Pengantar
Dalam hal
berkomunikasi, sering terjadi suatu kondisi dimana posisi seseorang dominan
dibanding yang lainnya. Atau mungkin juga, seseorang memiliki informasi yang
lebih banyak dan luas, sehingga pihak yang menjadi lawan bicaranya menjadi
pasif, kurang responsif dan cenderung mengiyakan saja. Bahkan tidak jarang
terjadi, seseorang yang ingin berkomunikasi dengan orang lain sudah memiliki
rasa tidak percaya diri, takut, ewuh pakewuh, minder, atau gemetar. Jadi jelaslah
bahwa proses komunikasi antar dua orang atau lebih seringkali berada pada
posisi yang tidak sederajat (asymetric relation), sehingga nilai obyektivitas dan
efektivitas dari proses komunikasi tadi dapat terganggu. Selanjutnya apabila
kondisi in berjalan terus tanpa upaya antisipasi, maka tujuan dari diadakannya
komunikasi tadi menjadi terhambat. Oleh karena itu, proses komunikasi hendaknya
berjalan secara wajar, terbuka, dan sejajar.
Komunikasi: Pengertian dan Prosesnya
Secara luas komunikasi adalah setiap bentuk tingkah laku
seseorang baik verbal maupun nonverbal yang ditanggapi oleh orang lain.
Komunikasi mencakup pengertian yang lebih luas dari sekadar wawancara. Setiap
bentuk tingkah laku mengungkapkan pesan tertentu, sehingga juga merupakan sebentuk
komunikasi (Johnson, dalam Supratiknya, 1995: 30).
Sementara secara sempit komunikasi diartikan sebagai pesan
yang dikirimkan seseorang kepada satu atau lebih penerima dengan maksud sadar
untuk mempengaruhi tingkah laku si penerima. Dalam setiap bentuk
komunikasi setidaknya dua orang saling mengirimkan lambang-lambang yang
memiliki makna tertentu. Lambang-lambang tersebut bisa bersifat verbal berupa
kata-kata, atau bersifat nonverbal berupa ekspresi ataupun ungkapan tertentu
dan gerak tubuh.
Dari berbagai definisi ataupun pengertian tentang
komunikasi, menurut Robby Chandra
(1992: 46-47) dapat dibagi ke dalam empat kelompok, yaitu:
- Definisi
berdasarkan perspektif yang bersifat behavioristik. Prespektif ini datang dari cabang psikologi
behavioristik yang menekankan hubungan antara stimulus/rangsangan dan
respons dari penerima stimulus. Dengan demikian teori yang menggunakan
perspektif ini akan menekankan komunikasi sebagai pengaruh perasaan
sebagai stimulus terhadap seseorang.
- Definisi
berdasarkan teori transmisi.
Menurut teori ini komunikasi adalah transfer informasi dari pengirirm
berita kepada penerima. Di dalam definisi yang bersifat transmisional
tekanan diletakkan pada peranan media, waktu, dan sekuens dari berita.
- Definisi
berdasarkan prespektif yang menekankan interaksi. Perspektif ini meyadari bahwa komunikator dan
penerima saling berespons. Kata kunci di dalam definisi yang memperhatikan
interaksi ialah umpan balik (feed-back)
dan efek timbal balik.
- Definisi
yang menekankan transaksi.
Perspektif definisi serupa ini komunikasi dilihat sebagi penglaman di mana
pesertanya ambil bagian dengan aktif. Karena tekanan perhatiannya
diletakkan atas pemahaman tentang konteks, proses, dan fungsi komunikasi
yang terjadi.
Komunikasi yang terjadi antara seseorang dengan orang
lain, berlangsung pada taraf kedalaman yang berbeda-beda. Dan atas dasar
kedalamannya ini, John Powell (dalam
Supratiknya, 1995: 32-34) membedakan
komunikasi dalam lima taraf. Taraf Kelima adalah basa-basi. Ini merupakan
taraf komunikasi paling dangkal. Biasanya terjadi antara dua orang yang bertemu
secara kebetulan. Taraf keempat, yakni membicarakan orang lain.
Di sini orang sudah mulai saling menanggapi, namun tetap masih dalam taraf
dangkal, khususnya sebelum mau berbicara tantang diri masing-masing.
Taraf ketiga adalah menyatakan
gagasan dan pendapat. Kita sudah mau saling membuka diri, saling
mengungkapkan diri, namun pengungkapan diri tersebut masih terbatas pada taraf
pikiran. Taraf kedua adalah taraf
hati dan perasaan. Ada yang mengatakan bahwa emosi atau perasaan adalah
unsur yang membedakan orang yang satu dari yang lain. Sama-sama menghias rumah
dan menaikan bendera dalam rangka tujuh belas Agustus-an, namun seorang veteran
pejuang yang hidupnya kini sukses, veteran pejuang yang bernasib kurang
beruntung, miskin dan terlupakan, warga masyarakat biasa yang tidak mengalami
sendiri masa perang, dan seorang mahasiswa yang aktif memperjuangkan keadialn,
tentu melakukannya dengan perasaan yang berbeda-beda.
Taraf pertama adalah
hubungan
puncak. Komunikasi pada taraf ini ditandai dengan kejuuran, keterbukaan
dan saling percaya yang mutlak diantara kedua belah fihak. Tidak ada lagi
ganjalan-ganjalan berupa rasa takut, rasa khawatir jangan-jangan kepercayaan
kita disia-siakan. Selain merasa bebas untuk saling mengungkapkan perasaan,
biasanya kedua belah pihak juga memiliki perasaan yang sama tentang banyak hal.
Dengan kata lain, komunikasi tersebut telah berkembang begitu mendalam sehingga
kedua pihak merasakan kesatuan timbal balik yang hampir sempurna.
Dalam pelaksanaan suatu komunikasi, atau untuk dapat
tersampaikannya suatu pesan dari seseorang (pengirim) kepada orang lain
(penerima), perlu adanya proses, yakni proses komunikasi. Didalam proses
ini, paling tidak terdapat tujuh unsur dasar, yaitu (Supratiknya, 1995: 31):
- Maksud-maksud, gagasan dan perasaan yang ada dalam
diri pengirim serta bentuk tingkah laku yang dipilihnya.
- Proses kodifikasi
pesan oleh pengirim. Pengirim
mengubah gagasan, perasaan dan maksud-maksudnya kedalam bentuk pesan yang
dapat dikirimkan.
- Proses
pengiriman pesan kepada penerima.
- Adanya
saluran (channel) atau media,
melalui mana pesan dikirimkan.
- Proses
dekodifikasi pesan oelh
penerima. Penerima menginterpretasikan atau menafsirkan makna pesan.
- Tanggapan
batin oleh penerima terhadap hasil interpretasinya tentang makna pesan
yang ditangkap.
- Kemungkinan adanya hambatan (noise) tertentu.
Komunikasi Satu Arah & Dua Arah
Dilihat dari umpan balik atau respon para pihak dalam
berkomunikasi, maka terdapat dua bentuk komunikasi, yakni komunikasi satu arah
dan komunikasi dua arah. Komunikasi satu
arah, yakni situasi komunikasi di mana pengirim tidak memiliki kesempatan
untuk mengetahui bagaimana penerima telah mendekodefikasikan pesannya.
Sebaliknya, komunikasi dua arah
berlangsung apabial pengirim cukup leluasa mendapatkan umpan balik tentang cara
penerimaan menangkap pesa yang telah dikirimnya. Komunikasi dua arah yang
terbuka semacam ini akan mempermudahkan terjadinya saling pemahaman dalam
komunikasi, dan sangat menolong mengembangkan suatu relasi yang memuaskan bagi
kedua belah pihak serta kerja sama yang efektif (Johnson, dalam Supratiknya,
1995: 38-39).
Pentingnya Komunikasi
Komunikasi antarpribadi sangat penting bagi kebahagian
hidup kita. Johnson (1981) sebagaimana
dikutip Supratiknya (1995: 9-10)
menunjukan beberapa peranan yang disumbangkan oleh komunikasi antarpribadi
dalam rangka menciptakan kebahagiaan hidup manusia.
Pertama,
komunikasi antarpribadi membantu perkembangan intelektual dan sosial kita. Perkembangan
kita sejak masa bayi sampai masa dewasa mengikuti pola semakin meluasnya
ketergantungan kita pada orang lain. Diawali dengan ketergantungan atau
komunikasi yang intensif dengan ibu pada masa bayi, lingkaran ketergantungan
atau komunikasi itu semakin luas dengan bertambahnya usia kita. Bersama proses
itu, perkembangan intelektual dan sosial kita sangat ditentukan oleh kualitas
komunikasi kita dengan orang lain itu.
Kedua,
identitas atau jati diri kita terbentuk dalam dan lewat komunikasi dengan orang
lain. Selama berkomunikasi dengan orang lain, secara sadar maupun tidak sadar
kita mengamati, memperhatikan dan mencatat dalam hati semua tanggapan yang
diberikan oleh orang lain terhadap diri kita. Kita menjadi tahu bagaimana
pandangan orang lain itu terhadap diri kita. Berkat pertolongan komunikasi
dengan orang lain kita dapat menemukan diri, yaitu mengetahui siapa diri kita
sebenarnya.
Ketiga, dalam
rangka memahami realitas di sekeliling kita srta menguji kebenaran kesan-kesan
dan pengertian yang kita miliki tentang dunia di sekitar kita, kita perlu
membandingkanya dengan kesan-kesan dan pengertian orang lain tentang realitas
yang sama. Tentu saja, perbandingan sosial (social
comparison) semacam itu hanya dapat kita lakukan lewat komunikasi dengan orang
lain.
Keempat,
kesehatan mental kita sebagian besar juga ditentukan oleh kualitas komunikasi
atau hubungan kita dengan orang lain, lebih-lebih orang-orang yang merupakan
tokoh-tokoh signifikan (significant
figures) dalam hidup kita. Bila
hubungan kita dengan orang lain diliputi berbagai masalah, maka tentu kita akan
menderita merasa sedih, cemas, frustasi. Bila kemudian kita menarik diri dan
menghindari orang lain, maka rasa sepi dan terasing yang mungkin kita alami pun
tentu akan menimbulkan penderitaan, bukan hanya penderitaan emosional atau
batin, bahkan mungkin juga penderitaan fisik.
Apabila dalam proses tersebut terjadi suatu komunikasi
yang tidak lancar dan tidak efektif, akan terjadi apa yang disebut kegagalan
komunikasi (communication failure).
Atau dengan kata lain, kegagalan dalam komunikasi timbul karena adanya
kesenjangan antara apa yang sebenarnya dimaksud pengirim dengan apa yang oleh
penerima diduga dimaksud oleh pengirim. Secara lebih rinci (Johnson: dalam Supratiknya, 1995: 32-34) mengidentifikasikan sumber kegagalan
komunikasi pada sejumlah faktor sebagai berikut:
§ Sumber-sumber hambatan yang bersifat emosional dan sosial
atau kultural. Misalnya, karena kita tidak suka pada seseorang maka semua
kata-katanya kita tafsikan negatif. Atau, kita tersinggung ketika seorang teman
Barat membelai kepala kita, ternyata baginya merupakan ungkapan keakraban.
- Sering kita mendengarkan dengan maksud sadar maupun
tidak sadar untuk memberikan penilaian dan menghakimi si pembicara.
Akibatnya, ia menjadi bersifat defensif. Artinya, bersikap menutup diri
dan sangat berhati-hati dalam berkata-kata.
- Sering, kita gagal dalam menangkap maksud konotatif
di balik ucapannya kendati kita sepenuhnya tahu arti denotatif kata-kata
yang digunakan oleh seorang pembicara.
- Kesalahfahaman atau distorsi dalam komunikasi sering
terjadi karena tidak saling mempercayai.
Tiga Gaya Tanggapan Dalam Komunikasi
Mengenai
cara seseorang (komunikan) memberikan tanggapan kepada komunikator – dilihat
dari hak untuk mempertahankan kepentingan dan harga dirinya – terdapat tiga
gaya tanggapan, yaitu non asersi, asersi dan agresi.
Asersi
adalah tindakan untuk mempertahankan hak azasi sendiri yang mendasar tanpa
melanggar hak azasi orang lain (Jakubowski-Spector,
1973). Dengan kata lain, asersi adalah gaya tanggapan yang mengakui batas-batas
antara hak individu seseorang dengan hak orang lain dan senantiasa menjaga
batas-batas itu. Oleh karena itu, dalam tanggapan asertif ini terkandung suatu
pengakuan bahwa hak orang lain untuk berbuat salah, namun tiap-tiap orang
berhak memenuhi kebutuhannya sendiri tanpa mengabaikan menolong orang lain.
Ketika salah seorang teman Inem pinjam mobil sport
barunya untuk tamasya, Inem menanggapi secara “asertif” dengan mengatakan:
“Saya memahami kebutuhanmu akan transportasi, tetapi mobil ini terlalu berarti
bagi saya untuk saya pinjamkan”. Inem berhasil memahami hak temannya untuk
meminjam, tetapi juga berhasil mempertahankan haknya sendiri untuk menolak.
Kemudian gaya tanggapan non-asersi menggambarkan ketidak-mampuan
untuk mempertahankan batas antara hak seseorang dengan hak orang lain secara
memuaskan. Gaya tanggapan ini terjadi bilamana seseorang membiarkan batas-batas
haknya dipersempit. Dalam kasus Inem, tanggapan yang bersifat “Non-Asertif”
tentunya akan meminjamkan kendaraannya, karena takut temannya akan menganggap
dirinya picik atau kurang percaya; oleh karena itu ia menyesal mengapa ia tidak
menolak. Jadi dalam hal ini Inem tidak memilih untuk mengatakan tidak.
Adapun
gaya tanggapan agresip terjadi jika seseorang memasuki batas-batas hak individu
orang lain. Dalam kasus Inem ungkapan agresi dapat berbunyi seperti ini: “Tentu
saja tidak!” atau “Kau bercanda !”. Dalam hal ini Inem melanggar hak seseorang
untuk memperoleh penghormatan dan penghargaan.
Pengungkapan Diri dan Jendela Johari
Salah satu upaya untuk menciptakan proses komunikasi yang
efektif adalah dengan keberanian untuk mengungkapkan diri secara terbuka dan
obyektif. Sebagaimana yang dikatakan oleh Ludlow
dan Panton (1996: 9), bahwa dalam menafsirkan informasi, kita lebih melihat
atau mendengar apa yang kita inginkan dari pada menghadapi fakta-fakta
obyektif. Oleh karena itu, penghalang terbesar obyektivitas adalah konsep diri
(self concept), yakni apa yang “kita
ketahui” dalam hubungan kita dengan dunia dan orang lain, dan kita cenderung
menolak informasi yang tampaknya mengancam konsep diri tersebut. Dengan kata
lain, obyektivitas dalam komunikasi akan terganggu manakala terjadi “pembiasan
persepsi” antar pribadi.
Dalam hubungan ini, maka Jendela Johari bermanfaat untuk
mengurangi adanya pembiasan persepsi tersebut. Dari gambar dibawah ini dapat
disimak bahwa ketika kita sedang bersama dan atau berkomunikasi dengan orang
lain, terdapat beberapa unsur dari diri, sikap, perilaku dan kepribadian kita
yang kita sadari dan juga tampak nyata bagi orang lain (bidang TERBUKA). Disisi
lain, orang mungkin mengamati segi-segi kehidupan kita yang tidak kita sadari,
misalnya “nafasnya bau jengkol” (bidang TAK DISADARI).
Disamping itu, kita sering cenderung menjaga beberapa
bagian dari diri, sikap dan perasaan, serta hal-hal pribadi kita dan tidak
membukanya kepada orang lain (bidang TERTUTUP). Sementara seringkali kita
sadari juga bahwa ada beberapa aspek kehidupan yang tidak kita ketahui serta
tidak tampak pula bagi orang lain, akan tetapi sangat mempengaruhi perilaku
kita – misalnya kemarahan yang muncul tanpa sebab (bidang TAK DIKETAHUI).
Pada saat seseorang bertemu dan berkomunikasi untuk
pertama kalinya dengan orang lain, terdapat kecenderungan untuk tidak terlalu
membuka diri, sehingga bidang terbuka
menjadi kecil. Akibatnya, komunikasi menjadi kurang efektif, dan diperlukan
langkah-langkah untuk memperluas bidang
terbuka ini, sekaligus mempersempit bidang
tak disadari dan bidang tertutup.
Hal ini dapat dicapai melalui dua rangkaian aktivitas yang dilakukan dengan
penuh kesadaran, yakni pengungkapan diri dan umpan
balik.
Pengungkapan diri adalah pemberian
informasi mengenai diri kita secara cuma-cuma kepada orang lain dan bermanfaat
untuk memperkecil bidang tak disadari.
Sementara umpan balik adalah tanggapan dari orang lain yang bermanfaat untuk
memperkecil bidang tak disadari.
LATIHAN KASUS 1
APAKAH
ANDA TERBUKA DALAM BERKOMUNIKASI?
Untuk menghancurkan kendala-kendala dalam pengungkapan
diri dan dalam penerimaan umpan balik dari orang lain; mengenal dengan lebih
tepat citra diri Anda dan pembiasan persepsi dengan membagi informasi kepada
orang lain; Anda diminta untuk mengerjakan latihan (permainan) dibawah ini
dengan petunjuk sebagai berikut.
1.
Bentuklah
suatu kelompok kecil (! 5 orang). Masing-masing anggota kelompok membawa
sebatang pensil dan beberapa lembar kertas (sesuai dengan jumlah anggopta
kelompok). Pada bagian atas setiap kertas tadi, tuliskan nama anggota kelompok
(termasuk nama sendiri).
2.
Masing-masing
orang lalu menulis pada kertas yang telah tersedia:
a.
5 (lima)
kebiasaan atau sikap yang positif (kekuatan)
b.
5 (lima)
kebiasaan atau sikap yang negatif (kelemahan)
3.
Lembaran-lembaran
yang telah berisi tulisan tersebut lalu dibagikan kepada masing-masing anggota
sesuai dengan nama yang tertera di bagian atas kertas tersebut.
4.
Kemudian
setiap anggota menurut gilirannya membacakan dengan keras:
a.
Persepsi
orang lain tentang dirinya (bila perlu dapat meminta penjelasan).
b. Persepsinya
tentang diri sendiri.
5.
Kelompok
lalu mendiskusikan pernedaan-perbedaan persepsi yang muncul serta
sebab-sebabnya (khususnya dilihat dari aspek komunikasi).
LATIHAN KASUS 2
BAGAIMANA
ANDA MENANGGAPI SIKAP
ATASAN DAN BAWAHAN?
1.
Anda
telah membuat kesalahan dalam pekerjaan. Atasan Anda telah mengetahuinya dan
menegur Anda agak kasar agar tidak ceroboh. Bagaimana Anda menanggapinya?
2.
Salah
seorang bawahan Anda telah datang terlambat selama tiga atau empat hari
berturut-turut. Bagaimana tanggapan Anda terhadap bawahan ini?
3.
Atasan
Anda selalu memanggil Anda di kantor untuk alasan yang kurang penting, pada
saat Anda sedang berusaha menyelesaikan pekerjaan yang sangat mendesak. Bagaimana
tanggapan Anda terhadap hal ini?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar