovations: A Cross-Cultural Approach, 2nd Edition, London:
The Free Press). Dengan demikian, selain harus berjalan seiring dengan hukum
atau kebijakan, inovasi juga harus selaras dengan tata nilai yang berkembang
dalam masyarakat, gagasan yang sudah dikenal sebelumnya, serta kebutuhan
pihak-pihak yang ingin mengadopsi inovasi.
Jika inovasi
ternyata tidak kompatibel dengan sistem diluar dirinya, maka hampir dapat
dipastikan bahwa inovasi itu akan gagal. Contoh-contoh di berbagai negara
membuktikan hal tersebut. Di India, misalnya, sapi adalah binatang yang
dikeramatkan dan dilarang untuk disembelih. Oleh karenanya, tingkat konsumsi
daging sapi dan meminum susu sapi menjadi sangat rendah. Pada tahun 1964, para
ahli dari AS memperkenalkan susu kambing sebagai pengganti susu sapi, namun
ternyata inipun tidak kompatibel dengan nilai agama di India, sehingga gagal
diadopsi. Bagi penduduk pedesaan di India, memelihara kambing hanya berlaku
untuk kasta terendah dari struktur sosial yang ada, sementara kehormatan
seseorang lebih dilihat pada seberapa banyak sapi yang dimiliki. Itulah
sebabnya, gagasan untuk menjadikan susu kambing sebagai sumber nutrisi selain
sapi menjadi gagal.
Kegagalan
inovasi juga terjadi di pedesaan Peru, dimana kasus infeksi usus begitu merebak
karena sistem sanitasi yang buruk dan kebiasaan buang air besar di sembarang
tempat. Setiap kali diobati, dalam beberapa minggu mereka akan terjangkit
penyakit yang sama. Itulah sebabnya, aparat kesehatan memperkenalkan
pembangunan kakus. Pada awalnya penduduk seperti menerima, namun kenyataanya
kakus yang sudah dibangun teramat jarang digunakan, karena mereka sudah
terbiasa buang air dengan cara jongkok, sehingga merasa risih saat disediakan
WC duduk. Masih di Peru, di sebuah desa bernama Los Molinos, pemerintah
setempat bermaksud meningkatkan taraf kesehatan dan harapan hidup rakyat dengan
cara merebus air sebelum diminum. Di desa itu ada tiga sumber air yang
seluruhnya tercemar, yakni mata air yang berjarak 1 mil dari desa, saluran
irigasi musiman, dan sumur umum. Setelah dua tahun upaya kampanye memasak air
tadi, ternyata hanya 11 dari 200 rumah tangga yang mau mengikuti. Salah satu
tradisi di desa itu menyebutkan bahwa sesuatu yang sangat panas atau sangat
dingin harus dihindari oleh orang sakit. Maka, seseorang yang jatuh sakit akan
menghindar dari makan babi (lambang sangat dingin) atau arak / brandy (lambang sangat panas). Kalaupun
mereka merebus air, tujuannya bukan untuk menghilangkan bakteri, melainkan
menghilangkan sifat bawaan dari air (yang dipersepsikan sebagai benda sangat
dingin). Karena tujuannya bukan untuk membunuh bakteri, maka cara memasaknyapun
tidak sampai mendidih yang mematikan bakteri didalamnya.
Disisi lain,
pengetahuan penduduk yang sangat minim tentang kuman juga berkontribusi pada
penolakan terhadap inovasi yang ditawarkan. Mereka berargumen, bagaimana mungkin
kuman dan mikroba yang begitu kecil bisa hidup di air yang bisa menenggelamkan
manusia? Jika kuman dan mikroba itu terlalu kecil, bagaimana mungkin mereka
bisa menyebabkan manusia dewasa sakit? Hal ini menjadi sesuatu yang sangat
tidak logis bagi penduduk lokal. Masalah lainnya adalah faktor kemiskinan yang
parah, yang menyebabkan para ibu rumah tangga tidak punya alat masak serta
tidak punya waktu untuk mencari kayu bakar. Meskipun mereka mau menerima
manfaat memasak air, tetap saja mereka menolak untuk melakukannya.
Sementara itu,
di sebuah negara Asia (tidak disebutkan pastinya oleh penulis buku),
diperkenalkan alat bajak sawah/ladang yang terbuat dari baja, menggantikan alat
lama dari kayu. Pada petani menerimanya dengan senang hati, namun hanya dijadikan
pajangan di rumahnya dan tidak dipergunakan untuk membajak. Hal ini terjadi
karena selama ini mereka membajak dengan satu tangan, sedangkan bajak baja
hanya bisa digunakan dengan dua tangan.
Satu contoh
lagi inkompatibilitas inovasi terjadi di sebuah desa di New Mexico, yang
diperkenalkan bibit jagung hibrida. Pada tahun 1946, 40 persen dari 84 petani mengadopsi
benih baru ini, dan hasilnya sangat spektakuler, dimana panennya menjadi dua
kali lipat dari sebelumnya. Pada tahun 1947, jumlah petani yang menggunakan
bibit hibrida tadi meningkat lagi menjadi 60 persen dengan hasil yang juga luar
biasa. Namun pada tahun 1948, jumlah petani pemakai bibit itu turun drastis
menjadi 30 persen, dan akhirnya tidak digunakan sama sekali pada tahun 1949.
Apa yang salah dengan hal ini? Jawabanya bukan karena kelemahan inovasi, namun
karena istri-istri petani tadi tidak suka dengan jagung hibrida. Selain rasanya
yang dianggap aneh, juga tidak cocok untuk membuat Tortilla (kue pipih
berbentuk bulat terbuat dari jagung) yang merupakan sumber diet masyarakat.
Dari berbagai
contoh diatas kita dapat belajar bahwa inovasi itu hidup tidak dalam ruang
hampa. Inovasi memiliki konteks sosial yang harus diperhatikan oleh para
inovatornya. Faktor ekologi perlu diperhitungkan agar inovasi tidak membentur
pada sistem (hukum, sosial, ekonomi, budaya, dll) yang sudah eksis di tengah
masyarakat yang diharapkan menerima dan mengadopsi sebuah inovasi. Meskipun
dalam inovasi selalu terkandung unsur kebaruan, namun bukan berarti harus mengabaikan
unsur-unsur lama yang hidup dalam alam pikiran masyarakat (living values). Justru tantangannya adalah bagaimana memperkenalkan
sesuatu yang baru tanpa menggusur kearifan lokal dalam masyarakat. Spirit
inovasi adalah melakukan perbaikan untuk kemaslahatan manusia (innovation for the sake of human well-being),
sehingga inovasi yang membentur sistem diluar dirinya tidak dapat dikatakan
sebagai sebuah inovasi.
Salam Inovasi
Tiada Henti !!
Jakarta, 3
Juni 2014
*di dalam
kesendirian dan keheningan malam selalu menghasilkan sesuatu. kini saatnya
kembali ke pangkuan anak istri di rumah*
Tidak ada komentar:
Posting Komentar