Sejak
saya mendapat fasilitas seorang sopir dari kantor, saya memiliki kebiasaan baru
setiap pulang dan pergi ke kantor, yakni mengobservasi apapun yang saya lihat
sepanjang jalan. Ini beda sekali dibanding dulu saat masih membawa sendiri
kendaraan, dimana saya lebih fokus untuk melihat celah-celah sempit diantara
kemacetan yang parah agar bisa secepat mungkin sampai tujuan. Sekarang, saya
tidak peduli dengan cara sopir saya membawa mobil yang lebih suka bertahan di
jalur kanan semacet apapun, sementara jalur paling kiri (bahu jalan) relatif
lancar. Saya mencoba mengalihkan kekecewaan terhadap gaya sopir saya yang
seperti memakai kacamata kuda dengan cara mengamati, merenungi, meresapi setiap
hal yang saya lihat.
Salah
satu pusat perhatian saya adalah para abang Bajaj. Dari pengamatan saya setiap
pagi, ada 2 kategori abang Bajaj. Pertama,
mereka yang baru berangkat kerja sehabis subuh, sehingga terlihat masih segar,
nampak sudah mandi sebelum berangkat, bahkan ada yang masih memakai kopluk khas kaum muslim. Wajah mereka
cenderung bersih, tenang, santai, dan tidak banyak masalah. Saya membayangkan
bahwa mereka meyakini benar bahwa rejeki itu urusan Tuhan, sedangkan urusan
manusia hanyalah berikhtiar dengan disertai doa. Sangat tidak pada tempatnya manusia
mengkhawatirkan rejeki dari Tuhannya, karena seekor Cicak di dindingpun tidak
pernah kelaparan meski rejekinya berwujud makhluk yang bisa terbang. Orang-orang
seperti ini begitu enjoy dengan
pekerjaan dan keadaannya, sehingga mempengaruhi sikapnya dalam mengendarakan
Bajaj secara santun dan tidak kebut-kebutan. Perasaan cukup (qona’ah) dan bersyukur terbersit dari
wajah-wajah sederhana abang Bajaj tipe pertama ini.
Disisi
lain, terkadang saya menemukan wajah abang Bajaj yang kusut, letih, dengan baju
kumal karena lebih sehari – atau mungkin sudah tiga hari – tidak ganti baju,
dan muka kusam seperti menyimpan banyak beban. Saya membayangkan mereka bekerja
siang malam dan lupa dengan hak tubuhnya untuk diistirahatkan. Mereka juga lupa
bahwa jiwanya butuh penyegaran dan makanan rohani. Mungkin mereka berpikir
bahwa waktu 24 jam sehari terlalu sedikit untuk mengejar rejeki, dan sangat
boleh jadi rejeki abgi mereka adalah kristalisasi keringat belaka tanpa ada
intervensi Ilahiyah dari penguasa alam semesta.
Kondisi
yang kontras yang saya amati tadi seringkali saya jadikan bahan introspeksi
bahwa jangan-jangan saya termasuk kategori abang Bajaj yang kedua. Saya sungguh
bersyukur bahwa saya bisa menarik pelajaran dari mereka. Dan saat saya meyakini
bahwa mereka adalah guru-guru kehidupan dan sumber pembelajaran dalam hidup
seorang manusia, semakin terbukalah kesadaran saya bahwa segala sesuatu
disekitar kita pastilah mengandung pembelajaran bagi kita. Semua tergantung
pada kita, apakah kita mau berpikir, menggunakan pikiran dan mata hati kita
untuk memperbaiki diri sendiri.
Dilain
kesempatan, saya mencoba mengkalkulasi secara kasar tentang pemasukan di
gerbang tol. Bagi saya – bahkan bagi sopir saya – uang Rp. 5 ribu yang harus
kami setor setiap melewati gerbang Karang Tengah, bukanlah jumlah yang besar. Dengan
mudahnya kami membayar tanpa ada keberatan sedikitpun. Namun jika dikaitkan
dengan puluhan ribu bahkan jutaan pengendara lainnya, maka Rp. 5 ribu per
kendaraan itu akan menjadi sebuah kekuatan yang teramat besar.
Saya
kemudian tergerak untuk mencari data di internet tentang jumlah kendaraan yang
melewati ruas tol tertentu setiap harinya. Dari sumber di Jasa Marga, tercatat ada
2.224.831 kendaraan per hari melintasi ruas JORR berdasarkan Survei Lalu Lintas
Asal Tujuan tahun 2010. Lima tahun berikutnya, bayangkan berapa kenaikan jumlah
kendaraan di ruas ini. Sungguh ini potensi pendapatan yang sangat besar. Untuk
di JORR saat ini tarifnya adalah Rp. 16 ribu, sehingga total pendapatan pengelola
tol JORR adalah Rp. 35.597.296.000 per hari,
sebuah angka yang super fantastis. Data lain yang saya dapatkan dari website Jasa Marga yakni jalan
tol Jagorawi yang dilewati sebanyak 343.000 kendaraan per hari, dan pada tahun
2012 volume lalu lintas melonjak mencapai 518.000 kendaraan per hari. Jika tarif
tol Jagorawi adalah Rp. 8 ribu, maka pendapatan sehari pengelola ruas ini
mencapai Rp. 4.144.000.000.
Uniknya, saya yakin jarang sekali para penumpang merasakan
dahsyatnya uang yang dikumpulkan di setiap gerbang. Mengapa demikian? Karena mereka
hanya berkontribusi dalam jumlah yang sangat kecil. Semakin banyak orang yang
berkontribusi, akan semakin ringanlah beban setiap orang, namun semakin
besarlah akumulasi kontribusi tersebut. inilah yang sesungguhnya merupakan
esensi dari gotong royong. Seandainya gotong royong diadopsi menjadi sistem
permanen dalam kebijakan publik di seluruh sektor pembangunan, maka tidak ada
masalah yang tidak bisa diselesaikan. Keterbatasan APBN/APBD, porsi anggaran
yang kecil setiap sektor, pagu anggaran yang juga sangat terbatas yang diterima
setial K/L dan SKPD, semuanya akan selesai jika prinsip gotong royong itu
diterapkan. Pengentasan kemiskinan yang masih menyisakan PR besar, gedung-gedung
sekolah yang roboh, infrastruktur yang minim dan menyisakan ratusan atau ribuan
daerah terisolasi, teramat kecilnya dana riset untuk pengembangan ilmu
pengetahuan, dan issu-issu sejenisnya, semua juga akan selesai jika semangat
gotong royong dari seluruh lapisan penduduk didayagunakan.
Prinsip gotong royong itu sendiri sebenarnya merupakan amanat
Konstitusi bahwa perekonomian
disusun sebagai usaha bersama berdasar atas azas kekeluargaan. Namun sepertinya
para elite politik dan perumus kebijakan masih belum menemukan formulasi yang
tepat untuk menerjemahkan mandat tersebut. Gotong royong masih terus menjadi
slogan ketimbang praktek nyata dalam tata kehidupan masyarakat dan negara. Gotong
royong hanya dipahami sebagai kerja bakti bersama antar warga bertetangga.
Jika
dirunut ke belakang, sebenarnya gagasan gotong royong adalah konsep asli
Indonesia di masa silam. Coba ingat bagaimana penduduk pedesaan dahulu membangun
sebuah rumah secara keroyokan. Setiap orang menyumbangkan sesuatu, apakah
berbentuk tenaga, gula, batu bata, dan seterusnya. Ketika sebuah rumah selesai
dibangun, dibangunlah rumah kedua, dan begitu seterusnya, sehingga mayoritas
penduduk memiliki rumah layak huni tanpa harus mengeluarkan biaya ratusan juta bahkan
milyaran seperti yang terjadi saat ini. Ingatlah juga bagaimana penduduk desa
bisa membangun sarana peribadahan atau jalan kampung tanpa harus meminta
sumbangan sebagaimana pemandangan yang sering kita saksikan dewasa ini.
Saya pribadi belum punya gagasan bagaimana menginternalisasi
semangat gotong royong tadi dalam setiap sendi penyelenggaraan pemerintahan. Saya
hanya meyakini, belajar dari kasus iuran uang tol tadi, gotong royong adalah
solusi cerdas untuk permasalahan kebangsaan kita.
Villa Melati Mas Serpong, 21 Juni 2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar