Sudah
lama sekali saya ingin menulis tentang sosok kalem, santun, penyabar, dan penuh
senyum ini. Sayangnya, selalu saja ada dalih klasik – sibuk lah, tidak ada
waktu lah, dan seterusnya – yang menyebabkan tulisan ini tak kunjung selesai. Namun
ketika saya telah merampungkan artikel testimonial saya tentang pak Desi
Fernanda dan pak Agus Dwiyanto, dorongan untuk menuntaskan tulisan ini menjadi
semakin kuat.
Ya,
pak Noor, begitulah kami memanggil beliau, adalah orang yang sangat berpengaruh
terhadap diri saya. Jika majalah Time
setiap tahun merilis publikasi tentang tokoh-tokoh dunia paling berpengaruh,
maka bagi saya pak Noor adalah salah satu tokoh paling berpengaruh tanpa perlu survey
apapun. Tanpa beliau, mungkin saya tidak pernah mengenali bakat saya dalam hal
menulis. Tanpa beliau, mungkin tidak akan pernah ada artikel opini saya yang dimuat
di Jakarta Post, Kompas, Republika, Media Indonesia, Suara Pembaruan, dan
hampir seluruh koran nasional dan beberapa koran daerah. Tanpa beliau, mungkin
juga saya tidak akan pernah percaya diri memberi materi di depan puluhan bahkan
ratusan orang.
Sekitar
akhir November 1993, beliau memanggil saya dengan beberapa teman se-angkatan
dan kakak angkatan. Waktu itu saya masih orientasi di Bidang Diklat, sementara
pak Noor adalah Kabid Litbang di LAN Perwakilan Jawa Barat (sekarang PKP2A I
Jatinangor). Beliau menyodorkan berita di harian Pikiran Rakyat (PR) berjudul “Nasib Pegawai Negeri”, kemudian meminta
kami semua untuk membuat tanggapan terhadap berita tersebut. Bagi saya,
meskipun bukan atasan langsung, namun perintah dari unsur pimpinan dalam sebuah
organisasi harus dimaknai sebagai kewajiban yang tidak bisa ditawar. Maka,
meski harus mengkonsep dengan coretan tangan (waktu itu hanya ada 1 komputer
untuk 1 unit, dan jumlah mesin ketik manual-pun masih sangat sedikit), saya memaksakan
diri untuk menulis. Kami diberi deadline 1
minggu, dan alhamdulillah saya bisa menyerahkannya tepat waktu. Pada waktu itu,
hanya sayalah yang bisa menunaikan tugas dari pak Noor, dan saya sangat
memaklumi teman-teman lain yang tidak menyelesaikan tugasnya karena tugas-tugas
lain yang lebih mendesak.
Pak
Noor kemudian membaca dengan cermat dan memberi sedikit koreksi. Setelah saya
perbaiki dalam hari yang sama, beliau meminta saya mengirimkan tulisan ini ke PR.
Bagi saya yang CPNS-pun belum (SK CPNS baru saya terima tanggal 1 Januari 1994),
tugas itu merupakan sebuah kemewahan yang mustahil saya lakukan. Maka saya
menyarankan agar tulisan ini dikirim atas nama beliau saja. Pak Noor memahami
posisi saya, dan akhirnya beliau bersedia untuk dicantumkan namanya sebagai
penulis artikel bersama dengan saya. Tidak dinyana sama sekali bahwa hanya 2
minggu setelah kami kirim, artikel itu dimuat. Gegerlah kantor kami karena ada
calon pegawai yang baru 3 minggu berada di kantor sudah mampu menulis artikel
di PR. Inilah milestone yang
ditancapkan oleh pak Noor dalam diri saya, sehingga sampai sekarangpun saya
dikenal sebagai seorang penulis yang cukup produktif.
Sejak
saat itu saya mulai “dilirik” petinggi lain. Pimpinan puncak kami saat itu, pak
Karhi Nisjar, meminta saya untuk membantu menyiapkan konsep-konsep baik untuk
pidato, artikel untuk seminar, bahkan artikel untuk jurnal ilmiah dan
tugas-tugas kuliah S3. Pak Noor juga melibatkan saya dalam seluruh aktivitas
penelitian dan penulisan proceeding Seminar
dalam rangka HUT LAN maupun Temu Wicara Ilmiah (TWI) dalam rangka Wisuda
STIA-LAN Kampus Bandung. Dari membuat proposal hingga laporan akhir, semuanya
saya kerjakan dengan senang hati sesuai peran yang dibebankan kepada saya. Bagi
saya yang saat itu memiliki motivasi besar untuk belajar meskipun menyadari
kebodohan diri, tidak ada kata lain terhadap sebuah perintah kecuali “siap”.
Bukan
itu saja, pak Noor juga sering secara tiba-tiba memerintahkan saya untuk
memberi materi di sebuah forum ilmiah menggantikan beliau. Ada dua kesempatan
yang sangat ingat betul. Pertama, pada
sebuah workshop di Hotel Bandung
Permai, tiba-tiba saya dan seorang kolega saya, kang Baban Sobandi, disuruh
menyampaikan materi kepada peserta. Inilah pertama kali rasa deg-degan yang begitu kuat menjalar ke
seluruh bagian tubuh. Untunglah rasa deg-degan
tadi mendorong adrenalin kami untuk secepat kilat menyaring berbagai ilmu yang
telah mendekam dalam otak kami (meskipun sebenarnya masih sangat cetek), untuk kemudian kami share kepada peserta. Pak Noor terlihat
senang sekali mengerjai kami berdua,
namun tersungging senyum gembira ketika kami dinilai tampil cukup memuaskan.
Kejadian
kedua terjadi di sebuah hotel di Surabaya pada forum yang diikuti oleh para
kepala SKPD. Sebenarnya tugas saya hanya menyiapkan bahan paparan pak Noor, dan
itu sudah beliau sampaikan, ketika tiba-tiba beliau mengatakan kepada peserta
bahwa saudara Tri Widodo akan memberi tambahan materi. Seperti tersengat aliran
listrik 1000 watt, perasaan saya berada diantara ingin menangis dan marah
karena pak Noor seperti menjebak saya dalam situasi yang sangat sulit. Namun saya
paham benar bahwa beliau memiliki niat mulia dan saya tidak boleh mengecewakan
karena ini adalah “tugas negara”. Untungnya, saat itu saya sedang menempuh
program S2 Kebijakan Publik di Universitas Padjajaran, dan seluruh catatan
kuliah saya ada dalam 1 buku, yang selalu saya bawa kemanapun pergi. Maka,
itulah modal saya. saya langsung membuka catatan kuliah dan seolah-olah memberi
kuliah bagi para peserta. Saya bicara mulai trend
pemerintahan wirausaha sesuai konsep Reinventing
Government David Osborne dan Ted Gaebler, juga Banishing Bureaucracy dari David Osborne dan Peter Plastrik, atau
konsep privatisasi dari E.S. Savas, dan sebagainya.
Ketika
saya selesai memaparkan berbagai konsep yang memang sangat teoretik tadi,
tiba-tiba ada pertanyaan dari seorang kepala dinas senior yang “protes” bahwa
pemerintah tidak butuh teori, namun lebih pada aplikasi. Saya merasa mendapat
serangan hebat dan masih belum tahu bagaimana merespon hal semacam ini. Pada saat
“genting” seperti tiu, pak Noor segera turun tangan. Beliau memberi penjelasan
panjang lebar bahwa seorang praktisi tidak bisa melupakan teori karena segala
macam kebijakan publik pun pada dasarnya juga lahir dan berasal dari konsep-konsep
teoretik. Seorang pemimpin harus memiliki kemampuan yang seimbang antara
berpikir visioner dan konseptual disatu pihak, dan kemampuan manajerial dipihak
lain. Banyak lagi yang disampaikan pak Noor secara menohon, yang membuat
peserta tadi terdiam dan tertunduk malu.
Dari
peristiwa tadi saya dapat memahami sikap seorang Noorsyamsa Djumara dalam
membimbing anak buahnya. Beliau memberikan kepercayaan dan kebebasan untuk
berekspresi, namun kepercayaan dan kebebasan itu juga berada dalam kendalinya. Beliau
memiliki perhitungan yang matang bahwa siapapun yang diberikan kepercayaan,
pastilah sudah memiliki kompetensi minimal untuk memenuhi ekspektasi minimal
beliau. Dan ketika kadernya ini menghadapi badai saat menunaikan kepercayaan
yang diberikan, beliau siap mengulurkan tangan untuk menjamin bahwa kadernya tadi
tidak tenggelam oleh penugasannya. Tipe pemimpin seperti ini bagi saya adalah
seorang pemimpin yang sempurna.
Terlepas
dari sisi kedinasan, beliau juga tipikal pemimpin yang baik diluar kedinasan. Hal
ini nampak ketika saya bicara dalam bahasa Sunda, yang ternyata kurang sopan
(maklumlah saya berasal dari Jawa Tengah dan oleh teman-teman diberi pelajaran
bahasa Sunda “sesat”), sambil tersenyum beliau memakluminya dan membetulkan
bahasa Sunda saya. Hasilnya, sampai sekarang saya selalu berkomunikasi dengan beliau
dalam tingkatan bahasa Sunda yang tertinggi yang saya mampu.
Beliau
juga seorang figur yang tiada jemu memberi motivasi kepada saya untuk menyelesaikan
studi Doktoral saya (pada saat ini saya sudah menyelesaikan ujian tertutup
disertasi dan telah dinyatakan lulus). Saya merasakan bahwa beliau memiliki
harapan yang amat besar kepada saya, yang kadang-kadang hal itu cukup membebani,
namun selalu saya coba jadikan sebagai motivasi untuk lebih baik lagi. Sikap seperti
itu membuktikan bahwa pak Noor adalah seorang mentor sejati yang perannya sangat
dibutuhkan bagi eksistensi sebuah organisasi.
Sungguh,
saya sangat beruntung mengenal pak Noor. Tulisan singkat dan sederhana ini
tidak sanggup mendeskripsikan peran dan kontribusi beliau terhadap pengembangan
diri saya. Dan yang bisa saya lakukan hanyalah merekam dalam tulisan pendek ini
sebagai wujud terima kasih saya yang abadi kepada beliau. Hatur nuhun pak Noor, katampi
pisan sagala rupi kasaean bapak …
Villa
Melati Mas Serpong, 21 Juni 2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar