Suatu
ketika, saya mendapatkan sebuah inspirasi dari widyaiswara sit-in pada Kajian Paradigma. Beliau memberi nasihat yang bersumber
dari filosofi orang Jawa sebagai berikut:
Yen kenceng aja nglancangi …
Yen landhep aja natoni …
Yen pinter aja ngguroni …
Ungkapan
berbahasa Jawa diatas kurang lebih artinya adalah: jika kita bisa berlari
kencang, hendaknya tidak meninggalkan teman/orang lain; jika kita memiliki
kemampuan berpikir dan berbicara secara kritis, hendaknya tidak menimbulkan
perasaan sakit hati atau ketersinggungan; dan jika kita pandai, usahakan agar
jangan meremehkan orang lain dan merasa diri kita paling hebat atau paling
pintar. Sebab, pada dasarnya tidak ada seorangpun yang suka dilangkahi,
dilukai, dan dibodohi.
Kalau
kita perhatikan, esensi diklat adalah menghasilkan alumni yang dapat bekerja
dan mengambil keputusan secara cepat namun akurat (kenceng), yang mampu berpikir jernih dan mampu memberikan solusi
fundamental terhadap masalah yang dihadapi (landhep),
serta yang memiliki kemampuan intelektual dan daya nalar yang tangguh (pinter). Justru patut dipertanyakan jika
seseorang yang sudah lulus diklat masih saja ragu-ragu dalam menghadapi
dinamika organisasi, atau tidak mampu mengayomi dan mengakomodir perbedaan
pendapat dan aspirasi anak buahnya, serta tidak memiliki konsep untuk kemajuan
dan masa depan organisasi.
Jika
diperhatikan lebih jauh, kompetensi kenceng,
landhep, dan pinter adalah
kompetensi pada domein kecerdasan
intelektual (intellectual quotient)
belaka. Jelas ketiga kompetensi ini menjadi target penting dari penyelenggaraan
diklat. Namun dibelakang ketiga kata tersebut terdapat kata aja, yang berarti jangan. “Jangan”
adalah sebuah sinyal filsafati yang berfungsi sebagai alat kendali agar
seseorang tidak terjerumus oleh kelebihannya sendiri. Banyak kasus dimana orang
pandai justru gagal karena kepandaiannya, orang cantik/ganteng yang terhina
karena kecantikan/ kegantengannya, atau orang kuat yang menjadi lemah oleh
kekuatannya sendiri. Selain ketiga ungkapan diatas, masih ada ungkapan-ungkapan
Jawa lainnya yang menggunakan kata aja dengan
fungsi yang mirip. Beberapa diantaranya adalah aja dumeh, aja nggege mangsa, ngono ya ngono ning aja ngono, dan
sebagainya.
Oleh
karena itu, kata aja lebih mengedepankan
kecerdasan emosional (emotional quotient),
yang sekaligus menjadi penyeimbang terhadap kecerdasan intelektual. Artinya,
kecerdasan intelektual semata tidak ada maknanya tanpa kecerdasan emosional,
dan kecerdasan intelektual akan bermakna ganda saat dilandasi oleh kecerdasan
emosional. Dengan fondasi kecerdasan emosional ini, maka ketajaman tidak akan
melukai, kepandaian tidak menjadikan orang minder, kecepatan tidak akan
mengabaikan atau meninggalkan orang lain, kekuasaan tidak akan men-dzalimi
sesama, dan kekuatan tidak akan merusak lingkungan sekitarnya.
Dalam
konteks inilah, diklat aparatur mendapat tantangan berat untuk tidak sekedar
menghasilkan manusia-manusia pintar, kreatif, cekatan, atau tajam dalam
berargumentasi, melainkan juga harus mampu membentuk insan-insan yang santun, menghormati
dan berempati kepada orang lain, mementingkan keharmonisan dan keseimbangan
dalam kelompok, serta ringan tangan dalam memberdayakan rekan-rekannya.
Saya
sendiri belum tahu strategi diklat seperti apa yang efektif untuk membangun
kompetensi emosional tersebut. Tentu saja, metode ceramah dan diskusi tentang change management, mindset and culture-set,
building shared-vision and team-learning, dan sebagainya masih tetap relevan, meski lebih banyak
mengasah otak kiri. Secara simultan, metode tadi perlu diimbangi dengan kerja
kelompok dan teknik-teknik alternatif lainnya seperti praktek pelayanan, pembimbingan,
pembiasaan bahasa tubuh dalam interaksi sehari-hari, dan sebagainya.
Singkatnya,
saya – dan mungkin banyak orang yang lain – mendambakan sebuah sistem diklat yang
mampu melahirkan sosok-sosok yang pinter otaknya sekaligus baik perilaku dan hatinya,
sebuah perpaduan yang begitu ideal bagi jajaran abdi negara dan abdi masyarakat!
Kampus
Pejompongan Jakarta
Rabu,
3 Agustus 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar