Secara pribadi, saya menilai
bahwa buku ini cukup bagus dan sangat aktual. Artinya, banyak buku yang
membahas tentang konflik sosial secara teoretis, namun belum ada yang
menerapkannya dalam kasus-kasus empirik. Oleh karena itu, buku ini bisa menjadi
dokumentasi bagus tentang pola-pola gerakan / aksi / protes sosial, dalam
kaitan dengan perubahan sistem politik dan pemerintahan di tingkat lokal.
Meskipun demikian, harus diakui bahwa buku ini juga tidak lepas dari berbagai
kekurangan.
Salah
satu kekurangan mendasar itu, menurut saya, adalah terlalu fokusnya buku ini
terhadap pendekatan sosiologis sehingga cenderung mengabaikan faktor-faktor
politik dan kepemerintahan. Padahal, untuk memahami perubahan sosial yang
sedang berlangsung saat ini, pendekatan sosiologis saja tidaklah cukup.
Akibatnya, buku ini memang menjadi kurang komprehensif. Sebagai contoh, latar
belakang kondisi politik nasional menjelang 1998 (runtuhnya Soeharto) tidak
menjadi perhatian (concern) dari buku ini. Padahal, pengaruh gejolak
politik di level Pusat terhadap munculnya gejolak politik lokal sangatlah
besar. Keberanian masyarakat untuk melawan rejim nasional (Orde Baru) yang
berkuasa saat itu, telah memberi semangat, inspirasi dan legitimasi terhadap
kelompok-kelompok lokal untuk melancarkan aksi perlawanan di tingkat lokal
pula. Itulah sebabnya, gerakan sosial di daerah selalu mengikuti (tidak
mendahului) gerakan di tingkat pusat. Demikian pula, pola-pola, tujuan, metode
dan jargon yang digunakan dalam aksi sosial di daerah merupakan tiruan
(replikasi) dari pola-pola, tujuan, metode dan jargon aksi sosial di tingkat
atasnya.
Buku ini juga mengabaikan pentingnya perubahan sistem
pemerintahan daerah sebagai dampak dari reformasi politik saat itu. Sebagai
contoh, pergantian UU Nomor 5 tahun 1974 menjadi UU Nomor 22 tahun 1999
sesungguhnya telah mendorong demokratisasi di tingkat akar rumput. Namun
sayangnya, hal ini tidak mendapat porsi yang memadai di buku tersebut.
Mestinya, buku ini mampu menjawab pertanyaan: “Mengapa pada masa berlakunya
UU 5 tahun 1974 tidak pernah terjadi protes sosial dalam skala besar terhadap
Kepala Daerah / Wilayah, sedangkan sejak pemberlakuan UU 22 tahun 1999 yang
jauh lebih demokratis, protes sosial justru menjadi lazim?”.
Sekali
lagi saya ingin menggarisbawahi bahwa antara protes sosial dengan perubahan
sistem politik dan pemerintahan terkandung hubungan yang sangat kuat. Oleh
karena itu, buku ini harus menganalisis pula kondisi-kondisi dan implikasi dari
perubahan sistem politik dan pemerintahan tersebut.
Hal lain yang dapat saya
kritisi adalah bahwa menurut saya buku ini lebih memandang demokrasi dalam
artian transformasi dari pada sebagai proses konsolidasi. Itulah
sebabnya, proses demokratisasi di Indonesia (khususnya di daerah
sample / survei) selalu dipersepsi sebagai proses transisi. Padahal, telah
banyak kebijakan yang ditempuh untuk mengkonsolidasikan demokrasi. Di tingkat
nasional, beberapa kebijakan itu antara lain: 1) amandemen konstitusi yang
ditindaklanjuti dengan penerbitan UU No. 22, 25, dan 28 tahun 1999, 2)
pembentukan lembaga-lembaga advokasi seperti Komnas HAM, Komisi Ombudsman
Nasional, 3) penggantian paket UU Bidang Politik, dsb. Sementara itu, beberapa
kelompok masyarakat juga mendukung proses demokrasi dengan mendirikan beberapa
LSM yang mengawasi kiprah pemerintah, seperti Parliament Watch, Government
Watch, Media Watch, Human Rights Watch, Corruption Watch, dan berbagai Watch
yang lain. Di tingkat daerah, meskipun terdapat kebijakan yang berbeda, namun
langkah-langkah untuk mengkonsolidasikan demokrasi juga telah ditempuh.
Oleh
karena hanya bicara tentang proses transisi (transformasi) demokrasi yang
berimplikasi pada merebaknya gelombang aksi sosial, akan muncul kesan bahwa
protes-protes sosial di daerah tersebut merupakan bentuk kegagalan konsolidasi
demokrasi lokal. Faktanya, demokrasi di Indonesia sering diikuti oleh munculnya
konflik di berbagai daerah, baik vertikal (antara pemerintah dengan
masyarakat) seperti Bantul, Banyuwangi dan Banyumas, maupun horisontal (antar
kelompok masyarakat) seperti Sampit / Sambas, Poso / Palu, Aceh, dsb. Untuk
itu, sekali lagi, perlu ditambahkan analisis tentang proses konsolidasi
demokrasi dalam konstelasi politik lokal beserta tingkat keberhasilan dan
kendala-kendala yang dihadapi.
Buku ini mengindikasikan bahwa
protes sosial merupakan salah satu alat untuk mencapai tujuan reformasi
politik. Namun nampaknya, teori-teori protes sosial dan reformasi politik yang
dibangun dalam buku ini tidak mudah untuk diimplementasikan untuk kasus Indonesia .
Penyebabnya adalah, “protes sosial” dan “reformasi politik” di Indonesia lebih
dimaknai sebagai dua variabel yang berdiri sendiri dan tidak saling berhubungan
dan / atau mempengaruhi. Buktinya, sebagian besar protes sosial langsung
berhenti ketika Bupati (untuk level daerah) atau Presiden (untuk level pusat)
lengser. Kalaupun masih ada gerakan sosial, sasarannya adalah untuk
menumbangkan pejabat baru yang menggantikan Bupati / Presiden sebelumnya.
Dengan kata lain, protes sosial tidak benar-benar ditujukan untuk membangun
tatanan politik yang lebih baik. Dan jika memang demikian, maka bisa dikatakan
bahwa teori-teori diatas telah gagal dalam menjelaskan fenomena Indonesia .
Oleh karena buku ini merupakan
studi perbandingan tiga daerah, alangkah baiknya jika variabel dan indikator
yang diteliti juga sama, kemudian dituangkan dalam satu tabel sehingga mudah
dibandingkan (lihat contoh). Variabel penelitian dapat dikategorikan misalnya
dalam tiga kelompok: Geografis, Ekonomis-Sosiologis dan Politis. Selanjutnya,
ketiga variabel tadi perlu dijabarkan lebih rinci dalam indikator-indikator
yang diyakini memiliki korelasi dengan gerakan sosial. Misalnya, masyarakat
pesisir (Banyuwangi) cenderung memiliki sifat terbuka, egaliter dan toleran,
yang menyebabkan mereka lebih peka terhadap sikap penguasa yang dianggap arogan
dan tidak berpihak pada rakyat kecil. Sebaliknya, masyarakat pedalaman yang
mendapat pengaruh budaya feodal kraton lebih bersifat pasrah terhadap setiap
kebijakan penguasa. Dalam hal demikian, protes sosial di Bantul mestinya lebih
rendah dari pada di Banyuwangi. Banyak kasus yang bisa diungkap melalui
penglihatan secara mendalam terhadap indikator tertentu. Intinya, setiap
variabel dan indikator perlu dibandingkan dan dianalisis untuk menentukan
variabel / indikator mana yang berpengaruh secara dominan di suatu daerah
terhadap protes sosial.
Sayangnya,
dalam buku ini tidak ada penonjolan terhadap karakteristik daerah dan
hubungannya dengan pola, skala, dan intensitas konflik / protes sosial. Oleh
karena tidak ada analisis korelatif seperti ini, maka uraian tentang deskripsi
wilayah (Bab II) menjadi kurang relevan. Terakhir, saya berpendapat bahwa buku
ini memang memerlukan pendalaman, penajaman dan revisi dalam beberapa hal;
namun saya pikir buku ini tetap layak untuk diterbitkan.
Februari
2003.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar