Hari
ini kami memulai kegiatan Studi Lapangan sebagai bagian dari aktualisasi
pembelajaran terhadap tiga kajian yang telah kami selesaikan, yakni Kajian
Paradigma, Kajian Kebijakan Publik, dan Kajian Manajemen Strategis. Dengan
aktualisasi ini, peserta dituntut mampu mengimplementasikan secara terpadu
teori/konsep yang telah dipelajari, dan mengkaitkannya dengan tema diklat.
Lokus SL adalah Provinsi Kalimantan Selatan dengan sub-lokus Kota Banjarmasin,
Kabupaten Banjar Baru, dan Kabupaten Tanah Laut, dan akan memakan waktu selama
6 hari, termasuk perjalanan pergi dan pulang.
Dalam
rangkaian SL nantinya, kami akan mengunjungi beberapa instansi untuk melakukan audiensi
yang dilanjutkan dengan pengumpulan data, baik melalui wawancara maupun
eksplorasi data sekunder dan tersier (jika diperlukan). Kami juga harus
melakukan pengolahan dan analisis data, pelaporan dan penyajian dalam bentuk slide tayangan, serta mempresentasikan
hasil di depan nara sumber terpilih. Semuanya ini harus kami selesaikan hanya
dalam waktu empat hari, sebuah target ambisius yang kurang realistis, atau
sebuah mission impossible. Namun kami
sedang dilatih untuk memungkinkan segala yang tidak mungkin, membisakan yang
tidak bisa, membiasakan yang tidak biasa, dan memastikan sesuatu yang tidak
pasti.
Sebagai
seorang peneliti, sesungguhnya bagi saya aktivitas seperti diatas tidaklah
asing, bahkan dapat dikatakan sudah menjadi makanan sehari-hari. Sayapun cukup
terbiasa dengan kerja model Sangkuriang yang menciptakan telaga atau Bandung
Bondowoso yang menciptakan 1000 candi (dikenal dengan Candi Prambanan atau
Candi Rara Jonggrang) hanya dalam satu malam. Maka, urusan SL tidaklah
menggelisahkan saya setitikpun.
Namun,
ada sesuatu yang sedikit membuat saya setengah hati menjalaninya, yakni
keharusan meninggalkan istri di rumah yang sedang dalam keadaan hamil tua.
Status saya saat ini bukan hanya peserta Diklatpim II, namun lebih-lebih adalah
suami Siaga, yang harus siap 24 jam secara lahir batin, jasmani rohani, dan
materiil maupun immaterial untuk menjaga, mengawal, dan melayani sepenuhnya apapun
masalah dan kebutuhan istri. Jika saja SL dan Diklatpim II bukan kewajiban
organisasi yang harus saya tunaikan dengan sepenuh hati pula, tentu saya akan
memilih menjaga dan melayani istri. Akan tetapi, profesi sebagai PNS dan LAN
sebagai wadah pengabdian adalah pilihan hidup yang sudah saya tetapkan dengan
penuh kesadaran lebih dari 17 tahun lalu. Demikian pula, istri yang saya nikahi
adalah pilihan hidup yang saya ambil melalui olah jiwa yang mendalam dan
penyerahan diri secara total kepada Yang Maha Kuasa.
Maka,
SL tetap harus saya jalani, sementara nasib istri saya titipkan dan kembalikan
lagi kepada Sang Pencipta Yang Maha Pelindung. Perlindungan seorang suami
terhadap istrinya, tidak setitikpun sebanding dengan perlindungan-Nya.
Kebahagiaan seorang istri bersama suaminya, tidak berarti sedikitpun dibanding
kebahagiaan yang dianugerahkan Allah. Dengan meyakini hal tersebut, maka saya
putuskan mengikuti SL sebagai wujud “jihad” saya kepada Yang Maha Penggenggam
hati sanubari manusia dan alam semesta. Apapun yang akan terjadi terhadap saya
dan istri saya, bahkan juga anak-anak saya, sepenuhnya kami (saya dan istri)
yakini sebagai kebaikan untuk dunia dan akherat kami. Oleh karena saya meyakini
bahwa saya tengah berjihad, maka saya berusaha tidak setengah-setengah
menjalani tugas ini. Selain harus fokus memimpin kelompok Ketatalaksanaan, saya
juga harus mengurus kelas dari sisi akademis, seperti distribusi bahan,
sinkronisasi instrumen dan alat analisis, dan sebagainya. Entah kenapa, ketika
kita sudah membulatkan tekad, tidak pernah datang kesempatan untuk
bersantai-santai.
Ketika
partisipasi dalam SL saya maknai sebagai jihad, maka demikian pula adanya
dengan istri tercinta saya. Ketika tidur tak lagi nyaman; ketika berjalan sudah
sedemikian berat dan kakipun membengkak; ketika makan menjadi moment yang dilematis antara rasa eneg dengan keharusan mencukupi nutrisi
bayi janin; ketika bernafas sering tersengal-sengal karena desakan si jabang
bayi ke ulu hati atau ke seluruh penjuru kandungan; ketika rasa sakit atau kram
sering datang secara mendadak, ketika mental tiba-tiba melemah dan hati merasa
gundah gulana … semuanya adalah jihad yang tak terperi untuk seorang wanita dan
seorang istri, khususnya saat mengandung makhuk Allah yang masih suci dan baru
saja mengadakan “kontrak” dengan-Nya di Lauhul Mahfudz. Saya yakinkan
berkali-kali bahwa setiap saat hal-hal tersebut terjadi, sesungguhnya saat itu
pulalah Allah akan menggantinya dengan gugurnya dosa-dosa, berlipatnya pahala, dan
berlimpahnya ridho. Sebagaimana sering saya baca di berbagai sumber, wanita
yang hamil akan mendapat pahala berpuasa pada siang hari dan pahala
beribadat pada malam hari. Sementara saat
persalinan, ia akan mendapat pahala 70 tahun solat dan puasa, dan setiap rasa sakit
pada satu uratnya Allah akan mengaruniakan satu pahala haji. Insya Allah.
Ini
bukanlah penghibur dari sebuah kondisi berat yang tengah kami alami; ini adalah
keyakinan yang menghunjam dalam hingga menembus wilayah keimanan. Ketika kita
yakin, percaya, dan mengimani sepenuhnya hal tersebut, dan ketika kita terus
memelihara prasangka baik kepada Yang Maha Perkasa, maka akan terjadilah
kenyataan. Dalam istilah duniawi, ini adalah hukum keyakinan (the power of believe) yang berbunyi: What you get is what you believe (apa
yang akan kamu peroleh adalah apa yang kamu yakini). Apalagi Allah sendiri
sudah memberi jaminan bahwa ‘ud uni
astajib lakum dan kun fayakun.
Maka, kekuatan mana lagi yang akan menenteramkan jiwa kita selain kekuatan-Nya?
Maha Suci Allah yang sedemikian bermurah hati kepada hamba-Nya, yang sedemikian
besar kasih sayang-Nya, yang sedemikian luas membuka pintu-pintu rahmat-Nya.
Ketika
perjuangan istri saya maknai sebagai jihad, sesungguhnya anak-anak sayapun
tengah berjihad. Meski mereka seperti tidak terpengaruh dengan situasi yang
tengah dihadapi kedua orang tuanya, namun tetap saja mereka telah berkorban
diri dengan tidak mendapat perhatian sepenuhnya dari ayah ibunya. Contoh kecil
saja, anak saya yang terkecil selalu menciumi ketiak saya sebelum tidur. Dia
mengatakan bahwa ketiak bapaknya beraroma coklat yang sebelah kanan dan
strawberry yang sebelah kiri. Setiap kali saya harus meninggalkan rumah, setiap
kali itu pula ia harus “berpuasa”. Demikian pula saat ia merengek ingin
dimandikan oleh ibunya, saat itu pula ia harus rela dimandikan oleh pembantu,
yang tentu saja, tidak disertai dengan belaian lembut penuh kasih sayang.
Anak-anak
saya yang pertama dan keduapun terkena imbas. Seringkali mereka harus memijit
kaki ibunya kapan saja dibutuhkan. Mereka juga harus siap sedia mengambilkan
kebutuhan tertentu, atau harus memandikan dan memakaikan baju adiknya secara
bergantian. Bahkan tidak jarang mereka menyiapkan makanan sendiri. Untuk usia
10 dan 9 tahun, merebus nasi, membuat telor ceplok, atau merebus mie sendiri,
dan kadang-kadang diselingi dengan tugas menyapu dan membersihkan kamar
sendiri, jelas sebuah efforts yang
luar biasa.
Last but not
least,
dua jabang bayi kembar yang ada dalam kandungan istri, saya yakin juga tengah
menjalani jihadnya. Sempitnya rongga perut tentu akan membuat mereka saling
berdesakan dan menuntut mereka berkompromi untuk tidak saling dorong, saling
sikut atau saling tendang. Dengan kata lain, mereka sudah mengembangkan sikap
toleransi dan empati pada usia yang masih teramat dini. Dan semakin besar usia
kandungan, semakin besarlah pertumbuhan mereka, dan otomatis semakin sempitlah
ruang gerak mereka. Dalam keadaan seperti itu, Alhamdulillah mereka tetap
sabar, tetap kompak satu sama lain, dan tetap bertahan hingga saatnya kelak
dilahirkan.
Maka,
melalui jurnal ini saya ingin menyampaikan terima kasih yang tak terhingga
untuk istri dan anak-anakku, juga untuk calon anakku yang Insya Allah sebentar
lagi akan melihat indahnya alam dunia. Hanya rasa cinta yang bisa saya berikan
untuk kalian semua, disertai doa semoga Allah melanggengkan rasa cinta di
antara kita hingga kelak kita berkumpul bersama lagi di surga-Nya. Marilah kita
jalani kehidupan ini dengan sabar, saling percaya, sambil terus saling
mengingatkan dan menyuburkan kasih sayang diantara kita.
Program
Diklatpim yang saya ikuti mengharuskan saya dan anak-anak dan istri untuk
“berjihad”. SL telah menghasilkan trade-off
bagi keluarga saya. Meskipun terasa berat, namun rasa syukur harus
mengalahkan beratnya cobaan, dan the show
must go on! Hadapi saja hidup ini dengan senyum, syukur, dan semangat (3S).
Mengakhiri jurnal ini, tiba-tiba saya teringat lagu lawas dari Koes Plus …
Jo padha nelangsa, jamane jaman rekasa …
Urip pancen angel, kudune ra usah ngomel …
Ati kudu tentrem, nyambut gawe karo seneng …
Ulat aja peteng, yen dikongkon yo sing temen.
Kampus
Pejompongan Jakarta
Minggu,
7 Agustus 2011