Jumat, 01 Oktober 2010

Rezim Demokratis dan Tuntutan Institusionalisasi Kebijakan


DIBALIK hingar bingar pemilihan Kepala Daerah (pilkada) yang marak akhir-akhir ini baik di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota, ada satu hal yang cukup menarik untuk dicermati, yakni motivasi para bakal calon (balon) Kepala Daerah. Disatu sisi, hampir dapat dipastikan bahwa seorang Kepala Daerah yang masih memiliki kesempatan, akan mencalonkan diri untuk periode berikutnya. Alasan klasik yang sering dipakai adalah belum tuntasnya program pembangunan pada masa lima tahun sebelumnya. Sementara disisi lain, balon-balon pesaing sering mengkritisi kebijakan pembangunan dengan menonjolkan hasil-hasil negatif dari pada positifnya. Itulah sebabnya, merekapun memiliki motivasi klasik untuk “mengabdi pada daerah dan memperbaiki kinerja pemerintahan sebelumnya“.

Sesungguhnya tidak ada yang salah dengan berbagai motivasi tadi. Persoalannya menjadi lain ketika motivasi dan visi pribadi tadi diterjemahkan menjadi visi daerah dengan cara merombak secara total desain pembangunan yang dirintis para pendahulunya. Akibatnya, seperti diungkapkan seorang pakar dari Unpad, Prof. Oekan S. Abdullah, konsep perencanaan pengembangan daerah senantiasa meloncat-loncat, tak konsisten, dan tak berkesinambungan (sustainable) sehingga kemudian muncul adagium ganti Kepala Daerah ganti kebijakan. Akhirnya, pembangunan daerah pun menjadi carut-marut sementara gulungan berbagai persoalan di daerah menjadi semakin rumit (PR, 12/9/03).

Fenomena ini mengilustrasikan lemahnya peran dan posisi birokrasi beserta berbagai kelompok stakeholder dalam proses penyusunan rencana pembangunan. Memang pada kenyataannya, kedudukan Kepala Daerah (dan pimpinan DPRD) sangatlah determinatif dalam menentukan kebijakan daerah, sehingga cenderung mengabaikan perlunya mekanisme konsultasi dengan berbagai komponen masyarakat sipil dan pelaku bisnis lokal. Kondisi seperti ini diakui oleh Dirjen Perkotaan Depdagri yang mengatakan bahwa perencanaan daerah/kota selama ini bersifat tertutup sehingga aspirasi yang berkembang dalam masyarakat, termasuk perancang kota, sebagai pelaku pembangunan, tidak tertampung dengan baik. Bahkan, masyarakat cenderung dipandang sebagai obyek pembangunan atau kelompok obyek fungsional perencanaan (Kompas, 12/9/03).

Pertanyaannya, mengapa Kepala Daerah dan DPRD menjadi sedemikian sentral peranannya dalam pembangunan daerah, sementara birokrasi professional (Sekda, para Kepala Dinas/Instansi dan Staff) serta kelompok civil society cenderung terpinggirkan? Hal ini tidak terlepas dari sistem otonomi baru yang membuka peluang besar terjadinya politisasi pemerintahan daerah.

Semenjak berlakunya UU No. 22/1999, gejala politisasi pemda sudah nampak dengan jelas. Kepala Daerah yang dahulu dikenal dengan sebutan “Pejabat Negara”, sekarang berubah menjadi “Pejabat Politis”. Kepala Daerah pada masa UU No. 5/1974 dipilih dan diangkat oleh pemerintah Pusat melalui tiga calon yang diajukan DPRD. Ini berarti ada upaya menggabungkan aspirasi daerah dengan kepentingan pusat. Sedangkan menurut UU No. 22/1999, Kepala Daerah dipilih oleh DPRD. Pemerintah Pusat pada dasarnya tidak memiliki hak campur tangan dalam proses pencalonan dan pemilihan Kepala Daerah. Hanya untuk pemilihan Gubernur, DPRD perlu berkonsultasi dengan Presiden (pasal 38).

Dengan sistem yang baru ini, maka terjadilah perpindahan kekuasaan politik riil dari pemerintah pusat kepada partai-partai politik melalui para wakilnya di DPRD. Oleh karena partai politik memiliki suara yang sangat menentukan dalam proses pemilihan Kepala Daerah, tidak aneh jika proses pemilihan tadi sering disertai dengan praktek lobby, tawar menawar, bahkan politik dagang sapi dan “jual beli” suara. Inilah salah satu sumber terjadinya korupsi dan praktek politik uang (money politics) di daerah. Dalam konteks political bargaining seperti inilah, posisi DPRD dan Kepala Daerah dalam hal-hal tertentu bisa saling melindungi dan saling menguatkan.

Disamping itu, jabatan Sekda juga tidak lepas dari kepentingan-kepentingan politik tertentu. Sebab, sesuai dengan ketentuan pasal 61 UU No. 22/1999, Sekretaris Daerah diangkat oleh Kepala Daerah dengan persetujuann DPRD. Dengan kata lain, seseorang tidak dapat dan tidak mungkin menduduki jabatan Sekretaris Daerah tanpa persetujuan DPRD. Disini terlihat bahwa DPRD memiliki peran yang sangat vital dalam sistem birokrasi daerah. Padahal, Sekda adalah murni jabatan karier, sehingga semestinya terbebas dari tarik menarik kepentingan antar fraksi di DPRD. Tanpa disadari, keadaan ini mengarah kepada terjadinya birokrasi sebagai subordinasi dari politik (legislative ascendancy).

Peran partai politik dalam sebuah rezim demokratis memang sangat penting sebagai wahana pendidikan politik sekaligus saluran aspirasi publik. Namun hal ini mestinya tidak sampai mengurangi netralitas birokrasi dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah. Ini harus diperhatikan benar-benar dalam revisi UU No. 22/1999 yang akan datang.

Dalam perspektif kedepan, institusionalisasi kebijakan pembangunan harus menjadi agenda pokok pemerintah daerah. Caranya adalah dengan membangkitkan potensi dan memberdayakan peran stakeholder seperti perguruan tinggi, pebisnis lokal, forum-forum warga, LSM, organisasi profesi, media, Kadin dan Koperasi, organisasi semi pemerintahan, dan sebagainya dalam proses perencanaan pembangunan. Birokrasi local golongan menengah seperti staff juga perlu dilibatkan dalam mekanisme konsultasi dengan multi stakeholder tersebut.

Hal ini bertujuan untuk membangun sosok local good governance yang dapat diartikan sebagai sebuah proses interaksi yang harmonis dan saling mendukung antar elemen-elemen pemerintah dan masyarakat daerah dalam rangka membangun sistem perencanaan pembangunan daerah yang partisipatif, transparan dan berkelanjutan. Dalam hal ini, interaksi antar elemen sosial politik tadi terbangun dari tiga dimensi, yakni sinergi antar sektor (publik, privat/bisnis, forum warga/masyarakat madani); integrasi antar jenjang pemerintahan (kabupaten/kota, kecamatan, kelurahan/desa); dan konsolidasi/koordinasi internal antar unit kerja.

Dalam upaya membangun networking antar sektor dan antar aktor dalam pembangunan daerah tadi, memang harus diakui masih terdapat kecenderungan bahwa aspirasi kelompok-kelompok tersebut tidak dapat sepenuhnya terpenuhi (benign neglect). Namun yang lebih penting adalah telah terjalinnya mekanisme konsultasi antara otoritas kebijakan dengan para stakeholdernya.

Keberadaan forum konsultasi kebijakan pembangunan daerah ini sangat penting dilihat dari 3 hal.

Pertama, forum ini dapat berfungsi sebagai media masyarakat untuk berekspresi dan menyalurkan ide dan harapannya tentang masa depan daerah. Dengan demikian, dapat dikatakan pula bahwa forum ini adalah sarana mendemokrasikan proses pengambilan keputusan di level daerah. Kedua, sebagai tempat bertemunya beragam kelompok masyarakat dan beragam kepentingan, forum ini diharapkan mampu menghasilkan sebuah kompromi yang dinamis untuk menghasilkan dokumen perencanaan pembangunan yang sesuai dengan kebutuhan nyata masyarakat di daerah. Ketiga, hubungan timbal balik antara pemerintah dengan masyarakat secara tidak langsung akan melahirkan mekanisme check and balance. Pada gilirannya hal ini tentu akan mendorong pemerintah untuk meningkatkan akuntabilitas publiknya.

Dengan adanya proses seperti ini, kebijakan pembangunan akan terinstitusionalisasikan, sehingga tidak akan mudah diubah-ubah oleh Kepala Daerah maupun DPRD. Sebab, perubahan kebijakan pembangunan hanya dapat dilakukan dengan menempuh mekanisme yang sama. Ini berarti pula bahwa apapun hasil Pilkada, proses pembangunan akan terus berlangsung berdasarkan blue print yang jelas.

Keuntungan dari institusionalisasi kebijakan ini adalah munculnya sosok pemerintah daerah yang berperan sedikit dan hemat (less and cheap government) karena tidak harus selalu membuat perencanaan pembangunan baru yang memakan biaya besar. Pada saat yang bersamaan, mekanisme konsultasi juga dapat dikatakan sebagai benih tumbuhnya demokrasi lokal dalam konteks mewujudkan rezim kepemerintahan daerah yang demokratis (democratic infrastructure of local governance).

Tidak ada komentar: