Ketika
kami hendak berangkat dari asrama menuju bandara dalam rangka kegiatan Studi
Lapangan, di dalam bis terdapat situasi yang cukup kontras. Disatu pihak,
banyak peserta yang menyalami temannya yang masuk ranking 10 besar untuk Kajian
Kebijakan Publik, namun dilain pihak, ternyata lebih banyak nada sinisme yang
dilontarkan beberapa orang tertentu.
Saya
sangat menyadari adanya situasi yang kontras tadi. Bagi kelompok yang sejak
awal memang merasa diri mereka tidak layak masuk dalam jajaran The Big 10, tidak jadi masalah bagi
mereka siapapun yang akan menempati urutan tangga prestasi di level kelas
tersebut. Oleh karenanya, orang-orang tipe seperti ini juga nampak tulus dan nothing to loose ketika menyalami
rekannya yang berhasil masuk ranking. Sebaliknya bagi sekelompok orang yang
merasa dirinya lebih layak masuk 10 besar namun ternyata tidak, maka muncullah
banyak pertanyaan sekitar obyektivitas penilaian dan kemungkinan adanya
permainan yang kurang layak (unfair play)
dalam penentuan peringkat tersebut.
Pertanyaan
tentang obyektivitas penilai memang sangatenyeluruh. wajar mengemuka, mengingat
dari 10 peringkat terbaik sebelumnya pada Kajian Paradigma, lima orang
diantaranya terlempar dari urutan 10 besar pada Kajian Kebijakan Publik, empat
diantaranya bahkan telah menyandang gelar Doktor. Sebagai gantinya, masuklah
“muka-muka baru” yang sebelumnya tidak diperhitungkan sama sekali karena memang
tingkat aktivitas dan prestasi di kelas kurang menonjol.
Kebetulan
sekali, sepanjang perjalanan ke bandara tadi, saya berdampingan dengan salah
seorang Doktor yang terlempar dari 10 besar. Entah dari mana data yang beliau
peroleh, namun beliau menyatakan bahwa dalam urusan pemeringkatan tadi terdapat
click atau “persekongkolan” antar
kekuatan tertentu, layaknya persaingan antara Mafia Harvard dengan Mafia
Berkeley dalam perebutan posisi kunci bidang perekonomian dalam kabinet
Indonesia sepanjang masa. Beliau juga mensinyalir adanya pihak-pihak tertentu
yang “terbeli” sehingga memberi standar penilaian yang tidak setimbang antar
peserta. Bahkan beliau juga mengatakan bahwa jika sistem pemeringkatan tidak
dibenahi dan dapat dijamin obyektivitasnya, akan memalukan bagi peserta
tertentu maupun bagi penyelenggara. Bagi peserta tertentu, kegagalan masuk 10
besar dapat disebut sebagai kegagalan secara keseluruhan atau rendahnya
kompetensi dimata pimpinannya. Sedangkan bagi penyelenggara, ketidakobyektifan
penilaian akan mempertaruhkan kredibilitas lembaga secara keseluruhan.
Bagi
saya, pemeringkatan bisa menjadi baik namun bisa juga menjadi buruk. Jika
dilakukan dengan professional dan mampu mengukur kinerja riil peserta, maka
pola penilaian prestasi seperti ini akan sangat baik. Peringkat juga akan
menjadi indikator pencapaian hasil diklat, dan menjadi dasar untuk pengambilan
keputusan lanjutan. Seperti yang saya tulis pada Jurnal #36, pemeringkatan dapat
dan perlu dikemas dalam sebuah rewarding
system, atau dikaitkan dengan civil
effect bagi peserta diklat. Namun jika peringkat tersebut lahir dari
metodologi yang cacat dan integritas penilai yang diragukan, maka jauh lebih
baik pemeringkatan tersebut dihapuskan saja. Selain tidak ada manfaat yang
nyata, pola yang tidak jelas malah menimbulkan polemik serta prasangka dan
kebencian terselubung diantara sesama peserta.
Saya
sendiri memiliki pandangan bahwa untuk kondisi apa adanya saat ini,
pemeringkatan nampaknya kurang tepat untuk dilakukan. Saya mengetahui betul
bahwa ada dua orang Doktor yang KTP-2 nya adalah hasil karya Tuyul, namun tetap saja keduanya masuk
rangking 10 besar. Tentu hal semacam ini menciderai persaingan yang sehat dan
berimbang. Saya juga mengamati sebuah situasi antara dua orang yang sama-sama
berasal dari kementerian yang sama, namun memiliki karakter yang berbeda. Si “A”
lebih banyak bicara di kelas namun sangat minim kontribusinya dalam kerja
kelompok. Sedangkan si “B” lebih sering diam dalam forum kelas namun memiliki
kontribusi terhadap kelompok yang jauh lebih besar dibanding si “A”. dalam
kacamata saya, si “B” jauh lebih layak masuk 10 besar, namun justru si “A”lah
yang dua kali berturut-turut masuk 10 besar, sementara si “B” tidak sekalipun
masuk 10 besar. Fakta lain, si “B” pernah ditunjuk jadi ketua kelompok KMS,
sedang si “A” tidak pernah sekalipun memimpin kelompok. Sangat boleh jadi ada
penilaian dari unsur lain, namun fakta yang saya paparkan mestinya juga menjadi
pertimbangan serius dalam rangkaian sistem penilaian.
Jika
kelemahan-kelemahan dalam sistem penilaian dapat diatasi secara memuaskan, maka
saya 1000 persen mendukung adanya sistem pemeringkatan dalam diklat aparatur, apapun
jenis dan tingkatan diklatnya. Dalam ranah ideal saya, adanya pemeringkatan justru
menjadi tolok ukur kualitas sebuah diklat. Program diklat yang berani mengukur dan
mengumumkan kinerja peserta atau alumninya tanpa memunculkan sanggahan yang berarti
dari mayoritas peserta (secara terbuka atau diam-diam) adalah program diklat yang
dapat diandalkan. Program diklat yang berani mengukur dan mengumumkan kinerja peserta
atau alumninya namun memunculkan banyak sanggahan, adalah program diklat yang ceroboh
dan gegabah. Program diklat yang tidak berani mengukur dan mengumumkan kinerja peserta
atau alumninya adalah program diklat yang asal-asalan dan sia-sia.
Kampus
Pejompongan Jakarta
Rabu,
10 Agustus 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar