Rabu, 03 Juni 2015

Lesson Learned Pembaharuan Sistem Manajemen SDM Aparatur di Indonesia: Inspirasi dari Program IHRMS UCI Extension, Irvine, California, USA



Setiap kali mendapat kesempatan berkunjung ke negara asing, saya lebih cenderung untuk berusaha memfokuskan pada sesuatu dibalik yang saya lihat atau saya terima. Begitu juga ketika menerima penugasan untuk mengikuti short course di University of California at Irvine (UCI) tentang human resource management, saya tidak ingin menguasai kebijakan dan praktek manajemen SDM sektor publik di Amerika, karena sangat tidak mungkin untuk menguasainya hanya dalam lima hari pertemuan efektif. Itulah sebabnya, untuk mampu memperoleh manfaat terbesar dari program tadi, saya mencoba menangkap dan membaca sesuatu yang tersirat dari materi yang disampaikan, dan membayangkan berbagai kemungkinan aplikasinya untuk kebutuhan sendiri di tanah air. Dengan kata lain, saya menghindari “menghafal”, dan memilih “menemukan pesan” dari sebuah aktivitas pembelajaran.

Dengan cara belajar seperti itu, saya merasa justru mampu menghasilkan banyak ide yang mungkin bisa dipertimbangkan untuk memperkuat reformasi birokrasi, khususnya pada area sumber daya aparatur.

Gagasan pertama yang bisa saya lontarkan adalah bahwa momentum perubahan dari UU Kepegawaian menjadi UU ASN sebaiknya dimanfaatkan sebagai perubahan paradigmatik pengelolaan SDM Aparatur. Dalam hal ini, salah satu perubahan paradigma yang perlu dipertimbangkan adalah dari Manajemen Kepegawaian menjadi Manajemen Bakat (Talent Management). Artinya, yang dikelola bukan pegawai/orangnya, namun bakat yang dimiliki pegawai untuk mendukung tugas-tugasnya, bukan hanya pada jangka pendek, namun lebih untuk memenuhi kebutuhan jangka panjang organisasi. Dengan kata lain, manajemen kepegawaian itu harus berfokus pada bakat, bukan pada kompetensi semata, apalagi pada orangnya. Dengan demikian, maka rekrutmen pada hakekatnya adalah upaya mencari bakat-bakat terbaik. Diklat-pun bukan sekedar memenuhi gap kompetensi, namun lebih pada mengembangkan bakat-bakat pegawai agar dapat memenuhi kebutuhan organisasi. Demikian pula, pola karir dan penggajian atau pemberian kompensasi bagi pegawai, pada hakekatnya adalah upaya menjaga agar bakat-bakat yang dimiliki organisasi tidak hilang atau melemah.

Sayangnya, UU ASN masih cenderung kental nuansa manajemen kepegawaiannya, terlihat pada Bab VIII tentang Manajemen ASN, yang terdiri dari 7 (tujuh) aspek yakni rekrutmen, pengembangan pegawai, promosi, kesejahteraan, manajemen kinerja, disiplin/etika, dan pensiun. Dengan kata lain, sistem yang berlaku saat ini belum terlalu menekankan pentingnya bakat sebagai faktor kunci keberhasilan organisasi. Sebagai contoh, penggajian hanya dipandang sebagai “upah” pegawai terhadap jam kerja yang dilalui, bukan untuk menjaga agar pegawai tersebut merasa nyaman/betah berada dalam organisasi, sehingga dapat mengurangi tingkat turnover pegawai. Sistem penggajian terlalu kaku hanya mengikuti Tabel Gaji yang diatur dalam perundang-undangan, namun gagal mempertimbangkan variasi dalam bakat pegawai. Idealnya besaran gaji/tunjangan juga harus memperhatikan besaran bakat, selain tingkat kinerja seseorang. Demikian pula untuk Diklat, selama ini lebih didesain untuk menutupi kesenjangan kompetensi. Dalam talent development, diklat tetap diperlukan bagi seseorang meskipun tidak mengalami competency gap, karena bakat harus terus ditingkatkan seiring dengan tuntutan organisasi. Oleh karena itu, perumusan RPP Pelaksanaan UU ASN menjadi sangat penting untuk memastikan bahwa perubahan paradigma tersebut dapat berjalan dengan baik.

Pentingnya pengelolaan bakat ini diperkuat oleh tulisan Mc. Kinsey berjudul The War for Talent (1998). Dalam publikasi ini disebutkan bahwa pegawai yang berkinerja tinggi di bidang operasi terbukti meningkatkan produktivitas sebanyak 40%, di bidang manajemen meningkatkan keuntungan sebesar 49%, dan di bidang penjualan meningkatan pendapatan sebesar 67%.

Selanjutnya, perubahan paradigma juga perlu dilakukan dalam hal orientasi fungsi pegawai. Fungsi pegawai selama ini didominasi oleh pekerjaan administratif dan paperwork-based, sementara fungsi penegakan aturan, konsultasi, perencanaan, dan penyusunan strategi organisasi semakin mengecil. Dalam perspektif kedepan, fungsi konsultasi harus diperbesar sebagai manifestasi pelayanan langsung kepada masyarakat. Fungsi ini berhubungan dengan masalah nyata yang dihadapi masyarakat, misalnya terkait kebutuhan konsultasi soal nutrisi. Selama ini, masyarakat harus datang ke RS dan membayar jasa dokter untuk konsultasi soal nutrisi. Demikian pula, untuk membuka usaha, masyarakat harus membayar jasa konsultan manajemen atau pemasaran karena pemerintah tidak menyediakan jasa ini. Area konsultasi harus dibuka seluas-luasnya termasuk untuk merancang bangunan, memilih pendidikan untuk anak-anak, merencanakan asuransi, dan seterusnya.

Agar fungsi konsultasi ini bisa berjalan dengan baik, maka perlu alokasi waktu dan anggaran yang mendukung. Misalnya, setiap hari Senin ditetapkan sebagai hari konsultasi, dan para pegawai dijadualkan untuk mendatangi kelompok-kelompok masyarakat guna memberi jasa konsultasi sesuai kebutuhannya. Fungsi konsultasi ini juga memiliki implikasi kelembagaan dan jabatan. Artinya, struktur kelembagaan pemerintah selama ini perlu dirampingkan karena tidak lagi memerlukan struktur yang besar dan tinggi. Pada saat yang bersamaan, jabatan fungsional Konsultan dapat lebih diperkuat.

Sementara itu, pada tataran yang lebih teknis, ada hal baru yang sangar urgen untuk dipertimbangkan dalam proses rekrutmen calon pegawai, yakni onboarding. Ini menjadi hal yang sangat penting dan menentukan kemampuan calon pegawai dalam menerima dan menjalankan tugas-tugas sebagai pegawai. Seharusnya, test seleksi calon pegawai itu hanya langkah kecil dari rangkaian upaya pencarian bakat yang telah dilakukan sebelumnya. Pembentukan bakat semestinya tidak diserahkan sepenuhnya kepada perguruan tinggi, namun organisasi yang membutuhkan bakatlah yang harus lebih peduli untuk melakukan pemantauan bakat. Bahkan perusahaan kelas dunia seperti Cisco, sudah melakukan talent scouting setahun sebelum dilakukan rekrutmen.

Beberapa inisiatif yang dapat dilakukan untuk mendapatkan bakat terbaik antara lain dengan melakukan aneka kompetisi. Jika sebuah organisasi bergerak di bidang penelitian, maka bisa melakukan lomba penulisan karya ilmiah, dan para pemenangnya kemudian dipantau dan dipersiapkan program-program lanjutan untuk memastikan orang tersebut nantinya direkrut sebagai peneliti di organisasinya. Dengan demikian, pada saat orang tersebut menjadi pegawai, organisasi tidak perlu lagi mengeluarkan banyak biaya dan upaya untuk membina calon pegawainya. Beasiswa untuk mengikat seseorang yang memiliki bakat, juga merupakan trik dini untuk rekrutmen di kemudian hari. Selain kompetisi dan beasiswa, onboarding juga bisa dilakukan dengan penunjukan mentor untuk seseorang, melibatkan secara aktif dalam diskusi terbatas, dan sebagainya.

Dalam kaitan dengan onboarding ini, Diklat Prajabatan harus menjadi instrumen paling manjur untuk mempersiapkan seorang calon pegawai dalam lingkungan baru organisasi secara penuh. Salah satu opsi yang dapat dipikirkan adalah menjadikan Prajabatan sebagai model training yang sepenuhnya dilakukan ditempat kerja dan mendukung program kerja, dengan memberi tanggungjawab tertentu kepada calon pegawai (fully on-the-job training). Dalam hal ini, peran atasan menjadi sangat penting untuk membimbing, mengawasi, meluruskan, dan meningkatkan kompetensi calon pegawai secara signifikan.

Masih terkait dengan soal rekrutmen, penggantian seorang pejabat, pertukaran posisi, ataupun mutasi dan promosi, haruslah berbasis perencanaan suksesi yang jelas, terukur, dan berorientasi pada kinerja yang semakin baik. Rolling jabatan bukan sekedar masalah penyegaran organisasi atau pemerataan kesempatan, melainkan sebuah kebutuhan mendasar dalam organisasi. Oleh karena itu, kebutuhan suksesi harus direncanakan dengan matang.

Dalam rangka menyusun perencanaan suksesi (succession planning) itu, perlu diawali dengan evaluasi dan pemetaan terhadap kinerja dan kompetensi incumbent, kemudian dibandingkan dengan kinerja dan kompetensi yang diharapkan (expected competence and performance). Dari perbandingan tersebut, kemudian dicarikan kandidat yang memenuhi atau mendekati kriteria yang dibutuhkan. Ketika masih tetap terdapat kesenjangan antara kinerja dan kompetensi yang diharapkan dengan yang dimiliki, ada 2 (dua) pilihan yang dapat dipertimbangkan pimpinan, yakni: 1) merumuskan program-program untuk pengembangan kinerja dan kompetensi internal, atau 2) mencari bakat dari luar (open recruitment). Jika berdasarkan succession planning tersebut tidak ditemui kelangkaan bakat (talent scarcity) di internal organisasi, maka tidak perlu dilakukan open recruitment.

Logika untuk succession planning ini sangat serupa dengan logika dalam analisis kebutuhan diklat (training needs analysis). Keduanya dapat bersinergi, dimana AKD tidak hanya disusun untuk kebutuhan merencanakan kegiatan diklat, namun juga untuk mendukung sistem mutasi dan promosi.

Pelajaran lain yang saya hayati dalam manajemen kinerja adalah perlunya performance conversation atau percakapan kinerja antara seorang pegawai dengan pimpinannya. Ini merupakan sebuah keniscayaan untuk membangun trust antara pegawai dengan atasannya sekaligus mengurangi bias dalam penilaian prestasi kerja pegawai. Agar konversasi tadi lebih bermakna, maka bagi pegawai diberikan kesempatan melakukan penilaian kinerja pribadinya (self-assessment) sebagaimana dipraktekkan di Oracle, sebuah perusahaan multi-nasional di Amerika. Penilaian kinerja pribadi ini selanjutnya dikomunikasikan secara terbuka dengan penilaian dari atasannya. Dan performance conversation ini sebaiknya dilakukan secara reguler, paling sedikit 3 bulan sekali.

Hal penting yang juga belum dilakukan di Indonesia adalah menghitung RoI (return on investment) dari program diklat pegawai. Unit kepegawaian atau human resources adalah cost center, termasuk unit dan program diklat yang banyak membelanjakan anggaran negara. Jika tidak dapat diukur kemanfaatannya, maka program dan anggaran diklat bisa menjadi sumber inefisiensi yang amat besar dalam organisasi. Kalaupun dapat diukur, haruslah nilai kemanfaatan yang diperoleh lebih besar dari pada biaya yang dikeluarkan (cost < benefit).  Adapun rumus RoI adalah:

  • Manfaat yang diharapkan (expected benefits) – biaya yang dikeluarkan (projected costs) = Manfaat bersih yang diharapkan (net expected benefits);
  • (Net expected benefits / projected costs) x 100 = persentase RoI yang diharapkan (Projected RoI%).

Terkait dengan kebijakan dan program diklat, nampaknya kita harus tengok lagi teori pembelajaran Conscious Competency Model, dimana ada empat tahap pembelajaran yaitu: 1) unconscious; 2) conscious incompetency; 3) conscious competence; dan 4) unconscious competence. Dari ke-4 tahap tersebut sistem Diklat Kepemimpinan saat ini sudah mampu mendorong peserta diklat hingga ke tahap 3, yakni sadar bahwa mereka mampu melakukan perubahan. Namun setelah selesai diklat dan kembali ke sistem permanen, pada umumnya turun ke tahap dua, yakni mereka sadar tidak mampu melakukan perubahan sebagaimana saat masih mengikuti Diklat Kepemimpinan. Padahal, yang diinginkan adalah setelah menjadi alumni Diklatpim, setiap pegawai/pejabat mampu meningkatkan kapasitasnya hingga ke tahap ke-4 yakni tanpa disadari telah mampu melakukan perubahan secara berkelanjutan.

Sehubungan dengan adanya fenomena tersebut, maka evaluasi pasca diklat dan program tindak lanjut Diklatpim menjadi sebuah keniscayaan. Sebagai contoh, alumni diklat tetap wajib menghasilkan perubahan pada kurun waktu tertentu sesuai “kontrak” dengan atasannya, misalnya minimal 1 perubahan dalam 1 tahun. Dari perspektif LAN sendiri perlu dilakukan pemberian penghargaan kepada alumni yang terbukti telah mencapai tahap terakhir dari 4 tahap pembelajaran diatas, yang dibuktikan dengan lahirnya inovasi dan inisiatif perubahan selain yang dihasilkan selama mengikuti Diklatpim. Dengan kata lain, pemimpin perubahan adalah mereka yang bukan melaksanakan rencana perubahan yang disusun pada saat ikut Diklat saja, namun juga telah menghaslikan perubahan-perubahan berikutnya.

Issu strategis dalam ASN berikutnya adalah tentang kompensasi. Di Amerika, pemberian kompensasi tidak sama untuk setiap orang meskipun memiliki tingkat pendidikan yang sama atau masa kerja yang sama. Besaran kompensasi bersifat individual tergantung pada bakat, kompetensi, dan kinerja seseorang. Begitu juga untuk kenaikan kompensasi, akan sangat bervariasi antar pegawai. Prinsipnya adalah different increase (payment) for different people. Kepada setiap pegawai bahkan diberikan hak untuk membuat Individual Incentive Plan, yakni usulan peningkatan insentif atau kompensasi dengan disertai rencana perbaikan kinerja individu, misalnya akan lebih fokus dalam meningkatkan kepuasan pelanggan. Pada periode tertentu, “janji” pegawai yang tertuang dalam usulan peningkatan kompensasi itu harus dibuktikan. Dengan sistem ini, maka iklim kompetisi akan tumbuh dengan sehat di kalangan pegawai sekaligus dapat menjaga agar bakat-bakat besar tidak pergi dari organisasi.

Terkait dengan sistem kompensasi tersebut, perlu dibangun sebuah sistem kompensasi yang terintegrasi di Indonesia, meliputi BPJS, Bapertarum, beasiswa, tunjangan (jabatan, anak/istri, beras, daerah terpencil, dan lain-lain), dan sebagainya. Dengan sistem yang terintegrasi tersebut, maka dapat dilakukan pemetaan dan perencanaan kebutuhan kompensasi bagi pegawai yang lebih berkeadilan sekaligus memotivasi pegawai untuk tetap mengabdi kepada organisasinya.

Lesson learned berikutnya yang saya tarik adalah tentang uraian tugas jabatan (job description). Dalam konteks manajemen SDM secara umum, uraian tugas memiliki peran yang sangat strategis, bukan hanya sebagai acuan pegawai dalam pelaksanaan tugas harian, namun juga untuk berbagai kepentingan lainnya. Salah satu kepentingan dari Urtug itu adalah untuk mengukur tingkat kinerja individu pegawai sekaligus menetapkan besaran Tunjangan Kinerja. Selain itu, Urtug juga bisa menjadi instrumen AKD. Jika ada pegawai yang tidak mampu menjalankan tugasnya secara optimal, akan dikaji faktor-faktor yang menyebabkan rendahnya kinerja tersebut, dan selanjutnya akan disusun program diklat untuk penguatan kapasitas pegawai.

Mengingat begitu banyaknya manfaat dari Urtug tersebut, maka perlu dilakukan review terhadap Urtug, selambat-lambatnya setiap 2 tahun sekali. Sebab, organisasi terus berkembang mengikuti dinamika lingkungannya. Kompetitor organisasi juga terus meningkatkan kemampuannya, sementara pelanggan semakin tinggi standar ekspektasinya. Oleh karena itu, adalah hal yang wajar jika Urtug berubah atau bahkan berkembang. Sayangnya, dalam praktek penyelenggaraan pemerintahan di tanah air, siapakah yang hafal atau paham akan uraian tugasnya? Urtug hanya menjadi dokumen statis yang tidak pernah diukur kadar implementasi dan tingkat kemanfaatannya dalam membangun kinerja organisasi.

Persoalan pemberian sanksi hingga pemecatan juga sebuah issu yang sangat menarik untuk disimak. Di Amerika, pemerintah tidak bisa dengan mudah dan tiba-tiba memecat pegawainya yang melakukan kesalahan atau berkinerja rendah. Bahkan status kepagawaian merupakan hak milik (property right) di Negara Bagian California (tidak berlaku untuk seluruh negara bagian). Pernah terjadi sebuah kasus dimana seorang dokter mabuk dan kemudian dipecat. Si dokter menggugat ke pengadilan dan keputusan pemecatan tersebut diperintahkan oleh hakim untuk dibatalkan. Dengan demikian, sanksi disiplin dilakukan melalui sistem progressive discipline, yakni dengan masa percobaan (probation period) atau sering dikenal dengan istilah honeymoon period. Selama masa probasi ini, dilakukan berbagai upaya pembinaan seperti pengecekan kesehatan, pelatihan, monitoring terhadap kinerja dan perilaku pegawai, dan seterusnya. Namun demikian, property right ini dapat dihentikan untuk alasan baik (good causes) seperti pensiun, permintaan sendiri, dan sejenisnya.

Karena memecat adalah hal yang sulit, maka kepada pegawai yang rendah kompetensinya perlu diberikan motivasi agar dapat memberbaiki diri. Selain itu, sistem rekrutmen yang baik harus dijaga sungguh-sungguh, sehingga dapat menghasilkan calon pegawai yang terbaik. Jika rekrutmen selalu menghasilkan orang terbaik, maka orang-orang yang tidak kompeten dan berkinerja rendah suatu ketika akan terseleksi secara alami.

Selain itu, di AS cukup lazim pegawai bekerja atau berkantor di rumah, meskipun hanya beberapa hari dalam satu bulan. Kebijakan ini justru merupakan bagian dari benefit atau sistem tunjangan bagi pegawai. Untuk bisa bekerja di rumah, seorang pegawai harus membuat rencana kerja dan target kinerja selama penggunaan jam kerja di rumah. Pada saat di rumah, dia boleh saja pergi mengantar anaknya, berbelanja, atau bertemu temannya di Cafe, sepanjang dia menggantinya dengan kerja di waktu lain (malam hari misalnya) dan target terpenuhi. Sistem ini merefleksikan adanya kepercayaan yang tinggi dari manajemen kepada pegawainya. Selain itu, kinerja pegawai dipandang jauh lebih penting dibanding kehadiran semata.

Pegawai kontrak juga sangat lumrah di AS, terutama untuk aktivitas yang tidak rutin seperti Dokter Gigi yang melakukan pemeriksaan 2 kali dalam 1 minggu di penjara, atau yang bersifat musiman seperti penjaga pantai pada liburan musim panas. Standar gaji atau kompensasi pegawai kontrak sama dengan pegawai permanen, hanya tidak mendapatkan pensiun. Selain itu, tidak ada batasan tentang umur, jenis kelamin, agama, ras/kebangsaan, atau warna kulit, dalam rekrutmen pegawai kontrak maupun permanen. Bahkan pertanyaan terkait hal-hal seperti itu adalah hal tabu dan dapat dikategorikan sebagai bentuk diskriminasi. Pada sessi wawancara saat rekrutmen, tipe pertanyaan yang bisa digunakan adalah pertanyaan hipotetis seperti “apa yang akan anda lakukan jika ...?”, atau pertanyaan tentang perilaku seperti “apa yang pernah anda lakukan dimasa lalu?”
Akhirnya, satu hal lagi yang saya pelajari dari praktek manajemen SDM di AS adalah bahwa setiap pegawai (kasus UC Irvine) memiliki hak mengikuti training selama 80 jam setahun. Ketentuan ini tidak kaku, bisa kurang atau bisa lebih tergantung pada atasan pegawai yang bersangkutan. Pada umumnya diklat bersifat penugasan (mandatory, dictated) meskipun pegawai dapat mengusulkan untuk mengikuti jenis diklat tertentu. Dalam konteks UU ASN, kita juga akan memberlakukan hak 80 jam bagi pegawai untuk mengembangkan dirinya, namun hingga saat ini belum jelas bagaimana skenario 80 jam itu akan diimplementasikan, misalnya berapa porsi yang wajib dan pilihan, bagaimana mekanisme untuk program pilihan, jenis-jenis program apa saja yang tergolong dalam pengembangan kompetensi, dan sebagainya.

Diluar issu-issu kepegawaian yang saya uraikan diatas, menarik juga untuk menyimak model alokasi anggaran untuk belanja pegawai. Di Orange County, dari total anggaran pemerintah yang ada, 30% dialokasikan untuk belanja pegawai, meliputi gaji, tunjangan, asuransi, hingga pensiun. Khusus untuk pensiun, pegawai mencapai pensiun pada usia 55 tahun, dan akan mendapat uang pensiun dengan formula 2,7%@55. Artinya, jika seseorang pensiun pada umur 55, maka akan mendapat pensiun sebanyak 2,7% dari gajinya dalam satu tahun. Jika seseorang pensiun pada usia 30 tahun, maka pensiunnya adalah 2,7x30 = 86% dari pensiun umur 55.

Jakarta, 4 Juni 2015
*tulisan yang tertunda*

Tidak ada komentar: