Rabu, 03 Agustus 2011

Merenungkan Filosofi Dasar Diklat


Suatu ketika, saya mendapatkan sebuah inspirasi dari widyaiswara sit-in pada Kajian Paradigma. Beliau memberi nasihat yang bersumber dari filosofi orang Jawa sebagai berikut:

Yen kenceng aja nglancangi …
Yen landhep aja natoni …
Yen pinter aja ngguroni …

Ungkapan berbahasa Jawa diatas kurang lebih artinya adalah: jika kita bisa berlari kencang, hendaknya tidak meninggalkan teman/orang lain; jika kita memiliki kemampuan berpikir dan berbicara secara kritis, hendaknya tidak menimbulkan perasaan sakit hati atau ketersinggungan; dan jika kita pandai, usahakan agar jangan meremehkan orang lain dan merasa diri kita paling hebat atau paling pintar. Sebab, pada dasarnya tidak ada seorangpun yang suka dilangkahi, dilukai, dan dibodohi.

Kalau kita perhatikan, esensi diklat adalah menghasilkan alumni yang dapat bekerja dan mengambil keputusan secara cepat namun akurat (kenceng), yang mampu berpikir jernih dan mampu memberikan solusi fundamental terhadap masalah yang dihadapi (landhep), serta yang memiliki kemampuan intelektual dan daya nalar yang tangguh (pinter). Justru patut dipertanyakan jika seseorang yang sudah lulus diklat masih saja ragu-ragu dalam menghadapi dinamika organisasi, atau tidak mampu mengayomi dan mengakomodir perbedaan pendapat dan aspirasi anak buahnya, serta tidak memiliki konsep untuk kemajuan dan masa depan organisasi.

Jika diperhatikan lebih jauh, kompetensi kenceng, landhep, dan pinter adalah kompetensi pada domein kecerdasan intelektual (intellectual quotient) belaka. Jelas ketiga kompetensi ini menjadi target penting dari penyelenggaraan diklat. Namun dibelakang ketiga kata tersebut terdapat kata aja, yang berarti jangan. “Jangan” adalah sebuah sinyal filsafati yang berfungsi sebagai alat kendali agar seseorang tidak terjerumus oleh kelebihannya sendiri. Banyak kasus dimana orang pandai justru gagal karena kepandaiannya, orang cantik/ganteng yang terhina karena kecantikan/ kegantengannya, atau orang kuat yang menjadi lemah oleh kekuatannya sendiri. Selain ketiga ungkapan diatas, masih ada ungkapan-ungkapan Jawa lainnya yang menggunakan kata aja dengan fungsi yang mirip. Beberapa diantaranya adalah aja dumeh, aja nggege mangsa, ngono ya ngono ning aja ngono, dan sebagainya.

Oleh karena itu, kata aja lebih mengedepankan kecerdasan emosional (emotional quotient), yang sekaligus menjadi penyeimbang terhadap kecerdasan intelektual. Artinya, kecerdasan intelektual semata tidak ada maknanya tanpa kecerdasan emosional, dan kecerdasan intelektual akan bermakna ganda saat dilandasi oleh kecerdasan emosional. Dengan fondasi kecerdasan emosional ini, maka ketajaman tidak akan melukai, kepandaian tidak menjadikan orang minder, kecepatan tidak akan mengabaikan atau meninggalkan orang lain, kekuasaan tidak akan men-dzalimi sesama, dan kekuatan tidak akan merusak lingkungan sekitarnya.

Dalam konteks inilah, diklat aparatur mendapat tantangan berat untuk tidak sekedar menghasilkan manusia-manusia pintar, kreatif, cekatan, atau tajam dalam berargumentasi, melainkan juga harus mampu membentuk insan-insan yang santun, menghormati dan berempati kepada orang lain, mementingkan keharmonisan dan keseimbangan dalam kelompok, serta ringan tangan dalam memberdayakan rekan-rekannya.

Saya sendiri belum tahu strategi diklat seperti apa yang efektif untuk membangun kompetensi emosional tersebut. Tentu saja, metode ceramah dan diskusi tentang change management, mindset and culture-set, building shared-vision and team-learning, dan sebagainya masih tetap relevan, meski lebih banyak mengasah otak kiri. Secara simultan, metode tadi perlu diimbangi dengan kerja kelompok dan teknik-teknik alternatif lainnya seperti praktek pelayanan, pembimbingan, pembiasaan bahasa tubuh dalam interaksi sehari-hari, dan sebagainya.

Singkatnya, saya – dan mungkin banyak orang yang lain – mendambakan sebuah sistem diklat yang mampu melahirkan sosok-sosok yang pinter otaknya sekaligus baik perilaku dan hatinya, sebuah perpaduan yang begitu ideal bagi jajaran abdi negara dan abdi masyarakat!

Kampus Pejompongan Jakarta
Rabu, 3 Agustus 2011

Tidak ada komentar: