Setiap kali mendapat kesempatan berkunjung ke negara
asing, saya lebih cenderung untuk berusaha memfokuskan pada sesuatu dibalik
yang saya lihat atau saya terima. Begitu juga ketika menerima penugasan untuk
mengikuti short course di University
of California at Irvine (UCI) tentang human
resource management, saya tidak ingin menguasai kebijakan dan praktek
manajemen SDM sektor publik di Amerika, karena sangat tidak mungkin untuk
menguasainya hanya dalam lima hari pertemuan efektif. Itulah sebabnya, untuk
mampu memperoleh manfaat terbesar dari program tadi, saya mencoba menangkap dan
membaca sesuatu yang tersirat dari materi yang disampaikan, dan membayangkan berbagai
kemungkinan aplikasinya untuk kebutuhan sendiri di tanah air. Dengan kata lain,
saya menghindari “menghafal”, dan memilih “menemukan pesan” dari sebuah
aktivitas pembelajaran.
Dengan cara belajar seperti itu, saya merasa justru mampu
menghasilkan banyak ide yang mungkin bisa dipertimbangkan untuk memperkuat
reformasi birokrasi, khususnya pada area sumber daya aparatur.
Gagasan pertama yang bisa saya
lontarkan adalah bahwa momentum perubahan dari UU Kepegawaian menjadi UU ASN
sebaiknya dimanfaatkan sebagai perubahan paradigmatik pengelolaan SDM Aparatur.
Dalam hal ini, salah satu perubahan paradigma yang perlu
dipertimbangkan adalah dari Manajemen Kepegawaian menjadi Manajemen Bakat (Talent Management). Artinya, yang
dikelola bukan pegawai/orangnya, namun bakat yang dimiliki pegawai untuk
mendukung tugas-tugasnya, bukan hanya pada jangka pendek, namun lebih untuk
memenuhi kebutuhan jangka panjang organisasi. Dengan kata lain, manajemen
kepegawaian itu harus berfokus pada bakat, bukan pada kompetensi semata,
apalagi pada orangnya. Dengan demikian, maka rekrutmen pada hakekatnya adalah
upaya mencari bakat-bakat terbaik. Diklat-pun bukan sekedar memenuhi gap
kompetensi, namun lebih pada mengembangkan bakat-bakat pegawai agar dapat
memenuhi kebutuhan organisasi. Demikian pula, pola karir dan penggajian atau
pemberian kompensasi bagi pegawai, pada hakekatnya adalah upaya menjaga agar
bakat-bakat yang dimiliki organisasi tidak hilang atau melemah.
Sayangnya, UU ASN masih cenderung kental nuansa
manajemen kepegawaiannya, terlihat pada Bab VIII tentang Manajemen ASN, yang
terdiri dari 7 (tujuh) aspek yakni rekrutmen, pengembangan pegawai, promosi,
kesejahteraan, manajemen kinerja, disiplin/etika, dan pensiun. Dengan kata
lain, sistem yang berlaku saat ini belum terlalu menekankan pentingnya bakat
sebagai faktor kunci keberhasilan organisasi. Sebagai contoh, penggajian hanya
dipandang sebagai “upah” pegawai terhadap jam kerja yang dilalui, bukan untuk
menjaga agar pegawai tersebut merasa nyaman/betah berada dalam organisasi,
sehingga dapat mengurangi tingkat turnover pegawai. Sistem penggajian
terlalu kaku hanya mengikuti Tabel Gaji yang diatur dalam perundang-undangan,
namun gagal mempertimbangkan variasi dalam bakat pegawai. Idealnya besaran
gaji/tunjangan juga harus memperhatikan besaran bakat, selain tingkat kinerja
seseorang. Demikian pula untuk Diklat, selama ini lebih didesain untuk menutupi
kesenjangan kompetensi. Dalam talent development, diklat tetap
diperlukan bagi seseorang meskipun tidak mengalami competency gap,
karena bakat harus terus ditingkatkan seiring dengan tuntutan organisasi. Oleh
karena itu, perumusan RPP Pelaksanaan UU ASN menjadi sangat penting untuk
memastikan bahwa perubahan paradigma tersebut dapat berjalan dengan baik.
Pentingnya pengelolaan bakat ini diperkuat oleh
tulisan Mc. Kinsey berjudul The War for
Talent (1998). Dalam publikasi ini disebutkan bahwa pegawai yang berkinerja
tinggi di bidang operasi terbukti meningkatkan produktivitas sebanyak 40%, di
bidang manajemen meningkatkan keuntungan sebesar 49%, dan di bidang penjualan
meningkatan pendapatan sebesar 67%.
Selanjutnya, perubahan paradigma
juga perlu dilakukan dalam hal orientasi fungsi pegawai. Fungsi
pegawai selama ini didominasi oleh pekerjaan administratif dan paperwork-based,
sementara fungsi penegakan aturan, konsultasi, perencanaan, dan penyusunan
strategi organisasi semakin mengecil. Dalam perspektif kedepan, fungsi
konsultasi harus diperbesar sebagai manifestasi pelayanan langsung kepada
masyarakat. Fungsi ini berhubungan dengan masalah nyata yang dihadapi
masyarakat, misalnya terkait kebutuhan konsultasi soal nutrisi. Selama ini,
masyarakat harus datang ke RS dan membayar jasa dokter untuk konsultasi soal
nutrisi. Demikian pula, untuk membuka usaha, masyarakat harus membayar jasa
konsultan manajemen atau pemasaran karena pemerintah tidak menyediakan jasa ini.
Area konsultasi harus dibuka seluas-luasnya termasuk untuk merancang bangunan,
memilih pendidikan untuk anak-anak, merencanakan asuransi, dan seterusnya.
Agar fungsi konsultasi ini bisa berjalan dengan
baik, maka perlu alokasi waktu dan anggaran yang mendukung. Misalnya, setiap
hari Senin ditetapkan sebagai hari konsultasi, dan para pegawai dijadualkan
untuk mendatangi kelompok-kelompok masyarakat guna memberi jasa konsultasi
sesuai kebutuhannya. Fungsi konsultasi ini juga memiliki implikasi kelembagaan
dan jabatan. Artinya, struktur kelembagaan pemerintah selama ini perlu
dirampingkan karena tidak lagi memerlukan struktur yang besar dan tinggi. Pada
saat yang bersamaan, jabatan fungsional Konsultan dapat lebih diperkuat.
Sementara
itu, pada tataran yang lebih teknis, ada hal baru yang sangar urgen untuk
dipertimbangkan dalam proses rekrutmen calon pegawai, yakni onboarding. Ini menjadi hal yang sangat penting
dan menentukan kemampuan calon pegawai dalam menerima dan menjalankan
tugas-tugas sebagai pegawai. Seharusnya, test seleksi calon pegawai itu hanya
langkah kecil dari rangkaian upaya pencarian bakat yang telah dilakukan
sebelumnya. Pembentukan bakat semestinya tidak diserahkan sepenuhnya kepada
perguruan tinggi, namun organisasi yang membutuhkan bakatlah yang harus lebih
peduli untuk melakukan pemantauan bakat. Bahkan perusahaan kelas dunia seperti
Cisco, sudah melakukan talent scouting setahun sebelum dilakukan
rekrutmen.
Beberapa inisiatif yang dapat
dilakukan untuk mendapatkan bakat terbaik antara lain dengan melakukan aneka
kompetisi. Jika sebuah organisasi bergerak di bidang penelitian, maka bisa
melakukan lomba penulisan karya ilmiah, dan para pemenangnya kemudian dipantau
dan dipersiapkan program-program lanjutan untuk memastikan orang tersebut
nantinya direkrut sebagai peneliti di organisasinya. Dengan demikian, pada saat
orang tersebut menjadi pegawai, organisasi tidak perlu lagi mengeluarkan banyak
biaya dan upaya untuk membina calon pegawainya. Beasiswa untuk mengikat
seseorang yang memiliki bakat, juga merupakan trik dini untuk rekrutmen di
kemudian hari. Selain kompetisi dan beasiswa, onboarding juga bisa dilakukan dengan penunjukan mentor untuk
seseorang, melibatkan secara aktif dalam diskusi terbatas, dan sebagainya.
Dalam kaitan dengan onboarding ini, Diklat Prajabatan harus
menjadi instrumen paling manjur untuk mempersiapkan seorang calon pegawai dalam
lingkungan baru organisasi secara penuh. Salah satu opsi yang dapat dipikirkan
adalah menjadikan Prajabatan sebagai model training yang sepenuhnya dilakukan
ditempat kerja dan mendukung program kerja, dengan memberi tanggungjawab
tertentu kepada calon pegawai (fully
on-the-job training). Dalam hal ini, peran atasan menjadi sangat penting
untuk membimbing, mengawasi, meluruskan, dan meningkatkan kompetensi calon
pegawai secara signifikan.
Masih terkait dengan soal rekrutmen,
penggantian seorang pejabat, pertukaran posisi, ataupun mutasi dan promosi,
haruslah berbasis perencanaan suksesi yang jelas, terukur, dan berorientasi
pada kinerja yang semakin baik. Rolling jabatan
bukan sekedar masalah penyegaran organisasi atau pemerataan kesempatan,
melainkan sebuah kebutuhan mendasar dalam organisasi. Oleh karena itu,
kebutuhan suksesi harus direncanakan dengan matang.
Dalam rangka menyusun perencanaan
suksesi (succession planning) itu, perlu
diawali dengan evaluasi dan pemetaan terhadap kinerja dan kompetensi incumbent, kemudian dibandingkan dengan
kinerja dan kompetensi yang diharapkan (expected
competence and performance). Dari perbandingan tersebut, kemudian dicarikan
kandidat yang memenuhi atau mendekati kriteria yang dibutuhkan. Ketika masih
tetap terdapat kesenjangan antara kinerja dan kompetensi yang diharapkan dengan
yang dimiliki, ada 2 (dua) pilihan yang dapat dipertimbangkan pimpinan, yakni:
1) merumuskan program-program untuk pengembangan kinerja dan kompetensi internal,
atau 2) mencari bakat dari luar (open
recruitment). Jika berdasarkan succession
planning tersebut tidak ditemui kelangkaan bakat (talent scarcity) di internal organisasi, maka tidak perlu dilakukan
open recruitment.
Logika untuk succession planning ini sangat serupa dengan logika dalam analisis
kebutuhan diklat (training needs analysis).
Keduanya dapat bersinergi, dimana AKD tidak hanya disusun untuk kebutuhan
merencanakan kegiatan diklat, namun juga untuk mendukung sistem mutasi dan
promosi.
Pelajaran lain yang saya hayati dalam
manajemen kinerja adalah perlunya performance
conversation atau percakapan kinerja antara seorang pegawai dengan
pimpinannya. Ini merupakan sebuah keniscayaan untuk membangun trust antara
pegawai dengan atasannya sekaligus mengurangi bias dalam penilaian prestasi
kerja pegawai. Agar konversasi tadi lebih bermakna, maka bagi pegawai diberikan
kesempatan melakukan penilaian kinerja pribadinya (self-assessment) sebagaimana dipraktekkan di Oracle, sebuah
perusahaan multi-nasional di Amerika. Penilaian kinerja pribadi ini selanjutnya
dikomunikasikan secara terbuka dengan penilaian dari atasannya. Dan performance conversation ini sebaiknya dilakukan secara reguler, paling sedikit 3 bulan sekali.
Hal penting yang juga belum
dilakukan di Indonesia adalah menghitung RoI (return on investment) dari program diklat pegawai. Unit kepegawaian
atau human resources adalah cost center, termasuk unit dan program
diklat yang banyak membelanjakan anggaran negara. Jika tidak dapat diukur
kemanfaatannya, maka program dan anggaran diklat bisa menjadi sumber
inefisiensi yang amat besar dalam organisasi. Kalaupun dapat diukur, haruslah
nilai kemanfaatan yang diperoleh lebih besar dari pada biaya yang dikeluarkan (cost < benefit). Adapun rumus RoI adalah:
- Manfaat yang diharapkan (expected benefits) – biaya yang dikeluarkan (projected costs) = Manfaat bersih yang diharapkan (net expected benefits);
- (Net expected benefits / projected costs) x 100 = persentase RoI yang diharapkan (Projected RoI%).
Terkait dengan kebijakan dan
program diklat, nampaknya kita harus tengok lagi teori pembelajaran Conscious Competency Model, dimana ada
empat tahap pembelajaran yaitu: 1) unconscious;
2) conscious incompetency; 3) conscious
competence; dan 4) unconscious
competence. Dari ke-4 tahap tersebut sistem Diklat Kepemimpinan saat ini
sudah mampu mendorong peserta diklat hingga ke tahap 3, yakni sadar bahwa
mereka mampu melakukan perubahan. Namun setelah selesai diklat dan kembali ke
sistem permanen, pada umumnya turun ke tahap dua, yakni mereka sadar tidak
mampu melakukan perubahan sebagaimana saat masih mengikuti Diklat Kepemimpinan.
Padahal, yang diinginkan adalah setelah menjadi alumni Diklatpim, setiap
pegawai/pejabat mampu meningkatkan kapasitasnya hingga ke tahap ke-4 yakni
tanpa disadari telah mampu melakukan perubahan secara berkelanjutan.
Sehubungan dengan adanya fenomena
tersebut, maka evaluasi pasca diklat dan program tindak lanjut Diklatpim
menjadi sebuah keniscayaan. Sebagai contoh, alumni diklat tetap wajib
menghasilkan perubahan pada kurun waktu tertentu sesuai “kontrak” dengan
atasannya, misalnya minimal 1 perubahan dalam 1 tahun. Dari perspektif LAN
sendiri perlu dilakukan pemberian penghargaan kepada alumni yang terbukti telah
mencapai tahap terakhir dari 4 tahap pembelajaran diatas, yang dibuktikan
dengan lahirnya inovasi dan inisiatif perubahan selain yang dihasilkan selama
mengikuti Diklatpim. Dengan kata lain, pemimpin perubahan adalah mereka yang
bukan melaksanakan rencana perubahan yang disusun pada saat ikut Diklat saja,
namun juga telah menghaslikan perubahan-perubahan berikutnya.
Issu strategis dalam ASN berikutnya
adalah tentang kompensasi. Di Amerika, pemberian kompensasi tidak sama untuk
setiap orang meskipun memiliki tingkat pendidikan yang sama atau masa kerja
yang sama. Besaran kompensasi bersifat individual tergantung pada bakat,
kompetensi, dan kinerja seseorang. Begitu juga untuk kenaikan kompensasi, akan
sangat bervariasi antar pegawai. Prinsipnya adalah different increase (payment) for different people. Kepada setiap pegawai bahkan diberikan
hak untuk membuat Individual Incentive
Plan, yakni usulan peningkatan insentif atau kompensasi dengan disertai
rencana perbaikan kinerja individu, misalnya akan lebih fokus dalam
meningkatkan kepuasan pelanggan. Pada periode tertentu, “janji” pegawai yang
tertuang dalam usulan peningkatan kompensasi itu harus dibuktikan. Dengan
sistem ini, maka iklim kompetisi akan tumbuh dengan sehat di kalangan pegawai
sekaligus dapat menjaga agar bakat-bakat besar tidak pergi dari organisasi.
Terkait dengan sistem kompensasi
tersebut, perlu dibangun sebuah sistem kompensasi yang terintegrasi di Indonesia,
meliputi BPJS, Bapertarum, beasiswa, tunjangan (jabatan, anak/istri, beras,
daerah terpencil, dan lain-lain), dan sebagainya. Dengan sistem yang
terintegrasi tersebut, maka dapat dilakukan pemetaan dan perencanaan kebutuhan
kompensasi bagi pegawai yang lebih berkeadilan sekaligus memotivasi pegawai
untuk tetap mengabdi kepada organisasinya.
Lesson
learned berikutnya yang saya tarik adalah
tentang uraian tugas jabatan (job
description). Dalam konteks manajemen SDM secara umum, uraian tugas
memiliki peran yang sangat strategis, bukan hanya sebagai acuan pegawai dalam pelaksanaan
tugas harian, namun juga untuk berbagai kepentingan lainnya. Salah satu
kepentingan dari Urtug itu adalah untuk mengukur tingkat kinerja individu
pegawai sekaligus menetapkan besaran Tunjangan Kinerja. Selain itu, Urtug juga
bisa menjadi instrumen AKD. Jika ada pegawai yang tidak mampu menjalankan
tugasnya secara optimal, akan dikaji faktor-faktor yang menyebabkan rendahnya
kinerja tersebut, dan selanjutnya akan disusun program diklat untuk penguatan
kapasitas pegawai.
Mengingat begitu banyaknya manfaat
dari Urtug tersebut, maka perlu dilakukan review
terhadap Urtug, selambat-lambatnya setiap 2 tahun sekali. Sebab, organisasi
terus berkembang mengikuti dinamika lingkungannya. Kompetitor organisasi juga
terus meningkatkan kemampuannya, sementara pelanggan semakin tinggi standar
ekspektasinya. Oleh karena itu, adalah hal yang wajar jika Urtug berubah atau
bahkan berkembang. Sayangnya, dalam praktek penyelenggaraan pemerintahan di
tanah air, siapakah yang hafal atau paham akan uraian tugasnya? Urtug hanya
menjadi dokumen statis yang tidak pernah diukur kadar implementasi dan tingkat
kemanfaatannya dalam membangun kinerja organisasi.
Persoalan pemberian sanksi hingga
pemecatan juga sebuah issu yang sangat menarik untuk disimak. Di Amerika, pemerintah
tidak bisa dengan mudah dan tiba-tiba memecat pegawainya yang melakukan
kesalahan atau berkinerja rendah. Bahkan status kepagawaian merupakan hak milik
(property right) di Negara Bagian
California (tidak berlaku untuk seluruh negara bagian). Pernah terjadi sebuah
kasus dimana seorang dokter mabuk dan kemudian dipecat. Si dokter menggugat ke
pengadilan dan keputusan pemecatan tersebut diperintahkan oleh hakim untuk
dibatalkan. Dengan demikian, sanksi disiplin dilakukan melalui sistem progressive discipline, yakni dengan masa percobaan (probation period) atau sering dikenal dengan istilah honeymoon period. Selama masa probasi
ini, dilakukan berbagai upaya pembinaan seperti pengecekan kesehatan,
pelatihan, monitoring terhadap kinerja dan perilaku pegawai, dan seterusnya.
Namun demikian, property right ini
dapat dihentikan untuk alasan baik (good
causes) seperti pensiun, permintaan sendiri, dan sejenisnya.
Karena memecat adalah hal yang
sulit, maka kepada pegawai yang rendah kompetensinya perlu diberikan motivasi
agar dapat memberbaiki diri. Selain itu, sistem rekrutmen yang baik harus
dijaga sungguh-sungguh, sehingga dapat menghasilkan calon pegawai yang terbaik.
Jika rekrutmen selalu menghasilkan orang terbaik, maka orang-orang yang tidak
kompeten dan berkinerja rendah suatu ketika akan terseleksi secara alami.
Selain itu,
di AS cukup lazim pegawai bekerja atau berkantor di rumah, meskipun hanya
beberapa hari dalam satu bulan. Kebijakan ini justru merupakan bagian dari benefit atau sistem tunjangan bagi
pegawai. Untuk bisa bekerja di rumah, seorang pegawai harus membuat rencana
kerja dan target kinerja selama penggunaan jam kerja di rumah. Pada saat di
rumah, dia boleh saja pergi mengantar anaknya, berbelanja, atau bertemu
temannya di Cafe, sepanjang dia menggantinya dengan kerja di waktu lain (malam
hari misalnya) dan target terpenuhi. Sistem ini merefleksikan adanya kepercayaan
yang tinggi dari manajemen kepada pegawainya. Selain itu, kinerja pegawai
dipandang jauh lebih penting dibanding kehadiran semata.
Pegawai
kontrak juga sangat lumrah di AS, terutama untuk aktivitas yang tidak rutin
seperti Dokter Gigi yang melakukan pemeriksaan 2 kali dalam 1 minggu di
penjara, atau yang bersifat musiman seperti penjaga pantai pada liburan musim
panas. Standar gaji atau kompensasi pegawai kontrak sama dengan pegawai
permanen, hanya tidak mendapatkan pensiun. Selain itu, tidak ada batasan
tentang umur, jenis kelamin, agama, ras/kebangsaan, atau warna kulit, dalam rekrutmen
pegawai kontrak maupun permanen. Bahkan pertanyaan terkait hal-hal seperti itu
adalah hal tabu dan dapat dikategorikan sebagai bentuk diskriminasi. Pada sessi
wawancara saat rekrutmen, tipe pertanyaan yang bisa digunakan adalah pertanyaan
hipotetis seperti “apa yang akan anda lakukan jika ...?”, atau pertanyaan
tentang perilaku seperti “apa yang pernah anda lakukan dimasa lalu?”
Akhirnya,
satu hal lagi yang saya pelajari dari praktek manajemen SDM di AS adalah bahwa
setiap pegawai (kasus UC Irvine) memiliki hak mengikuti training selama 80 jam setahun. Ketentuan ini tidak kaku, bisa
kurang atau bisa lebih tergantung pada atasan pegawai yang bersangkutan. Pada
umumnya diklat bersifat penugasan (mandatory,
dictated) meskipun pegawai dapat mengusulkan untuk mengikuti jenis diklat
tertentu. Dalam konteks UU ASN, kita juga akan memberlakukan hak 80 jam bagi
pegawai untuk mengembangkan dirinya, namun hingga saat ini belum jelas
bagaimana skenario 80 jam itu akan diimplementasikan, misalnya berapa porsi
yang wajib dan pilihan, bagaimana mekanisme untuk program pilihan, jenis-jenis
program apa saja yang tergolong dalam pengembangan kompetensi, dan sebagainya.
Diluar issu-issu
kepegawaian yang saya uraikan diatas, menarik juga untuk menyimak model alokasi
anggaran untuk belanja pegawai. Di Orange County, dari total anggaran pemerintah
yang ada, 30% dialokasikan untuk belanja pegawai, meliputi gaji, tunjangan,
asuransi, hingga pensiun. Khusus untuk pensiun, pegawai mencapai pensiun pada
usia 55 tahun, dan akan mendapat uang pensiun dengan formula 2,7%@55. Artinya,
jika seseorang pensiun pada umur 55, maka akan mendapat pensiun sebanyak 2,7%
dari gajinya dalam satu tahun. Jika seseorang pensiun pada usia 30 tahun, maka
pensiunnya adalah 2,7x30 = 86% dari pensiun umur 55.
Jakarta,
4 Juni 2015
*tulisan yang
tertunda*
Tidak ada komentar:
Posting Komentar