Dulu, saya memiliki persepsi bahwa
kegiatan konferensi atau workshop internasional
yang mengangkat issu atau tema tertentu sebagai kegiatan yang sangat sedikit
kemanfaatannya. Hal ini tidak terlepas dari pengalaman saya mengikuti beberapa
kali pertemuan ilmiah antar negara tersebut. Selain banyak peserta yang bahasa
Inggrisnya sangat minimal, waktu paparan juga sangat singkat, sehingga proses
transfer pengalaman dan proses pembelajaran kurang optimal. Selain itu, tidak
adanya tindak lanjut terhadap kegiatan semacam itu menimbulkan kesan bahwa
kegiatan ini tidak lebih hanya sekedar formalitas atau silaturahmi antar
komunitas intelektual belaka.
Namun, pandangan saya berubah
drastis ketika kami mengadakan International
Workshop dengan tema Democracy and
Innovation in Good Governance, bekerjasama dengan Kementerian Luar Negeri.
Acara yang berlangsung antara tanggal 7-12 Juni ini diikuti oleh peserta dari
15 negara berkembang, dengan total peserta sebanyak 21 orang. Materi diberikan
oleh Kementerian Luar Negeri tentang demokrasi dan pengalaman Indonesia
mengelola konflik, Kementerian PAN dan RB tentang reformasi birokrasi, KPK
tentang upaya pemberantasan korupsi, serta oleh LAN tentang inovasi di sektor
publik.
Pada saat jamuan makan malam
menjelang perpisahan di Restoran Dusun Bambu, Lembang, Bandung, saya sempat
menanyakan ke beberapa peserta dari negara-negara Timur Tengah seperti
Palestina, Yordania, Irak, dan Suriah, serta negara-negara di kawasan Pasifik
seperti Fiji dan Vanuatu tentang pandangan mereka terhadap materi-materi yang
diberikan. Sungguh mengejutkan bagi saya bahwa mereka merespon sangat positif
program ini dan menyatakan bahwa materi yang dirancang dalam workshop ini sangat aplikatif dan
bermanfaat bagi kemungkinan aplikasi di negara mereka. Mereka seperti tidak
percaya bahwa sektor publik di Indonesia sudah mampu melakukan banyak inovasi
dan terobosan dalam pelaksanaan tugasnya.
Perlu saya kemukakan bahwa pada
hari ke-2 workshop, saya sempat
memberikan banyak materi tentang inovasi dalam mendorong kinerja sektor publik.
Saya mengemukakan data-data makro seperti angka kemiskinan, tingkat
pengangguran, indeks gini rasio, indeks pembangunan manusia, dan sejenisnya
dalam lima tahun terakhir. Saya juga mengkaitkan dengan janji konstitusi yang
tertuang di dalam Pembukaan UUD 1945. Berisi pernyataan politik untuk
melindungi segenap bangsa dan tanah air Indonesia, memajukan kesejahteraan
umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, serta ikut serta dalam perdamaian dunia. Ternyata,
janji-janji itu belum dapat diwujudkan hingga 70 tahun setelah Indonesia merdeka.
Rendahnya kinerja ini dalam perspektif inovasi disebabkan karena bangsa kita
melakukan kebijakan dan upaya yang biasa-biasa saja, sehingga hasilnyapun
biasa-biasa saja. Maka, untuk menghasilkan kinerja yang luar biasa, haruslah
dilakukan dengan cara yang tidak biasa pula, yakni dengan inovasi. Saya
kemudian menjelaskan tentang berbagai inisiatif inovasi di beberapa daerah di
Indonesia yang telah terbukti mampu meningkatkan kinerja secara signifikan.
Respon yang lebih mengejutkan
bagi saya adalah bahwa mereka mengharapkan program serupa dapat dilakukan di
negaraq mereka sehingga dapat diikuti oleh lebih banyak peserta dari negara
mereka, sekaligus mendatangkan banyak peserta asing ke negeri mereka. Pernyataan
ini secara eksplisit disampaikan oleh peserta dari Fiji, Vanuatu, dan
Palestina. Kebetulan sekali, salah satu peserta dari Indonesia adalah seorang
petinggi dari lembaga NAM (Non-Alignment
Movement) yang memiliki fungsi memberi dukungan terhadap program instansi
pemerintah untuk memperkuat hubungan antar negara berkembang, khususnya dalam kerangka
South-South Cooperation. Beliau siap memberi
dukungan penuh jika LAN akan membuat program capacity building yang melibatkan lebih dari dua negara.
Dari berbagai respon yang saya
terima, saya merasakan bahwa program workshop
yang kami laksanakan telah memberi efek positif, yakni kampanye tentang
sisi-sisi positif Indonesia di berbagai bidang. Bagi mereka, Indonesia memiliki
begitu banyak keunggulan yang sangat layak untuk dicontoh. Saay-saat mendengar
testimoni mereka, saya merasa begitu bangga sebagai warga negara Indonesia. Citra
negeri kita begitu baik dalam pandangan mereka.
Kondisi seperti itu begitu
kontras jika dibanding dengan banyaknya berita-berita negatif tentang negara kita,
dari maraknya kasus korupsi, pertikaian antar elit, demonstrasi anarkhis,
hingga kasus-kasus kriminal seperti prostitusi online, terorisme, dan seterusnya. Faktanya, media cetak dan
elektronik di Indonesia lebih suka menyajikan berita-berita yang buruk
dibanding beragam keberhasilan pembangunan di berbagai sektor dan wilayah. Prinsip
bad news is good news nampaknya masih
menjadi filosofi abadi bagi para insan media. Sementara itu, program semacam workshop yang kami laksanakan untuk membuka
mata dunia tentang sisi lain Indonesia, begitu terbatas dana dan frekuensinya.
Itulah sebabnya, di akhir workshop pandangan saya tentang program
seperti ini menjadi berubah 180 derajat. Kami bahkan berencana akan merancang
program baru untuk menyeimbangkan orientasi kami yang selama ini lebih fokus
untuk memberikan advokasi tingkat nasional berupa laboratorium inovasi di
berbagai daerah, dengan orientasi bari secara internasional untuk memberikan
kontribusi kepada negara-negara sahabat yang relatif lebih rendah tingkat
kinerjanya dibanding Indonesia. Inilah saatnya Indonesia untuk berani lebih high profile dengan mengekspose berbagai
program unggulan dan mereplikasikannya di berbagai negara berkembang. Tentu ini
adalah sebuah peluang besar yang memberikan tantangan sangat besar pula bagi
LAN. Kerja keras saja tidak cukup, namun kapasitas SDM dan penguatan networking menjadi prakondisi lain untuk
keberhasilan orientasi baru ini. Yang pasti, tidak ada yang tidak mungkin bagi
seorang inovator dan agen pembaharuan. Semoga saja hal ini tidak hanya berhenti
sebagai mimpi indah di siang bolong.
Serpong, 17 Juni 2015.
*mengisi hari pertama puasa
ramadhan, bertasbih melalui tulisan*
Tidak ada komentar:
Posting Komentar