Jika diminta 1 kalimat singkat
tentang apa yang saya pelajari dari penugasan saya selaku pimpinan delegasi benchmarking Diklatpim II Kelas
Samarinda ke Thailand dan Kelas Surabaya ke Hongkong, beberapa waktu yang lalu,
jawaban saya adalah sosok negara yang berpihak.
Ketika pemerintahan Jokowi
membawa slogan baru tentang negara yang hadir melalui 9 program Nawacita, saya justru
merasakan hadirnya pemerintah Hongkong dan Thailand bagi rakyatnya
masing-masing. Ini bukan berarti bahwa pemerintah Indonesia tidak hadir untuk
rakyatnya, namun masih butuh upaya serius dari jajaran petinggi negeri untuk
membuktikan kehadirannya secara nyata di depan warganya. Pengalaman Hongkong
dan Thailand inipun diharapkan dapat memberi inspirasi bagaimana menghadirkan
negara untuk kepentingan warga negara.
Di Thailand, kami mengunjungi The National Bureau of Agricultural
Commodity and Food Standards (ACFS) yang memiliki dua fungsi utama yakni
melakukan standarisasi komoditas pertanian dan produk-produk makanan, serta melakukan
negosiasi untuk menyelesaikan permasalahan terkait kebijakan non-tarif atau
standar internasional. Saya ingin fokus pada fungsi kedua, yakni negosiasi,
untuk menjelaskan issu keberpihakan negara.
Pada awal tahun 2012, misalnya,
China mendeteksi adanya produk sarang burung yang diimpor dari Malaysia yang
tercemar nitrit diatas ambang normal. Hal ini terjadi karena penambahan nitrit
untuk meningkatkan kadar warna merah dalam produk tersebut agar meningkat
harganya. Akibatnya, China melarang impor produk sarang burung dari seluruh
negara termasuk Thailand, meskipun pengusaha Thailand tidak melakukan
kecurangan seperti itu. Merespon kebijakan pemerintah China tadi, ACFS dan
Kementerian Peternakan Thailand melakukan serangkaian negosiasi dengan pihak
China, dan akhirnya menyepakati protokol tentang Inspection, Quarantine, and Hygiene Requirements for the Importation of
Birds Nest Products from Thailand to China, sehingga pada tahun 2014 impor
sarang burung dari Thailand sudah bisa masuk lagi ke China.
Sikap gesit pemerintah Thailand
cq. AFCS dalam merespon issu yang merugikan petani sarang burung inilah yang
saya maksudkan sebagai negara yang berpihak. Pemerintah setempat nampak sigap
sekali mencegah kemungkinan berlanjutnya kerugian petaninya akibat ditutupnya
keran impor oleh China. Hanya dalam waktu kurang dari dua tahun, politik dagang
luar negeri yang merugikan pengusaha kecil domestik bisa diselesaikan.
Hebatnya lagi, ini bukan
satu-satunya kasus yang berhasil ditangani ACFS untuk kepentingan ekonomi
mereka. Pada tahun 2004, Jepang melarang impor daging ayam segar dari Thailand
karena kasus Flu Burung. Dengan upaya yang serius, pada tahun 2009 Thailand
sudah mendeklarasikan status bebas Flu Burung, namun larangan dari Jepang masih
belum dicabut. ACFS bersama Kementerian Peternakan langsung melakukan
serangkaian negosiasi, yang berujung pada kunjungan Kementerian Kesehatan,
Tenaga Kerja dan Kesejahteraan Jepang ke Thailand untuk melakukan inspeksi
berbagai fasilitas transportasi hewan, karantina, serta standar penanganan Flu
Burung. Hasil kunjungan ini adalah keyakinan bahwa Thailand benar-benar sudah
bebas Flu Burung, sehingga pada bulan Desember 2013 sudah dibuka kembali impor
daging unggas dari Thailand.
Kasus serupa juga terjadi dalam
hubungan dagang Thailand dengan Indonesia. Pada tahun 2012, Kementerian
Perdagangan dan Kementerian Pertanian Indonesia memberlakukan kebijakan
pengetatan quota impor produk pertanian dari Thailand. Kebijakan ini sangat
memukul Thailand karena Indonesia adalah pasar terbesar di kawasan ASEAN dan
terbesar ketiga di dunia setelah China dan Hongkong bagi produk hortikultura
Thailand. Menyikapi hal ini, ACFS segera melakukan negosiasi terkait pembatasan
kuota, sedangkan Kementerian Pertanian Thailand mengembangkan kesepakatan
timbal balik (Mutual Recognition
Agreement) dengan otoritas Indonesia. Pada akhir 2013, pemerintah Indonesia
mengumumkan penundaan kebijakan sistem kuota tersebut. Ketiga kasus diatas
hanyalah sedikit dari berbagai situasi kritis yang berhasil diselesaikan, dan
ini menunjukkan betapa pemerintah Thailand benar-benar peduli dan bekerja untuk
rakyatnya.
Adapun di Hongkong, kami
mengunjungi Komisi Persamaan Kesempatan (Equal
Opportunity Commision), sebuah lembaga yang dibentuk pada tahun 1996 atas
perintah undang-undang, untuk menerapkan aturan tentang diskriminasi jenis
kelamin (sex discrimination), diskriminasi
kecacatan (disability discrimination),
diskriminasi status keluarga (family
status discrimination), serta diskriminasi ras (race discrimination). Hebatnya, aturan-aturan tersebut tidak hanya
berlaku untuk warna negara Hongkong saja, melainkan juga bagi orang asing yang
tinggal dan bekerja di Hongkong.
Sekedar gambaran, studi EOC pada
tahun 2014 menghasilkan temuan bahwa 18 persen responden yang disurvei mengalami
perlakuan diskriminatif atau pelecehan pada saat mencari kerja atau di dalam
pekerjaan. Bentuk perlakuan diskriminatif yang paling sering adalah
diskriminasi umur (64%), jenis kelamin (21%), pelecehan seksual (17%), status
keluarga (14%), serta kehamilan (10%).
Bandingkan dengan di Indonesia,
begitu banyak diskriminasi terkait umur. Untuk melamar sebagai PNS, misalnya,
dibatasi minimal 18 tahun dan maksimal 35 tahun, sedangkan untuk menjadi
anggota KASN minimal berusia 50 tahun. Secara begitu kasat mata, kita mengabadikan
praktek diskriminasi dalam peraturan perundang-undangan. Sementara tentang
diskriminasi jenis kelamin, betapa sering kita menyaksikan pengumuman lowongan
kerja yang mensyaratkan jenis kelamin tertentu secara eksplisit. Tanpa kita
sadari, bangsa ini sudah begitu lama dan mendalam berlaku diskriminatif untuk
bangsa sendiri. Padahal, semenjak tahun 2005 Kementerian Tenaga Kerja dan
Transmigrasi sudah mengeluarkan Panduan Kesempatan dan Perlakuan yang Sama
Dalam Pekerjaan di Indonesia (Equal
Employment Opportunity) sebagai wujud komitmen untuk meratifikasi Konvensi ILO No. 111 mengenai Diskriminasi dalam Pekerjaan
dan Jabatan. Sayangnya, upaya enforcement-nya
hanya terdengar sayup-sayup, untuk kemudian lenyap kembali ditelan bumi. Karena
tidak ada upaya penegakan yang konsisten itulah,
maka kehadiran negara tidak begitu terasa dalam kehidupan masyarakat.
Berikut ini adalah beberapa kasus
persamaan kesempatan bukan hanya mengisi ruang-ruang kantor dan seminar, namun
lebih memenuhi rongga-rongga kehidupan privat warga di Hongkong. Pertama, ada kasus seorang ibu yang
menyusui bayinya di sebuah sudut di perpustakaan yang sepi, kemudian diperingatkan
sebanyak dua kali oleh satpam dan diusir karena adanya ketentuan tidak boleh
menyusui di perpustakaan. Si ibu menolak pergi dan tetap menyusui karena merasa
memiliki hak untuk menyusui, dan bayinya-pun memiliki hak untuk disusui. Si ibu
lantas mengadu kepada EOC, yang segera melakukan upaya rekonsiliasi. Hasilnya,
pihak perpustakaan setuju untuk menyampaikan permohonan maaf secara tertulis
kepada si ibu, dan memberlakukan aturan diperbolehkannya menyusui di
perpustakaan.
Kasus kedua, ada seorang perempuan yang bekerja sebagai manajer di sebuah
restaurant. Oleh atasannya, ia diminta memindahkan hari liburnya ke akhir pekan.
Namun perempuan ini menolak dan tetap meminta libur pada setiap hari Kamis
karena pada hari itu ia membawa anaknya untuk terapi bicara. Karena menolak,
akhirnya si perempuan ini dipecat. Setelah mengadu dan difasilitasi oleh EOC, restaurant
tadi bersedia memberi ganti rugi 1 bulan gaji, permintaan maaf secara tertulis,
serta surat rekomendasi untuk mencari pekerjaan. Kasus serupa dialami perempuan
lain yang bekerja sebagai direktur SDM di sebuah perusahaan. Perempuan ini
memiliki seorang ibu yang menderita kanker payudara, sehingga mengajukan cuti
beberapa hari. Oleh atasanya, perempuan ini dinilai rendah kinerjanya dan
diminta untuk mengundurkan diri. Karena menolak, akhirnya perusahaan tadi
memecatnya. Setelah difasilitasi oleh EOC, akhirnya perusahaan memberi
rekomendasi kepada perempuan tadi untuk mencari pekerjaan di perusahaan lain.
Dalam kasus lain, ada seorang ibu
yang baru melahirkan mengajukan komplain ke EOC karena seorang sopir bus tidak
mau membuka kedua pintu bis, sementara ia menggendong bayinya dengan satu
tangan dan memegang kereta bayi di tangan lainnya. Si ibu berargumen bahwa satu
pintu tidak cukup leluasa baginya untuk naik kedalam bus. Dari hasil
konsiliasi, perusahaan bus berjanji untuk memberi pelatihan bagi sopirnya dan
meminta semua sopir bus untuk lebih ramah dan mau memenuhi permintaan/kebutuhan
penumpang.
Ada lagi kasus tentang seorang
pegawai yang mendapat cidera dalam pekerjaannya di sebuah klinik gigi. Oleh pimpinannya,
ia dipaksa mengambil cuti karena sakit, namun setahun kemudian dia
diberhentikan secara sepihak. Ketika EOC mengadakan investigasi, pihak perusahaan
memberi penjelasan bahwa mereka tidak melakukan pemecatan. “Pemberhentian” tadi
disebabkan oleh perampingan organisasi. Proses konsiliasi menjadi buntu,
sehingga EOC kemudian memutuskan untuk memberi bantuan hukum kepada pegawai
yang dipecat tadi, dan melanjutkan proses ke pengadilan. Akhirnya, klinik gigi
tadi bersedia memberi kompensasi terhadap si pegawai.
Masih teramat banyak kasus-kasus
kecil hingga besar yang ditangani oleh EOC, dan banyak sekali orang yang merasa
sangat terbantu mendapatkan haknya yang dijamin oleh undang-undang.
Undang-undang menjadi sebuah kebijakan yang berwibawa karena memberi rasa aman
bagi warga negara. Kebijakan publik yang baik memang semestinya tidak sekedar memberi
beban tambahan bagi masyarakat, apalagi menimbulkan rasa takut dan khawatir. Kebijakan
adalah payung yang melindungi warga negara dari terik panas dan hujan badai. Sementara
tugas pejabat publik adalah memberikan jaminan bahwa kebijakan yang dikeluarkan
negara benar-benar mampu merealisasikan tujuannya sebagai instrumen membangun
kualitas pelayanan dan kesejahteraan secara progresif.
Dari berbagai cerita di kedua
negara diatas, dapat kita Tarik sebuah lesson
learned bagaimana menghadirkan negara bagi masyarakatnya. Caranya ternyata
cukup mudah, yakni merumuskan kebijakan yang berpihak pada rakyat banyak (pro people), kemudian menegakkan aturan
tadi dengan komitmen yang bulat dari seluruh jajaran pejabat publiknya. Integritas
total terhadap tugas dan orientasi terhadap nilai-nilai kepublikan (public values) menjadi kata kunci keberhasilan
negara hadir hingga ke relung hati terdalam rakyatnya.
Villa Melati Mas Serpong, 25 Juni
2015