Saya tidak menyangka bahwa
tulisan saya berjudul “Membuka Gerbang Reformasi dan Mendorong Gerbong Inovasi
dengan 7 Disiplin Pemimpin” mendapat respon yang cukup mengejutkan dari publik.
Baik komentar di Facebook maupun sms dan telpon langsung yang saya terima,
rata-rata berisi apresiasi terhadap model kepemimpinan pak Agus yang saya
paparkan di tulisan itu. Tiba-tiba, pak Agus menjadi sosok yang dirindukan oleh
banyak orang dan diandai-andaikan untuk memimpin organisasi di banyak tempat.
Beberapa orang menyampaikan
kepada saya “kekecewaan” mereka terhadap tulisan saya karena tidak tuntas
mengulas 3 (tiga) disiplin pemimpin yang terakhir. Saya sendiri sudah
mengemukakan argumen mengapa saya tidak mengelaborasi lebih dalam ketiga
disiplin tersebut. Namun atas desakan yang begitu kuat dari pembaca tulisan
saya tadi, dan demi memenuhi prinsip pelayanan selaku penulis yang selalu ingin
memuaskan pembacanya, maka saya putuskan untuk melanjutkan kisah tentang sosok
seorang Agus Dwiyanto berdasarkan buku Jeff Wolf & Ken Shelton berjudul Seven Disciplines of A Leader: How to Help
Your People, Team, and Organization Achieve Maximum Effectiveness (John
Wiley & Sons, 2015).
Disiplin
ke-5 dari seorang pemimpin adalah Reciprocation,
Collaboration & Service. Prinsip resiprokasi atau timbal balik misalnya
diterjemahkan oleh pak Agus melalui pemberian hak bagi peserta diklat untuk
memperoleh pengajar/fasilitator terbaik. Selama ini, seorang peserta diklat akan
diam dan duduk manis atas apapun yang diberikan oleh lembaga penyelenggara
diklat kepada mereka. Namun analog dengan seorang pasien yang akan memilih
dokter terbaik untuk penyakitnya, maka peserta diklat-pun harus diberi hak yang
sama. Sebab, pasien maupun peserta diklat telah mengeluarkan biaya, sehingga
sudah sewajarnya jika secara seimbang diberikan pelayanan yang terbaik. Sekilas
ini seperti sebuah langkah sepele, namun faktanya selama ini tidak ada yang
punya pemikiran untuk memberi hak kepada peserta diklat seperti yang dipikirkan
pak Agus.
Dalam rangkaian
pembaharuan diklat kepemimpinan, pak Agus juga mengintroduksi adanya agenda
pembelajaran berupa membangun tim efektif. Esensinya adalah bahwa sebuah perubahan
atau inovasi dalam sebuah organisasi harus mendapat dukungan dari berbagai
kalangan yang berkepentingan dengan perubahan tersebut. dengan kata lain,
kolaborasi menjadi keniscayaan untuk menjamin keberhasilan sebuah organisasi. Secara
internal, pak Agus juga berkali-kali menegaskan bahwa fungsi kajian harus
melibatkan sumber daya diluar Kedeputian Kajian. Begitu juga aktivitas diklat
harus menjadi kepedulian semua pihak di LAN. Intinya, beliau mendorong gerakan
gotong royong, keroyokan, atau crowdsourcing
dalam mengeksekusi sebuah pekerjaan. Semua itu dilakukan untuk menjamin
bahwa sebuah organisasi dapat memberi service
yang terbaik bagi stakeholders-nya.
Selanjutnya,
disiplin ke-6 seorang pemimpin menurut Jeff Wolf adalah Love and Leverage. Saya harus mengatakan bahwa pak Agus termasuk
orang yang kaku, tanpa basa-basi, tidak takut kebijakannya menyinggung orang
lain, dan sedikit terkesan menakutkan bagi sebagian orang dengan gayanya yang straight forward. Namun dengan gaya
seperti itu, sesungguhnya bukan berarti beliau tidak memiliki kasih sayang. Hanya
saja, ekspresi dari cintanya kepada institusi atau kepada orang lain
ditunjukkan melalui kepeduliannya, dan kepedulian itu direfleksikan melalui
kritikannya terhadap obyek yang dicintainya. Coba simak pesan terakhir beliau
kepada pada kolega menjelang akhir masa jabatannya yang disampaikan melalui
grup wharsapp berikut ini: “Selama 3 tahun ini saya merasakan
keterlibatan emosional dan intelektual yang luar biasa mendalam. Tanpa saya
sadari, saya terlanjur jatuh cinta pada LAN, institusi yang dulu sering saya kritik.
Karena itu, walaupun sudah tidak lagi secara administratif dan fisik berada di
LAN, saya tetap akan berjuang bersama anda semua mewujudkan mimpi kita bersama
menjadikan LAN sebagai rujukan bangsa dan reformasi administrasi. Dari gubug
saya di Yogya, saya akan terus menggagas, menulis, dan mengkritisi untuk
mendorong bangsa ini membangun pemerintahan berkinerja tinggidan bagaimana LAN dan
lembaga lainnya bisa berkontribusi dalam mewujudkan cita-cita tersebut”.
Maka,
jika pada umumnya kita menghindari kritik dari seseorang, namun untuk kasus di
LAN, justru sedih jika tidak mendapat kritik dari beliau, karena itu tandanya
beliau kurang cinta kepada kita. Dengan kritik atau “cinta”nya itu, beliau
ingin mendongkrak semangat kerja dan kinerja para bawahannya.
Dan akhirnya,
disiplin terakhir seorang pemimpin adalah Renewal
and Sustainability. Sejak hari pertama dilantik sebagai Kepala LAN, pikiran
pak Agus sudah sesak oleh ide-ide melakukan pembaharuan. Salah satu pembaharuan
yang paling fundamental sekaligus monumental adalah perombakan sistem Diklat
Kepemimpinan. Saya bahkan menyebut Diklatpim pola baru adalah sebuah disruptive innovation, yanki sebuah
perubahan yang menjadikan sistem lama berantakan porak poranda. Jika dalam Diklatpim
model lama ada ghost writer yang
selama puluhan tahun tidak bisa dibasmi, dengan Diklatpim model baru masalah
itu selesai dengan sendirinya tanpa harus diperangi secara khusus. Jika dalam Diklatpim
pola lama selama ini banyak Widyaiswara yang dijuluki MSI (master segala ilmu)
karena seolah-olah bisa mengajar semua mata diklat dengan sama baiknya, dalam Diklatpim
pola baru Widyaiswara harus belajar dari nol, harus mengikuti ToT, bahkan
sebagian harus ikut program sit in atau
magang sebelum dipandang layak untuk memegang agenda pembelajaran tertentu.
Adapun tentang
sustainability atau keberlanjutan
dari berbahai perubahan diatas, memang masih butuh waktu dan pembuktian. Hal ini
wajar karena pak Agus hanya memiliki waktu yang sangat singkat di LAN. Tentu
hal ini menjadi tanggung jawab masyarakat LAN untuk menjamin inisiatif pak Agus
dapat membawa dampak positif dalam jangka lama. Dalam hal ini, tugas penerus
pak Agus adalah melakukan incremental
innovation, untuk memberi nilai tambah atas disruptive innovation yang dilakukan pak Agus. Dalam periode 5-
tahun mendatang, boleh jadi LAN membutuhkan disruptive
innovation yang baru.
Palembang-Serpong,
10 Juni 2015.
*memanfaatkan
jeda diantara workshop lab. inovasi hingga penerbangan kembali ke baiti
jannati*
Tidak ada komentar:
Posting Komentar