Jumat, 01 Oktober 2010

Bedah Buku: “Menggoyang Sang Bupati: Protes Sosial dan Reformasi Politik Lokal di Tiga Wilayah Jawa”


Secara pribadi, saya menilai bahwa buku ini cukup bagus dan sangat aktual. Artinya, banyak buku yang membahas tentang konflik sosial secara teoretis, namun belum ada yang menerapkannya dalam kasus-kasus empirik. Oleh karena itu, buku ini bisa menjadi dokumentasi bagus tentang pola-pola gerakan / aksi / protes sosial, dalam kaitan dengan perubahan sistem politik dan pemerintahan di tingkat lokal. Meskipun demikian, harus diakui bahwa buku ini juga tidak lepas dari berbagai kekurangan.

Salah satu kekurangan mendasar itu, menurut saya, adalah terlalu fokusnya buku ini terhadap pendekatan sosiologis sehingga cenderung mengabaikan faktor-faktor politik dan kepemerintahan. Padahal, untuk memahami perubahan sosial yang sedang berlangsung saat ini, pendekatan sosiologis saja tidaklah cukup. Akibatnya, buku ini memang menjadi kurang komprehensif. Sebagai contoh, latar belakang kondisi politik nasional menjelang 1998 (runtuhnya Soeharto) tidak menjadi perhatian (concern) dari buku ini. Padahal, pengaruh gejolak politik di level Pusat terhadap munculnya gejolak politik lokal sangatlah besar. Keberanian masyarakat untuk melawan rejim nasional (Orde Baru) yang berkuasa saat itu, telah memberi semangat, inspirasi dan legitimasi terhadap kelompok-kelompok lokal untuk melancarkan aksi perlawanan di tingkat lokal pula. Itulah sebabnya, gerakan sosial di daerah selalu mengikuti (tidak mendahului) gerakan di tingkat pusat. Demikian pula, pola-pola, tujuan, metode dan jargon yang digunakan dalam aksi sosial di daerah merupakan tiruan (replikasi) dari pola-pola, tujuan, metode dan jargon aksi sosial di tingkat atasnya.

Buku ini juga mengabaikan pentingnya perubahan sistem pemerintahan daerah sebagai dampak dari reformasi politik saat itu. Sebagai contoh, pergantian UU Nomor 5 tahun 1974 menjadi UU Nomor 22 tahun 1999 sesungguhnya telah mendorong demokratisasi di tingkat akar rumput. Namun sayangnya, hal ini tidak mendapat porsi yang memadai di buku tersebut. Mestinya, buku ini mampu menjawab pertanyaan: “Mengapa pada masa berlakunya UU 5 tahun 1974 tidak pernah terjadi protes sosial dalam skala besar terhadap Kepala Daerah / Wilayah, sedangkan sejak pemberlakuan UU 22 tahun 1999 yang jauh lebih demokratis, protes sosial justru menjadi lazim?”.

Ada dua kemungkinan jawaban terhadap pertanyaan diatas yang juga tidak dipertimbangkan dalam buku ini. Pertama, dalam UU Pemda 1974, Bupati / Walikota diberi kekuasaan sangat besar sebagai “Penguasa Tunggal” di daerah, sehingga mematikan fungsi dari sistem perwakilan (DPRD) dan membatasi partisipasi langsung masyarakat. Kedua, adanya pasal-pasal karet dalam UU Subversif serta hartzaai artikelen (pasal-pasal tentang penyebaran rasa kebencian) dalam KUHP (Kitab UU Hukum Pidana) yang dengan mudah diterapkan untuk gerakan-gerakan yang menentang kebijakan pemerintah. Sistem “Penguasa Tunggal” sudah dihapus dalam UU Pemda yang baru (1999), sementara hartzaai artikelen juga sudah makin dibatasi semenjak era reformasi. Perubahan sistem pemerintahan daerah ini memiliki korelasi terhadap maraknya aksi sosial dua bentuk alternatifnya. Pertama, UU Nomor 22 tahun 1999 memicu berkembangnya aksi sosial. Kedua, oleh karena UU Nomor 22 tahun 1999 jauh lebih demokratis, seharusnya ia mampu menyediakan saluran-saluran demokrasi untuk rakyat sehingga dapat menekan gejolak-gejolak sosial tadi.

Sekali lagi saya ingin menggarisbawahi bahwa antara protes sosial dengan perubahan sistem politik dan pemerintahan terkandung hubungan yang sangat kuat. Oleh karena itu, buku ini harus menganalisis pula kondisi-kondisi dan implikasi dari perubahan sistem politik dan pemerintahan tersebut.

Hal lain yang dapat saya kritisi adalah bahwa menurut saya buku ini lebih memandang demokrasi dalam artian transformasi dari pada sebagai proses konsolidasi. Itulah sebabnya, proses demokratisasi di Indonesia (khususnya di daerah sample / survei) selalu dipersepsi sebagai proses transisi. Padahal, telah banyak kebijakan yang ditempuh untuk mengkonsolidasikan demokrasi. Di tingkat nasional, beberapa kebijakan itu antara lain: 1) amandemen konstitusi yang ditindaklanjuti dengan penerbitan UU No. 22, 25, dan 28 tahun 1999, 2) pembentukan lembaga-lembaga advokasi seperti Komnas HAM, Komisi Ombudsman Nasional, 3) penggantian paket UU Bidang Politik, dsb. Sementara itu, beberapa kelompok masyarakat juga mendukung proses demokrasi dengan mendirikan beberapa LSM yang mengawasi kiprah pemerintah, seperti Parliament Watch, Government Watch, Media Watch, Human Rights Watch, Corruption Watch, dan berbagai Watch yang lain. Di tingkat daerah, meskipun terdapat kebijakan yang berbeda, namun langkah-langkah untuk mengkonsolidasikan demokrasi juga telah ditempuh.

Oleh karena hanya bicara tentang proses transisi (transformasi) demokrasi yang berimplikasi pada merebaknya gelombang aksi sosial, akan muncul kesan bahwa protes-protes sosial di daerah tersebut merupakan bentuk kegagalan konsolidasi demokrasi lokal. Faktanya, demokrasi di Indonesia sering diikuti oleh munculnya konflik di berbagai daerah, baik vertikal (antara pemerintah dengan masyarakat) seperti Bantul, Banyuwangi dan Banyumas, maupun horisontal (antar kelompok masyarakat) seperti Sampit / Sambas, Poso / Palu, Aceh, dsb. Untuk itu, sekali lagi, perlu ditambahkan analisis tentang proses konsolidasi demokrasi dalam konstelasi politik lokal beserta tingkat keberhasilan dan kendala-kendala yang dihadapi.

Buku ini mengindikasikan bahwa protes sosial merupakan salah satu alat untuk mencapai tujuan reformasi politik. Namun nampaknya, teori-teori protes sosial dan reformasi politik yang dibangun dalam buku ini tidak mudah untuk diimplementasikan untuk kasus Indonesia. Penyebabnya adalah, “protes sosial” dan “reformasi politik” di Indonesia lebih dimaknai sebagai dua variabel yang berdiri sendiri dan tidak saling berhubungan dan / atau mempengaruhi. Buktinya, sebagian besar protes sosial langsung berhenti ketika Bupati (untuk level daerah) atau Presiden (untuk level pusat) lengser. Kalaupun masih ada gerakan sosial, sasarannya adalah untuk menumbangkan pejabat baru yang menggantikan Bupati / Presiden sebelumnya. Dengan kata lain, protes sosial tidak benar-benar ditujukan untuk membangun tatanan politik yang lebih baik. Dan jika memang demikian, maka bisa dikatakan bahwa teori-teori diatas telah gagal dalam menjelaskan fenomena Indonesia.

Oleh karena buku ini merupakan studi perbandingan tiga daerah, alangkah baiknya jika variabel dan indikator yang diteliti juga sama, kemudian dituangkan dalam satu tabel sehingga mudah dibandingkan (lihat contoh). Variabel penelitian dapat dikategorikan misalnya dalam tiga kelompok: Geografis, Ekonomis-Sosiologis dan Politis. Selanjutnya, ketiga variabel tadi perlu dijabarkan lebih rinci dalam indikator-indikator yang diyakini memiliki korelasi dengan gerakan sosial. Misalnya, masyarakat pesisir (Banyuwangi) cenderung memiliki sifat terbuka, egaliter dan toleran, yang menyebabkan mereka lebih peka terhadap sikap penguasa yang dianggap arogan dan tidak berpihak pada rakyat kecil. Sebaliknya, masyarakat pedalaman yang mendapat pengaruh budaya feodal kraton lebih bersifat pasrah terhadap setiap kebijakan penguasa. Dalam hal demikian, protes sosial di Bantul mestinya lebih rendah dari pada di Banyuwangi. Banyak kasus yang bisa diungkap melalui penglihatan secara mendalam terhadap indikator tertentu. Intinya, setiap variabel dan indikator perlu dibandingkan dan dianalisis untuk menentukan variabel / indikator mana yang berpengaruh secara dominan di suatu daerah terhadap protes sosial.

Sayangnya, dalam buku ini tidak ada penonjolan terhadap karakteristik daerah dan hubungannya dengan pola, skala, dan intensitas konflik / protes sosial. Oleh karena tidak ada analisis korelatif seperti ini, maka uraian tentang deskripsi wilayah (Bab II) menjadi kurang relevan. Terakhir, saya berpendapat bahwa buku ini memang memerlukan pendalaman, penajaman dan revisi dalam beberapa hal; namun saya pikir buku ini tetap layak untuk diterbitkan.

Februari 2003.

Tidak ada komentar: