Kamis, 25 Juni 2015

Negara yang Berpihak



Jika diminta 1 kalimat singkat tentang apa yang saya pelajari dari penugasan saya selaku pimpinan delegasi benchmarking Diklatpim II Kelas Samarinda ke Thailand dan Kelas Surabaya ke Hongkong, beberapa waktu yang lalu, jawaban saya adalah sosok negara yang berpihak.

Ketika pemerintahan Jokowi membawa slogan baru tentang negara yang hadir melalui 9 program Nawacita, saya justru merasakan hadirnya pemerintah Hongkong dan Thailand bagi rakyatnya masing-masing. Ini bukan berarti bahwa pemerintah Indonesia tidak hadir untuk rakyatnya, namun masih butuh upaya serius dari jajaran petinggi negeri untuk membuktikan kehadirannya secara nyata di depan warganya. Pengalaman Hongkong dan Thailand inipun diharapkan dapat memberi inspirasi bagaimana menghadirkan negara untuk kepentingan warga negara.

Di Thailand, kami mengunjungi The National Bureau of Agricultural Commodity and Food Standards (ACFS) yang memiliki dua fungsi utama yakni melakukan standarisasi komoditas pertanian dan produk-produk makanan, serta melakukan negosiasi untuk menyelesaikan permasalahan terkait kebijakan non-tarif atau standar internasional. Saya ingin fokus pada fungsi kedua, yakni negosiasi, untuk menjelaskan issu keberpihakan negara.

Pada awal tahun 2012, misalnya, China mendeteksi adanya produk sarang burung yang diimpor dari Malaysia yang tercemar nitrit diatas ambang normal. Hal ini terjadi karena penambahan nitrit untuk meningkatkan kadar warna merah dalam produk tersebut agar meningkat harganya. Akibatnya, China melarang impor produk sarang burung dari seluruh negara termasuk Thailand, meskipun pengusaha Thailand tidak melakukan kecurangan seperti itu. Merespon kebijakan pemerintah China tadi, ACFS dan Kementerian Peternakan Thailand melakukan serangkaian negosiasi dengan pihak China, dan akhirnya menyepakati protokol tentang Inspection, Quarantine, and Hygiene Requirements for the Importation of Birds Nest Products from Thailand to China, sehingga pada tahun 2014 impor sarang burung dari Thailand sudah bisa masuk lagi ke China.

Sikap gesit pemerintah Thailand cq. AFCS dalam merespon issu yang merugikan petani sarang burung inilah yang saya maksudkan sebagai negara yang berpihak. Pemerintah setempat nampak sigap sekali mencegah kemungkinan berlanjutnya kerugian petaninya akibat ditutupnya keran impor oleh China. Hanya dalam waktu kurang dari dua tahun, politik dagang luar negeri yang merugikan pengusaha kecil domestik bisa diselesaikan.

Hebatnya lagi, ini bukan satu-satunya kasus yang berhasil ditangani ACFS untuk kepentingan ekonomi mereka. Pada tahun 2004, Jepang melarang impor daging ayam segar dari Thailand karena kasus Flu Burung. Dengan upaya yang serius, pada tahun 2009 Thailand sudah mendeklarasikan status bebas Flu Burung, namun larangan dari Jepang masih belum dicabut. ACFS bersama Kementerian Peternakan langsung melakukan serangkaian negosiasi, yang berujung pada kunjungan Kementerian Kesehatan, Tenaga Kerja dan Kesejahteraan Jepang ke Thailand untuk melakukan inspeksi berbagai fasilitas transportasi hewan, karantina, serta standar penanganan Flu Burung. Hasil kunjungan ini adalah keyakinan bahwa Thailand benar-benar sudah bebas Flu Burung, sehingga pada bulan Desember 2013 sudah dibuka kembali impor daging unggas dari Thailand.

Kasus serupa juga terjadi dalam hubungan dagang Thailand dengan Indonesia. Pada tahun 2012, Kementerian Perdagangan dan Kementerian Pertanian Indonesia memberlakukan kebijakan pengetatan quota impor produk pertanian dari Thailand. Kebijakan ini sangat memukul Thailand karena Indonesia adalah pasar terbesar di kawasan ASEAN dan terbesar ketiga di dunia setelah China dan Hongkong bagi produk hortikultura Thailand. Menyikapi hal ini, ACFS segera melakukan negosiasi terkait pembatasan kuota, sedangkan Kementerian Pertanian Thailand mengembangkan kesepakatan timbal balik (Mutual Recognition Agreement) dengan otoritas Indonesia. Pada akhir 2013, pemerintah Indonesia mengumumkan penundaan kebijakan sistem kuota tersebut. Ketiga kasus diatas hanyalah sedikit dari berbagai situasi kritis yang berhasil diselesaikan, dan ini menunjukkan betapa pemerintah Thailand benar-benar peduli dan bekerja untuk rakyatnya.

Adapun di Hongkong, kami mengunjungi Komisi Persamaan Kesempatan (Equal Opportunity Commision), sebuah lembaga yang dibentuk pada tahun 1996 atas perintah undang-undang, untuk menerapkan aturan tentang diskriminasi jenis kelamin (sex discrimination), diskriminasi kecacatan (disability discrimination), diskriminasi status keluarga (family status discrimination), serta diskriminasi ras (race discrimination). Hebatnya, aturan-aturan tersebut tidak hanya berlaku untuk warna negara Hongkong saja, melainkan juga bagi orang asing yang tinggal dan bekerja di Hongkong.

Sekedar gambaran, studi EOC pada tahun 2014 menghasilkan temuan bahwa 18 persen responden yang disurvei mengalami perlakuan diskriminatif atau pelecehan pada saat mencari kerja atau di dalam pekerjaan. Bentuk perlakuan diskriminatif yang paling sering adalah diskriminasi umur (64%), jenis kelamin (21%), pelecehan seksual (17%), status keluarga (14%), serta kehamilan (10%).

Bandingkan dengan di Indonesia, begitu banyak diskriminasi terkait umur. Untuk melamar sebagai PNS, misalnya, dibatasi minimal 18 tahun dan maksimal 35 tahun, sedangkan untuk menjadi anggota KASN minimal berusia 50 tahun. Secara begitu kasat mata, kita mengabadikan praktek diskriminasi dalam peraturan perundang-undangan. Sementara tentang diskriminasi jenis kelamin, betapa sering kita menyaksikan pengumuman lowongan kerja yang mensyaratkan jenis kelamin tertentu secara eksplisit. Tanpa kita sadari, bangsa ini sudah begitu lama dan mendalam berlaku diskriminatif untuk bangsa sendiri. Padahal, semenjak tahun 2005 Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi sudah mengeluarkan Panduan Kesempatan dan Perlakuan yang Sama Dalam Pekerjaan di Indonesia (Equal Employment Opportunity) sebagai wujud komitmen untuk meratifikasi Konvensi ILO No. 111 mengenai Diskriminasi dalam Pekerjaan dan Jabatan. Sayangnya, upaya enforcement-nya hanya terdengar sayup-sayup, untuk kemudian lenyap kembali ditelan bumi. Karena tidak ada upaya penegakan yang konsisten itulah, maka kehadiran negara tidak begitu terasa dalam kehidupan masyarakat.

Berikut ini adalah beberapa kasus persamaan kesempatan bukan hanya mengisi ruang-ruang kantor dan seminar, namun lebih memenuhi rongga-rongga kehidupan privat warga di Hongkong. Pertama, ada kasus seorang ibu yang menyusui bayinya di sebuah sudut di perpustakaan yang sepi, kemudian diperingatkan sebanyak dua kali oleh satpam dan diusir karena adanya ketentuan tidak boleh menyusui di perpustakaan. Si ibu menolak pergi dan tetap menyusui karena merasa memiliki hak untuk menyusui, dan bayinya-pun memiliki hak untuk disusui. Si ibu lantas mengadu kepada EOC, yang segera melakukan upaya rekonsiliasi. Hasilnya, pihak perpustakaan setuju untuk menyampaikan permohonan maaf secara tertulis kepada si ibu, dan memberlakukan aturan diperbolehkannya menyusui di perpustakaan.

Kasus kedua, ada seorang perempuan yang bekerja sebagai manajer di sebuah restaurant. Oleh atasannya, ia diminta memindahkan hari liburnya ke akhir pekan. Namun perempuan ini menolak dan tetap meminta libur pada setiap hari Kamis karena pada hari itu ia membawa anaknya untuk terapi bicara. Karena menolak, akhirnya si perempuan ini dipecat. Setelah mengadu dan difasilitasi oleh EOC, restaurant tadi bersedia memberi ganti rugi 1 bulan gaji, permintaan maaf secara tertulis, serta surat rekomendasi untuk mencari pekerjaan. Kasus serupa dialami perempuan lain yang bekerja sebagai direktur SDM di sebuah perusahaan. Perempuan ini memiliki seorang ibu yang menderita kanker payudara, sehingga mengajukan cuti beberapa hari. Oleh atasanya, perempuan ini dinilai rendah kinerjanya dan diminta untuk mengundurkan diri. Karena menolak, akhirnya perusahaan tadi memecatnya. Setelah difasilitasi oleh EOC, akhirnya perusahaan memberi rekomendasi kepada perempuan tadi untuk mencari pekerjaan di perusahaan lain.

Dalam kasus lain, ada seorang ibu yang baru melahirkan mengajukan komplain ke EOC karena seorang sopir bus tidak mau membuka kedua pintu bis, sementara ia menggendong bayinya dengan satu tangan dan memegang kereta bayi di tangan lainnya. Si ibu berargumen bahwa satu pintu tidak cukup leluasa baginya untuk naik kedalam bus. Dari hasil konsiliasi, perusahaan bus berjanji untuk memberi pelatihan bagi sopirnya dan meminta semua sopir bus untuk lebih ramah dan mau memenuhi permintaan/kebutuhan penumpang.

Ada lagi kasus tentang seorang pegawai yang mendapat cidera dalam pekerjaannya di sebuah klinik gigi. Oleh pimpinannya, ia dipaksa mengambil cuti karena sakit, namun setahun kemudian dia diberhentikan secara sepihak. Ketika EOC mengadakan investigasi, pihak perusahaan memberi penjelasan bahwa mereka tidak melakukan pemecatan. “Pemberhentian” tadi disebabkan oleh perampingan organisasi. Proses konsiliasi menjadi buntu, sehingga EOC kemudian memutuskan untuk memberi bantuan hukum kepada pegawai yang dipecat tadi, dan melanjutkan proses ke pengadilan. Akhirnya, klinik gigi tadi bersedia memberi kompensasi terhadap si pegawai.

Masih teramat banyak kasus-kasus kecil hingga besar yang ditangani oleh EOC, dan banyak sekali orang yang merasa sangat terbantu mendapatkan haknya yang dijamin oleh undang-undang. Undang-undang menjadi sebuah kebijakan yang berwibawa karena memberi rasa aman bagi warga negara. Kebijakan publik yang baik memang semestinya tidak sekedar memberi beban tambahan bagi masyarakat, apalagi menimbulkan rasa takut dan khawatir. Kebijakan adalah payung yang melindungi warga negara dari terik panas dan hujan badai. Sementara tugas pejabat publik adalah memberikan jaminan bahwa kebijakan yang dikeluarkan negara benar-benar mampu merealisasikan tujuannya sebagai instrumen membangun kualitas pelayanan dan kesejahteraan secara progresif.

Dari berbagai cerita di kedua negara diatas, dapat kita Tarik sebuah lesson learned bagaimana menghadirkan negara bagi masyarakatnya. Caranya ternyata cukup mudah, yakni merumuskan kebijakan yang berpihak pada rakyat banyak (pro people), kemudian menegakkan aturan tadi dengan komitmen yang bulat dari seluruh jajaran pejabat publiknya. Integritas total terhadap tugas dan orientasi terhadap nilai-nilai kepublikan (public values) menjadi kata kunci keberhasilan negara hadir hingga ke relung hati terdalam rakyatnya.

Villa Melati Mas Serpong, 25 Juni 2015

2 komentar:

Papua Enterprise mengatakan...

Bro, terima kasih banyak block anda sangat edukasi bagi saya. saya pingin diskusi bila anda memberikan waktu kepada saya. kalo bisa hub saya, saya pun bahagia sekali. Jimmi Frans /085885891989

IBU TUTI TKI SINGAPUR mengatakan...

Awalnya aku hanya mencoba main togel akibat adanya hutang yang sangat banyak dan akhirnya aku buka internet mencari aki yang bisa membantu orang akhirnya di situ lah ak bisa meliat nmor nya AKI NAWE terus aku berpikir aku harus hubungi AKI NAWE meskipun itu dilarang agama ,apa boleh buat nasip sudah jadi bubur,dan akhirnya aku menemukan seorang aki.ternyata alhamdulillah AKI NAWE bisa membantu saya juga dan aku dapat mengubah hidup yang jauh lebih baik berkat bantuan AKI NAWE dgn waktu yang singkat aku sudah membuktikan namanya keajaiban satu hari bisa merubah hidup ,kita yang penting kita tdk boleh putus hasa dan harus berusaha insya allah kita pasti meliat hasil nya sendiri. siapa tau anda berminat silakan hubungi AKI NAWE Di Nmr 085--->"218--->"379--->''259'