Pendahuluan:
Pemerintah Telah Bangkrut?
Birokrasi, selama ini dikenal sebagai
suatu konsep yang sangat baik, efektif dan efisien, serta tidak mungkin
mengalami kebangkrutan. Sebab, birokrasi didukung oleh berbagai sumber daya
manajemen (7M IS) yang sangat kokoh dan besar. Namun kenyataannya, dewasa ini
banyak tuntutan masyarakat luas maupun kalangan akademik yang menghendaki
dilakukannya “reformasi, revitalisasi atau restrukturisasi” sektor publik,
sebagai indikasi terjadinya “kebangkrutan” birokrasi.[1]
Berkaitan dengan potensi kebangkrutan birokrasi ini, pada tahun 1992 di Amerika Serikat terbit suatu buku ilmiah populer karangan David Osborne dan Ted Gaebler yang berjudul Reinventing Government. Buku yang kemudian banyak dijadikan sebagai referensi utama dalam merumuskan strategi revitalisasi dan atau reformasi sektor publik di negara-negara berkembang ini dilatarbelakangi oleh suatu keadaan dimana pemerintah berada dalam kesulitan besar dan terancam “kebangkrutan”. Bahkan dalam kalimat pertama buku ini tertulis pertanyaan yang sangat mendasar, yaitu apakah pemerintah telah mati?Dan ternyata, atas pertanyaan itu sebagian besar masyarakat AS memberikan jawaban “ya”.
Dalam konteks negara kita, tuntutan reformasi sistemik terhadap birokrasi bukanlah suatu kelatahan semata dari adanya program serupa di luar negeri, tetapi memang merupakan kebutuhan yang mutlak dalam rangka menghadapi persaingan global pada abad ke-21 nanti. Selain itu, dorongan melakukan reformasi juga diperkuat karena masih tingginya fakta berupa inefisiensi dalam penyelenggaraan pemerintahan.
Dengan demikian, gagasan akan perlunya efisiensi sektor publik dan profesionalisme aparatur ini, jelas didasari oleh pemikiran bahwa pada pada masa yang akan datang, aparatur negara akan dihadapkan pada suatu kondisi obyektif yang menuntut daya saing (competitiveness) serta kecepatan, ketepatan dan keakuratan (effectiveness) penyelenggaraan tugas-tugas umum pemerintahan dan tugas pembangunan. Terlebih lagi jika diingat bahwa sumber daya yang dimiliki oleh birokrasi tetap terbatas, sementara tuntutan masyarakat terhadap jasa pelayanan umum (public service) semakin meningkat, maka adanya kondisi semacam ini apabila terus berlanjut tidak menutup kemungkinan akan membengkak menjadi gap atau kesenjangan, dan pada gilirannya akan menjauhkan birokrasi dari masyarakat yang harus dilayaninya.
Berdasarkan
kondisi empiris tersebut, sudah saatnya bagi birokrasi – baik di negara maju
maupun berkembang – untuk melakukan reorientasi, revitalisasi maupun reformasi
dari fungsi-fungsi kepemerintahan dan pelayanannya. Beberapa negara yang telah
mencoba melancarkan program reformasi ini antara lain Kanada dengan Public
Service Reform 2000 (PS 2000), Malaysia dengan Visi 2020, atau juga
negara kita yang pernah menyusun konsep Nusantara 21 yang kelanjutannya hingga saat ini tidak
terdengar lagi.
Keseluruhan
program reformasi sektor publik tersebut diatas, menjadi lebih fenomenal dengan
lahirnya buku Reinventing Government (1992) karya Osborne dan Gaebler.
Buku ini ditulis dan ditujukan bagi “para pencari” (inventors), yaitu
mereka yang mengetahui ada ketidakberesan tetapi tidak yakin benar apa
ketidakberesan tersebut; mereka yang telah mengetahui cara yang lebih baik
tetapi tidak tahu bagaimana menerapkannya dalam kehidupan; mereka yang telah
mengalami banyak kesuksesan tetapi sadar bahwa penguasa mengabaikan mereka;
serta mereka yang punya pengertian kearah mana pemerintah harus berjalan tetapi
tidak tahu bagaimana sampai kesana.
Dengan
demikian, bagi orang-orang yang alergi terhadap perubahan, menata ulang
pemerintahan merupakan gagasan yang sangat berani. Padahal seperti dikatakan
oleh Herodotus, tidak ada sesuatu di dunia yang abadi, kecuali
perubahan. Demikian pula yang berlaku bagi kelembagaan pemerintahan. Organisasi
sektor publik selama ini biasa digolongkan kedalam corak organisasi mekanik
(mechanism paradigm) yang menganggap organisasi sebagai suatu mesin
yang bekerja dengan suatu keteraturan dan keajegan tertentu yang menekankan
adanya suatu tingkat produktivitas tertentu, yang ingin mencapai taraf
efisiensi tertentu, dan yang dikendalikan oleh suatu legitimasi otoritas
pimpinan.
Paradigma
mekanik ini pada kenyataannya sudah kurang sesuai dengan tuntutan kebutuhan di
lapangan, sehingga perlu dikembangkan kearah corak organisasi organik (organism
paradigm) yang memandang organisasi sebagai suatu sistem yang menekankan
pada unsur manusia sebagai pelaku utama. Dalam model organisasi ini, efisiensi
dan efektivitas bukan merupakan aspek utama dalam pencapaian tujuan organisasi,
sebab produk (output) tidak dipandang sebagai hal yang utama. Aspek yang
dianggap lebih penting dalam organisasi model organik ini adalah adanya
keseimbangan antara faktor manusia dengan faktor lingkungannya.
Dari
gambaran tersebut dapat disimpulkan bahwa organisasi pemerintah atau organisasi
sektor publik ternyata juga mengalami suatu proses perubahan yang tidak bisa
dielakkan. Sebagai cotoh, dahulu tidak seorangpun berharap pemerintah
menyantuni fakir miskin, namun sekarang sebagian besar pemerintah tidak hanya
menyantuni fakir miskin tetapi juga mengeluarkan biaya pemeliharaan kesehatan
dan pensiun bagi setiap warga negaranya. Kemudian, jika dahulu tidak ada satu
pihakpun yang berharap pemerintah menanggulangi bencana kebakaran, maka dewasa
ini tidak ada pemerintahan yang tanpa jawatan pemadam kebakaran. Disamping itu,
jika dahulu pemerintah selalu menyediakan sarana investasi untuk kelancaran
kegiatan ekonomi publik maupun swasta (misalnya penyediaan tanah untuk jalan
raya, jalan kereta api, dan sebagainya), maka saat ini tidak seorangpun
memimpikan hal itu.
Dengan
dilandasi oleh keinginan untuk menciptakan pemerintahan yang lebih efektif, Osborne
dan Gaebler menawarkan sepuluh prinsip sebagai upaya reengineering
pemerintahan, yaitu: pemerintahan katalis (catalytic government),
pemerintahan milik rakyat (community owned government), pemerintahan
yang kompetitif (competitive government), pemerintahan yang digerakkan
oleh misi (mission driven government), pemerintahan berorientasi hasil (result
oriented government), pemerintahan yang berorientasi pelanggan (customer
driven government), pemerintahan wirausaha (enterprise government),
pemerintahan antisipatif (anticipatory government), pemerintahan desentralisasi
(decentralized government), dan pemerintahan yang berorientasi pasar (market
oriented government).
Melalui 10 prinsip tersebut, Osborne dan Gaebler
yakin bahwa suatu negara akan mampu membangkitkan kembali semangat dan
energi baru bagi birokrasinya. Secara singkat, inti ajaran yang tertuang dalam
10 prinsip tersebut adalah bagaimana menginjeksikan jiwa kewirausahaan (entrepreneurship)
ke tubuh birokrasi.
Meskipun secara konsepsional para pakar diatas telah
memberikan garis-garis besar mengenai program reformasi sektor publik, namun
perlu dipahami juga bahwa aparatur pemerintah dimasing-masing negara memiliki
nuansa-nuansa yang secara kontekstual berbeda. Oleh karena itu, implementasi
prinsip-prinsip kewirausahaan birokrasi perlu kita sikapi secara bijaksana,
dalam pengertian bahwa tujuan hakiki program reformasi sesungguhnya adalah
meningkatkan kualitas pelayanan kepada masyarakat, bukan untuk mewirausahakan
birokrasi semata-mata.
Hal
ini sesuai pula dengan kekhawatiran Osborne dan Plastrik dalam
bukunya Banishing Bureaucracy (1996) yang mengemukakan adanya mitos
dalam program reformasi sektor publik. Maksudnya, jangan sampai terjadi bahwa
program reformasi yang sedang diselenggarakan ternyata tidak atau kurang
membawa hasil sebagaimana yang diinginkan.
Untuk
itu, maka improvisasi sumber daya manusia sektor publik perlu diupayakan secara
terus menerus dan sistematis, sehingga akan mampu melaksanakan program
reformasi secara tepat guna dan berhasil guna. Terlebih lagi jika diingat bahwa
kondisi lingkungan strategis organisasi pemerintah telah demikian berkembang,
maka eksistensi dari aparatur yang bersih dan berwibawa, handal, bermental
baik, serta efektif dan efisien, jelas merupakan keniscayaan.
Asumsi
dan Urgensi Pemerintahan Wirausaha
Meskipun
demikian, perlu diketahui terlebih dahulu bahwa perumusan sepuluh prinsip
diatas, serta perlunya implementasi dalam praktek penyelenggaraan pemerintahan,
menurut Osborne dan Gaebler, didasari oleh beberapa asumsi dasar sebagai
berikut:
1.
Bahwa pemerintah merupakan mekanisme koordinasi dan
mekanisme pengambilan keputusan secara kolektif (state mechanism).
Sebagai contoh dapat ditunjukkan misalnya dalam hal pembangunan jalan raya;
penanganan masalah-masalah pengangguran, kebodohan, kemiskinan, kejahatan; serta
upaya-upaya perlindungan lingkungan, perlindungan badan dan hak milik,
perlindungan polisi dan jalan raya, pertahanan nasional, dan sebagainya.
2.
Bahwa mekanisme masyarakat dan mekanisme pasar (market mechanism)
tidak akan berfungsi secara efektif tanpa pemerintahan yang efektif pula.
3.
Bahwa yang menjadi masalah pokoknya bukan terletak kepada
orang atau manusia yang bekerja pada pemerintahan, melainkan sistem tempat
mereka bekerja.
4.
Bahwa liberalisme tradisional maupun konservatisme
tradisional tidak banyak relevansinya dengan masalah yang dihadapi pemerintah
saat ini. Artinya, upaya menciptakan birokrasi pemerintahan yang baru atau
upaya swastanisasi birokrasi, bukan merupakan pilihan yang sifatnya “hitam
putih” atau keharusan mutlak antara ya dan tidak. Akan tetapi makna yang
tersirat dalam berbagai upaya tadi adalah bagaimana menata ulang pemerintah
agar menjadi lebih efisien.
5.
Bahwa keadilan adalah untuk semua orang. Artinya, dengan
menciptakan pemerintah yang kompetitif, keadilan (distributif) masyarakat untuk
memperoleh keadilan dalam hal pelayanan umum justru akan semakin meningkat,
bukan sebaliknya.
Gagasan
Osborne dan Gaebler untuk menyuntikkan semangat kewirausahaan ke
sektor publik mengambil dasar konsepsional J.B. Say (1800), yang
mengatakan bahwa kewirausahaan (entrepreneur) adalah pemindahan berbagai
sumber ekonomi dari suatu wilayah dengan produktivitas rendah ke wilayah dengan
produktivitas lebih tinggi dan hasil yang lebih besar. Dengan kata lain, seorang
wirausahawan menggunakan sumber daya dengan cara baru untuk memaksikmalkan
produktivitas dan efektivitas. Disamping itu, perlu digarisbawahi bahwa
wirausaha selalu identik dengan risk taker (pengambil resiko). Seorang
wirausahawan sesungguhnya bukan penanggung resiko, melainkan akan mencoba
mendefinisikan resiko yang harus dihadapi serta menimimalkan sebanyak mungkin
resiko tersebut.
Kembali
kepada latar belakang penulisan buku Reinventing Government seperti
telah disinggung pada awal bab ini, Osborne dan Gaebler menemukan
data bahwa tingkat kepercayaan masyarakat Amerika Serikat terhadap pemerintah
telah berada pada titik yang kritis. Sebagai contoh, hanya 5 % orang Amerika
yang akan memilih jabatan dalam pemerintahan; 13 % pegawai tinggi federal yang
merekomendasikan karier pegawai negeri; hampir tiga perempat orang Amerika
menyatakan keyakinannya bahwa pemerintah mengeluarkan nilai dollar yang lebih
rendah dibanding 10 tahun sebelumnya. Disamping itu, sekitar tahun 1990-an,
banyak negara-negara bagian yang mengalami defisit anggaran yang sangat parah,
serta terjadi pemberhentian ribuan pekerja. Dengan kondisi seperti itu,
masyarakat yang telah geram melihat performansi pemerintah, berubah menjadi
apatis.
Meskipun
demikian, masih ada harapan untuk memperbaiki kekurangan-kekurangan pemerintah
diatas. Harapan ini adalah munculnya lembaga-lembaga kemasyarakatan baru yang
cukup ramping, terdesentralisasi dan inovatif. Lembaga baru ini juga memiliki
sifat fleksibel, dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan, serta cepat
mempelajari cara-cara baru bila keadaan berubah. Disamping itu, lembaga ini
juga memanfaatkan kompetisi, pilihan konsumen, dan mekanisme non birokratis
lainnya untuk menjalankan segala sesuatu dengan sekreatif dan seefektif
mungkin. Inilah yang bagi Osborne dan Gaebler merupakan harapan
masa depan bentuk pemerintahan yang ideal.
Sebaliknya,
bentuk pemerintahan dengan sistem birokrasi yang lamban dan terpusat,
pemenuhan terhadap ketentuan dan peraturan (bukannya berorientasi misi), serta
rantai hierarkhi komando yang rigid, tidak lagi berjalan dengan baik. Artinya, konsepsi birokrasi yang dirumuskan oleh Weber telah berbalik 180
derajat dengan tuntutan dunia kontemporer saat ini.
Untuk waktu kurang lebih 100 tahun yang lalu, memang
makna birokrasi sangat positif, dimana birokrasi bermakna sebagai suatu metode
organisasi yang rasional dan efisien. Hal ini mengandung pengertian bahwa
dengan otoritas hierarkhis dan spesialisasi fungsional yang melekat pada
dirinya, birokrasi memiliki kemungkinan untuk melaksanakan tugas-tugas besar
dan kompleks secara efisien. Bahkan Weber menegaskan keunggulan
organisasi birokrasi sebagai berikut:
Alasan yang jelas bagi kemajuan organisasi yang birokratis selalu berupa
keunggulan teknisnya atas bentuk organisasi lain manapun …. Ketepatan, kecepatan,
kejelasan ….. pengurangan friksi dan biaya material maupun personal – semua ini
ditingkatkan sampai titik optimum dalam pemerintahan yang sangat birokratis.
Dalam prakteknya, bentuk organisasi pemerintah birokratis
ini masih dapat menciptakan efektivitas dan efisiensi hanya pada fase-fase awal
dari pembentukan negara modern, khususnya pada fase-fase dimana terjadi perang
antar negara (Perang Dunia I dan II) serta dimana kondisi sosial ekonomi maupun
politik negeri tersebut masih diributkan oleh persaingan antar suku dan
perburuan ambisi pribadi atau kelompok. Namun dalam komunitas masyarakat maju
saat ini, jika sistem maupun mekanisme pemerintahan birokratis masih
dipertahankan, dapat diyakini bahwa pemerintah akan mengalami “kebangkrutan”.
Untuk itu, pemerintahan birokratis perlu digiring dan
diarahkan kepada bentuk pemerintahan wirausaha, yang menurut Osborne dan
Gaebler memiliki sifat-sifat sebagai berikut:
…… pemerintahan wirausaha mendorong kompetisi
antar pemberi jasa. Mereka memberi
wewenang kepada warga dengan mendorong adanya kontrol dari birokrasi
kedalam masyarakat. Mereka mengukur kinerja perwakilannya dengan memusatkan
pada hasil, bukan masukan.
Mereka digerakkan oleh tujuannya – missi
mereka – bukan oleh ketentuan dan peraturan. Mereka mendefinisikan kembali
klien mereka sebagai pelanggan
dan menawarkan kepada mereka banyak pilihan. Mereka lebih suka mencegah masalah sebelum muncul,
ketimbang hanya memberi servis sesudah masalah itu muncul. Mereka mencurahkan
energinya untuk memperoleh uang,
tidak hanya membelanjakannya. Mereka mendesentralisasikan
wewenang dengan menjalankan manajemen partisipasi. Mereka lebih menyukai
mekanisme pasar ketimbang
mekanisme birokratis. Dan mereka tidak hanya memfokuskan pada pengadaan
perusahaan negara, tetapi juga pada mengkatalisasi
semua sektor – pemerintah, swasta, dan lembaga sukarela – kedalam tindakan
untuk memecahkan masalah masyarakatnya.
Pelayanan Birokrasi dan Tantangan Kewirausahaan
Fungsi utama dari eksistensi pemerintah adalah
penyelenggaraan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat. Ini merupakan ciri
utama dari bentuk negara kesejahteraan (welfare state) yang banyak
dianut oleh negara-negara di dunia dewasa ini. Oleh karena mengemban fungsi
pelayanan dan kesejahteraan, pemerintah “tabu” untuk mencari keuntungan atau
profit di sela-sela tugasnya tersebut. Inilah sebabnya, dalam penyelenggaraan
tugas-tugas umum pemerintahan maupun tugas pembangunan, pemerintah telah
memiliki input-input atau sumber daya manajemen yang permanen sifatnya. Sebagai
contoh, ketersediaan anggaran yang ditetapkan setiap tahunnya, akan dapat
memenuhi kebutuhan untuk gaji pegawai negeri, belanja barang dan mesin-mesin,
serta biaya operasional dari kegiatan yang dilakukan.
Akan tetapi perlu diingat bahwa ketersediaan dan pertambahan
sumber daya bagi pemerintah sangatlah terbatas, dibandingkan dengan peningkatan
tuntutan pelayanan masyarakat yang makin variatif dan disertai dengan standar
kualitatif. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan jika akhir-akhir ini banyak
sekali berkembang pemikiran para pakar yang menghendaki adanya perubahan
orientasi pemerintahan yang lebih menekankan kepada fungsi-fungsi katalisasi,
antisipasi, demokratisasi maupun desentralisasi. Hal ini didasarkan pada suatu
fakta empiris bahwa disatu pihak proses pembangunan selama ini telah berhasil
meningkatkan tingkat kesejahteraan dan pendidikan masyarakat; dan dipihak lain
mendorong pula terbentuknya suatu masyarakat modern yang berpandangan kritis
dengan berbagai macam tuntutan baru yang menyertainya. Kondisi seperti ini
jelas merupakan kebanggaan nasional, sekaligus sebagai bukti bahwa strategi
pembangunan yang ditempuh selama ini telah mencapai sasarannya. Meskipun
demikian, kondisi tersebut juga menjadi tantangan yang sangat berat bagi
aparatur pemerintah untuk selalu mengimbangi kemajuan masyarakat yang begitu
pesat.
Dengan demikian jelaslah bahwa adanya perubahan orientasi
fungsi pemerintahan tadi, pada dasarnya bertujuan untuk menekan sekecil mungkin
terjadinya kesenjangan antara tuntutan pelayanan masyarakat dengan kemampuan
aparatur pemerintah untuk memenuhinya. Atau dapat dikatakan pula bahwa program
“reformasi sektor publik” pada akhinya diharapkan dapat menghasilkan output
akhir berupa peningkatan kinerja pelayanan umum (public service).
Tuntutan adanya peran baru pemerintah diatas sesungguhnya
merupakan gejala yang wajar, mengingat bahwa sarana dan prasarana (sumber daya)
yang dimiliki oleh pemerintah sangat terbatas. Sementara itu, keterbatasan
dalam hal sarana dan prasarana tidak dapat dijadikan sebagai alasan pembenar
tentang rendahnya kualitas pelayanan kepada masyarakat. Dalam konteks
seperti inilah, maka setiap jajaran aparatur perlu berpikir dan mencari
alternatif terbaik bagaimana mengatasi kendala yang ada tanpa mengurangi makna
dan hakikat pelayanannya. Ini berarti juga bahwa pemerintah harus mampu
menciptakan nilai-nilai baru (value creating) dalam rangka pelayanan
kepada masyarakat, atau memberikan nilai tambah (added value) terhadap
jasa pelayanan yang telah ada sebelumnya. Strategi seperti inilah yang antara
lain disarankan oleh Ikujiro Nonaka dan Takeuchi (1996), yang
disebut dengan Value Creation Management.
Disamping perkembangan dinamika kemasyarakatan,
pemerintah juga dihadapkan kepada tantangan pertumbuhan sektor swasta yang
makin memiliki daya saing unggul. Konsekuensinya, pemerintah perlu meningkatkan
daya siangnya agar masyarakat tidak berpaling kepada swasta dalam rangka
pemenuhan kebutuhan pelayanan umumnya. Atau, kemandirian dan kemampuan
yang handal dari pemerintah merupakan syarat tetap terpeliharanya kepercayaan
masyarakat kepada pemerintah untuk memenuhi segala kebutuhan pelayanan umumnya.
Jika hal ini terjadi, maka terbuktilah kekhawatiran kita tentang “kebangkrutan
birokrasi”.
Dalam rangka membentuk kemandirian pemerintah pada
seluruh aspeknya, sekaligus meningkatkan kualitas pelayanannya kepada
masyarakat inilah, maka pemerintah perlu memiliki semangat kewirausahaan
(entrepreneurship). Jadi, jiwa wirausaha semula hanya dimiliki oleh sekelompok
pengusaha yang tidak memiliki fasilitas-fasilitas tertentu, tetapi ingin
memperoleh hasil maksimal dari usahanya. Oleh karenanya, logis jika aparatur
kurang memiliki semangat ini karena dalam penyelenggaraan tugas-tugasnya telah
tersedia berbagai fasilitas pendukung terutama dari segi anggaran atau budget.
Mengingat perbedaan yang cukup mendasar antara organisasi publik yang bersifat
nirlaba dengan organisasi privat yang mencari laba inilah, maka organisasi
pemerintah perlu pula menerapkan cara kerja atau manajemen seperti yang dianut
oleh organisasi sektor privat. Dengan kata lain, jiwa wirausaha ini
sesungguhnya lebih banyak dipunyai oleh swasta dari pada kalangan pemerintahan,
sehingga transformasi semangat kewirausahaan dapat dikatakan pula sebagai
mengelola sektor publik sebagaimana halnya mengelola suatu usaha swasta atau
perusahaan.
Dalam hubungan ini, kasus penetapan suatu unit kerja
pemerintah sebagai unit swadana (berdasarkan Keppres Nomor 38/1991) dapat
dikategorikan sebagai terobosan yang sangat penting dalam perspektif ilmu
administrasi negara. Artinya, prinsip pemerintahan wirausaha diinjeksikan atau
diinduksikan kepada unit swadana, sehingga unit kerja ini akan memperoleh
manfaat berupa penerimaan negara bukan pajak (PNBP) dari kegitan pelayanan yang
diselenggarakannya.
Penetapan unit kerja pemerintah sebagai unit swadana
dikatakan merupakan terobosan penting, sebab dewasa ini pilihan jasa kepada
masyarakat semakin beragam dan tidak lagi dikuasai oleh unit-unit pelayanan
jasa pemerintah secara monopolistik, melainkan telah tumbuh organisasi
pelayanan swasta sebagai pesaing atau kompetitor sektor publik. Iklim persaingan ini tentu saja merupakan peluang dan sekaligus tantangan
bagi unit swadana untuk bertahan hidup. Dikatakan sebagai peluang karena unit
swadana dengan berbagai fasilitas yang ada padanya memiliki potensi untuk
berkembang; sementara dikatakan sebagai tantangan karena apabila unit swadana
tidak mampu meningkatkan profesionalisme kerjanya, maka ia akan ditinggalkan
oleh para pelanggan atau pemakai jasanya.
Pengertian, Ruang Lingkup, dan Karakteristik
Kewirausahaan
Pengertian entrepreneur (kewirausahaan) menurut
Ensiklopedi Ekonomi, Bisnis dan Manajemen (1992: 472 – 473) adalah pengusaha
yang mampu melihat peluang, mencari dana serta sumber daya lain yang diperlukan
untuk menggarap peluang tersebut, dan berani menanggung resiko yang berkaitan
dengan pelaksanaannya. Istilah ini sendiri berasal dari bahasa Perancis entreprende
yang berarti mengejar peluang, mengisi kebutuhan melalui inovasi dan menjalankan
usaha.
Istilah tersebut pertama kali diperkenalkan oleh Richard
Cantillon dalam bukunya yang berjudul Essai sur la Nature du Commerce en
General (1755), yang menyatakan bahwa entrepreneur / kewirausahaan
adalah orang yang mengambil resiko dengan jalan membeli barang dengan harga
tertentu dan menjualnya dengan harga yang belum pasti. Dalam pengertian Cantillon
ini, karakteristik utama wirausaha adalah keberaniannya mengambil resiko,
perannya mengambil keputusan untuk mendapatkan dan menggunakan sumber daya,
kegiatannya mencari peluang yang terbaik untuk menggunakan sumber daya agar
memperoleh hasil yang terbesar.
Dalam bahasa Jerman, kata entrepreneur adalah unternehmer
dan kata bahasa Inggris yang paling mendekati maknanya dipandang dari sudut
sejarah berasal dari kata “projector” yang diartikan sebagai “yang membuat
proyek dimasa mendatang yang menanggung resiko dalam pernyataannya”.
Dengan demikian para pembuat teori ekonomi dan para
penulis pada masa ini sepakat bahwa entrepreneur ialah mereka yang memulai
sebuah usaha baru dan yang berani menanggung segala macam resiko, serta mereka
yang mendapatkan keuntungannya. Pada tahap selanjutnya, penggunaan istilah
entrepreneur makin populer sekitar tahun 1800 yang digunakan untuk
menggambarkan pengusaha-pengusaha yang mampu memindahkan sumber-sumber ekonomis
dari tingkat produktivitas rendah ke tingkat produktivitas yang lebih tinggi,
dan yang menghasilkan lebih banyak. Dalam hal ini, entrepreneur memiliki fungsi
dalam arti luas yang menekankan pada fungsi penggabungan faktor-faktor produksi
dan perlengkapan manajemen yang kontinyu disamping sebagai penanggung resiko.
Selanjutnya mengenai pengertian entrepreneur ini, Adam
Smith (1776) berpendapat bahwa wirausaha adalah pembangunan organisasi
untuk kepentingan komersial. Dalam pandangan dia, seorang wirausaha adalah
seorang industrialis. Wirausaha adalah orang yang luar biasa dalam hal
penglihatannya ke masa depan, mampu mengenali kebutuhan/permintaan atas barang
atau jasa. Wirausaha bereaksi atas perubahan ekonomi, seorang pelaku perubahan
ekonomi yang mengadakan transpormasi permintaan menjadi penawaran (penyediaan
barang /jasa).
Dari berbagai definisi yang diungkapkan para pakar
manajemen bisnis dan administrasi negara, dapat disajikan mengenai wirausaha
dan atau kewirausahaan sebagai berikut:
- Wirausaha adalah seseorang yang memiliki seni dan
ketrampilan untuk menciptakan perusahaan, yang memiliki penglihatan atas
kebutuhan masyarakat dan mampu memenuhinya (Jean Baptiste Say,
1803).
- Wirausaha adalah pencipta bisnis. Pengertian ini
diperluas dengan aspek kepemilikan bisnis tersebut diwaktu selanjutnya (John
Stuart Mill, 1848).
- Wirausaha melakukan “perusakan kreatif” (creative
destruction) dengan menciptakan cara yang baru dan lebih baik. Wirausaha
adalah orang yang menciptakan cara baru dalam mengorganisasikan proses
produksi. Jadi Wirausaha adalah seorang inovator produksi. Inovasi inilah
yang menjadi inti dari ekonomi modern. Wirausaha tidak harus seorang
inventor (penemu). Wirausaha tidak harus seorang kapitalis. Wirausaha
tidak sama perannya dengan manajer. Kewirausahaan adalah suatu proses.
Kewirausahaan tidak dapat diwariskan seperti halnya harta (Joseph
Schumpeter, tulisan antara 1911 s.d. 1950).
- Wirausaha adalah mereka yang gagal menempuh tangga
peran atau jabatan yang tradisional di masyarakat. Untuk itu ia
menyalurkan kreativitasnya dengan menciptakan perusahaan yang unik
miliknya. Wirausaha mengorganisir bisnis baru yang sebelumnya tidak ada (Orvis
Collins dan David Moore, 1964).
- Seorang wirausaha adalah orang yang memiliki
dorongan, ambisi, energi dan motivasi untuk memberi suatu usaha kecil
dobrakan kuat yang diperlukan untuk berhasil (Robinson, 1966).
- Wirausaha selalu mencari perubahan, menanggapinya,
dan memanfaatkannya sebagai suatu kesempatan. Para wirausaha melihat suatu
perubahan sebagai suatu norma hidup atau tingkah laku standard, dan suatu
yang sehat. Kewirausahaan tidak hanya di perusahaan swasta yang
beroientasi mencari laba, melainkan di lembaga nirlaba dan pemerintahan.
Masih banyak lagi upaya untuk mendeskripsikan siapa itu wirausaha, dimaman
ada yang sangat semmpit pengertiannya, misalnya hanya yang mendirikan
usaha bisnis baru dan ada yang sangat luas, misalnya siapa saja yang
melakukan inovasi. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa dalam
membicarakan wirausaha dan kewirausahaan, harus lebih dahulu ditetapkan
apa yang kita maksud dengan kata tersebut (Peter Drucker, 1985).
- Entrepreneurship adalah proses dinamik untuk
menciptakan kekayaan inkremental (incremental wealth), dimana kekayaan
tersebut diciptakan oleh individu-individu yang menghadapi resiko besar
sehubungan dengan modal, waktu dan / atau komitmen karir atau yang
memberikan nilai bagi produk atau jasa tertentu (Ronstandt, dalam Winardi,
1995: 4)
- Entrepreneurship
is the process of creating something different with value by devoting the
necessary time and effort assuming the accompanying financial, physic and
social risks, and receiving the resulting reward of monetary and personal
satisfaction (Winardi).
Dari
pengertian-pengertian diatas, dapat ditemukan beberapa karakteristik utama
entrepreneur seperti dikemukakan oleh Burch (1986: 28-29) sebagai
berikut:
- Dorongan
berprestasi, dalam arti bahwa semua entrepreneur yang berhasil, memiliki
keinginan besar untuk mencapai suatu prestasi.
- Bekerja keras, dalam arti bahwa sebagian besar
entrepreneur mabuk kera demi mencapai sasaran yang ingin dicapai.
- Memperhatikan kualitas, dalam arti bahwa
entrepreneur manangani dan mengawasi sendiri bisnisnya sampai mandiri,
sebelum iamuali dengan usaha yang baru.
- Sangat bertanggungjawab, dalam arti bahwa
entrepreneur secara legal, moral maupun mental sangat bertanggungjawab
atas usaha mereka.
- Berorientasi pada imbalan, dalam arti bahwa
entrepreneur mau menunjukkan prestasi, kera keras dan bertanggungjawab,
dan mereka mengharapkan imbalan yang sepadan dengan usahanya. Imbalan ini
tidak hanya berupa uang, tetapi juga pengakuan dan penghormatan.
- Optimis, dalam arti bahwa entrepreneur hidup dengan
doktrin semua waktu baik untuk berbisnis, dan segala sesuatu adalah
mungkin.
- Berorientasi pada pada hasil karya yang baik
(excellent oriented), dalam arti bahwa entrepreneur seringkali ingin
mencapai sukses yang menonjol dan menuntut segala yang first class.
- Mampu mengorganisasikan, dalam arti bahwa entrepreneur
mampu memadukan bagian-bagian dari usahanya dalam rangka mencapai hasil
maksimal bagi usahanya, mereka umumnya diakui sebagai “komandan” yang
berhasil.
- Berorientasi pada uang, dalam arti bahwa
entrepreneur mengear uang tidak semata-mata untuk memenuhi kebutuhan
pribadi dan pengembangan usahanya saja, tetapi juga dilihat sebagai ukuran
prestasi kerja dan keberhasilan.
Dalam hal pembahasan mengenai karakteristik kewirausahaan
ini, V. Winarto (1997) menyebutkan bahwa sama nasibnya dengan mencari
kesepakatan tentang pengertian wirausaha, upaya mencari karakteristik wirausaha
menghasilkan banyak variasi karakteristik. Misalnya Rao menghasilkan
daftar karakteristik pribadi wirausaha (Personality Charecteristics of
Entrepreneurs) sebanyak 57 karakteristik. Yang lebih membuat sulit
menemukan suatu kesepakatan karakteristik wirausaha adalah adanya kenyataan
sebagai berikut:
·
Wirausaha yang
berhasil tidak selalu mempunyai semua karakteristik yang disebutkan pelbagai
ahli.
·
Karakteristik yang
disebut sebagai karakteristik wirausaha juga dimiliki oleh bukan wirausaha
bisnis, misalnya dimiliki oleh seorang guru besar, peneliti ahli atau wiraniaga
(salesman) jagoan.
Salah satu pengupaya pencarian karakteristik pribadi
wirausaha yang terkenal adalah David McCleland. Disimpulkan bahwa ada
korelasi yang positif antara tingkah laku orang yang memiliki motuf prestasi (need
for achievement) tinggi dan tingkah laku wirausaha. Karakteristik orang
dengan motif prestasi yang tinggi adalah:
·
Memilih
resiko moderat, dalam arti bahwa dalam tindakannya dia memilih melakukan
sesuatu yang ada tantangannya, namun dengan kemungkinan keberhasilan yang
dianggapnya cukup tinggi.
·
Mau
mengambil tanggung-jawab pribadi, dalam arti bahwa kegagalan yang terjadi tidak
dialihkan tanggung jawabnya pada “kambing hitam”.
·
Mencari dan mau
menerima umpan balik.
·
Berusaha mencari
cara-cara baru untuk melakukan sesuatu.
Upaya untuk mengungkapkan karakteristik utama wirausaha
juga dilakukan oleh para ahli dengan menggunakan teori letak kendali (locus
of control) yang diketengahkan oleh J.B. Rotter. Teori letak kendali
menggambarkan bagaimana meletakkan sebab dari suatu kejadiaan dalam hidupnya.
Apakah sebab kejadiaan tersebut oleh faktor dalam dirinya dan dalam lingkup
kendalinya, atau faktor di luar kendalinya.
Rotter membuat dua kategori letak
kendali, yaitu internal dan eksternal. Pada orang yang letak kendalinya
eksternal akan beranggapan keberhasilan tidak semata tergantung pada usaha
seseorang, melainkan juga oleh keberuntungan, nasib, atau ketergantungan pada
pihak lain, karena adanya kekuatan besar disekeliling seseorang. Pada orang
internal, yang bersangkutan beranggapan bahwa dirinya mempunyai kendali atas
apa yang akan dicapainya. Karakteristik tipe internal sejalan dengan
karakteristik wirausaha, misalnya lebih cepat mau menerima pembaharuan
(inovasi).
Management
Systems International
menyebutkan karakteristik pribadi wirausaha (personal entrepeneraurial
charactheristics) sebagai berikut:
·
Mencari
peluang (opportunity seeking)
·
Keuletan
(persistence )
·
Tanggung
Jawab terhadap pekerjaan (commitment to the work contract )
·
Tuntutan
atas kualitas dan efisisensi (demand for quality and efficency )
·
Pengambilan
resiko (risk taking )
·
Menetapkan
sasaran (goal setting )
·
Mencari
informasi (information seeking )
·
Perencanaan
yang sistematis dan pengawasannya (systematic planning and monitoring )
·
Persuasi
dan jejaring / koneksi (persuasion and networking).
·
Percaya
diri (self confidence).
·
Kecenderungan
untuk berkreasi (creativity).
Sementara
itu Dalam praktek kehidupan bisnis, Danhof sebagaimana dikutip Winardi
menyajikan empat tipe entrepreneurship sebagai berikut:
1) Innovating Entrepreneurship
Ia dicirikan oleh
pengumpulan informasi secara agresif dan analisis hasil-hasil yang diperoleh
melalui kombinasi baru faktor-faktor produksi. Orang-orang dalam kelompok ini
seringkali bersifat agresif dalam aktivitas eksperimentasi dan mereka sangat
giat untuk mempraktekkan kemungkinan-kemungkinan yang atraktif.
2)
Imitative
Entrepreneurship
Ia dicirikan oleh
kesediaan untuk meniru inovasi-inovasi yang berhasil yang dilaksanakan oleh
para innovating entrepreneurs.
3) Fabian Entrepreneurship
Ia dicirikan oleh
sikap hati-hati berlebihan dan skeptisisme (mungkin tak lain dari “inersin”)
yang hanya akan melakukan imitasi apabila jelas sekali terlihat bahwa apabila
tindakan peniruan tersebut tidak dilakukan, hal itu akan menyebabkan kerugian
dalam posisi relatif perusahaan yang bersangkutan.
4) Drone Entrepreneurship
Ia dicirikan oleh
sikap menolak peluang-peluang untuk mengadakan perubahan-perubahan dalam rumus
produksi, sekalipun sikap demikian akan menyebabkan hasil perusahaan yang
bersangkutan merosot dibandingkan dengan hasil yang diraih produsen-produsen
lain.
Perilaku
entrepreneur berkaitan erat dengan konsep kebutuhan untuk berprestasi (achievement
motive) yaitu bahwa manusia ingin mengembangkan dirinya sesuai dengan
potensi yang ada pada dirinya. Motif pengembangan diri ini muncul dalam bentuk
umpamanya kebutuhan untuk menjadi seseorang yang kompeten dan berhasil.
Dalam
perspektif yang lebih sempit, seorang entrepreneur mengorganisasikan dan
mengoperasikan sebuah perusahaan untuk mendapatkan keuntungan pribadi. Ia
membayar harga-harga yang berlaku untuk bahan-bahan yang dikonsumsi di dalam
perusahaannya untuk penggunaan tanah, jasa-jasa pribadi yang dimanfaatkannya
dan untuk modal yang digunakan olehnya. Selanjutnya pada pertengahan abad ke-20
muncul pandangan seorang entrepreneur sebagai inovator sebagaimana dikatakan Schumpeter
(dalam Winardi, 1995: 3) sebagai berikut:
“……… fungsi para
entrepreneur adalah mengubah atau merevolusionerkan pola produksi dengan jalan
memanfaatkan sebuah penemuan baru (invention)
atau secara lebih umum sebuah kemungkinan teknologikal untuk memproduksi sebuah
komoditi baru atau memproduksi sebuah komoditi lama dengan cara baru, membuka
sebuah sumber baru supali bahan-bahan atau suatu penyaluran baru bagi
produk-produk atau mereorganisasi sebuah industri baru ……..”
Dengan
demikian dapat disimpulkan bahwa entrepreneur dan entrepreneurship sangat erat
kaitannya dengan proses inovasi dalam organisasi. Inovasi tersebut dapat berupa
penghematan modal (capital saving), penghematan tenaga kerja (labor
saving) atau bersifat netral yang dipandang dari kedua macam input
tersebut. Oleh karena itu, entrepreneurial tidak hanya dibutuhkan di
organisasi-organisasi bisnis, tetapi juga di organisasi pemerintah, khususnya
lembaga-lembaga pelayan masyarakat. Termasuk organisasi yang memerlukan
semangat entrepreneurial adalah unit-unit kerja yang memperoleh pelimpahan
wewenang untuk menyelenggarakan pelayanan jasa tertentu. Hal ini diperkuat oleh
pernyataan Drucker (1988: 192) bahwa:
“….. lembaga
pelayanan masyarakat seperti kantor pemerintah, serikat buruh, universitas,
gereja, begitu juga sekolah, rumah sakit, organisasi masyarakat dan soaial,
asosiasi profesi dan perdagangan atau sejenisnya, perlu menjadi wiraswasta dan
inovatif, sebagaimana halnya lembaga bisnis. Tidak disangsikan lagi, mereka
mungkin bahkan lebih memerlukannya. Perubahan yang pesat dalam masyarakat kita
sekarang ini, dalam bidang teknologi ataupun dalam bidang perekonomian
merupakan ancaman yang semakin besar terhadap lembaga tersebut, namun juga
merupakan peluang yang semakin besar pula ".
Suatu
pemerintahan yang menerapkan prinsip entrepreneurship merefleksikan adanya
manajemen pemerintah yang selalu mencari cara-cara yang efektif dan efisien,
bersedia meninggalkan program dan proyek yang sudah kadaluwarsa, bersifat
inovatif, kreatif, serta berani mengambil resiko meskipun tidak berarti harus selalu
terdapat resiko. Namun demikian, satu hal yang perlu ditekankan disini adalah,
meskipun lembaga pelayanan publik (pemerintah) lebih dibatasi oleh tugas-tugas
suci untuk kepentingan umum, namun semangat dan jiwa kewirausahaan tetap
diperlukan guna mengoptimalkan produktivitas kerja karyawan dan organisasi,
sekaligus meminimalisir inefisiensi dalam organisasi.
Mitos
Dalam Kewirausahaan
Kewirausahaan
sebagai suatu konsep yang relatif baru masih sering dimengerti kurang tepat di
masyarakat. Berikut ini daftar mitos kewirausahaan yang dikumpulkan oleh Michel
Robert dan Alan Weiss, dan sejumlah bukti yang dikumpulkan dari
pelbagai sumber yang menentang mitos tersebut (Winarto, 1997). Mitos
disini dimaksudkan bahwa hal-hal tersebut sering dipersepsikan ada keterkaitan
dengan kewirausahaan, padahal sesungguhnya tidak seperti yang dipersepsikan
tersebut. Beberapa mitos yang berhubungan dengan masalah kewirausahaan dapat
dikemukakan sebagai berikut:
1.
Wirausaha adalah pengambil resiko besar. Wirausaha bukan pengambil resiko besar, melainkan
seorang yang menghitung resiko yang akan diambilnya. Tantangan ada namun dengan
upaya akan dapat dicapai. Dan wirausaha bijaksana dalam memilih resiko, ia
bukan pejudi.
2.
Wirausaha adalah pemilik usaha, bukan pegawai. Yang mengubah restoran “fast-food“ Mc.Donald’s
menjadi raja dibidang franchising adalah Ray Kroc, pimpinan perusahaan, dan bukan pemiliknya yaitu McDonald
bersaudara. Dan Intrepreneur di dalam perusahaan bukanlah pemilik.
3.
Inovasi hanya di perusahaan kecil. Inovasi dilakukan dengan
keterampilan atau keahlian dan bukan pembawaan atau milik budaya tertentu ia
dilakukan dimana-mana. Dan Musuh inovasi adalah
birokrasi yang terdapat di perusahaan besar dan kecil.
4.
Inovasi adalah gagasan besar. Sebagaian keberhasilan besara dimulai dari gagasan
baru yang sederhana misalnya “walkman” muncul sebagai produk baru yang sukses berasal
dari keinginan tetap mendengar musik secara pribadi selagi main tenis.
5.
Wirausaha adalah pencetus
gagasan saja, dalam arti bahwa
seorang inovator terjun langsung menerapan gagasannya.
6.
Wirausaha menyediakan sarananya, termasuk modal
sendiri. Ini berarti bahwa wirausaha tida sama dengan
kapitalis, dan bahwa wirausaha menggunakan sarana yang ada dengan cara baru.
7.
Inovasi datang mencuat bagai kilat dari seorang
genius. Ray
Kroc memperbaharui bisnis hamburer
dengan mengadakan pengamatan terus menerus atas restoran Mc.Donald’s. Selain
itu, Fred Smith menghasilkan “undergraduate thesis” model distribusi
barang kiriman kecil (parcel).
8.
Wirausaha dilahirkan dan kewirausahaan tidak dapat
dilatihkan. Ini berarti bahwa seperti keterampilan dokter atau
pengacara, keterampilan kewirausahaan dapat dilatihkan dan dikembangkan. Dalam
konteks seperti inilah, maka diklat-diklat kewirausahaan seperti yang sedang
diselenggarakan ini menjadi sangat penting sebagai wahana mencetak
tenaga-tenaga profesional dan berorientasi kepada pencapaian kinerja dan
produktivitas organisasi.
Kewirausahaan
dan Peran Manajer
Dari
beberapa paparan yang telah disajikan diatas dapatlah disimpulkan bahwa
tuntutan kedepan untuk menghadapi globalisasi bagi organisasi adalah bagaimana
menginjeksikan semangat kewirausahaan kedalam dirinya. Otomatis hal ini
mengandung implikasi bahwa para pegawai yang tergabung dalam organisasi
tersebut (terutama para manajernya), perlu menguasai benar praktek-praktek
kewirausahaan guna meningkatkan kinerja dan produktivitas organisasi.
Sebagaimana
dikatakan Winarto (1997), peran wirausaha pendiri adalah melahirkan
suatu organisasi baru, baik sendiri maupun bersama suatu kelompok. Setelah
lahir maka wirausaha pendiri melakukan upaya pengembangan organisasi hingga
sampai suatu titik dimana diharapkan organisasi tidak lagi tergantung pada si
pendiri. Dalam perjalanan organisasi diperlukan manajemen yang akan menguatkan
organisasi dengan sistem manajemen dan mengurangi, ketidak pastian dan
ketergantungan pada faktor subjectivitas manusia, khususnya subjektivitas
pendiri. Ketergantungan pada orang diganti dengan ketergantungan
pada sistem dan prosedur yang berlaku bagi siapapun juga secara seragam.
Dalam era sekarang ini pelbagai upaya telah dilakukan,
khususnya di perusahaan besar, untuk mengembangkan sistem dan budaya organisasi
yang dapat menampung: manajemen yang baik dan juga adanya kewirausahaan. Hal
ini tidak mudah, namun cukup penting untuk diperhatikan. Salah satu pola yang
ada untuk menampung kewirausahaan di dalam organisasi mapan adalah adanya
wirausaha-intra (intrapreneurs). Pengembangan kewirausahaan di dalam
perusahaan dapat terjadi pada tiga tingkatan, yaitu:
·
Individu
(intrapreneurs / product champions)
·
Kelompok kerja (entrepreneurs
team / skunkworkas)
·
Organisasi
/ Perusahaan (entrepreneurial organization)
Selanjutnya
Winarto mengemukakan bahwa suatu organisasi yang mapan cenderung
mengikuti karakteristik suatu birokrasi yang baik, yaitu effisien dan
kepastian. Untuk itu menekankan adanya peran formal, peraturan, pembagian
kerja, spesialisasi, dan hirarki. Hal ini dapat dianalogikan bagai suatu kapal
di lautan yang makin besar kapal tersebut makin kompleks perannya,
peraturannya, pembagian kerjanya, spesialisasinya dan panjangnya tingkat
hirarki. Kapal tersebut akan lamban dalam gerakan mengubah haluan untuk
menyesuaikan dengan situasi.
Organisasi
besar yang berwirausahaan akan mengubah dirinya tidak lagi sebagai satu kapal
besar, melainkan sebagai suatu armada yang terdiri dari banyak kapal. Walaupun
mempunyai manajemen yang rapi, misalnya sasaran atau tujuan yang sama dan
aturan main yang disepakati, namun masing-masing kapal masih lincah
menyesuaikan dengan lingkungan masing-masing.
Menjadi
wirausaha intra (intrapreneur) tidak dapat ditunjuk, atau ditugaskan
pada seseorang. Franck de Chambeau dan Shays menyatakan hindari
menunjuk seseorang menjadi intrapreneur atau melakukan inovasi? Dalam
kaitan ini, muncul dan berperannya wirausaha intra di suatu organisasi
dipengaruhi oleh banyak faktor. Kebijakan organisasi untuk memberi kesempatan
adanya sponsor di dalam organisasi. Sponsor adalah seseorang yang mempunyai
kekuasaan yang tugas utamanya adalah melindungi intrapreneur dari cengkeraman
birokrasi, adalah beberapa faktor yang dapat ditunjukkan sebagai contoh.
Kemudian
dengan mengutip pendapat Pinchot, Winarto menggambarkan empat
pemeran utama dalam organisasi yang berwirausahaan sebagai berikut:
1. Inventor, mengembangkan
gagasan baru; khususnya dalam bidang keteknikan (engineering). Hasil
invensinya dapat diwujudkan dalam bentuk paten.
2. Intrapreneur, mengembangkan
gagasan baru yang layak untuk diterapkan menjadi kesempatan usaha. Memastikan
bahwa gagasan tersebut dimasyarakatkan.
3. Sponsor, yaitu seseorang
yang mempunyai kedudukan di organisasi, yang mendampingi proses inovasi. Salah
satu peran utamanya adalah memastikan bahwa hambatan birokrasi dapat dikurangi.
4. Protektor, yaitu seseorang
yang mempunyai kedudukan di puncak organisasi. Tidak sangat “intim” dengan
intrapreneur, namun mau mendengar “keluhan” para intrapreneur.
Apabila
semangat kewirausahaan telah dimiliki oleh para karyawan dari suatu otganisasi
(terutama para manajernya), maka pada tahap berikutnya adalah menetapkan suatu
agenda bagaimana mengembangkan organisasi yang berkewirausahaan. Dengan kata
lain, adanya manajer yang memiliki semangat kewirausahaan yang tinggi merupakan
conditio sine qua non bagi terbentuknya organisasi yang berkewirausahaan.
Adapun
untuk mengembangkan organisasi yang berkewirausahaan ini, Winarto
memberikan beberapa ilustrasi dan kiat-kiat sebagai berikut.
Ia memulai dasar
pemikirannya dari adanya fenomena tentang kesuksesan suatu organisasi “di masa
lalu”. Organisasi macam ini, biasanya akan mempunyai struktur, sistem dan
budaya yang cenderung mempertahankan kemapanan dan formula suksesnya. Ungkapan
yang dipakai bagi organisasi ini adalah bagai seekor gajah yang sulit bergerak
lincah. Mengembangkan organisasi mapan menjadi organisasi yang lincah, mampu
menangkap kesempatan usaha baru, adalah seperti mengajar seekor gajah menari.
Kesuksesan dapat mengikat organisasi ke masa lalu. Komentar atau evaluasi
dengan kata-kata: “berdasarkan pengalaman kita”, telah menutup kemungkinan cara
baru untuk menghadapi “konteks usaha baru’.
Bagaimana
memulai menumbuhkan organisai mapan menjadi organisasi yang berkewirausahaan? Langkah
awal adalah memulainya dari pimpinan puncak. Dari pengamatan atas
organisasi yang sukses melepaskan ikatan masa lalunya, misalnya SAS, American
Express, Chrysler, IBM, Telkom, Tambang Timah, momentum perubahannya dimulai
dari atas.
Apa
yang sebaiknya ditinjau ulang di organisasi yang ingin mengadopsi orientasi
kewirausahaan? Salah satu pendekatan adalah dengan mengaadopsi teori 7S Mc
Kinsey, yang terdiri dari Structure, System, Strategy, Staff, Skills,
Style, Shared values. Manakah dari ketujuh S tersebut yang perlu dibuat
lebih mampu mendukung orientasi organisasi untuk berinovasi?
Dalam
hal ini perlu dipahami bahwa aspek System, meliputi suatu sistem kerja
dan sistem informasi dalam organisasi harus dibuat sedemikian rupa sehingga
memudahkan hubungan kerja, cepat dan benar. Kemudian Strategy, yaitu
suatu rencana yang dipergunakan untuk mencapai sasaran tertentu yang telah
ditentukan. Rencana ini harus disusun secara bertahap sedemikian rupa sehingga
menunjang tercapainya tujuan organisasi. Structure, yaitu bahwa untuk
mencapai suatu tujuan organisasi, diperlukan adanya struktur organisasi yang
dapat diijabarkan kedalam tugas-tugas fungsionalnya. Staff, yaitu bahwa
untuk mencapai tujuan organisasi, perlu didukung oleh staf/personil yang
benar-benar sesuai dengan kebutuhan melalui rekrutasi (recrutment) yang
baik. Style, yaitu tingkah laku atau gaya dari pimpinan dalam menggerakkan
personilnya guna mencapai sasaran dan tujuan organisasi. Pimpinan harus dapat
memberikan motivasi kepada bawahannya dengan memberikan reward kepada
yang berprestasi, dan memberikan punishment kepada yang bersalah. Skill, bahwa dalam menjalankan organisasi perlu adanya
kecakapan dan kemampuan dari anggotanya. Adapun Share value / superordinate
goals, artinya bahwa ke-6 aspek diatas pada akhirnya difokuskan
kepada superordinate goals, atau tujuan organisasi yang lebih tinggi.
Selanjutnya Winarto juga menjelaskan bahwa untuk
mengetahui tingkat inovatifnya suatu organisasi dapat dilakukan audit: jumlah
dari kategori produk barunya. Konsultan Bush, Allen dan
Hamilton mengkategorikan produk baru menjadi enam, mulai dari baru dengan
maksud untuk mengurangi biaya sampai dengan baru untuk dunia. Penelitian
tentang jumlah dan kategori inovasi produk baru perusahaan atau unit usaha
dapat dibandingkan dari tahun ke tahun maupun dengan tingkat inovasi di
industri atau di suatu negara.
Dari pengamatan yang dilakukan oleh siswa program MM di
Sekolah Tinggi Manajemen PPM, umumnya perusahaan di Indonesia masih pada taraf
“low” atau “moderate” dalam tingkat inovasinya. Mengingat kondisi
seperti ini, maka penerapan semangat kewirausahaan bagi para manajer di
Indonesia (sektor privat dan khususnya sektor publik), serta pembentukan
organisasi yang berkewirausahaan, hendaknya benar-benar dipikirkan
implementasinya untuk memacu kinerjanya masing-masing.
Catatan Penutup
Apa yang diuraikan oleh Osborne dan Gaebler
dalam buku Reinventing Government pada hakekatnya merupakan suatu
penawaran terhadap paradigma baru dan atau suatu pergeseran dalam model dasar
kepemerintahan (di Amerika). Yang menjadi persoalannya adalah, bagaimana
prinsip-prinsip yang secara teoritis sangat baik tadi dapat diimplementasikan
tanpa menimbulkan friksi-friksi yang dapat menghambat tercapainya efisiensi dan
efektivitas birokrasi dalam penyelenggaraan tugas-tugas pelayanannya. Atau
dengan kata lain, prinsip-prinsip pemerintahan wirausaha sebagaimana diuraikan
diatas baru mengena pada dimensi normatif atau das sollen, sementara
pada dimensi empiris atau das sein belum teruji dan belum dapat
dibuktikan. Dengan demikian, tantangan yang harus dijawab oleh segenap aparatur
pemerintah dalam perspektif kedepan adalah, bagaimana menemukan
strategi-strategi praktis yang dapat diterapkan untuk mengadopsi prinsip
reinventing government kedalam sistem dan mekanisme penyelenggaraan
pemerintahan, baik di Pusat maupun di Daerah.
Akan tetapi perlu digarisbawahi bahwa penerapan dan atau
pengadopsian prinsip reinventing government harus selalu mengingat
karakteristik yang dimiliki oleh masing-masing daerah. Dapat dikatakan
pula bahwa implementasi semangat reinventing government sifatnya
kontekstual, dan bukan universal.
Terlepas
dari sifat kontekstualnya, gagasan untuk mereformulasikan atau
merevitalisasikan birokrasi modern sebagaimana yang ditulis oleh Osborne
dan Gaebler perlu diapresiasikan dan ditindaklanjuti. Sebab,
prinsip-prinsip yang terkandung dalam semangat reinventing government diyakini
dapat menciptakan konsepsi baru mengenai birokrasi modern, tidak seperti yang
dipersepsikan oleh Weber. Dan terciptanya birokrasi modern yang memiliki
semangat kewirausahaan, pada gilirannya akan mampu meningkatkan kualitas
pelayanan kepada masyarakat.
Daftar Pustaka
Gordon,
Judith R., Organizational Behavior: A Diagnostic Approach, New Jersey : Prentice
Hall, 5th Edition, 1996
Nafziger,
E. Wayne, The Economics of Developing Countries, New Jersey : Prentice Hall, 3rd
Edition, 1997
Nonaka, I &
Tekeuchi, (1995), The Knowledge-Creating Company, Hardvard Business
Scool Press, Boston .
Osborne,
David, and Plastrik, Peter, Banishing Bureaucracy (The Five Strategies for
Reinventing Government), Addison-Wesley Publishing Company, Inc, 1996.
Osborne,
David and Gaebler, Ted, Reinventing Government (How The Entrepreneurial
Spirit is Transforming The Public Sector), Addison-Wesley Publishing
company, Inc, 1992.
Savage, C., 1996, The
Fifth Generation of Management, New
York : Harper
Winardi,
J., Entrepreneur and Entrepreneurship, Modul Pendidikan dan Pelatihan
Manajemen Unit Swadana, Bandung :
LAN Perwakilan Jawa Barat, Januari 1995.
Lain-Lain:
Ensiklopedi Ekonomi, Bisnis dan Manajemen, 1992
[1] Untuk
memberi ilustrasi tentang potensi kebangkrutan sebuah negara, lihat Laurence J. Kotlikoff, Is The United States Bankrupt?, Federal
Reserve Bank of St. Louis
Review, July/August 2006,
2 komentar:
terima kasih artikelnya, sangat bermanfaat.
www.kiostiket.com
Trims atas artikelnya. Bagi saya sangat bermanfaat! Sukses buat Mas!
Posting Komentar