Minggu, 21 Agustus 2011

Antara Tugas Dinas dan Ibadah Keagamaan


Mengikuti Diklatpim II selama bulan Ramadhan mengandung pergulatan batin yang tidak akan ditemui diluar bulan suci umat Islam ini. Pergulatan itu adalah antara keinginan untuk mengisi bulan puasa dengan ibadah-ibadah tambahan seperti shalat tarawih, I’tikaf (berdiam diri di masjid), membaca surat-surat suci Al-Quran, dan sebagainya. Maklumnya, pahala ibadah sunah selama bulan Ramadhan disamakan dengan pahala ibadah wajib, sementara ibadah wajib dilipat gandakan pahalanya.  

Namun, apakah hal tersebut dapat menjadi pembenar bagi kita untuk meninggalkan kewajiban dalam program diklat? Pantaskah kita mengatakan bahwa tugas-tugas selama diklat hanyalah urusan dunia belaka yang tidak penting karena tidak akan kita bawa mati? Bukankah Islam mengajarkan keseimbangan antara urusan dunia dan akherat? Bukankah urusan dunia adalah ladang untuk bekal menuju akherat?  

Terus terang saya sering merasa iri dengan orang-orang yang berpandangan seperti itu. Mereka begitu gampangnya meninggalkan kelompok dengan dalih ibadah. Sayapun ingin sekali rasanya meninggalkan kelompok dan bertafakur khidmat dalam sujud dan doa kepada-Nya. Tapi terus terang, saya tidak bisa dan tidak tega. Ketika saya membayangkan untuk meninggalkan kelompok, saya merasa seperti seorang pejuang yang mundur sebelum sampai di medan perang. Saya seperti seorang pecundang yang takut gagal dengan mencari segudang alasan. Saya seperti seorang yang mau berbuat namun tidak mau menerima akibat. Maka, akhirnya saya putuskan bahwa saya tidak akan pernah meninggalkan kelompok. Bahkan saya pernah bekerja seorang diri pada saat SL di Kalsel untuk memilah-milah jawaban kuesioner dari para responden, untuk didistribusikan kepada kelompok masing-masing. Kenyataannya, saat itu semua angkat tangan dan tidak ada satupun yang menyentuh dokumen tersebut!  

Konsekuensinya jelas, saya kehilangan kesempatan untuk duduk termenung memikirkan soal kematian, soal dosa yang menggunung, soal pengakuan dosa dan pertaubatan, soal muhasabah untuk memperbaiki diri, dan sebagainya dan seterusnya. Ironisnya, ketika saya melakukan urusan “duniawi” tadi, ada saja teman yang menasihati agar saya tidak terlalu memikirkan urusan duniawi. Bukankah apa yang saya lakukan adalah juga urusan yang mereka tinggalkan? Saya yakin benar bahwa merkapun sadar bahwa apa yang saya kerjakan bukanlah semata-mata urusan pribadi saya. Namun tetap saja mereka merasa sebagai orang suci yang sedang meluruskan jalan seorang pendosa. 

Pengalaman ini terus berjalan sejak tahap Studi Lapangan hingga penulisan akhir KKT Kelompok dan KKT Kelas. Dan pengalaman seperti inilah yang saya katakan menimbulkan pergulatan batin. Untunglah bahwa saya mampu mengendalikan emosi untuk tidak membalikkan omongan sok suci dari seseorang. Saya juga menilai diri saya beruntung tetap dapat mengerjakan tugas-tugas kelompok meski dalam dasar hati sering berontak dan protes keras dengan sikap egois beberapa teman. Lebih dari itu, saya juga merasa beruntung bahwa saya memiliki pemahaman yang saya pegang teguh bahwa meskipun saya sedang mengerjakan urusan duniawi, namun nilai ibadahnya tidak kalah dengan ibadah teman-teman lain. Sebab, bagi saya ibadah bukanlah urusan ritual belaka, namun lebih kepada pemberian makna kebaikan dan ketulusan terhadap apapun yang kita lakukan, disertai dengan harapan bahwa apapun yang kita lakukan akan memberi kemudahan dan kemanfaatan bukan hanya bagi diri pribadi kita, namun juga bagi kelompok yang lebih luas. 

Dengan kata lain, saya mencoba tidak membuat dikotomi antara tugas kedinasan (termasuk tugas mengikuti Diklatpim) dengan ibadah keagamaan. Keduanyapun dapat menjadi ibadah tergantung kepada niat kita: tugas kedinasan adalah ibadah dalam dimensi horizontal, sedangkan ibadah keagamaan lebih pada dimensi vertikal. Saya sering mendengar ceramah bahwa tugas-tugas sosial kadang lebih penting dibanding ibadah ritual. Kisah-kisah tentang seorang anak sholeh yang sulit melewati sakaratul maut karena belum ada maaf dari Ibunya, atau kisah seorang yang memberi minum anjing yang kehausan, atau kisah Khalifah Umar yang memanggul beras untuk rakyatnya, dan sebagainya, adalah sedikit contoh betapa kita harus memperhatikan dimensi horizontal selama hidup di dunia. Penyakit bangsa kita adalah kesolehan individu yang tidak pernah menjelma menjadi kesolehan sosial, karena setiap individu lebih mementingkan dimensi vertikalnya. Maka, keduanya haruslah seimbang, sebagaimana keseimbangan sistem tata surya dalam alam semesta raya ini. 

Kampus Pejompongan Jakarta
Jumat, 19 Agustus 2011

2 komentar:

Anonim mengatakan...

Saya menikmati paparan Anda. Sementara ini saya hanya dapat mengatakan terima kasih atas pencerahannya

Tri Widodo W Utomo mengatakan...

makasih byk atas komen dan apresiasinya. jika ada yg bisa saya bantu, tentu dengan senang hati akan saya lakukan. namun alangkah indahnya jika anda mau membuka identitas agar silaturahmi kita bisa terjalin lebih dekat. thanks again.