Rabu, 10 Juni 2015

Melanjutkan Kisan tentang Sosok Agus Dwiyanto



Saya tidak menyangka bahwa tulisan saya berjudul “Membuka Gerbang Reformasi dan Mendorong Gerbong Inovasi dengan 7 Disiplin Pemimpin” mendapat respon yang cukup mengejutkan dari publik. Baik komentar di Facebook maupun sms dan telpon langsung yang saya terima, rata-rata berisi apresiasi terhadap model kepemimpinan pak Agus yang saya paparkan di tulisan itu. Tiba-tiba, pak Agus menjadi sosok yang dirindukan oleh banyak orang dan diandai-andaikan untuk memimpin organisasi di banyak tempat.

Beberapa orang menyampaikan kepada saya “kekecewaan” mereka terhadap tulisan saya karena tidak tuntas mengulas 3 (tiga) disiplin pemimpin yang terakhir. Saya sendiri sudah mengemukakan argumen mengapa saya tidak mengelaborasi lebih dalam ketiga disiplin tersebut. Namun atas desakan yang begitu kuat dari pembaca tulisan saya tadi, dan demi memenuhi prinsip pelayanan selaku penulis yang selalu ingin memuaskan pembacanya, maka saya putuskan untuk melanjutkan kisah tentang sosok seorang Agus Dwiyanto berdasarkan buku Jeff Wolf & Ken Shelton berjudul Seven Disciplines of A Leader: How to Help Your People, Team, and Organization Achieve Maximum Effectiveness (John Wiley & Sons, 2015).

Disiplin ke-5 dari seorang pemimpin adalah Reciprocation, Collaboration & Service. Prinsip resiprokasi atau timbal balik misalnya diterjemahkan oleh pak Agus melalui pemberian hak bagi peserta diklat untuk memperoleh pengajar/fasilitator terbaik. Selama ini, seorang peserta diklat akan diam dan duduk manis atas apapun yang diberikan oleh lembaga penyelenggara diklat kepada mereka. Namun analog dengan seorang pasien yang akan memilih dokter terbaik untuk penyakitnya, maka peserta diklat-pun harus diberi hak yang sama. Sebab, pasien maupun peserta diklat telah mengeluarkan biaya, sehingga sudah sewajarnya jika secara seimbang diberikan pelayanan yang terbaik. Sekilas ini seperti sebuah langkah sepele, namun faktanya selama ini tidak ada yang punya pemikiran untuk memberi hak kepada peserta diklat seperti yang dipikirkan pak Agus.

Dalam rangkaian pembaharuan diklat kepemimpinan, pak Agus juga mengintroduksi adanya agenda pembelajaran berupa membangun tim efektif. Esensinya adalah bahwa sebuah perubahan atau inovasi dalam sebuah organisasi harus mendapat dukungan dari berbagai kalangan yang berkepentingan dengan perubahan tersebut. dengan kata lain, kolaborasi menjadi keniscayaan untuk menjamin keberhasilan sebuah organisasi. Secara internal, pak Agus juga berkali-kali menegaskan bahwa fungsi kajian harus melibatkan sumber daya diluar Kedeputian Kajian. Begitu juga aktivitas diklat harus menjadi kepedulian semua pihak di LAN. Intinya, beliau mendorong gerakan gotong royong, keroyokan, atau crowdsourcing dalam mengeksekusi sebuah pekerjaan. Semua itu dilakukan untuk menjamin bahwa sebuah organisasi dapat memberi service yang terbaik bagi stakeholders-nya.

Selanjutnya, disiplin ke-6 seorang pemimpin menurut Jeff Wolf adalah Love and Leverage. Saya harus mengatakan bahwa pak Agus termasuk orang yang kaku, tanpa basa-basi, tidak takut kebijakannya menyinggung orang lain, dan sedikit terkesan menakutkan bagi sebagian orang dengan gayanya yang straight forward. Namun dengan gaya seperti itu, sesungguhnya bukan berarti beliau tidak memiliki kasih sayang. Hanya saja, ekspresi dari cintanya kepada institusi atau kepada orang lain ditunjukkan melalui kepeduliannya, dan kepedulian itu direfleksikan melalui kritikannya terhadap obyek yang dicintainya. Coba simak pesan terakhir beliau kepada pada kolega menjelang akhir masa jabatannya yang disampaikan melalui grup wharsapp berikut ini: “Selama 3 tahun ini saya merasakan keterlibatan emosional dan intelektual yang luar biasa mendalam. Tanpa saya sadari, saya terlanjur jatuh cinta pada LAN, institusi yang dulu sering saya kritik. Karena itu, walaupun sudah tidak lagi secara administratif dan fisik berada di LAN, saya tetap akan berjuang bersama anda semua mewujudkan mimpi kita bersama menjadikan LAN sebagai rujukan bangsa dan reformasi administrasi. Dari gubug saya di Yogya, saya akan terus menggagas, menulis, dan mengkritisi untuk mendorong bangsa ini membangun pemerintahan berkinerja tinggidan bagaimana LAN dan lembaga lainnya bisa berkontribusi dalam mewujudkan cita-cita tersebut”.

Maka, jika pada umumnya kita menghindari kritik dari seseorang, namun untuk kasus di LAN, justru sedih jika tidak mendapat kritik dari beliau, karena itu tandanya beliau kurang cinta kepada kita. Dengan kritik atau “cinta”nya itu, beliau ingin mendongkrak semangat kerja dan kinerja para bawahannya.

Dan akhirnya, disiplin terakhir seorang pemimpin adalah Renewal and Sustainability. Sejak hari pertama dilantik sebagai Kepala LAN, pikiran pak Agus sudah sesak oleh ide-ide melakukan pembaharuan. Salah satu pembaharuan yang paling fundamental sekaligus monumental adalah perombakan sistem Diklat Kepemimpinan. Saya bahkan menyebut Diklatpim pola baru adalah sebuah disruptive innovation, yanki sebuah perubahan yang menjadikan sistem lama berantakan porak poranda. Jika dalam Diklatpim model lama ada ghost writer yang selama puluhan tahun tidak bisa dibasmi, dengan Diklatpim model baru masalah itu selesai dengan sendirinya tanpa harus diperangi secara khusus. Jika dalam Diklatpim pola lama selama ini banyak Widyaiswara yang dijuluki MSI (master segala ilmu) karena seolah-olah bisa mengajar semua mata diklat dengan sama baiknya, dalam Diklatpim pola baru Widyaiswara harus belajar dari nol, harus mengikuti ToT, bahkan sebagian harus ikut program sit in atau magang sebelum dipandang layak untuk memegang agenda pembelajaran tertentu.

Adapun tentang sustainability atau keberlanjutan dari berbahai perubahan diatas, memang masih butuh waktu dan pembuktian. Hal ini wajar karena pak Agus hanya memiliki waktu yang sangat singkat di LAN. Tentu hal ini menjadi tanggung jawab masyarakat LAN untuk menjamin inisiatif pak Agus dapat membawa dampak positif dalam jangka lama. Dalam hal ini, tugas penerus pak Agus adalah melakukan incremental innovation, untuk memberi nilai tambah atas disruptive innovation yang dilakukan pak Agus. Dalam periode 5- tahun mendatang, boleh jadi LAN membutuhkan disruptive innovation yang baru.

Palembang-Serpong, 10 Juni 2015.
*memanfaatkan jeda diantara workshop lab. inovasi hingga penerbangan kembali ke baiti jannati*

Tidak ada komentar: