Minggu, 21 Juni 2015

Mozaik Jalanan: Dari Abang Bajaj Hingga Gotong Royong



Sejak saya mendapat fasilitas seorang sopir dari kantor, saya memiliki kebiasaan baru setiap pulang dan pergi ke kantor, yakni mengobservasi apapun yang saya lihat sepanjang jalan. Ini beda sekali dibanding dulu saat masih membawa sendiri kendaraan, dimana saya lebih fokus untuk melihat celah-celah sempit diantara kemacetan yang parah agar bisa secepat mungkin sampai tujuan. Sekarang, saya tidak peduli dengan cara sopir saya membawa mobil yang lebih suka bertahan di jalur kanan semacet apapun, sementara jalur paling kiri (bahu jalan) relatif lancar. Saya mencoba mengalihkan kekecewaan terhadap gaya sopir saya yang seperti memakai kacamata kuda dengan cara mengamati, merenungi, meresapi setiap hal yang saya lihat.

Salah satu pusat perhatian saya adalah para abang Bajaj. Dari pengamatan saya setiap pagi, ada 2 kategori abang Bajaj. Pertama, mereka yang baru berangkat kerja sehabis subuh, sehingga terlihat masih segar, nampak sudah mandi sebelum berangkat, bahkan ada yang masih memakai kopluk khas kaum muslim. Wajah mereka cenderung bersih, tenang, santai, dan tidak banyak masalah. Saya membayangkan bahwa mereka meyakini benar bahwa rejeki itu urusan Tuhan, sedangkan urusan manusia hanyalah berikhtiar dengan disertai doa. Sangat tidak pada tempatnya manusia mengkhawatirkan rejeki dari Tuhannya, karena seekor Cicak di dindingpun tidak pernah kelaparan meski rejekinya berwujud makhluk yang bisa terbang. Orang-orang seperti ini begitu enjoy dengan pekerjaan dan keadaannya, sehingga mempengaruhi sikapnya dalam mengendarakan Bajaj secara santun dan tidak kebut-kebutan. Perasaan cukup (qona’ah) dan bersyukur terbersit dari wajah-wajah sederhana abang Bajaj tipe pertama ini.

Disisi lain, terkadang saya menemukan wajah abang Bajaj yang kusut, letih, dengan baju kumal karena lebih sehari – atau mungkin sudah tiga hari – tidak ganti baju, dan muka kusam seperti menyimpan banyak beban. Saya membayangkan mereka bekerja siang malam dan lupa dengan hak tubuhnya untuk diistirahatkan. Mereka juga lupa bahwa jiwanya butuh penyegaran dan makanan rohani. Mungkin mereka berpikir bahwa waktu 24 jam sehari terlalu sedikit untuk mengejar rejeki, dan sangat boleh jadi rejeki abgi mereka adalah kristalisasi keringat belaka tanpa ada intervensi Ilahiyah dari penguasa alam semesta.

Kondisi yang kontras yang saya amati tadi seringkali saya jadikan bahan introspeksi bahwa jangan-jangan saya termasuk kategori abang Bajaj yang kedua. Saya sungguh bersyukur bahwa saya bisa menarik pelajaran dari mereka. Dan saat saya meyakini bahwa mereka adalah guru-guru kehidupan dan sumber pembelajaran dalam hidup seorang manusia, semakin terbukalah kesadaran saya bahwa segala sesuatu disekitar kita pastilah mengandung pembelajaran bagi kita. Semua tergantung pada kita, apakah kita mau berpikir, menggunakan pikiran dan mata hati kita untuk memperbaiki diri sendiri.

Dilain kesempatan, saya mencoba mengkalkulasi secara kasar tentang pemasukan di gerbang tol. Bagi saya – bahkan bagi sopir saya – uang Rp. 5 ribu yang harus kami setor setiap melewati gerbang Karang Tengah, bukanlah jumlah yang besar. Dengan mudahnya kami membayar tanpa ada keberatan sedikitpun. Namun jika dikaitkan dengan puluhan ribu bahkan jutaan pengendara lainnya, maka Rp. 5 ribu per kendaraan itu akan menjadi sebuah kekuatan yang teramat besar.

Saya kemudian tergerak untuk mencari data di internet tentang jumlah kendaraan yang melewati ruas tol tertentu setiap harinya. Dari sumber di Jasa Marga, tercatat ada 2.224.831 kendaraan per hari melintasi ruas JORR berdasarkan Survei Lalu Lintas Asal Tujuan tahun 2010. Lima tahun berikutnya, bayangkan berapa kenaikan jumlah kendaraan di ruas ini. Sungguh ini potensi pendapatan yang sangat besar. Untuk di JORR saat ini tarifnya adalah Rp. 16 ribu, sehingga total pendapatan pengelola tol JORR adalah Rp. 35.597.296.000 per hari, sebuah angka yang super fantastis. Data lain yang saya dapatkan dari website Jasa Marga yakni jalan tol Jagorawi yang dilewati sebanyak 343.000 kendaraan per hari, dan pada tahun 2012 volume lalu lintas melonjak mencapai 518.000 kendaraan per hari. Jika tarif tol Jagorawi adalah Rp. 8 ribu, maka pendapatan sehari pengelola ruas ini mencapai Rp. 4.144.000.000.

Uniknya, saya yakin jarang sekali para penumpang merasakan dahsyatnya uang yang dikumpulkan di setiap gerbang. Mengapa demikian? Karena mereka hanya berkontribusi dalam jumlah yang sangat kecil. Semakin banyak orang yang berkontribusi, akan semakin ringanlah beban setiap orang, namun semakin besarlah akumulasi kontribusi tersebut. inilah yang sesungguhnya merupakan esensi dari gotong royong. Seandainya gotong royong diadopsi menjadi sistem permanen dalam kebijakan publik di seluruh sektor pembangunan, maka tidak ada masalah yang tidak bisa diselesaikan. Keterbatasan APBN/APBD, porsi anggaran yang kecil setiap sektor, pagu anggaran yang juga sangat terbatas yang diterima setial K/L dan SKPD, semuanya akan selesai jika prinsip gotong royong itu diterapkan. Pengentasan kemiskinan yang masih menyisakan PR besar, gedung-gedung sekolah yang roboh, infrastruktur yang minim dan menyisakan ratusan atau ribuan daerah terisolasi, teramat kecilnya dana riset untuk pengembangan ilmu pengetahuan, dan issu-issu sejenisnya, semua juga akan selesai jika semangat gotong royong dari seluruh lapisan penduduk didayagunakan.

Prinsip gotong royong itu sendiri sebenarnya merupakan amanat Konstitusi bahwa perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas azas kekeluargaan. Namun sepertinya para elite politik dan perumus kebijakan masih belum menemukan formulasi yang tepat untuk menerjemahkan mandat tersebut. Gotong royong masih terus menjadi slogan ketimbang praktek nyata dalam tata kehidupan masyarakat dan negara. Gotong royong hanya dipahami sebagai kerja bakti bersama antar warga bertetangga.

Jika dirunut ke belakang, sebenarnya gagasan gotong royong adalah konsep asli Indonesia di masa silam. Coba ingat bagaimana penduduk pedesaan dahulu membangun sebuah rumah secara keroyokan. Setiap orang menyumbangkan sesuatu, apakah berbentuk tenaga, gula, batu bata, dan seterusnya. Ketika sebuah rumah selesai dibangun, dibangunlah rumah kedua, dan begitu seterusnya, sehingga mayoritas penduduk memiliki rumah layak huni tanpa harus mengeluarkan biaya ratusan juta bahkan milyaran seperti yang terjadi saat ini. Ingatlah juga bagaimana penduduk desa bisa membangun sarana peribadahan atau jalan kampung tanpa harus meminta sumbangan sebagaimana pemandangan yang sering kita saksikan dewasa ini.

Saya pribadi belum punya gagasan bagaimana menginternalisasi semangat gotong royong tadi dalam setiap sendi penyelenggaraan pemerintahan. Saya hanya meyakini, belajar dari kasus iuran uang tol tadi, gotong royong adalah solusi cerdas untuk permasalahan kebangsaan kita.

Villa Melati Mas Serpong, 21 Juni 2015

Tidak ada komentar: