Sabtu, 13 Agustus 2011

Alumni Sebagai Institutional Resources


Bagaimana perasaan kita jika usaha kita terus menuai hasil dan keuntungan yang melimpah? Apa yang kita rasakan ketika asset dan sumber daya kita terus berkembang? Dari sudut pandang spiritualisme, minimal kita layak memanjatkan syukur dan akan merasa senang atau nikmat yang terus bertambah. Namun dari sudut pandang manajemen, senang dan bersyukur saja tidaklah cukup. Kita masih dituntut untuk mengolah resources yang melimpah tadi menjadi modal untuk menghasilkan resources yang lebih lebih banyak lagi, dan begitu seterusnya membentuk siklus pengembangan sumber daya. 

Apa hubungannya dengan LAN, khususnya Diklatpim II? Disadari atau tidak, LAN memiliki resources yang terus bertambah dengan sendirinya hanya dari pelaksanaan tupoksi rutinnya. Asset atau sumber daya tadi tidak berupa keuntungan finansial atau asset fisik, melainkan sesuatu yang memiliki nilai jauh melampaui asset fisik dan keuangan. Sumber daya itu adalah alumni diklat. Saya bahkan berani menyebut bahwa alumni adalah sumber daya organisasi (institutional resources) yang terpenting, dengan beberapa alasan. 

Pertama, semakin banyak alumni identik dengan semakin luasnya networking. Networking sendiri merupakan kunci untuk membangun koordinasi dan sinergi lintas instansi. Ketika kita memiliki keperluan dengan kementerian tertentu, dapat dipastikan jalur networking alumni akan jauh efektif dibanding jalur formal melalui pengiriman surat, pendisposisian, pengagendaan, penjadualan pertemuan, dan seterusnya. Dengan kata lain, hubungan antar pejabat berubah dari pola yang formal dan kaku menjadi pola yang cair dan personal. Networking yang optimal juga akan memperlancar arus informasi antar instansi, yang berarti pula mempercepat proses pengambilan keputusan.  

Kedua, alumni dapat diibaratkan anggota keluarga yang terus berkembang. Diantara anggota keluarga biasanya terbentuk ikatan emosional dan kepedulian yang sangat kuat, sehingga membentuk solidaritas yang kokoh. Itulah sebabnya, anggota keluarga yang sukses akan berusaha mengangkat anggotanya yang belum sukses, atau selalu rela dan ikhlas dalam membesarkan keluarga besarnya. Namun, manakala ikatan emosional antara seseorang dengan keluarganya tidak terbentuk, maka orang tersebut dapat dipastikan tidak akan peduli dengan keluarganya. Dalam konteks diklat, seorang alumni yang kebetulan jobless atau non-job, sangat mungkin mendapatkan posisi yang prestisius karena bantuan alumni lainnya. Atau, ketika LAN sebagai induk para alumni memiliki program unggulan berskala nasional, maka keberadaan alumni dapat dimanfaatkan sebagai sponsor atau supporter dari kegiatan tersebut. 

Ketiga, hampir seluruh pejabat karir di seluruh Indonesia pernah menempuh pendidikan di LAN atau di tempat lain atas supervisi dan pembinaan langsung dari LAN. Para alumni diklat tersebut saat ini sudah bertebaran di seluruh penjuru nusantara dan menempati posisi strategis, dari Menteri/Kepala LPNK, Gubernur, Bupati/Walikota, anggota DPR/DPRD, anggota Lembaga Tinggi Negara, Direktur BUMN/D, Direktur Jenderal, dan lain-lain. Pendeknya, LAN adalah guru bangsa yang turut mewarnai hitam putihnya perjalanan bangsa ini. Fakta ini menjelaskan betapa besar peran dan kontribusi LAN dalam pembangunan karakter bangsa (character building) serta pembangunan kompetensi aparatur pemerintah. Disisi lain, bangsa Indonesia masih memegang teguh budaya menghormati gurunya. Meski seringkali seorang guru tidak cukup memiliki kecakapan yang memadai, namun statusnya telah menempatkan dirinya pada posisi mulia di mata peserta didiknya. Dengan budaya seperti ini, saya menarik asumsi bahwa seluruh alumni Diklat di LAN tetap menaruh respek terhadap lembaga dan pejabat di LAN sebagai guru bangsa. Kondisi ini, tentu saja, merupakan faktor kekuatan (strength) yang dimiliki LAN yang mampu memperkokoh branding dan daya tawar organisasi (bargaining position) LAN terhadap lingkungan strategisnya. 

Maka, menjadi aneh jika LAN tidak menjadikan alumninya sebagai institutional resources yang terdepan. Ini bukan hanya menjadi sebuah kemubadziran, namun juga kebodohan. Hal yang semestinya dilakukan LAN adalah memberikan Kartu Alumni lengkap dengan nomor registrasinya, seketika seseorang dinyatakan lulus diklat. Selanjutnya, perlu dilakukan pembinaan alumni dengan membentuk Pengurus Alumni Pusat dan Wilayah; melakukan forum-forum komunikasi, pertukaran informasi, serta kerjasama antar instansi, antar daerah, dan antar negara; membangun sistem informasi alumni yang modern dan selalu updated; serta melibatkan alumni dalam pembelajaran bagi peserta diklat (calon alumni). 

Pengalaman organisasi alumni lain seperti Ikatan Alumni ITB, Keluarga Alumni HMI, dan sebagainya telah membuktikan bahwa forum alumni bukan sekedar forum arisan dan nostalgia belaka, melainkan sebuah forum pemikir (think tank) yang mampu menelorkan gagasan-gagasan besar untuk pembangunan bangsa. Jika mereka bisa, kenapa tidak dengan LAN? Where there is a will, there will be many ways … pasti bisa !!! 

Kampus Pejompongan Jakarta
Senin, 8 Agustus 2011

Tidak ada komentar: