Sabtu, 20 Juni 2015

Memimpikan Hadirnya Negara Pelayan



Teori dari disiplin apapun, pastilah menyatakan bahwa keberadaan sebuah negara adalah untuk melayani rakyatnya, tidak terkecuali negara Indonesia. Negara dibentuk untuk rakyatnya, dan harus senantiasa hadir dalam bentuk pelayanan yang terbaik. Ketika rakyat merasakan adanya diskriminasi, atau upaya perlambatan pelayanan baik secara sengaja maupun tidak, sikap petugas yang tidak bersahabat, ketiadaan standar mutu, atau merebaknya pungutan yang tidak memiliki alas hukum yang jelas, dan sebagainya, semua itu menandakan bahwa negara belum hadir sepenuhnya di hadapan rakyatnya.

Dalam rangka menghadirkan negara tadi, telah banyak upaya yang dilakukan meski belum pernah mendekati titik kepuasan publik. Salah satu upaya yang digenjot saat ini adalah pelayanan secara terpadu atau terintegrasi, khususnya dalam bentuk pelayanan terpadu satu pintu (PTSP). Tidak kurang-kurang, PTSP ini dituangkan dalam Peraturan Presiden No. 97/2014. Namun dalam prakteknya, PTSP masih jauh dari mimpi sebagai solusi cerdas pelayanan publik di tanah air. Lemahnya pendelegasian wewenang kepada PTSP, adanya koordinasi yang kurang intensif dengan Dinas teknis yang cenderung memperlambat prosedur, kurang intensifnya utilisasi teknologi informasi, dan sebagainya, adalah sedikit contoh dari daftar problematika pelayanan yang sangat panjang.

Selama ini penataan PTSP sering terjebak pada hal teknis seperti bentuk dan struktur kelembagaan yang dianggap paling baik, apakah berupa Dinas, Badan, Kantor, atau bahkan cukup Unit saja. Selain itu, berkembang perdebatan lain tentang ruang lingkup pelayanan yang akan dilakukan, apakah cukup di bidang perijinan ataukah juga harus meliputi pelayanan non-perijinan. Rujukan kebijakan antara Peraturan BKPM dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri tentang PTSP juga menimbulkan diskusi panjang dalam proses penataan pelayanan publik di daerah. Berbagai issu inilah yang selama ini berputar-putar dan berulang-ulang, sehingga seringkali melupakan esensinya bahwa apapun strategi dan kebijakan yang akan dipilih, tujuannya adalah meningkatkan kualitas pelayanan. PTSP sendiri bukanlah tujuan, tetapi hanyalah cara untuk yang mungkin efektif untuk menyelesaikan masalah pelayanan yang turun-temurun. PTSP tidak pada tempatnya untuk dipersepsikan sebagai pilihan tunggal dan final untuk membenahi pelayanan publik, namun kurang membuka diskursus untuk opsi lain yang mungkin jauh lebih baik dan feasible.

Untuk itu, PTSP harus dipandang hanya sebagai opsi kecil dari jutaan alternatif yang mungkin bisa dikembangkan untuk memperbaiki kinerja pelayanan publik. Arah reformasi pelayanan sebaiknya bukan diarahkan kepada pembentukan PTSP seperti yang dilakukan saat ini, apalagi secara seragam di seluruh wilayah tanah air. Lebih arif jika pembenahan pelayanan lebih difokuskan pada upaya menemukan gagasan-gagasan yang lebih orisinal dan inovatif, meskipun mungkin belum bisa diterima pada tingkat berpikir kita saat ini. Formalitas dan penilaian pelayanan publik berdasarkan portofolio seperti kewajiban menetapkan visi, janji dan maklumat pelayanan, menyusun SOP, menyediakan sarana pengaduan, melakukan survey kepuasan pelanggan, dan seterusnya, sebaiknya cukup dijadikan pelengkap dari kebijakan yang lebih substansial untuk memperbaiki kinerja pelayanan publik secara komprehensif.

Salah satu ide yang layak dipertimbangkan adalah perlunya sebuah sistem pelayanan yang terintegrasi melalui penyediaan Single Identity Public Service (SIPS). Jika e-KTP diarahkan sebagai Single Identity Number (SIN) yang akan menjadi basis data kependudukan untuk berbagai kepentingan publik, maka SIPS adalah sebuah kartu terpadu yang berisi informasi tentang jenis pelayanan apapun yang sudah dimiliki atau dinikmati oleh seorang warga negara. Sebagai contoh, jika Si A pernah mendapatkan pelayanan IMB, SIUP-TDP, HO, dan Ijin Prinsip, maka seluruh pelayanan tersebut akan terekam dalam SIPS tadi, baik mengenai waktu diperolehnya pelayanan, masa berlaku, nomor registrasi, identitas pemegang ijin, dan seterusnya. Pada saat yang sama, dari SIPS tadi juga akan dapat diketahui layanan apa saja yang belum dimiliki oleh Si A, misalnya ASKES, Kartu Keluarga, dan seterusnya, sehingga kepada Si A dapat ditawarkan untuk diberikan layanan-layanan yang belum dimilikinya. Dengan adanya kartu pintar yang mencatat semua jenis layanan ini (integrated services) seperti ini, maka pelayanan publik dapat dilakukan dimana saja di setiap unit pelayanan pemerintah (any stop service). Dalam kasus seperti ini, PTSP tidak lagi menjadi kebutuhan.

Jika memungkinkan, bahkan SIPS seperti ini dapat didesain untuk mengakses pelayanan secara mandiri (self-services). Misalnya, jika seseorang mendapat berpindah domisili, maka ia cukup memasukkan kode kartu tadi ke dalam sistem, kemudian melakukan updating sendiri, kemudian mencetak sendiri KTP baru dengan alamat yang telah disesuaikan. Begitu juga ketika seseorang mendapat keturunan, maka ia cukup melampirkan keterangan kelahiran dari RS Bersalin, kemudian melakukan self-registration untuk mendapatkan Akta Kelahiran, yang dapat dicetak melalui printer di rumahnya sendiri. Tentu saja, KTP maupun Akta Kelahiran tersebut dapat dicetak setelah dilakukan validasi dan legalisasi secara elektronik oleh instansi yang berwenang.

Konsep pelayanan yang terintegrasi bukan dalam pengertian tempat seperti PTSP seperti ini diyakini merupakan trend yang akan lebih berkembang dimasa mendatang sehingga harus segera dipikirkan sejak sekarang. Trend administrasi publik ke depan adalah makin menguatnya cyber governance yang ditelah dimulai dengan penyediaan layanan online. Namun layanan online saja tidaklah cukup. Cyber governance juga menyiratkan perlunya virtual organization, dimana kelembagaan pemerintah tidak mesti dipahami sebagai sebuah bangunan fisik dengan strukturnya yang tambun. Organisasi pemerintah boleh jadi hanya akan berupa tim kecil yang terdiri dari sekumpulan orang yang menguasai substansi pelayanan yang didukung keterampilan teknologi informasi yang tinggi. Merekalah yang akan merespon setiap transaksi secara elektronik. Dengan demikian, mekanisme pengambilan keputusan dalam organisasi akan bisa lebih mobile karena bisa dilakukan dari manapun oleh otoritas yang ada. Dalam konstalasi seperti ini, lagi-lagi keberadaan PTSP dengan modelnya seperti saat ini menjadi kurang relevan.

Mimpi besar seperti itu tentu membutuhkan langkah-langkah konkrit dari yang terkecil. Oleh karena itu, eksistensi PTSP apa adanya saat ini harus diperkuat dengan beragam perbaikan nyata. Salah satunya dengan menginovasi sistem pengaduan. Jika selama ini penyedia jasa layanan cenderung menunggu keluhan dan berharap tidak akan muncul pengaduan, maka perlu dibalik dengan menciptakan sistem yang dapat “memaksa” pelanggan memberikan komplain atau keluhan. Sebab, keluhan (voice) itu selalu membuktikan adanya kesetiaan (loyalty) si “pengeluh”, sementara pelanggan yang tidak pernah mengeluh cenderung tidak akan kembali (exit). Maka, keluhan adalah nutrisi yang menyehatkan bagi institusi pelayanan, sehingga sebuah unit pelayanan perlu memberikan penghargaan khusus bagi pelanggannya yang rajin memberi keluhan konstruktif, misalnya dalam bentuk Complain Award.

Selain membenahi sisi pengaduan, aspek internal atau dapur pelayanan (service manufacture) juga perlu disentuh. Dalam hal ini, pendelegasian wewenang saja tidak cukup, bahkan derajat kewenangan yang tinggi juga tidak cukup tanpa adanya penyerahan sumber daya sebagai prasyarat keberhasilan dari wewenang yang dilimpahkan. Sumber daya disini meliputi anggaran, SDM yang kompeten, serta sarana prasarana dan teknologi pendukungnya. Pada saat yang bersamaan, unit pelayanan juga harus memperhatikan business process-nya dengan cermat sehingga dapat diminimalisir kemungkinan terjadinya mal-administrasi dalam pemberian pelayanan. Demikian pula aspek kepemimpinan harus terus diperkuat agar tidak terjadi situasi ketergantungan institusi kepada seorang figur tertentu. Pembentukan super-team atau kader-kader yang “militan” di bidang pelayanan publik akan mampu menjaga sustainability dari pelayanan yang berkualitas.

Dengan mewujudkan berbagai hal diatas, nampaknya kehadiran negara akan lebih terasa dihati warganya. Masyarakat tidak peduli dalam wujud apa wajah negara hadir – PTSP maupun bukan PTSP – yang terpenting adalah bagaimana kebutuhannya dapat dipenuhi oleh negara melalui pelayanan yang sepenuh hati.

Melati Mas Serpong, 21 Juni 2015
*memaknai perintah Allah untuk terus berpikir; bertahmid melalui gagasan*

Tidak ada komentar: