DIBALIK hingar bingar pemilihan Kepala Daerah (pilkada)
yang marak akhir-akhir ini baik di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota, ada
satu hal yang cukup menarik untuk dicermati, yakni motivasi para bakal calon
(balon) Kepala Daerah. Disatu sisi, hampir dapat dipastikan bahwa seorang
Kepala Daerah yang masih memiliki kesempatan, akan mencalonkan diri untuk
periode berikutnya. Alasan klasik yang
sering dipakai adalah belum tuntasnya program pembangunan pada masa lima tahun
sebelumnya. Sementara disisi lain, balon-balon pesaing sering mengkritisi
kebijakan pembangunan dengan menonjolkan hasil-hasil negatif dari pada
positifnya. Itulah sebabnya, merekapun memiliki motivasi klasik untuk “mengabdi
pada daerah dan memperbaiki kinerja pemerintahan sebelumnya“.
Sesungguhnya tidak ada yang salah dengan berbagai
motivasi tadi. Persoalannya menjadi lain ketika motivasi dan visi pribadi tadi
diterjemahkan menjadi visi daerah dengan cara merombak secara total desain
pembangunan yang dirintis para pendahulunya. Akibatnya, seperti diungkapkan
seorang pakar dari Unpad, Prof. Oekan S. Abdullah, konsep perencanaan
pengembangan daerah senantiasa meloncat-loncat, tak konsisten, dan tak
berkesinambungan (sustainable) sehingga kemudian muncul adagium ganti
Kepala Daerah ganti kebijakan. Akhirnya, pembangunan daerah pun menjadi
carut-marut sementara gulungan berbagai persoalan di daerah menjadi semakin
rumit (PR, 12/9/03).
Fenomena ini mengilustrasikan
lemahnya peran dan posisi birokrasi beserta berbagai kelompok stakeholder dalam
proses penyusunan rencana pembangunan. Memang pada kenyataannya, kedudukan
Kepala Daerah (dan pimpinan DPRD) sangatlah determinatif dalam menentukan
kebijakan daerah, sehingga cenderung mengabaikan perlunya mekanisme konsultasi
dengan berbagai komponen masyarakat sipil dan pelaku bisnis lokal. Kondisi
seperti ini diakui oleh Dirjen
Perkotaan Depdagri yang mengatakan bahwa perencanaan
daerah/kota selama ini bersifat tertutup sehingga aspirasi yang berkembang
dalam masyarakat, termasuk perancang kota, sebagai pelaku pembangunan, tidak
tertampung dengan baik. Bahkan, masyarakat cenderung dipandang sebagai obyek
pembangunan atau kelompok obyek fungsional perencanaan (Kompas,
12/9/03).
Pertanyaannya, mengapa Kepala Daerah
dan DPRD menjadi sedemikian sentral peranannya dalam pembangunan daerah,
sementara birokrasi professional (Sekda, para Kepala Dinas/Instansi dan Staff)
serta kelompok civil society cenderung terpinggirkan? Hal ini tidak
terlepas dari sistem otonomi baru yang membuka peluang besar terjadinya
politisasi pemerintahan daerah.
Semenjak berlakunya UU No. 22/1999, gejala politisasi
pemda sudah nampak dengan jelas. Kepala Daerah yang dahulu dikenal dengan
sebutan “Pejabat Negara”, sekarang berubah menjadi “Pejabat Politis”. Kepala
Daerah pada masa UU No. 5/1974 dipilih dan diangkat oleh pemerintah Pusat
melalui tiga calon yang diajukan DPRD. Ini berarti ada upaya menggabungkan
aspirasi daerah dengan kepentingan pusat. Sedangkan menurut UU No. 22/1999,
Kepala Daerah dipilih oleh DPRD. Pemerintah
Pusat pada dasarnya tidak memiliki hak campur tangan dalam proses pencalonan
dan pemilihan Kepala Daerah. Hanya untuk pemilihan Gubernur, DPRD perlu
berkonsultasi dengan Presiden (pasal 38).
Dengan sistem yang baru ini, maka terjadilah perpindahan
kekuasaan politik riil dari pemerintah pusat kepada partai-partai politik
melalui para wakilnya di DPRD. Oleh karena partai politik memiliki suara yang
sangat menentukan dalam proses pemilihan Kepala Daerah, tidak aneh jika proses
pemilihan tadi sering disertai dengan praktek lobby, tawar menawar, bahkan
politik dagang sapi dan “jual beli” suara. Inilah salah satu sumber terjadinya
korupsi dan praktek politik uang (money politics) di daerah.
Dalam konteks political bargaining seperti inilah, posisi DPRD dan
Kepala Daerah dalam hal-hal tertentu bisa saling melindungi dan saling
menguatkan.
Disamping
itu, jabatan Sekda juga tidak lepas dari kepentingan-kepentingan politik
tertentu. Sebab, sesuai dengan ketentuan pasal 61 UU No. 22/1999, Sekretaris
Daerah diangkat oleh Kepala Daerah dengan persetujuann DPRD. Dengan kata lain,
seseorang tidak dapat dan tidak mungkin menduduki jabatan Sekretaris Daerah
tanpa persetujuan DPRD. Disini terlihat bahwa DPRD memiliki peran yang sangat
vital dalam sistem birokrasi daerah. Padahal, Sekda adalah murni jabatan
karier, sehingga semestinya terbebas dari tarik menarik kepentingan antar
fraksi di DPRD. Tanpa disadari, keadaan ini mengarah kepada terjadinya
birokrasi sebagai subordinasi dari politik (legislative ascendancy).
Peran
partai politik dalam sebuah rezim demokratis memang sangat penting sebagai
wahana pendidikan politik sekaligus saluran aspirasi publik. Namun hal ini
mestinya tidak sampai mengurangi netralitas birokrasi dalam penyelenggaraan
pemerintahan daerah. Ini harus diperhatikan benar-benar dalam revisi UU No.
22/1999 yang akan datang.
Dalam perspektif kedepan, institusionalisasi kebijakan
pembangunan harus menjadi agenda pokok pemerintah daerah. Caranya adalah dengan
membangkitkan potensi dan memberdayakan peran stakeholder seperti perguruan
tinggi, pebisnis lokal, forum-forum warga, LSM, organisasi profesi, media,
Kadin dan Koperasi, organisasi semi pemerintahan, dan sebagainya dalam proses
perencanaan pembangunan. Birokrasi local golongan menengah seperti staff juga
perlu dilibatkan dalam mekanisme konsultasi dengan multi stakeholder
tersebut.
Hal
ini bertujuan untuk membangun sosok local good governance yang dapat
diartikan sebagai sebuah proses interaksi yang harmonis dan saling mendukung
antar elemen-elemen pemerintah dan masyarakat daerah dalam rangka membangun
sistem perencanaan pembangunan daerah yang partisipatif, transparan dan
berkelanjutan. Dalam hal ini, interaksi antar elemen sosial politik tadi terbangun
dari tiga dimensi, yakni sinergi antar sektor (publik, privat/bisnis, forum
warga/masyarakat madani); integrasi antar jenjang pemerintahan (kabupaten/kota,
kecamatan, kelurahan/desa); dan konsolidasi/koordinasi internal antar unit
kerja.
Dalam
upaya membangun networking antar sektor dan antar aktor dalam
pembangunan daerah tadi, memang harus diakui masih terdapat kecenderungan bahwa
aspirasi kelompok-kelompok tersebut tidak dapat sepenuhnya terpenuhi (benign
neglect). Namun yang lebih penting adalah telah terjalinnya mekanisme
konsultasi antara otoritas kebijakan dengan para stakeholdernya.
Keberadaan
forum konsultasi kebijakan pembangunan daerah ini sangat penting dilihat dari 3
hal.
Pertama,
forum ini dapat berfungsi sebagai media masyarakat untuk berekspresi dan
menyalurkan ide dan harapannya tentang masa depan daerah. Dengan demikian,
dapat dikatakan pula bahwa forum ini adalah sarana mendemokrasikan proses
pengambilan keputusan di level daerah. Kedua, sebagai tempat bertemunya
beragam kelompok masyarakat dan beragam kepentingan, forum ini diharapkan mampu
menghasilkan sebuah kompromi yang dinamis untuk menghasilkan dokumen
perencanaan pembangunan yang sesuai dengan kebutuhan nyata masyarakat di
daerah. Ketiga, hubungan timbal balik antara pemerintah dengan
masyarakat secara tidak langsung akan melahirkan mekanisme check and balance.
Pada gilirannya hal ini tentu akan mendorong pemerintah untuk meningkatkan
akuntabilitas publiknya.
Dengan
adanya proses seperti ini, kebijakan pembangunan akan terinstitusionalisasikan,
sehingga tidak akan mudah diubah-ubah oleh Kepala Daerah maupun DPRD. Sebab,
perubahan kebijakan pembangunan hanya dapat dilakukan dengan menempuh mekanisme
yang sama. Ini berarti pula bahwa apapun hasil Pilkada, proses pembangunan akan
terus berlangsung berdasarkan blue print yang jelas.
Keuntungan dari institusionalisasi kebijakan ini adalah
munculnya sosok pemerintah daerah yang berperan sedikit dan hemat (less and
cheap government) karena tidak harus selalu membuat perencanaan pembangunan
baru yang memakan biaya besar. Pada saat yang bersamaan, mekanisme konsultasi
juga dapat dikatakan sebagai benih tumbuhnya demokrasi lokal dalam konteks
mewujudkan rezim kepemerintahan daerah yang demokratis (democratic
infrastructure of local governance).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar