Teori dari disiplin apapun,
pastilah menyatakan bahwa keberadaan sebuah negara adalah untuk melayani
rakyatnya, tidak terkecuali negara Indonesia. Negara dibentuk untuk rakyatnya,
dan harus senantiasa hadir dalam bentuk pelayanan yang terbaik. Ketika rakyat
merasakan adanya diskriminasi, atau upaya perlambatan pelayanan baik secara
sengaja maupun tidak, sikap petugas yang tidak bersahabat, ketiadaan standar
mutu, atau merebaknya pungutan yang tidak memiliki alas hukum yang jelas, dan
sebagainya, semua itu menandakan bahwa negara belum hadir sepenuhnya di hadapan
rakyatnya.
Dalam rangka menghadirkan negara
tadi, telah banyak upaya yang dilakukan meski belum pernah mendekati titik
kepuasan publik. Salah satu upaya yang digenjot saat ini adalah pelayanan
secara terpadu atau terintegrasi, khususnya dalam bentuk pelayanan terpadu satu
pintu (PTSP). Tidak kurang-kurang, PTSP ini dituangkan dalam Peraturan Presiden
No. 97/2014. Namun dalam prakteknya, PTSP masih jauh dari mimpi sebagai solusi
cerdas pelayanan publik di tanah air. Lemahnya pendelegasian wewenang kepada
PTSP, adanya koordinasi yang kurang intensif dengan Dinas teknis yang cenderung
memperlambat prosedur, kurang intensifnya utilisasi teknologi informasi, dan
sebagainya, adalah sedikit contoh dari daftar problematika pelayanan yang
sangat panjang.
Selama
ini penataan PTSP sering terjebak pada hal teknis seperti bentuk dan struktur kelembagaan
yang dianggap paling baik, apakah berupa Dinas, Badan, Kantor, atau bahkan
cukup Unit saja. Selain itu, berkembang perdebatan lain tentang ruang lingkup
pelayanan yang akan dilakukan, apakah cukup di bidang perijinan ataukah juga
harus meliputi pelayanan non-perijinan. Rujukan kebijakan antara Peraturan BKPM
dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri tentang PTSP juga menimbulkan diskusi
panjang dalam proses penataan pelayanan publik di daerah. Berbagai issu inilah
yang selama ini berputar-putar dan berulang-ulang, sehingga seringkali
melupakan esensinya bahwa apapun strategi dan kebijakan yang akan dipilih,
tujuannya adalah meningkatkan kualitas pelayanan. PTSP sendiri bukanlah tujuan,
tetapi hanyalah cara untuk yang mungkin efektif untuk menyelesaikan masalah
pelayanan yang turun-temurun. PTSP tidak pada tempatnya untuk
dipersepsikan sebagai pilihan tunggal dan final untuk membenahi pelayanan
publik, namun kurang membuka diskursus untuk opsi lain yang mungkin jauh lebih
baik dan feasible.
Untuk itu, PTSP harus dipandang
hanya sebagai opsi kecil dari jutaan alternatif yang mungkin bisa dikembangkan
untuk memperbaiki kinerja pelayanan publik. Arah reformasi pelayanan sebaiknya
bukan diarahkan kepada pembentukan PTSP seperti yang dilakukan saat ini,
apalagi secara seragam di seluruh wilayah tanah air. Lebih arif jika pembenahan
pelayanan lebih difokuskan pada upaya menemukan gagasan-gagasan yang lebih
orisinal dan inovatif, meskipun mungkin belum bisa diterima pada tingkat
berpikir kita saat ini. Formalitas dan penilaian pelayanan publik berdasarkan
portofolio seperti kewajiban menetapkan visi, janji dan maklumat pelayanan, menyusun
SOP, menyediakan sarana pengaduan, melakukan survey kepuasan pelanggan, dan
seterusnya, sebaiknya cukup dijadikan pelengkap dari kebijakan yang lebih
substansial untuk memperbaiki kinerja pelayanan publik secara komprehensif.
Salah satu ide yang layak
dipertimbangkan adalah perlunya sebuah sistem pelayanan yang terintegrasi
melalui penyediaan Single Identity Public
Service (SIPS). Jika e-KTP diarahkan sebagai Single Identity Number (SIN) yang akan menjadi basis data
kependudukan untuk berbagai kepentingan publik, maka SIPS adalah sebuah kartu
terpadu yang berisi informasi tentang jenis pelayanan apapun yang sudah
dimiliki atau dinikmati oleh seorang warga negara. Sebagai contoh, jika Si A pernah
mendapatkan pelayanan IMB, SIUP-TDP, HO, dan Ijin Prinsip, maka seluruh
pelayanan tersebut akan terekam dalam SIPS tadi, baik mengenai waktu
diperolehnya pelayanan, masa berlaku, nomor registrasi, identitas pemegang
ijin, dan seterusnya. Pada saat yang sama, dari SIPS tadi juga akan dapat
diketahui layanan apa saja yang belum dimiliki oleh Si A, misalnya ASKES, Kartu
Keluarga, dan seterusnya, sehingga kepada Si A dapat ditawarkan untuk diberikan
layanan-layanan yang belum dimilikinya. Dengan adanya kartu pintar yang
mencatat semua jenis layanan ini (integrated
services) seperti ini, maka pelayanan publik dapat dilakukan dimana saja di
setiap unit pelayanan pemerintah (any
stop service). Dalam kasus seperti ini, PTSP tidak lagi menjadi kebutuhan.
Jika memungkinkan, bahkan SIPS
seperti ini dapat didesain untuk mengakses pelayanan secara mandiri (self-services). Misalnya, jika seseorang
mendapat berpindah domisili, maka ia cukup memasukkan kode kartu tadi ke dalam
sistem, kemudian melakukan updating sendiri,
kemudian mencetak sendiri KTP baru dengan alamat yang telah disesuaikan. Begitu
juga ketika seseorang mendapat keturunan, maka ia cukup melampirkan keterangan
kelahiran dari RS Bersalin, kemudian melakukan self-registration untuk mendapatkan Akta Kelahiran, yang dapat
dicetak melalui printer di rumahnya sendiri. Tentu saja, KTP maupun Akta
Kelahiran tersebut dapat dicetak setelah dilakukan validasi dan legalisasi
secara elektronik oleh instansi yang berwenang.
Konsep pelayanan yang
terintegrasi bukan dalam pengertian tempat seperti PTSP seperti ini diyakini
merupakan trend yang akan lebih
berkembang dimasa mendatang sehingga harus segera dipikirkan sejak sekarang. Trend administrasi publik ke depan
adalah makin menguatnya cyber governance
yang ditelah dimulai dengan penyediaan layanan online. Namun layanan online
saja tidaklah cukup. Cyber governance
juga menyiratkan perlunya virtual organization,
dimana kelembagaan pemerintah tidak mesti dipahami sebagai sebuah bangunan
fisik dengan strukturnya yang tambun. Organisasi pemerintah boleh jadi hanya
akan berupa tim kecil yang terdiri dari sekumpulan orang yang menguasai
substansi pelayanan yang didukung keterampilan teknologi informasi yang tinggi.
Merekalah yang akan merespon setiap transaksi secara elektronik. Dengan demikian,
mekanisme pengambilan keputusan dalam organisasi akan bisa lebih mobile karena bisa dilakukan dari
manapun oleh otoritas yang ada. Dalam konstalasi seperti ini, lagi-lagi
keberadaan PTSP dengan modelnya seperti saat ini menjadi kurang relevan.
Mimpi besar seperti itu tentu
membutuhkan langkah-langkah konkrit dari yang terkecil. Oleh karena itu,
eksistensi PTSP apa adanya saat ini harus diperkuat dengan beragam perbaikan
nyata. Salah satunya dengan menginovasi sistem pengaduan. Jika selama ini penyedia
jasa layanan cenderung menunggu keluhan dan berharap tidak akan muncul
pengaduan, maka perlu dibalik dengan menciptakan sistem yang dapat “memaksa”
pelanggan memberikan komplain atau keluhan. Sebab, keluhan (voice) itu selalu membuktikan adanya
kesetiaan (loyalty) si “pengeluh”,
sementara pelanggan yang tidak pernah mengeluh cenderung tidak akan kembali (exit). Maka, keluhan adalah nutrisi yang
menyehatkan bagi institusi pelayanan, sehingga sebuah unit pelayanan perlu
memberikan penghargaan khusus bagi pelanggannya yang rajin memberi keluhan
konstruktif, misalnya dalam bentuk Complain
Award.
Selain membenahi sisi pengaduan,
aspek internal atau dapur pelayanan (service
manufacture) juga perlu disentuh.
Dalam hal ini, pendelegasian wewenang saja tidak cukup, bahkan derajat
kewenangan yang tinggi juga tidak cukup tanpa adanya penyerahan sumber daya
sebagai prasyarat keberhasilan dari wewenang yang dilimpahkan. Sumber daya
disini meliputi anggaran, SDM yang kompeten, serta sarana prasarana dan teknologi
pendukungnya. Pada saat yang bersamaan, unit pelayanan juga harus memperhatikan
business process-nya dengan cermat
sehingga dapat diminimalisir kemungkinan terjadinya mal-administrasi dalam pemberian
pelayanan. Demikian pula aspek kepemimpinan harus terus diperkuat agar tidak
terjadi situasi ketergantungan institusi kepada seorang figur tertentu. Pembentukan
super-team atau kader-kader yang “militan”
di bidang pelayanan publik akan mampu menjaga sustainability dari pelayanan yang berkualitas.
Dengan mewujudkan berbagai hal
diatas, nampaknya kehadiran negara akan lebih terasa dihati warganya. Masyarakat
tidak peduli dalam wujud apa wajah negara hadir – PTSP maupun bukan PTSP – yang
terpenting adalah bagaimana kebutuhannya dapat dipenuhi oleh negara melalui
pelayanan yang sepenuh hati.
Melati Mas Serpong, 21 Juni 2015
*memaknai perintah Allah untuk
terus berpikir; bertahmid melalui gagasan*
Tidak ada komentar:
Posting Komentar