Blog ini berisi coretan-coretan ringan yang pernah terlintas dalam pemikiran sederhana saya dan sempat tertuang dalam sebuah naskah. Sekecil apapun nilainya, saya ingin Blog ini menjadi media komunikasi, asah emosi, tukar informasi, atau apapun ... dengan 1 tujuan: hari esok kita temukan diri kita menjadi jauh lebih akrab, lebih positif (tentang apapun), lebih kompetitif, lebih arif, dan lebih baik dalam segala hal ...
Salam semangat tak pernah padam!
DIBALIK hingar bingar pemilihan Kepala Daerah (pilkada)
yang marak akhir-akhir ini baik di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota, ada
satu hal yang cukup menarik untuk dicermati, yakni motivasi para bakal calon
(balon) Kepala Daerah. Disatu sisi, hampir dapat dipastikan bahwa seorang
Kepala Daerah yang masih memiliki kesempatan, akan mencalonkan diri untuk
periode berikutnya. Alasan klasik yang
sering dipakai adalah belum tuntasnya program pembangunan pada masa lima tahun
sebelumnya. Sementara disisi lain, balon-balon pesaing sering mengkritisi
kebijakan pembangunan dengan menonjolkan hasil-hasil negatif dari pada
positifnya. Itulah sebabnya, merekapun memiliki motivasi klasik untuk “mengabdi
pada daerah dan memperbaiki kinerja pemerintahan sebelumnya“.
Sesungguhnya tidak ada yang salah dengan berbagai
motivasi tadi. Persoalannya menjadi lain ketika motivasi dan visi pribadi tadi
diterjemahkan menjadi visi daerah dengan cara merombak secara total desain
pembangunan yang dirintis para pendahulunya. Akibatnya, seperti diungkapkan
seorang pakar dari Unpad, Prof. Oekan S. Abdullah, konsep perencanaan
pengembangan daerah senantiasa meloncat-loncat, tak konsisten, dan tak
berkesinambungan (sustainable) sehingga kemudian muncul adagium ganti
Kepala Daerah ganti kebijakan. Akhirnya, pembangunan daerah pun menjadi
carut-marut sementara gulungan berbagai persoalan di daerah menjadi semakin
rumit (PR, 12/9/03).
Fenomena ini mengilustrasikan
lemahnya peran dan posisi birokrasi beserta berbagai kelompok stakeholder dalam
proses penyusunan rencana pembangunan. Memang pada kenyataannya, kedudukan
Kepala Daerah (dan pimpinan DPRD) sangatlah determinatif dalam menentukan
kebijakan daerah, sehingga cenderung mengabaikan perlunya mekanisme konsultasi
dengan berbagai komponen masyarakat sipil dan pelaku bisnis lokal. Kondisi
seperti ini diakui oleh Dirjen
Perkotaan Depdagri yang mengatakan bahwa perencanaan
daerah/kota selama ini bersifat tertutup sehingga aspirasi yang berkembang
dalam masyarakat, termasuk perancang kota, sebagai pelaku pembangunan, tidak
tertampung dengan baik. Bahkan, masyarakat cenderung dipandang sebagai obyek
pembangunan atau kelompok obyek fungsional perencanaan (Kompas,
12/9/03).
Pertanyaannya, mengapa Kepala Daerah
dan DPRD menjadi sedemikian sentral peranannya dalam pembangunan daerah,
sementara birokrasi professional (Sekda, para Kepala Dinas/Instansi dan Staff)
serta kelompok civil society cenderung terpinggirkan? Hal ini tidak
terlepas dari sistem otonomi baru yang membuka peluang besar terjadinya
politisasi pemerintahan daerah.
Semenjak berlakunya UU No. 22/1999, gejala politisasi
pemda sudah nampak dengan jelas. Kepala Daerah yang dahulu dikenal dengan
sebutan “Pejabat Negara”, sekarang berubah menjadi “Pejabat Politis”. Kepala
Daerah pada masa UU No. 5/1974 dipilih dan diangkat oleh pemerintah Pusat
melalui tiga calon yang diajukan DPRD. Ini berarti ada upaya menggabungkan
aspirasi daerah dengan kepentingan pusat. Sedangkan menurut UU No. 22/1999,
Kepala Daerah dipilih oleh DPRD. Pemerintah
Pusat pada dasarnya tidak memiliki hak campur tangan dalam proses pencalonan
dan pemilihan Kepala Daerah. Hanya untuk pemilihan Gubernur, DPRD perlu
berkonsultasi dengan Presiden (pasal 38).
Dengan sistem yang baru ini, maka terjadilah perpindahan
kekuasaan politik riil dari pemerintah pusat kepada partai-partai politik
melalui para wakilnya di DPRD. Oleh karena partai politik memiliki suara yang
sangat menentukan dalam proses pemilihan Kepala Daerah, tidak aneh jika proses
pemilihan tadi sering disertai dengan praktek lobby, tawar menawar, bahkan
politik dagang sapi dan “jual beli” suara. Inilah salah satu sumber terjadinya
korupsi dan praktek politik uang (money politics)di daerah.
Dalam konteks political bargaining seperti inilah, posisi DPRD dan
Kepala Daerah dalam hal-hal tertentu bisa saling melindungi dan saling
menguatkan.
Disamping
itu, jabatan Sekda juga tidak lepas dari kepentingan-kepentingan politik
tertentu. Sebab, sesuai dengan ketentuan pasal 61 UU No. 22/1999, Sekretaris
Daerah diangkat oleh Kepala Daerah dengan persetujuann DPRD. Dengan kata lain,
seseorang tidak dapat dan tidak mungkin menduduki jabatan Sekretaris Daerah
tanpa persetujuan DPRD. Disini terlihat bahwa DPRD memiliki peran yang sangat
vital dalam sistem birokrasi daerah. Padahal, Sekda adalah murni jabatan
karier, sehingga semestinya terbebas dari tarik menarik kepentingan antar
fraksi di DPRD. Tanpa disadari, keadaan ini mengarah kepada terjadinya
birokrasi sebagai subordinasi dari politik (legislative ascendancy).
Peran
partai politik dalam sebuah rezim demokratis memang sangat penting sebagai
wahana pendidikan politik sekaligus saluran aspirasi publik. Namun hal ini
mestinya tidak sampai mengurangi netralitas birokrasi dalam penyelenggaraan
pemerintahan daerah. Ini harus diperhatikan benar-benar dalam revisi UU No.
22/1999 yang akan datang.
Dalam perspektif kedepan, institusionalisasi kebijakan
pembangunan harus menjadi agenda pokok pemerintah daerah. Caranya adalah dengan
membangkitkan potensi dan memberdayakan peran stakeholder seperti perguruan
tinggi, pebisnis lokal, forum-forum warga, LSM, organisasi profesi, media,
Kadin dan Koperasi, organisasi semi pemerintahan, dan sebagainya dalam proses
perencanaan pembangunan. Birokrasi local golongan menengah seperti staff juga
perlu dilibatkan dalam mekanisme konsultasi dengan multi stakeholder
tersebut.
Hal
ini bertujuan untuk membangun sosok local good governance yang dapat
diartikan sebagai sebuah proses interaksi yang harmonis dan saling mendukung
antar elemen-elemen pemerintah dan masyarakat daerah dalam rangka membangun
sistem perencanaan pembangunan daerah yang partisipatif, transparan dan
berkelanjutan. Dalam hal ini, interaksi antar elemen sosial politik tadi terbangun
dari tiga dimensi, yakni sinergi antar sektor (publik, privat/bisnis, forum
warga/masyarakat madani); integrasi antar jenjang pemerintahan (kabupaten/kota,
kecamatan, kelurahan/desa); dan konsolidasi/koordinasi internal antar unit
kerja.
Dalam
upaya membangun networking antar sektor dan antar aktor dalam
pembangunan daerah tadi, memang harus diakui masih terdapat kecenderungan bahwa
aspirasi kelompok-kelompok tersebut tidak dapat sepenuhnya terpenuhi (benign
neglect). Namun yang lebih penting adalah telah terjalinnya mekanisme
konsultasi antara otoritas kebijakan dengan para stakeholdernya.
Keberadaan
forum konsultasi kebijakan pembangunan daerah ini sangat penting dilihat dari 3
hal.
Pertama,
forum ini dapat berfungsi sebagai media masyarakat untuk berekspresi dan
menyalurkan ide dan harapannya tentang masa depan daerah. Dengan demikian,
dapat dikatakan pula bahwa forum ini adalah sarana mendemokrasikan proses
pengambilan keputusan di level daerah. Kedua, sebagai tempat bertemunya
beragam kelompok masyarakat dan beragam kepentingan, forum ini diharapkan mampu
menghasilkan sebuah kompromi yang dinamis untuk menghasilkan dokumen
perencanaan pembangunan yang sesuai dengan kebutuhan nyata masyarakat di
daerah. Ketiga, hubungan timbal balik antara pemerintah dengan
masyarakat secara tidak langsung akan melahirkan mekanisme check and balance.
Pada gilirannya hal ini tentu akan mendorong pemerintah untuk meningkatkan
akuntabilitas publiknya.
Dengan
adanya proses seperti ini, kebijakan pembangunan akan terinstitusionalisasikan,
sehingga tidak akan mudah diubah-ubah oleh Kepala Daerah maupun DPRD. Sebab,
perubahan kebijakan pembangunan hanya dapat dilakukan dengan menempuh mekanisme
yang sama. Ini berarti pula bahwa apapun hasil Pilkada, proses pembangunan akan
terus berlangsung berdasarkan blue print yang jelas.
Keuntungan dari institusionalisasi kebijakan ini adalah
munculnya sosok pemerintah daerah yang berperan sedikit dan hemat (less and
cheap government) karena tidak harus selalu membuat perencanaan pembangunan
baru yang memakan biaya besar. Pada saat yang bersamaan, mekanisme konsultasi
juga dapat dikatakan sebagai benih tumbuhnya demokrasi lokal dalam konteks
mewujudkan rezim kepemerintahan daerah yang demokratis (democratic
infrastructure of local governance).
Dewasa ini kita saksikan semaraknya peristiwa-peristiwa
dalam panggung politik Indonesia yang cenderung “panas dan brutal”. Salah
satu topik sentral dalam berbagai peristiwa tersebut menyangkut masalah Hak
Asasi Manusia (HAM). Seperti kita ketahui bersama, individu atau
organisasi-organisasi kemasyarakatan yang merasa harus memiliki kepedulian
terhadap pelaksanaan Hak Asasi Manusia, seperti Lembaga Bantuan Hukum (LBH)
atau Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) lainnya, kalangan intelektual, dan
masyarakat umum sebagai obyek dan subyek dari kehidupan berbangsa dan
bernegara, hampir setiap saat menyuarakan hati nuraninya menuntut ditegakkannya
hak asasi secara konsekuen.
Munculnya
fenomena ini merupakan salah satu wujud dari kedewasaan politik masyarakat menuju keterbukaan, atau merupakan
ciri kemandirian sebagai keberhasilan pembangunan nasional kita. Mereka
berkeinginan untuk menegakkan salah satu konsiderans Universal Declaration of Human Rights tanggal 10 Desember 1948,
yaitu bahwa:
“sikap-sikap yang tidak
mempedulikan dan sikap melecehkan hak-hak manusia akan mengakibatkan tindakan
kurang beradab yang mendatangkan amarah pada hati nurani manusia, sehingga
hak-hak manusia harus dilindungi oleh hukum supaya manusia tidak mengambil jalan
‘pemberontakan’ terhadap kelaliman atau penindasan”.
Fenomena
kemunculan gerakan menuntut penghormatan terhadap hak asasi manusia diatas,
secara implisit mengandung “gugatan” bahwa secara de facto, pemerintah belum sepenuhnya menghormati keberadaan hak-hak
dasar yang melekat semenjak lahir pada diri setiap warga negara. Bahkan lebih
jauh dapat ditafsirkan bahwa prinsip “negara hukum” (rechtstaat) yang kita anut, belum berjalan dengan baik dan optimal.
Sebab, salah satu ciri dari negara hukum adalah pengakuan / penghormatan
terhadap hak asasi manusia, disamping adanya supremasi peraturan perundangan (Legal Supremacy), peradilan yang bebas
dan mandiri, serta keberfungsian lembaga PTUN.
Oleh
karena itu, dapat dikatakan pula bahwa jika kita ingin menegakkan prinsip
“negara hukum”, maka salah satu cara terbaik adalah dengan melakukan upaya yang
terus menerus untuk memberikan jaminan hukum sekaligus jaminan politis terhadap
hak asasi setiap individu dalam negara. Dan penegakan hak asasi manusia ini
dapat terlaksana dengan baik jika disertai dengan pembenahan terhadap aparat
penegak hukumnya sendiri. Sebab, sebagaimana yang diingatkan oleh Sir Alfred
Dening bahwa “suatu bangsa akan jatuh apabila penegak hukumnya tidak berlaku
adil”. Dengan kata lain, salah satu kunci penghormatan terhadap HAM terletak
pada sejauhmana sifat “bersih dan berwibawa” telah melekat pada setiap diri
aparat penegak hukum.
Ilustrasi
Pelaksanaan HAM di Indonesia
Untuk
memberikan gambaran serta ruang lingkup masalah penegakan HAM di Indonesia,
karikatur-karikatur berikut ini diharapkan dapat mencerminkan aspek das sein maupun das sollen-nya. Ilustrasi dengan menampilkan karikatur ini didasari
oleh pemikiran bahwa karikatur pada hakekatnya merupakan refleksi dari kondisi nyata yang dihadapi oleh suatu komunitas
masyarakat tertentu, yang biasanya dituangkan dalam bentuk sindiran. Dari
berbagai ilustrasi tadi, dapat ditemukan aspek-aspek substansial HAM meliputi:
§Penggusuran,
Pencaplokan dan Ganti Rugi Tanah
§Manipulasi
Hukum dan Budaya Main Hakim Sendiri.
§Pembunuhan
(menghilangkan nyawa orang lain)
§Pembedaan
Perlakuan Terhadap Seseorang (cq. Wanita), serta Pemerkosaan.
§Pemerasan
Tenaga Kerja.
§Kemerdekaan
(dari penjajahan maupun dari rasa takut)
§Hak
Bersuara dan Berbeda Pendapat, dan sebagainya.
Konsep
Dasar HAM
Apabila
kita menginginkan pengetahuan yang utuh atas binatang yang bernama “HAM”, maka
perlu diketahui beberapa hal yang berkenaan dengan binatang tersebut, misalnya
arti dan makna HAM, pandangan-pandangan Indoensia dan dunia internasional
terhadap HAM, pelaksanaan HAM dalam proses pembangunan, serta peran dan sikap
aparatur negara dalam menghadapi tuntutan pelayanan. Kesemuanya ini dimaksudkan
untuk memberi gambaran yang lebih jelas tentang kondisi sosial kemasyarakatan,
sehingga aparatur negara akan memiliki landasan yang lebih jelas pula dalam
menjalankan fungsi pelayanan.
Pengertian
hak asasi pada mulanya dikembangkan oleh aliran filsafat liberal yang bercorak individualistik atau perseorangan.
Mereka mempunyai pandangan bahwa manusia dilahirkan bebas dan memiliki hak-hak
dasar, yaitu hak yang mendasari kehidupan seseorang sebagai mahkluk yang
mempunyai harkat dan martabat. Namun dewasa ini, hak asasi manusia tidak
dipahami sebagai perwujudan paham individualisme dan liberalisme, melainkan
sebagai hak-hak manusiawi yang melekat dengan harkat kemanusiaan, apapun latar
belakang ras, etnik, agama, warna kulit, jenis kelamin, usia, pekerjaan, dan
sebagainya. Dengan pemahaman ini, maka konsep modern tentang HAM adalah sebagai
berikut (Bahar, 1997: 6):
Human rights could
generally be defined as those rights which are inherent in our nature and
without which we cannot live as human beings.
(Secara umum hak asasi
manusia dapat dirumuskan sebagai hak yang melekat dengan kodrat kita sebagai
manusia; yang bila tidak ada, mustahil kita akan dapat hidup sebagai manusia).
Karena
menjadi dasar kehidupan kemanusiaannya, hak asasi ini tidak boleh dilanggar
oleh siapapun. Hak yang paling asasi adalah hak untuk hidup, kebebasan dan hak milik. Hak-hak ini kemudian
dikembangkan dalam kehidupan bernegara di bidang politik, ekonomi-sosial dan
budaya. Apa sebenarnya isi atau subtansi hak asasi itu? Piagam PBB tanggal 10
Desember 1948 menentukan bahwa semua manusia dilahirkan bebas dan sederajat (equal) dalam martabat dan hak-haknya.
Mereka dikaruniai akal budi (reason)
dan hati nurani (conscience) dan
harus bertindak terhadap satu sama lain dalam semangat persaudaraan, tanpa
membeda-bedakan bangsa, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, status politik,
hukum dan sebagainya.
Atas
dasar itu PBB menetukan hak-hak serta larangan-larangan yang harus diperhatikan
dan dijunjung tinggi oleh seluruh negara dan masyarakatnya; tentu saja dengan
catatan harus disesuaikan dengan nilai-nilai budaya yang ada.
Dari
kelompok hak, antara lain terdapat hak atas kehidupan, kebebasan dan keamanan
perorangan (pasal 3), hak atas perlindungan hukum yang sama (pasal 7), hak
untuk bergerak (pasal 13), hak untuk memiliki sesuatu (pasal 17), hak berpikir,
berkumpul dan berserikat (pasal 18 – 20), hak untuk bekerja dan mendapat
jaminan sosial (pasal 22 – 23), hak berpartisipasi (pasal 27), dan sebagainya.
Adapun dalam hal larangan, Piagam PBB menentukan larangan-larangan perbudakan
dan penganiayaan (pasal 4 –5), penangkapan dan penahanan yang sewenang-wenang
(pasal 9), dan mencampuri kehidupan pribadi (pasal 12).
Secara
khusus, UUD 1945 telah mengadopsi nilai-nilai hak asasi manusia, seperti
persamaan hak dalam hukum dan pemerintahan serta hak atas pekerjaan dan
penghidupan yang layak (pasal 27), hak berserikat dan berkumpul (pasal 28), hak
beragama (pasal 29), hak pembelaan negara dan hak pendidikan (pasal 30 –31),
dan hak dipelihara oleh negara (pasal 34).
Dari
pengertian tersebut dapat diketahui bahwa hak asasi mansuia pada dasarnya
bersifat universal dan melingkupi berbagai aspek kehidupan. Aspek-aspek
ekonomis, sosial, budaya, kepercayaan, hukum dan politik, sampai pertahanan dan
keamanan, adalah aspek-aspek yang dalam realisasinya hampir selalu mensyaratkan
hak asasi sebagai asas dan pedomannya. Secara lebih konkrit,
permasalahan-permasalahan HAM berkisar disekitar pelanggaran hak-hak minoritas
dan penduduk asli, pelecehan seksual dan diskriminasi terhadap perempuan,
pemekerjaan anak-anak, pemaksaan pengakuan bersalah dan penganiayaan, jam kerja
yang terlalu lama yang tidak seimbang dengan upah yang diterima, dan
sebagainya. Itupun masing-masing masih dapat diperinci lagi menjadi
persoalan-persoalan khas yang meminta penanganan yang serius.
Instrumen
HAM
Dilihat
dari sejarahnya, telah banyak sekali piagam-piagam, perjanjian maupun
konstitusi di dunia yang memuat tentang pengakuan, jaminan serta perlindungan
terhadap hak-hak asasi manusia, sebagaimana dikemukakan dibawah ini (Soehino, 1985: 84-88; Budiardjo, 1994: 144):
§Di
Amerika Serikat, dimuat dalam Declaration
of Human Right dari Konstitusi Virginia tahun 1776; The Four Freedoms tahun 1941 gagasan Presiden Roosevelt yang
meliputi kebebasan berbicara dan menyatakan pendapat (freedom of speech), kebebasan beragama (freedom of religion), kebebasan dari rasa takut (freedom from fear), dan kebebasan dari
kemiskinan (freedom from want).
§Di Perancis, dimuat dalam Declaration des Droits de l’homme et du citoyen tahun 1789 atas
usaha Lafayette.
§Di Inggris, tersebar dalam berbagai piagam yaitu Magna Charta tahun 1215, Petition of Right tahun 1628, dan Bill of Right tahun 1688.
§Di
Indonesia sendiri, selain termuat dalam UUD 1945, Konstitusi RIS 1949 dan UUDS
1950, pada tahun 1966 telah dibentuk Panitia Ad-hoc IV MPRS dengan tugas
menyusun “Rancangan Perincian Hak-Hak Asasi Manusia”. Hasil
kerja Panitia Ad-hoc IV ini berupa Rancangan Tap MPRS tentang “Piagam Hak-Hak
Asasi Manusia dan Hak-Hak serta Kuajiban Warganegara”.
Disamping
itu, instrumen HAM sedunia yang paling penting dan menjadi induk dari seluruh
instrumen lainya, adalah The
International Bill of Human Right, yang terdiri dari 3 dokumen pokok, yaitu
(Bahar, 1997: 8):
§The
Universal Declaration of Human Rights.
§International
Convention on Economic, Social and Cultural Rights.
§International
Convention on Civil and Political Rights.
Sasaran
Perlindungan HAM
Instrumen
HAM diatas pada dasarnya dimaksudkan untuk melindungi seluruh umat manusia.
Namun ada yang mendapat perhatian secara khusus, yaitu kelompok rentan yang lazimnya
tidak mampu melindungi hak asasinya sendiri, yaitu:
§Kanak-Kanak
§Kaum
Wanita
§Kaum
Pekerja
§Minoritas
§Penyandang
Cacat
§Penduduk
Asli atau Suku Terbelakang (indigenous
people)
§Tersangka,
Tahanan dan Tawanan
§Budak
§Korban
Kejahatan
§Pengungsi
§Orang
yang tidak berkewarganegaraan (stateless)
HAM:
Antara Relativitas dan Universalitas
Diatas
telah dikemukakan bahwa pada hakekatnya, HAM bersifat universal. Namun jika
ternyata kemudian dalam prakteknya terjadi penyimpangan-penyimpangan sehingga
nilai dan sifat universal HAM menjadi kabur, hal itu dikarenakan adanya
perbedaan visi, persepsi dan interpretasi dari negara tertentu. Perbedaan ini
lantas menimbulkan paham relativitas sebagai tandingan paham universalitas.
Relativitas
HAM yang banyak dianut oleh negara-negara berkembang mendasarkan visi, persepsi
dan interpretasinya pada kenyataan terdapatnya struktur sosiologis (istilah Satjipto Rahardjo) atau diversifikasi
budaya (istilah T. Jacob) yang
berbeda-beda untuk setiap bangsa. Yang dimaksud dengan struktur sosiologis atau
diversifikasi budaya disini mencakup sejarah, perkembangan ekonomi, filsafat
hidup, tingkat kecerdasan, partisipasi masyarakat dalam pembangunan politk, dan
sebagainya. Faktor-faktor inilah yang meletakkan pondasi yang kuat bagi negara
Timur dan Selatan untuk menolak universilitas HAM versi negara Barat dan Utara.
Kelompok
pendukung relativitas HAM mengatakan bahwa mengingkari struktur sosiologis dan
diversifikasi budaya sama artinya dengan melakukan pelanggaran terhadap HAM itu
sendiri, sebab hal itu menunjukkan telah terjadinya “perampasan” hak sosiologis
dan hak budaya suatu negara. Oleh karenanya, pemaksaan universalisme HAM
seperti terlihat dalam bentuk bantuan-bantuan ekonomi dengan syarat-syarat
politik tertentu, bertentangan dengan prinsip humanisme dan merupakan bencana
bagi implementasi HAM.
Uraian
diatas memperlihatkan adanya dua pandangan besar mengenai sifat dan
implementasi HAM. Kelompok pertama memandang HAM bersifat universal sehingga
harus dilaksanakan secara seragam berdasarkan standar nilai tertentu. Menurut
mereka, negara-negara yang kuat harus menjaga ketertiban dunia dan kalau perlu
mencampuri penindasan di negara lain dengan menghalalkan segala cara, baik
melalui tekanan diplomatik, persyaratan utang dan perdagangan, maupun melalui
ancaman militer. Oleh karenanya, penalaran kelompok ini disebut penalaran
hegemonial. Sementara kelompok yang lain menganggap HAM bersifat
relatif, dan sangat dipengaruhi oleh kondisi-kondisi subyektif dari setiap
negara. Penalaran kelompok ini bersifat statis yang menegaskan
bahwa suatu negara tidak berhak turut campur dalam urusan rumah tangga negara
lain.
Disamping
dua pandangan besar ini, ada lagi dua pandangan kecil yang saling bertolak
belakang dan amat potensial sebagai sumber konflik. Dua pandangan kecil yang
biasanya terjadi di negara berkembang ini adalah, disatu pihak pandangan dari
rakyat kecil dan kelompok-kelompok pembelanya yang menginginkan pemenuhan
hak-hak individual secara maksimal, sedang dilain pihak pemerintah cenderung mendukung
hak-hak kolektif dengan mengajukan alasan logis bahwa kepentingan umum harus
didahulukan daripada kepentingan pribadi dan golongan.
Yang
menarik dari perbincangan mengenai universalisme HAM adalah bahwa
pelaksanaannya di negara yang menganut paham universalitas sendiri mengalami
ambivalensi. Misalnya, dengan membunuh orang Vietcong sebanyak-banyaknya,
prajurit AS akan memperoleh bintang kepahlawanan, tetapi jika ada prajurit AS
hilang (Missing in Action) tanpa
diketahui nasibnya, Gedung Putih akan menganggap pemerintah Vietnam mengabaikan
hak-hak manusia. Contoh lain seperti dikemukakan oleh Menteri Luar Negeri
Singapura pada Konferensi Dunia HAM di Wina, misalnya perbedaan penafsiran
antara Negara Bagian di AS mengenai hukuman mati dan hak memperoleh pendidikan,
serta masih ditentangnya keputusan Mahkamah Agung AS yang mengijinkan aborsi.
Ambivalensi
yang terjadi di AS tersebut tidak dianggap sebagai penyelewengan dari
keuniversalitasan, malahan menjadi model kebebasan demokrasi. Atas dasar sikap ini,
mestinya merekapun akan menberikan sikap yang sama terhadap perbedaan kandungan
nilai-nilai lokal dan nasional, serta perbedaan penafsiran HAM oleh
negara-negara dunia ketiga.
Perbedaana
visi, persepsi dan interpretasi tentang HAM, sebenarnya tidak terlalu sulit
dipertemukan. Ini bisa tercapai jika kubu-kubu yang berbeda pendapat mempunyai
itikad baik dan mengutamakan kepentingan bersama. Selain itu harus ada
kesepakatan yang dimusyawarahkan bersama mengenai kriteria hak-hak yang
dianggap universal atau relatif. Misalnya, pembunuhan semena-mena dan
penyiksaan untuk memperoleh pengakuan harus dianggap sebagai pelanggaran hak
asasi yang universal. Akan tetapi hak akan pelayanan kesehatan adalah hak asasi
yang bersifat relatif tergantung kepada keadaan ekonomi dan fasilitas kesehatan
suatu negara.
Tanda-tanda
“kerukunan” itu mulai terlihat dengan diselenggarakannya Konferensi Dunia HAM
II di Wina, Austria.
Dalam konferensi tersebut Indonesia
menegaskan sikapnya yang menerima prinsip universalitas
HAM, tetapi prinsip diversity,
kemajemukan dan kondisi kebudayaan, sejarah, tahap-tahap pertumbuhan serta
sistem politik harus diperhatikan. Indonesia sendiri tidak ingin
bersembunyi di relativisme kebudayaan dan partikularisme, tetapi yang penting
adalah adanya keseimbangan antara politik dan ekonomi.
Apabila
perbedaan dalam keolompok besar sudah mendekat, maka harus diupayakan pula
untuk mendekatkan perbedaan dalam kelompok kecil. Seperti pada kelompok besar,
maka upaya-upaya yang dilakukan pada kelompok kecil inipun harus datang dari
kedua kubu dengan niat dan itikad baik. Disatu pihak, rakyat sebagai kelompok
yang menikmati hasil-hasil pembangunan, harus menyadari benar akan tugas dan
fungsi pemerintah yang teramat berat. Oleh karenanya, rakyat harus memberikan
dukungan sepenuhnya serta dengan itikad baik berusaha sebisa mungkin
menempatkan kepentingan umum diatas kepentingan pribadi atau golongan.
Mengapa
Pelanggaran HAM Terjadi?
Dimensi Hukum Administrasi Negara
Pemerintah
sesungguhnya memikul tugas yang sangat berat untuk dapat melaksanakan fungsinya
dengan baik. Dalam perspektif HAN, untuk dapat melaksanakan fungsinya dengan
baik ini, pemerintah diberi freies ermessen. Implikasi dari
freies ermessen ini sendiri ada tiga, yaitu:
1.Kewenangan
atas inisiatif sendiri, untuk membuat peraturan perundangan yang setingkat dengan UU tanpa meminta
persetujuan parlemen lebih dulu. Dasar filosofisnya adalah salus populi suprema lex (keselamatan rakyat adalah hukum yang
tertinggi). Contohnya Pasal 22 UUD 1945: “Dalam
hal ikhwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan Perpu”.
2.Kewenangan
karena delegasi perundangan dari UUD, untuk membuat peraturan perundangan yang
derajatnya lebih rendah dari
UU. asal 5 (2) UUD 1945: “Presiden
menetapkan PP untuk menjalankan UU sebagaimana mestinya”.
3.Droit function,
yaitu kekuasaan untuk menafsirkan
(baik memperluas maupun mempersempit) sendiri peraturan perundangan yang
bersifat enunsiatif / enumeratif. Misalnya mengenai pengertian “kepentingan
umum”. Lampiran Inpes RI No.9 tahun 1973 tentang Pelaksanaan Pencabutan Hak-hak
Atas Tanah dan Benda-benda Yang Ada Diatasnya pada pasal 1 ayat (3) menyebutkan:
“Presiden dapat menentukan bentuk-bentuk
kegiatan pembangunan lainnya kecuali sebagai dimaksud dalam ayat (1) pasal ini,
yang menurut pertimbangannya perlu bagi kepentingan umum”.Sedang pasal 1
ayat (1) menyatakan: “Suatu kegiatan
dalam rangka pelaksanaan Pembangunan mempunyai sifat kepentingan umum, apabila
kegiatan tersebut menyangkut: a) Kepentingan bangsa dan negara, dan/atau b)
Kepentingan masyarakat luas, dan/atau c) Kepentingan rakyat banyak/bersama,
dan/atau d) Kepentingan pembangunan”.
Dari
rumusan dua ayat diatas belum terlihat definisi dan kriteria kepentingan umum,
sehingga masih memungkinkan terjadinya penafsiran yang amat luas. Tanpa itikad baik, kebijaksanaan dan keadilan dalam
menafsirkan kalimat tersebut, “kepentingan umum” justru akan menghambat
kepentingan dan hak asasi rakyat. Contoh lain, Pasal 1 (1) Hinder Ordonantie:
“larangan pendirian berbagai obyek tanpa ijin pemerintah ….. dan semua bangunan lain yang dapat
menimbulkan bahaya, kerugian atau gangguan”. Atau juga Inpres No. 9 tahun
1973: “Presiden dapat menentukan
bentuk-bentuk kegiatan pembangunan lainnya ….. yang menurut pertimbangan perlu bagi kepentingan umum”.
Dari
uraian diatas dapat disimpulkan bahwa untuk menyelenggarakan kesejahteraan
rakyat, pemerintah diberi hak, wewenang dan atau kebebasan untuk berbuat apa
saja, sepanjang dimaksudkan untuk tercapainya kesejahteraan rakyat tersebut.
Kebebasan inilah yang mengandung implikasi bahwa Administrasi Negara / Pejabat
Tata Usaha Negara kemungkinan melakukan perbuatan yang menyimpang dari
peraturan sehingga menimbulkan kerugian bagi masyarakat. Dengan kata lain,
munculnya pelanggaran terhadap hak asasi manusia oleh pemerintah muncul dari
kewenangan yang dinamakan freies ermessen
atau droit function ini.
Akan
tetapi, meskipun memiliki kewenangan untuk berbuat atau droit function, hendaknya
pemerintah menafsirkan dengan adil dan bijaksana suatu ketentuan hukum /
kebijaksanaan yang belum terinci secara jelas. Dalam kaitan ini, maka
pemerintah harus secara sungguh-sungguh memperhatikan asas-asas pemerintahan
yang baik.
Adapun
asas-asas pemerintahan yang baik ini meliputi: Kepastian Hukum, Keseimbangan,
Kesamaan dalam Mengambil Keputusan, Bertindak Cermat, Motivasi dalam setiap
Keputusan, Tidak Mencampuradukkan Kewenangan, Permainan yang Layak, Keadilan
atau kewajaran, Menanggapi Pengharapan yang Wajar, Meniadakan Akibat Keputusan
yang Batal, Perlindungan atas Pandangan Hidup, Kebijaksanaan, serta
Penyelenggaraan Pelayanan Umum. Asas-asas ini bertujuan untuk mempertinggi perlindungan hukum bagi
masyarakat luas.
Dimensi Politis
Lord
Acton pernah mengatakan bahwa “Power tends to corrupt, but absolute power
corrupt absolutely”. Artinya, kekuasaan cenderung disalahgunakan, dan kekuasaan
yang absolut, sudah pasti akan disalahgunakan. Hal ini dapat diamati dalam dua
aspek sebagai berikut:
1.Kekuasaan
yang terpusat pada satu tangan / wadah, serta tidak ada sistem pembagian
kekuasaan (division of power) atau
pemisahan kekuasaan (separation of power).
Kekuasaan yang terpusat pada satu tangan akan melahirkan
pemerintahan diktator yang totaliter, sebab tidak ada fungsi kontrol dari unsur
/ komponen kenegaraan lainnya. Akibatnya, keinginan raja / penguasa menjadi
hukum bagi rakyatnya, dan negara adalah milik penguasa (ingat ucapan Raja Louis
XIV: L’etat c’est Moi). Dalam
kondisi seperti ini, penguasa akan bertindak sewenang-wenang terhadap
rakyatnya. Salah satu upaya untuk mengurangi kecenderungan pemerintah diktator
adalah dengan membagi kekuasaan, misalnya gagasan Montesquieu atau John Locke,
yang oleh Imanuel Kant diberi nama Trias Politika.
2.Kekuasaan
yang terlalu lama, dan tidak ada pembatasan waktu secara tegas. Kekuasaan yang
relatif lama (diatas 20 tahun), misalnya Soekarno, Soeharto, Ferdinand Marcos,
Deng Xiaoping, dan sebagainya, menunjukkan fenomena kearah kultus individu yang berlebihan. Dan kultus individu yang
berlebihan ini akan menjurus kepada beralihnya kekuasaan institusi (institutional power) kepada kekuasaan
perorangan (personal power). Pada
saat kekuasaan telah berada pada satu tangan inilah, pelanggaran HAM menjadi
pemandangan umum. Oleh karena itu, pada setiap jenjang kekuasaan, perlu
diadakan ketentuan tentang pembatasan periode atau masa jabatan.
Kasus-Kasus
HAM
Secara
umum dapat dikatakan bahwa pelaksanaan HAM di Indonesia mengalami peningkatan
dalam 30 tahun terakhir, khususnya yang menyangkut hak hidup, hak beragama, dan
hak milik. Namun, hak untuk berserikat, mengeluarkan pendapat atau menyalurkan
aspirasi, masih banyak pihak-pihak yang menyangsikan.
Kasus
Marsinah dan tewasnya warga Nipah, Madura, menunjukkan bahwa suara arus bawah
masih belum begitu terpedulikan. Kedudukan rakyat masih ibarat pelanduk
ditengah-tengah sekawanan gajah, sehingga dalam segala gerak-geriknya, si
pelanduk harus ekstra hati-hati agar tidak terinjak oleh Sang Gajah. Dalam
kasus pembangunan waduk di Nipah, kita akan kesulitan menjawab pertanyaan,
manakah yang termasuk kepentingan umum, pembangunan waduk itu sendiri ataukah
rakyat yang tergusur tanahnya? Kalau disepakati bahwa pembangunan waduk itu
adalah untuk kepentingan umum, mengapa harus dibeli dengan empat nyawa
masyarakat yang sekedar ingin memperjuangkan nasibnya? Adakah dipertimbangkan
aspek keadilan, itikad baik dan kebijaksanaan dalam kasus tersebut?
Dalam
hubungan dengan pelanggaran HAM ini, ELSAM(1995) telah melakukan identifikasi beberapa kasus sebagai berikut:
1.Pelanggaran
secara umum
Kebebasan Menyatakan
Pendapat dan Berekspresi. Dibawah penerapan security approach, pemerintah Orde
Baru berulangkali melakukan pelanggaran hak asasi dalam bentuk-bentuk:
§Screening
dan tuduhan simpatisan komunis.
§Pembubaran
diskusi atau forum yang tidak memiliki perijinan.
§Penyensoran
atau pembatasan secara ketat kebebasan menyatakan pendapat melalui senni sampai
dengan bisnis.
§Pembatasan
kebebasan akademis.
b.Kebebasan
Berkumpul
Tekanan Atas Nama
Pembangunan.
2.Kasus
Kedung Ombo
Tidak adanya Musyawarah
sebagaimana ketentuan Permendagri Nomor 15 tahun 1975. Gubernur menetapkan
secara sepihak besarnya ganti rugi berikut kriteria yang digunakan.
b.Intimidasi dan Teror,
misalnya menggedor pinntu tengah malam, ancaman akann di-petrus-kan,
pencantuman label ET pada KTP, menuduh penduduk “anti Pancasila”, dan
sebagainya.
c.Penggenangan waduk dan “penenggelaman”
penduduk,
yang masih bertahan sejumlah 8000 jiwa
d.Penangguhan eksekusi Putusan MA Nomor
2263/K/Pdt/1991 dengan alasan putusan tersebut sedikit bertentangan dengan
peraturan perundangan yang berlaku.
3.Kasus
Keluarga Berencana
Hak Kesehatan Reproduksi,
dimana penggunaan kontrasepsi dilakukan tanpa pemeriksaan dan pemantaua
terlebih dahulu, serta tidak disertai dengan pemberitahuan efek
sampingnya.
b.Ketiadaan
informasi yang memadai.
c.Penggunaan
unsur paksaan.
d.Penggunaan
sistem target.
Yang
pasti, hampir tidak ada seorangpun yang menyangkal teori bahwa pembangunan
haruslah menghasilkan manfaat yang betul-betul dinikmati rakyat. Jadi, jika ada
suatu proyek pembangunan yang ditolak oleh rakyat, mana yang harus dikaji
kembali, sifat dan implikasinya pembangunan atau sikap rakyat? Mungkin
kedua-duanya harus dipertimbangkan, namun berdasarkan asas salus populi suprema lex (keselamatan dan kesejahteraan rakyat
adalah hukum yang tertinggi) dan prinsip Kedaulatan Rakyat yang dianut oleh
Negara kita, mestinya kepentingan rakyat diletakkan diatas segalanya.
Upaya
Peningkatan Penghormatan HAM
Itulah
tingkat pelaksanaan hak asasi yang tertinggi. Namun harus diakui bahwa saat ini
Indonesia
sedang menuju kesana, dan untuk itu dibutuhkan waktu yang cukup lama. Salah
satu contoh sebagai bukti berjalannya proses ke arah itu adalah dikeluarkannya
Keputusan Presiden Noor 50 tahun 1993 tentang Komisi Nasional Hak Asasi
Manusia, yang mempunyai tugas pokok untuk: (1) membantu pengembangan kondisi
yang kondusif bagi pelaksanaan hak asasi manusia sesuai dengan Pancasila, UUD
1945, Piagam PBB, dan Deklarasi Universal PBB, serta (2) meningkatkan
perlindungan hak asasi manusia guna mendukung terwujudnya tujuan pembangunan
nasional, yaitu pembangunan manusia Indonesia seutuhnya dan masyarakat
Indonesia seluruhnya.
Untuk
mewujudkan tujuan tersebut maka Komisi Nasional melakukan kegiatan-kegiatan
menyebarluaskan wawasan nasional dan internasional mengenai HAM kepada
masyarakat Indonesia maupun masyarakat Internasional dan mengkaji berbagai
instrumen PBB tentang HAM dengan tujuan memberikan saran-saran mengenai
kemungkinan aksesi dan/atau ratifikasi. Kegiatan penting lainnya adalah
memantau dan menyelidiki pelaksanaan HAM dan memberikan pendapat, pertimbangan
atau saran kepada badan pemerintah negara mengenai pelaksanaan HAM; serta
mengadakan kerjasama regional dan internasional dalam rangka memajukan dan
melindungi HAM.
Masalahnya,
mampukah Komisi Nasional bersifat independen dan memiliki wibawa dalam
melaksanakan pekerjaannya, ataukah sebaliknya hanya merupakan implikasi
kebijaksanaan tertentu? Disinilah diperlukan sekali political will pemerintah untuk memberikan kebebasan dan ruang
gerak kepada Komisi Nasional tanpa tendensi tertentu. Bahkan kalau perlu,
kompetensi absolut PTUN sebagai lembaga peradilan yang khusus menangani
kasus-kasus onrechtmatige overheidsdaad diperluas
serta diberikan otoritas untuk menjatuhkan sanksi terhadap pelanggaran HAM oleh
birkorasi sebagai aparatur negara, sekaligus untuk memacu tertib kinerja
birokrasi pemerintah dalam rangka semangat Reinventing
Government.
Penutup:
Pelayanan Umum Dalam Perspektif HAM
Antara
tiga variabel aparatur, pelayanan masyarakat dan HAM terdapat hubungan saling
timbal balik, artinya bahwa aparatur pemerintah dalam menjalankan tugas negara,
baik tugas pemerintah umum maupun tugas pembangunan, dan terutama karena
fungsinya sebagai abdi negara dan abdi masyarakat, dituntut untuk selalu
memperhatikan prinsip-prinsip hak asasi masyarakat.
Pelayanan
masyarakat pada dasarnya merupakan implikasi yang paling menonjol dari suatu Welfare State atau Adminstrative State, sedang Negara Kesejahteraan atau Negara
Administratif pada hakekatnya berarti rakyatlah yang berkuasa dan bahwa
pemerintah hanya menerima delegasi wewenang dan kekuasaan dari rakyat yang
diperintah. Dengan kata lain, pelayanan selalu berbentuk kegiatan pengaturan,
pengurusan, koordinasi dan pelaksanaan kepentingan-kepentingan masyarakat agar
tercapai suatu keserasian, ketertiban, dan pemerataan bagi seluruh anggotanya.
Oleh karenanya, manakala ada yang merasa kepentingannya terganggu atau terusik
-- baik oleh sesamanya atau oleh birokrat -- hal itu menandakan bahwa pelayanan
publik yang diberikan belumlah sesuai dengan harapan.
Masyarakat
selalu berkembang, sementara kepuasan manusia bersifat relatif. Karena itu,
bagaimanapun baiknya pelayanan pemerintah, masyarakat terus menghendaki agar
pelayanan tersebut ditingkatkan. Lalu, langkah dan kebijakan apa yang bisa
ditempuh oleh pemerintah? Agar pelayanan dapat dirasakan secara maksimal oleh
seluruh lapisan masyarakat, maka birokrasi harus selalu berpedoman pada
aturan-aturan atau konvensi-konvensi yang telah disepakati bersama, dalam hal
ini adalah butir-butir Pancasila, pasal-pasal UUD 1945 (terutama pasal 27
sampai 34), serta norma-norma kesusilaan dan keagamaan yang hidup dan
terpelihara dalam sistem budaya masyarakat. Sepanjang pembangunan dilaksanakan
secara konsekuan diatas rel-rel tersebut, dapat dipastikan angka-angka protes
terhadap pelaksanaan HAM dapat ditekan serendah mungkin. Hal-hal seperti ini
haruslah menjadi kepedulian yang selalu melekat pada birokrasi pemerintah
sebagai abdi masyarakat.
Aspek
lain yang sangat berkaitan dengan pelayanan aparatur dalam kerangka HAM adalah
pengentasan kemiskinan. Pelayanan aparatur pada akhirnya juga bertujuan
meningkatkan taraf kesejahteraan rakyat, dimana kesejahteraan ini merupakan
salah satu determinan penting bagi rakyat untuk dapat menikmati hak-hak sosial
dan ekonominya secara mantap.
Mengingat
tingkat pendapatan rakyat yang tergolong masih rendah, maka tugas Komisi
Nasional HAM semestinya diperluas sampai kepada usaha-usaha pemerataan hasil
pembangunan bagi seluruh rakyat. Dengan demikian, Komisi Nasional hendaknya
memberi perhatian yang lebih besar bagi perjuangan-perjuangan untuk
mempertahankan hidup (survival),
memperoleh pangan dan hunian yang layak, akses kepada pendidikan dan kesehatan,
dan sebagainya. Hak-hak sosial ini bila terpenuhi akan dengan sendirinya
mendukung hak-hak lain, khususnya hak-hak sipil dan politik, baik dalam
hubungan horisontal (antara warga masyarakat) maupun hubungan vertikal (antara
masyarakat dengan pemerintah).
Usaha-usaha
diatas diharapkan mampu melembagakan fungsi Komisi HAM sebagai konsultan hak
asasi bagi masyarakat sekaligus menjadi alat social responsibility atau social
accountability yang dituntut dapat memberikan nilai tambah bagi tegaknya
nilai-nilai hak asasi bangsa melalui pengawasan sosial (social control). Dan dalam rangka meningkatkan kesetaraan
pelaksanaan hak asasi antar bangsa sebagai bagian dari masyarakat global,
Komisi HAM harus membuktikan perannya dalam mengendalikan kebijaksanaan
birokrasi agar lebih berorientasi kepada public interest, disamping harus
berfungsi menjadi penilai etika gerakan fenomenologis arus bawah. Adakah
kemampuan untuk menegakkan peran yang seimbang dari Komisi HAM seperti yang
diharapkan? Inilah pertanyaan asasi yang bersama-sama kita nantikan jawabannya.
Saat ini saya bekerja di LAN sebagai Kepala Pusat Kajian Manajemen Kebijakan. Namun pada saat membuat Blog ini, saya masih di PKP2A III Samarinda sebagai Peneliti Madya, merangkap Kepala Bidang Kajian Aparatur.
Beberapa kali saya memberikan konsultasi lingkup manajemen sektor publik, atau diminta sebagai nara sumber dalam berbagai forum terkait issu penataan kelembagaan, pengembangan pelayanan publik, penguatan SDM aparatur, dan sejenisnya.