Jumat, 01 Oktober 2010

Pendidikan Untuk Siapa?


Beberapa waktu yang lalu di New Delhi diselenggarakan KTT Education For All (EFA), yang diikuti oleh sembilan negara-negara Selatan. KTT yang disponsori oleh UNESCO (Organisasi PBB untuk Pendidikan, Ilmu Pengetahuan dan Kebudayaan), UNICEF (Dana  PBB untuk  Anak-anak), dan UNFPA (Dana PBB untuk Kependudukan) tersebut berhasil menge­luarkan "Deklarasi New Delhi" yang berisi beberapa hal, diantaranya meningkatkan komitmen terhadap pentingnya pendidikan terutama pendidikan dasar, serta  mewujudkan  tujuan  pendidikan untuk semua menjelang tahun 2000.

Menyimak tema KTT EFA dan lebih dikuatkan lagi dengan kondisi pendidikan pada masa modern sekarang ini, tampaknya tidak ada masalah lain yang dihadapi oleh dunia pendidikan kecuali masih banyaknya anak-anak usia sekolah di negara berkembang yang belum memperoleh kesempatan untuk menuntut ilmu. Akan  tetapi jika kita kenang kembali perjalanan umat manusia sejak jaman  purba  (Pra Sejarah),  jaman Sejarah dengan penemuan-penemuan berupa peralatan kehidupan dari bahan-bahan batu, besi, perunggu dan sebagainya, kemudian jaman eksploitasi sekelompok manusia atas sekelompok manusia yang lain (kolonialisme), sampai dengan jaman demokrasi dan globa­lisasi saat ini, maka akan kita peroleh suatu gambaran sejarah pendidikan yang "pasang surut".

Pengertian "pasang surut" disini adalah bahwa ilmu dan pendidikan pada masa tertentu memiliki nilai-nilai kebaikan dan kemuliaan serta memberikan manfaat yang nyata bagi per­tumbuhan peradaban dan masyarakat dimana ilmu itu berkembang. Sebaliknya pada masa yang lain, ilmu dan pendidikan penuh dengan sifat keangkuhan, keangkaramurkaan dan meninggal­kan  prinsip-prinsip  perikemanusiaan. Pada masa ini ilmu dan pendidikan hanya memberikan manfaat kepada masyarakat atau bangsa tertentu, namun menghasilkan kesengsaraan dan kemelaratan yang jauh lebih besar kepada masyarakat atau bangsa lain.

* * *

Secara aksiologis, kupasan ini hendak menyoroti tentang perkembangan sejarah pendidikan, dimana aplikasi ilmu dimanfaatkan secara berubah-ubah untuk tujuan-tujuan dan kepen­tingan-kepentingan  tertentu. Paling tidak, ada empat elemen yang bisa disebut  sebagai  alasan pemanfaatan  ilmu,  yaitu  untuk meningkatkan kesejahteraan manusia pada umumnya, untuk tujuan  politis  dari  para penguasa, untuk kepentingan pribadi  atau  kepentingan  praktis, dan sebagai alat indoktrinasi.

Pada tahap awal kehidupannya, manusia memperoleh ilmu dan pengetahuan melalui pengamatan, kemudian membeda-bedakan, diikuti upaya memilih, yang pada akhirnya melaku­kan percobaan. Tetapi percobaan-percobaan yang dilakukan manusia dalam masa  pra  sejarah ini masih bersifat "trial and error". Pada masa ini ilmu dan pengetahuan manusia lebih  banyak diperoleh dari alam sekitarnya secara kebetulan. Jadi, alam merupakan guru besar mereka yang memberikan banyak pengalaman dan perenungan bahwa alam tidak cukup hanya sekedar dimanfaatkan, tetapi bisa diolah dan dikembangkan agar menghasilkan manfaat yang lebih besar lagi.

Salah satu contoh sederhana adalah cara manusia mendapatkan makanan. Mula-mula mereka sangat tergantung kepada bahan-bahan yang disediakan secara langsung oleh alam, sehingga apabila disatu tempat apa yang diperlukan sudah habis, mereka akan pindah ketempat lain. Cara hidup Nomaden yang dirasakan tidak efisien ini berhasil menumbuhkan pemikiran kreatif bahwa makanan sebetulnya bisa dibuat sendiri dengan cara bercocok tanam, mengolah hasilnya dan seterusnya. Proses berpikir kreatif seperti itu pada dasarnya menunjukkan bahwa dasar-dasar keilmuan dalam kehidupan manusia tradisional, sudah terbentuk.

Dasar-dasar atau prinsip-prinsip keilmuan tadi lebih berkembang dan lebih disempurna­kan  lagi  pada masa sejarah yang dimulai kurang lebih 15.000 sampai dengan 600 tahun SM. Pada  masa ini manusia telah mengenal tulisan, bahkan mampu berhitung dan membaca. Peradaban manusia dengan cepat mencapai puncak kemegahannya seperti kebudayaan Mesir, Sumeria, Babilonia, Niniveh, Tiongkok, serta kebudayaan Maya dan Inca.

Manusia pada masa ini ternyata juga sudah mampu mencatat peristiwa-peristiwa sehari-hari sebagai pengetahuan untuk diketahui dan disebarluaskan kepada yang lainnya. Oleh kare­nanya  sifat  penalaran  manusia pada tahap ini bersifat empiris, artinya pengetahuan manusia berkembang berdasarkan penerimaan dari alam sekitarnya dan pengalamannya sehari-hari

Mengamati dan menganalisa perkembangan dan aplikasi ilmu pengetahuan pada masa pra sejarah dan masa sejarah, dapatlah kita tarik satu hipotesa bahwa ilmu yang diperoleh dimanfaatkan  untuk meningkatkan ilmu itu sendiri dengan maksud agar memudahkan  manusia dalam memenuhi kebutuhan primernya. Dengan kata lain, ilmu dimanfaatkan untuk meningkatkan  kesejahteraan  manusia pada umumnya. Inilah teori pertama yang kita dapatkan  pada  aksiologi pendidikan, yang akan disusul oleh teori-teori lainnya.

* * *

Masa pasca sejarah dimulai sejak berakhirnya masa sejarah, dan ditandai dengan dike­nalnya penalaran yang disertai upaya-upaya penyelidikan. Pada awal periode ini kebudayaan Yunani memberikan corak baru pada ilmu pengetahuan, dimana peristiwa-peristiwa dan penga­laman sehari-hari tidak diterima begitu saja secara pasif-refresi, tetapi berusaha sedapat mung­kin mencari pada akar sedalam-dalamnya dari setiap fenomena yang dihadapinya.

Upaya manusia untuk mempelajari atau mengamati fenomena yang dihadapi sampai pada akarnya, disebut Intellectual activity. Anthony O'Hear mendefinisikan intellectual activity sebagai pencaharian dan pengembangan ilmu. Adapun perkembangannya dimulai dengan resep­tif-mind,  inquiry-mind,  kemudian logika deduktif dengan silogisme  dari  Aristoteles,  sampai dengan  penemuan  metodologi  oleh  Francis Bacon. Dengan  istilah  lain,  intellectual  activity dikenal pula sebagai the quest of knowledge.

Karakteristik penalaran bangsa Yunani Kuno yang ingin mencari akar paling dalam dari setiap fenomena itu dipengaruhi oleh sikap mereka yang memandang manusia sebagai makhluk luhur yang punya kebebasan. Manusia diberi kebebasan untuk berpikir dan berbuat sesuai dengan  keyakinan yang dimilikinya. Pandangan ini dianggap sebagai embrio dari asas demok­rasi liberal yang mendorong manusia untuk berpikir dan berkreasi secara bebas. Dalam kebe­basan berpikir dan dan berkreasi inilah timbulnya implikasi yang selalu mengundang pro dan kontra, yakni masalah moralitas dan humanisme.

Berbicara masalah moralitas dan humanisme dalam pemanfaatan ilmu, berarti kita bicara masalah nilai yang melekat pada ilmu tersebut. Nilai selalu menyangkut sikap dan peri­laku manusia untuk menyatakan baik atau buruk, benar atau salah, dan diterima atau ditolak. Dengan sikapnya itu manusia memberikan konfirmasi mengenai sejauh mana manfaat dari ilmu yang dinilainya.

Disinilah terjadi dikotomi sikap manusia mengenai hubungan antara ilmu dengan moral. Kelompok pertama menghendaki agar ilmu bebas nilai (netral terhadap nilai). Menurut mereka, ilmuwan hanya berurusan dengan penemuan ilmu saja, sedang penggunaannya diserahkan kepada si pengguna, apakah untuk tujuan yang baik atau tujuan yang buruk. Sebaliknya, kelompok kedua menghendaki agar aplikasi ilmu pengetahuan memperhatikan asas moral. Kelompok ini mengkhawatirkan terjadinya dehumanisme dalam pemanfaatan ilmu pengeta­huan, dimana martabat manusia menjadi lebih rendah dibanding hasil ilmu pengetahuan, serta mengubah manusia menjadi obyek aplikasi teknologi keilmuan.

Beberapa contoh yang diajukan untuk menunjukkan terjadinya demoralisasi dan dehumanisasi adalah terjadinya Perang Dunia pertama dan kedua, penemuan bayi tabung, dan kuman pembunuh yang dihasilkan dari proses kimia. Dan contoh paling mutakhir ialah inter­vensi dan penyerangan negara Adidaya atas negara lain dengan dalih menegakkan demokrasi dan  hak-hak asasi manusia, tanpa mereka mau introspeksi bahwa sebenarnya  merekalah  yang melanggar asas-asas demokrasi dan hak-hak asasi.

Melihat kondisi yang semacam itu, barangkali tidak seorang ilmuwanpun yang sanggup menjawab dengan tepat pertanyaan, manfaat ilmu untuk siapa?

* * *

Selama kurang lebih 350 tahun Indonesia berada dibawah kekuasaan Belanda. Sebagai negara terjajah, tentu saja kesejahteraan rakyat secara umum dan tingkat pendidikan khususnya, sangat memprihatinkan. Oleh karenanya sangat menarik sekali untuk mengkaji kebijaksanaan pemerintah kolonial pada tahun 1901 yang melaksanakan politik balas budi (etische politiek).

Gagasan yang dimotori oleh Conrad van Deventer ini meliputi program-program perbaikan dibidang irigasi, edukasi dan emigrasi/transmigrasi. Apabila kita lihat hasil kebijaksa­naan tersebut dalam angka-angka statistik, memang terjadi peningkatan kuantitas baik dalam hal kesempatan memperoleh pendidikan, pemerataan penyebaran penduduk, maupun sarana pengairan. Dari sudut pandang ini dapat dikatakan bahwa program-program tersebut -- khusus­nya pendidikan -- betul-betul dimanfaatkan untuk meningkatkan kesejahteraan manusia.

Akan tetapi bila kita tengok esensi atau hakikat yang sesungguhnya dari kebijaksanaan tersebut, maka terlihat sekali adanya fakta yang bertolak belakang, dimana manfaat paling besar justru dirasakan oleh perencana dan penyelenggara program, yaitu pemerintah kolonial Belanda.

Bagaimana logikanya? Dalam hal transmigrasi, ternyatalah bahwa orang-orang yang dikirimkan keluar Jawa bahkan sampai ke Suriname, dimanfaatkan sebagai pekerja-pekerja kasar (budak) di perkebunan-perkebunan besar, terutama di Sumatra. Latar belakang historis inilah yang pada masa-masa kemudian memunculkan istilah "Pujakesuma" (putra Jawa kelahiran Sumatra). Begitu juga dalam masalah irigasi, pembagian jatah air ternyata sangat tidak berimbang antara perusahaan perkebunan Belanda (onderneming) dengan pertanian rakyat. Dan dalam bidang pendidikan, orang-orang pribumi yang telah mendapatkan pendidikan dasar  hanya  dimanfaatkan sebagai tenaga-tenaga administratur rendahan guna memperlancar pelaksanaan kolonialisme di Indonesia. Dalam hal ini van Deventer dan kawan-kawan tidak menunjukkan political will yang sungguh-sungguh untuk memajukan rakyat.

Dari kenyataan ini dapat ditarik satu teori baru bahwa manfaat ilmu adalah untuk penguasa. Dengan demikian teori pertama yang mengatakan bahwa ilmu bermanfaat untuk meningkatkan kesejahteraan manusia, menjadi tidak cocok, tidak tepat, atau tidak sesuai (fals).

Ketidakcocokan atau ketidaksesuaian suatu teori apabila dikonfrontir dengan hasil pengamatan atau kenyataan yang ada, dalam ilmu filsafat disebut sebagai paham falsification­ism. Falsificationism adalah suatu paham atau pemikiran yang berpendapat bahwa setiap teori yang dikemukakan manusia tidak akan seluruhnya cocok dengan hasil observasi atau perco­baan. Dengan kata lain, falsificationism ilmu dipandang sebagai satu set hipotesis yang bersifat tentatif untuk menggambarkan atau menghitung tingkah laku suatu aspek dunia atau universe.

Sampai disini kita sudah mendapatkan dua teori tentang pemanfaatan ilmu. Namun uraian berikut ini akan lebih memperluas cakrawala kita, betapa ilmu pengetahuan sangat lemah sekali menghadapi penafsiran-penafsiran manusia yang menempelkan arti dan manfaat seenaknya kepada ilmu.

* * *

Pada abad kontemporer seperti sekarang, terlihat kecenderungan untuk mengembalikan manfaat ilmu sebagaimana teori pertama, serta meninggalkan teori kedua. Pendidikan benar-benar diarahkan kepada terciptanya pemerataan bagi seluruh lapisan masyarakat (Education For  All). Namun disamping kecenderungan global tersebut, terdapat nuansa-nuansa lain yang memperkaya aksiologi keilmuan kita.

Salah satu nuansa yang menonjol adalah bahwa konsep-konsep keilmuan yang dikembangkan manusia dipertanyakan kepentingan praktisnya. Misalnya manusia mempunyai konsep yang menghubungkan kemacetan lalu lintas dengan pejalan kaki. Untuk ini dikembangkan teknologi yang bisa mencegah kemacetan lalu lintas, yakni dengan pembuatan jembatan penyeberangan. Contoh lain misalnya hubungan antara pertumbuhan jumlah penduduk yang dihitung secara deret ukur dengan kebutuhan hidup yang diukur secara deret  hitung. Ketidak­seimbangan ini mendorong manusia untuk mengembangkan ilmu yang bisa membatasi meningkatnya angka kelahiran, yaitu penggunaan alat kontrasepsi. Jadi ilmu akan berkembang dan bermanfaat manakala manusia merasakan dan membutuhkan kepentingan praktis dari suatu aspek kehidupannya.

Dalam skala yang lebih kecil, keluarga misalnya, sering kita dengar orang tua yang memotivasi anaknya untuk giat belajar agar kelak menjadi orang terhormat, bisa mencari rejeki yang banyak, dan sebagainya. Jadi ilmu disini diharapkan mampu menjadi sarana untuk mencapai kehormatan dan kekayaan. Sekiranya suatu pendidikan tidak bisa meningkatkan status sosial ekonomi, tentu saja banyak orang enggan untuk menempuh pendidikan tersebut. Jadi disini ilmu memberikan manfaat secara pribadi.

Nuansa lain dari aksiologi keilmuan masa modern yang agaknya banyak dipraktekkan dalam kehidupan bernegara bangsa-bangsa di dunia adalah indoktrinasi ilmu, yang biasanya merupakan "pencekokan" paham atau ideologi bangsa tersebut. Demokrasi  dan sistem ekonomi liberal sebagai prinsip dasar dari ideologi Declaration of Independence yang dianut bangsa Amerika, adalah materi pokok indoktrinasi bagi warga negara AS. Begitu juga paham Komunisme dan Maoisme, adalah ajaran-ajaran yang harus dipahami secara baik oleh seluruh rakyat Cina. Dan masih banyak contoh lainnya.


Bagaimana dengan kondisi di Indonesia?

Pada jaman Orde Lama, pemerintah menerbitkan buku berjudul Tujuh Bahan-Bahan Pokok Indoktrinasi (Tubapi). Buku ini berisi ajaran antara lain mengenai Demokrasi Terpim­pin, Nasakom, Sosialisme Indonesia, dan sebagainya. Kesemua bahan tersebut haruslah dimengerti, dihayati dan diamalkan dalam kehidupan sehari-hari aparat dan rakyat jelata. Setelah kelahiran Orde Baru, ajaran-ajaran tersebut dihapuskan terutama yang berkaitan dengan Nasakom. Pemerintah Orde Baru sendiri bertekad untuk kembali kepada pelaksanaan Pancasila  dan  UUD 1945 secara murni dan konsekuen. Adanya tekad ini saja sudah memaklumkan kita semua jika pemerintah berusaha agar nilai-nilai dan norma-norma yang terkandung dalam Pancasila benar-benar meresap dalam hati dan tingkah laku sehari-hari masyarakat Indonesia. Dan indoktrinasi filsafat Pancasila memperoleh landasan yuridisnya tahun 1978, saat dikeluarkannya TAP MPR NO. II/MPR/1978 tentang Eka Prasetia Panca Karsa. Ketetapan MPR yang lebih populer dengan istilah Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4) itu berisi 36 butir-butir Pancasila yang merupakan pencerminan dan sekaligus patokan berbuat, berpikir dan bertingkah laku bagi seluruh rakyat Indonesia.

Terlepas dari latar belakang dan tujuan suatu indoktrinasi, uraian tadi telah dapat membuktikan bahwa ilmu begitu tidak berdayanya terhadap kemauan manusia dalam menafsir­kan, menggunakan dan memanfaatkannya. Namun secara teoritis kita telah menemukan lagi teori baru tentang pemanfaatan ilmu, yakni ilmu pengetahuan dimanfaatkan untuk tujuan-tujuan praktis, dan ilmu digunakan sebagai alat indoktrinasi.

Dengan demikian, secara keseluruhan sejarah pendidikan paling tidak menunjukkan empat manfaat dalam pengembangan ilmu dan pengetahuan. Keempat hal tersebut adalah: Ilmu bermanfaat untuk meningkatkan ilmu itu sendiri dengan tujuan akhir meningkatnya kese­jahteraan manusia dalam segala aspek kehidupannya; ilmu dimanipulasi menjadi teknologi penguasa; ilmu dimanfaatkan untuk tujuan-tujuan individul atau kepentingan praktis; dan ilmu sebagai alat indoktrinasi bagi suatu negara.


Penutup

Dari keempat fungsi dan implementasi ilmu, yaitu ilmu sebagai ilmu, ilmu sebagai alat pikiran, ilmu sebagai alat kerja, dan ilmu sebagai wisdom, mana yang akan kita pilih dan kita manfaatkan dalam tingkat pembangunan sekarang ini? Kembali kepada tujuan Konferensi Pendidikan di India beberapa waktu yang lalu, tentunya kita semua berkeinginan untuk mewu­judkan pendidikan yang merata bagi seluruh rakyat (Education for All). Dengan demikian Ilmu sebagai Wisdom adalah cita-cita kita bersama.

Tidak ada komentar: