Beberapa waktu
yang lalu di New Delhi diselenggarakan KTT Education For All (EFA), yang
diikuti oleh sembilan negara-negara Selatan. KTT yang disponsori oleh UNESCO
(Organisasi PBB untuk Pendidikan, Ilmu Pengetahuan dan Kebudayaan), UNICEF
(Dana PBB untuk Anak-anak), dan UNFPA (Dana PBB untuk Kependudukan)
tersebut berhasil mengeluarkan "Deklarasi New Delhi"
yang berisi beberapa hal, diantaranya meningkatkan komitmen terhadap pentingnya
pendidikan terutama pendidikan dasar, serta mewujudkan tujuan
pendidikan untuk semua menjelang tahun 2000.
Menyimak tema KTT
EFA dan lebih dikuatkan lagi dengan kondisi pendidikan pada masa modern
sekarang ini, tampaknya tidak ada masalah lain yang dihadapi oleh dunia
pendidikan kecuali masih banyaknya anak-anak usia sekolah di negara berkembang
yang belum memperoleh kesempatan untuk menuntut ilmu. Akan tetapi jika
kita kenang kembali perjalanan umat manusia sejak jaman purba (Pra
Sejarah), jaman Sejarah dengan penemuan-penemuan berupa peralatan
kehidupan dari bahan-bahan batu, besi, perunggu dan sebagainya, kemudian jaman
eksploitasi sekelompok manusia atas sekelompok manusia yang lain
(kolonialisme), sampai dengan jaman demokrasi dan globalisasi saat ini, maka
akan kita peroleh suatu gambaran sejarah pendidikan yang "pasang
surut".
Pengertian "pasang surut" disini adalah bahwa ilmu
dan pendidikan pada masa tertentu memiliki nilai-nilai kebaikan dan kemuliaan
serta memberikan manfaat yang nyata bagi pertumbuhan
peradaban dan masyarakat dimana ilmu itu berkembang. Sebaliknya pada masa yang
lain, ilmu dan pendidikan penuh dengan sifat keangkuhan, keangkaramurkaan dan
meninggalkan prinsip-prinsip
perikemanusiaan. Pada masa ini ilmu dan pendidikan hanya memberikan
manfaat kepada masyarakat atau bangsa tertentu, namun menghasilkan kesengsaraan
dan kemelaratan yang jauh lebih besar kepada masyarakat atau bangsa lain.
* * *
Secara aksiologis,
kupasan ini hendak menyoroti tentang perkembangan sejarah pendidikan, dimana
aplikasi ilmu dimanfaatkan secara berubah-ubah untuk tujuan-tujuan dan kepentingan-kepentingan
tertentu. Paling tidak, ada empat elemen yang bisa disebut sebagai
alasan pemanfaatan ilmu, yaitu untuk meningkatkan
kesejahteraan manusia pada umumnya, untuk tujuan politis dari
para penguasa, untuk kepentingan pribadi atau kepentingan
praktis, dan sebagai alat indoktrinasi.
Pada tahap awal kehidupannya, manusia memperoleh ilmu dan
pengetahuan melalui pengamatan, kemudian membeda-bedakan, diikuti upaya
memilih, yang pada akhirnya melakukan percobaan. Tetapi percobaan-percobaan
yang dilakukan manusia dalam masa pra sejarah ini masih bersifat
"trial and error". Pada masa ini ilmu dan pengetahuan manusia lebih
banyak diperoleh dari alam sekitarnya secara kebetulan. Jadi, alam
merupakan guru besar mereka yang memberikan banyak pengalaman dan perenungan
bahwa alam tidak cukup hanya sekedar dimanfaatkan, tetapi bisa diolah dan
dikembangkan agar menghasilkan manfaat yang lebih besar lagi.
Salah satu contoh sederhana adalah cara manusia mendapatkan
makanan. Mula-mula mereka sangat tergantung kepada bahan-bahan yang disediakan
secara langsung oleh alam, sehingga apabila disatu tempat apa yang diperlukan
sudah habis, mereka akan pindah ketempat lain. Cara hidup Nomaden yang dirasakan
tidak efisien ini berhasil menumbuhkan pemikiran kreatif bahwa makanan
sebetulnya bisa dibuat sendiri dengan cara bercocok tanam, mengolah hasilnya
dan seterusnya. Proses berpikir kreatif seperti itu pada dasarnya menunjukkan
bahwa dasar-dasar keilmuan dalam kehidupan manusia tradisional, sudah
terbentuk.
Dasar-dasar atau prinsip-prinsip keilmuan tadi lebih
berkembang dan lebih disempurnakan lagi pada masa sejarah yang
dimulai kurang lebih 15.000 sampai dengan 600 tahun SM. Pada masa ini
manusia telah mengenal tulisan, bahkan mampu berhitung dan membaca. Peradaban
manusia dengan cepat mencapai puncak kemegahannya seperti kebudayaan Mesir,
Sumeria, Babilonia, Niniveh, Tiongkok, serta kebudayaan Maya dan Inca.
Manusia pada masa ini ternyata juga sudah mampu mencatat
peristiwa-peristiwa sehari-hari sebagai pengetahuan untuk diketahui dan
disebarluaskan kepada yang lainnya. Oleh karenanya sifat penalaran manusia pada tahap
ini bersifat empiris, artinya pengetahuan manusia berkembang berdasarkan penerimaan
dari alam sekitarnya dan pengalamannya sehari-hari
Mengamati dan menganalisa perkembangan dan aplikasi ilmu
pengetahuan pada masa pra sejarah dan masa sejarah, dapatlah kita tarik satu
hipotesa bahwa ilmu yang diperoleh dimanfaatkan untuk meningkatkan ilmu
itu sendiri dengan maksud agar memudahkan manusia dalam memenuhi
kebutuhan primernya. Dengan kata lain, ilmu dimanfaatkan untuk meningkatkan
kesejahteraan manusia pada umumnya. Inilah teori pertama yang kita
dapatkan pada aksiologi pendidikan, yang akan disusul oleh
teori-teori lainnya.
* * *
Masa pasca sejarah
dimulai sejak berakhirnya masa sejarah, dan ditandai dengan dikenalnya penalaran yang disertai upaya-upaya penyelidikan.
Pada awal periode ini kebudayaan Yunani memberikan corak baru pada ilmu
pengetahuan, dimana peristiwa-peristiwa dan pengalaman sehari-hari tidak
diterima begitu saja secara pasif-refresi, tetapi berusaha sedapat mungkin
mencari pada akar sedalam-dalamnya dari setiap fenomena yang dihadapinya.
Upaya manusia untuk mempelajari atau mengamati fenomena
yang dihadapi sampai pada akarnya, disebut Intellectual activity. Anthony O'Hear mendefinisikan intellectual activity sebagai
pencaharian dan pengembangan ilmu. Adapun perkembangannya dimulai dengan reseptif-mind, inquiry-mind,
kemudian logika deduktif dengan silogisme dari Aristoteles,
sampai dengan penemuan metodologi oleh Francis
Bacon. Dengan istilah lain, intellectual activity dikenal pula
sebagai the quest of knowledge.
Karakteristik penalaran bangsa Yunani Kuno yang ingin
mencari akar paling dalam dari setiap fenomena itu dipengaruhi oleh sikap
mereka yang memandang manusia sebagai makhluk luhur yang punya kebebasan.
Manusia diberi kebebasan untuk berpikir dan berbuat sesuai dengan
keyakinan yang dimilikinya. Pandangan ini dianggap sebagai embrio dari
asas demokrasi liberal yang mendorong manusia
untuk berpikir dan berkreasi secara bebas. Dalam kebebasan berpikir dan dan berkreasi inilah timbulnya
implikasi yang selalu mengundang pro dan kontra, yakni masalah moralitas dan
humanisme.
Berbicara masalah
moralitas dan humanisme dalam pemanfaatan ilmu, berarti kita bicara masalah
nilai yang melekat pada ilmu tersebut. Nilai selalu menyangkut sikap dan perilaku manusia untuk menyatakan baik atau buruk, benar atau
salah, dan diterima atau ditolak. Dengan sikapnya itu manusia memberikan
konfirmasi mengenai sejauh mana manfaat dari ilmu yang dinilainya.
Disinilah terjadi
dikotomi sikap manusia mengenai hubungan antara ilmu dengan moral. Kelompok
pertama menghendaki agar ilmu bebas nilai (netral terhadap nilai). Menurut
mereka, ilmuwan hanya berurusan dengan penemuan ilmu saja, sedang penggunaannya
diserahkan kepada si pengguna, apakah untuk tujuan yang baik atau tujuan yang
buruk. Sebaliknya, kelompok kedua menghendaki agar aplikasi ilmu pengetahuan
memperhatikan asas moral. Kelompok ini mengkhawatirkan terjadinya dehumanisme
dalam pemanfaatan ilmu pengetahuan, dimana
martabat manusia menjadi lebih rendah dibanding hasil ilmu pengetahuan, serta
mengubah manusia menjadi obyek aplikasi teknologi keilmuan.
Beberapa contoh
yang diajukan untuk menunjukkan terjadinya demoralisasi dan dehumanisasi adalah
terjadinya Perang Dunia pertama dan kedua, penemuan bayi tabung, dan kuman
pembunuh yang dihasilkan dari proses kimia. Dan contoh paling mutakhir ialah
intervensi dan penyerangan negara Adidaya atas negara lain
dengan dalih menegakkan demokrasi dan hak-hak asasi manusia, tanpa mereka
mau introspeksi bahwa sebenarnya merekalah yang melanggar asas-asas
demokrasi dan hak-hak asasi.
Melihat kondisi
yang semacam itu, barangkali tidak seorang ilmuwanpun yang sanggup menjawab
dengan tepat pertanyaan, manfaat ilmu untuk siapa?
* * *
Selama kurang lebih 350 tahun Indonesia berada dibawah kekuasaan
Belanda. Sebagai negara terjajah, tentu saja kesejahteraan rakyat secara umum
dan tingkat pendidikan khususnya, sangat memprihatinkan. Oleh karenanya sangat
menarik sekali untuk mengkaji kebijaksanaan pemerintah kolonial pada tahun 1901
yang melaksanakan politik balas budi (etische
politiek).
Gagasan yang
dimotori oleh Conrad van Deventer ini meliputi program-program perbaikan
dibidang irigasi, edukasi dan emigrasi/transmigrasi. Apabila kita lihat hasil
kebijaksanaan tersebut dalam angka-angka statistik, memang terjadi
peningkatan kuantitas baik dalam hal kesempatan memperoleh pendidikan,
pemerataan penyebaran penduduk, maupun sarana pengairan. Dari sudut pandang ini
dapat dikatakan bahwa program-program tersebut -- khususnya pendidikan -- betul-betul
dimanfaatkan untuk meningkatkan kesejahteraan manusia.
Akan tetapi bila
kita tengok esensi atau hakikat yang sesungguhnya dari kebijaksanaan tersebut,
maka terlihat sekali adanya fakta yang bertolak belakang, dimana manfaat paling
besar justru dirasakan oleh perencana dan penyelenggara program, yaitu
pemerintah kolonial Belanda.
Bagaimana
logikanya? Dalam hal transmigrasi, ternyatalah bahwa orang-orang yang dikirimkan
keluar Jawa bahkan sampai ke Suriname, dimanfaatkan sebagai pekerja-pekerja
kasar (budak) di perkebunan-perkebunan besar, terutama di Sumatra. Latar belakang
historis inilah yang pada masa-masa kemudian memunculkan istilah
"Pujakesuma" (putra Jawa kelahiran Sumatra). Begitu juga dalam
masalah irigasi, pembagian jatah air ternyata sangat tidak berimbang antara perusahaan
perkebunan Belanda (onderneming)
dengan pertanian rakyat. Dan dalam bidang pendidikan, orang-orang pribumi yang
telah mendapatkan pendidikan dasar hanya dimanfaatkan sebagai
tenaga-tenaga administratur rendahan guna memperlancar pelaksanaan kolonialisme
di Indonesia. Dalam hal ini van Deventer dan kawan-kawan tidak menunjukkan political will yang sungguh-sungguh
untuk memajukan rakyat.
Dari kenyataan ini
dapat ditarik satu teori baru bahwa manfaat ilmu adalah untuk penguasa. Dengan
demikian teori pertama yang mengatakan bahwa ilmu bermanfaat untuk meningkatkan
kesejahteraan manusia, menjadi tidak cocok, tidak tepat, atau tidak sesuai (fals).
Ketidakcocokan
atau ketidaksesuaian suatu teori apabila dikonfrontir dengan hasil pengamatan
atau kenyataan yang ada, dalam ilmu filsafat disebut sebagai paham falsificationism. Falsificationism
adalah suatu paham atau pemikiran yang berpendapat bahwa setiap teori yang
dikemukakan manusia tidak akan seluruhnya cocok dengan hasil observasi atau
percobaan. Dengan kata lain, falsificationism ilmu dipandang
sebagai satu set hipotesis yang bersifat tentatif untuk menggambarkan atau
menghitung tingkah laku suatu aspek dunia atau universe.
Sampai disini kita
sudah mendapatkan dua teori tentang pemanfaatan ilmu. Namun uraian berikut ini
akan lebih memperluas cakrawala kita, betapa ilmu pengetahuan sangat lemah
sekali menghadapi penafsiran-penafsiran manusia yang menempelkan arti dan
manfaat seenaknya kepada ilmu.
* * *
Pada abad kontemporer seperti sekarang, terlihat
kecenderungan untuk mengembalikan manfaat ilmu sebagaimana teori pertama, serta
meninggalkan teori kedua. Pendidikan benar-benar diarahkan kepada terciptanya
pemerataan bagi seluruh lapisan masyarakat (Education
For All). Namun disamping kecenderungan global tersebut, terdapat
nuansa-nuansa lain yang memperkaya aksiologi keilmuan kita.
Salah satu nuansa yang menonjol adalah bahwa konsep-konsep
keilmuan yang dikembangkan manusia dipertanyakan kepentingan praktisnya.
Misalnya manusia mempunyai konsep yang menghubungkan kemacetan lalu lintas
dengan pejalan kaki. Untuk ini dikembangkan teknologi yang bisa mencegah
kemacetan lalu lintas, yakni dengan pembuatan jembatan penyeberangan. Contoh
lain misalnya hubungan antara pertumbuhan jumlah penduduk yang dihitung secara
deret ukur dengan kebutuhan hidup yang diukur secara deret hitung.
Ketidakseimbangan ini mendorong manusia untuk mengembangkan
ilmu yang bisa membatasi meningkatnya angka kelahiran, yaitu penggunaan alat
kontrasepsi. Jadi ilmu akan berkembang dan bermanfaat manakala manusia
merasakan dan membutuhkan kepentingan praktis dari suatu aspek kehidupannya.
Dalam skala yang
lebih kecil, keluarga misalnya, sering kita dengar orang tua yang memotivasi
anaknya untuk giat belajar agar kelak menjadi orang terhormat, bisa mencari
rejeki yang banyak, dan sebagainya. Jadi ilmu disini diharapkan mampu menjadi
sarana untuk mencapai kehormatan dan kekayaan. Sekiranya suatu pendidikan tidak
bisa meningkatkan status sosial ekonomi, tentu saja banyak orang enggan untuk
menempuh pendidikan tersebut. Jadi disini ilmu memberikan manfaat secara
pribadi.
Nuansa lain dari aksiologi keilmuan masa modern yang agaknya
banyak dipraktekkan dalam kehidupan bernegara bangsa-bangsa di dunia adalah
indoktrinasi ilmu, yang biasanya merupakan "pencekokan" paham atau
ideologi bangsa tersebut. Demokrasi dan sistem ekonomi liberal sebagai
prinsip dasar dari ideologi Declaration
of Independence yang dianut bangsa Amerika, adalah materi pokok
indoktrinasi bagi warga negara AS. Begitu juga paham Komunisme dan Maoisme,
adalah ajaran-ajaran yang harus dipahami secara baik oleh seluruh rakyat Cina. Dan masih banyak
contoh lainnya.
Bagaimana dengan
kondisi di Indonesia?
Pada jaman Orde Lama, pemerintah menerbitkan buku berjudul
Tujuh Bahan-Bahan Pokok Indoktrinasi (Tubapi). Buku ini berisi ajaran antara
lain mengenai Demokrasi Terpimpin, Nasakom, Sosialisme Indonesia , dan
sebagainya. Kesemua bahan tersebut haruslah dimengerti, dihayati dan diamalkan
dalam kehidupan sehari-hari aparat dan rakyat jelata. Setelah kelahiran
Orde Baru, ajaran-ajaran tersebut dihapuskan terutama yang berkaitan dengan
Nasakom. Pemerintah Orde Baru sendiri bertekad untuk kembali kepada pelaksanaan
Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen. Adanya tekad ini
saja sudah memaklumkan kita semua jika pemerintah berusaha agar nilai-nilai dan
norma-norma yang terkandung dalam Pancasila benar-benar meresap dalam hati dan
tingkah laku sehari-hari masyarakat Indonesia. Dan indoktrinasi filsafat
Pancasila memperoleh landasan yuridisnya tahun 1978, saat dikeluarkannya TAP
MPR NO. II/MPR/1978 tentang Eka Prasetia Panca Karsa. Ketetapan MPR yang lebih
populer dengan istilah Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4) itu
berisi 36 butir-butir Pancasila yang merupakan pencerminan dan sekaligus
patokan berbuat, berpikir dan bertingkah laku bagi seluruh rakyat Indonesia.
Terlepas dari
latar belakang dan tujuan suatu indoktrinasi, uraian tadi telah dapat
membuktikan bahwa ilmu begitu tidak berdayanya terhadap kemauan manusia dalam
menafsirkan, menggunakan dan memanfaatkannya. Namun secara teoritis kita telah
menemukan lagi teori baru tentang pemanfaatan ilmu, yakni ilmu pengetahuan
dimanfaatkan untuk tujuan-tujuan praktis, dan ilmu digunakan sebagai alat
indoktrinasi.
Dengan demikian,
secara keseluruhan sejarah pendidikan paling tidak menunjukkan empat manfaat
dalam pengembangan ilmu dan pengetahuan. Keempat hal tersebut adalah: Ilmu
bermanfaat untuk meningkatkan ilmu itu sendiri dengan tujuan akhir meningkatnya
kesejahteraan manusia dalam segala aspek kehidupannya; ilmu
dimanipulasi menjadi teknologi penguasa; ilmu dimanfaatkan untuk tujuan-tujuan
individul atau kepentingan praktis; dan ilmu sebagai alat indoktrinasi bagi
suatu negara.
Penutup
Dari keempat fungsi
dan implementasi ilmu, yaitu ilmu sebagai ilmu, ilmu sebagai alat pikiran, ilmu
sebagai alat kerja, dan ilmu sebagai wisdom, mana yang akan kita pilih dan kita
manfaatkan dalam tingkat pembangunan sekarang ini? Kembali kepada tujuan
Konferensi Pendidikan di India beberapa waktu yang lalu, tentunya kita semua
berkeinginan untuk mewujudkan pendidikan yang merata bagi seluruh rakyat (Education for All). Dengan demikian Ilmu
sebagai Wisdom adalah cita-cita kita bersama.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar