Minggu, 21 Agustus 2011

Menyoal Pemeringkatan


Ketika kami hendak berangkat dari asrama menuju bandara dalam rangka kegiatan Studi Lapangan, di dalam bis terdapat situasi yang cukup kontras. Disatu pihak, banyak peserta yang menyalami temannya yang masuk ranking 10 besar untuk Kajian Kebijakan Publik, namun dilain pihak, ternyata lebih banyak nada sinisme yang dilontarkan beberapa orang tertentu.  

Saya sangat menyadari adanya situasi yang kontras tadi. Bagi kelompok yang sejak awal memang merasa diri mereka tidak layak masuk dalam jajaran The Big 10, tidak jadi masalah bagi mereka siapapun yang akan menempati urutan tangga prestasi di level kelas tersebut. Oleh karenanya, orang-orang tipe seperti ini juga nampak tulus dan nothing to loose ketika menyalami rekannya yang berhasil masuk ranking. Sebaliknya bagi sekelompok orang yang merasa dirinya lebih layak masuk 10 besar namun ternyata tidak, maka muncullah banyak pertanyaan sekitar obyektivitas penilaian dan kemungkinan adanya permainan yang kurang layak (unfair play) dalam penentuan peringkat tersebut. 

Pertanyaan tentang obyektivitas penilai memang sangatenyeluruh. wajar mengemuka, mengingat dari 10 peringkat terbaik sebelumnya pada Kajian Paradigma, lima orang diantaranya terlempar dari urutan 10 besar pada Kajian Kebijakan Publik, empat diantaranya bahkan telah menyandang gelar Doktor. Sebagai gantinya, masuklah “muka-muka baru” yang sebelumnya tidak diperhitungkan sama sekali karena memang tingkat aktivitas dan prestasi di kelas kurang menonjol.  

Kebetulan sekali, sepanjang perjalanan ke bandara tadi, saya berdampingan dengan salah seorang Doktor yang terlempar dari 10 besar. Entah dari mana data yang beliau peroleh, namun beliau menyatakan bahwa dalam urusan pemeringkatan tadi terdapat click atau “persekongkolan” antar kekuatan tertentu, layaknya persaingan antara Mafia Harvard dengan Mafia Berkeley dalam perebutan posisi kunci bidang perekonomian dalam kabinet Indonesia sepanjang masa. Beliau juga mensinyalir adanya pihak-pihak tertentu yang “terbeli” sehingga memberi standar penilaian yang tidak setimbang antar peserta. Bahkan beliau juga mengatakan bahwa jika sistem pemeringkatan tidak dibenahi dan dapat dijamin obyektivitasnya, akan memalukan bagi peserta tertentu maupun bagi penyelenggara. Bagi peserta tertentu, kegagalan masuk 10 besar dapat disebut sebagai kegagalan secara keseluruhan atau rendahnya kompetensi dimata pimpinannya. Sedangkan bagi penyelenggara, ketidakobyektifan penilaian akan mempertaruhkan kredibilitas lembaga secara keseluruhan. 

Bagi saya, pemeringkatan bisa menjadi baik namun bisa juga menjadi buruk. Jika dilakukan dengan professional dan mampu mengukur kinerja riil peserta, maka pola penilaian prestasi seperti ini akan sangat baik. Peringkat juga akan menjadi indikator pencapaian hasil diklat, dan menjadi dasar untuk pengambilan keputusan lanjutan. Seperti yang saya tulis pada Jurnal #36, pemeringkatan dapat dan perlu dikemas dalam sebuah rewarding system, atau dikaitkan dengan civil effect bagi peserta diklat. Namun jika peringkat tersebut lahir dari metodologi yang cacat dan integritas penilai yang diragukan, maka jauh lebih baik pemeringkatan tersebut dihapuskan saja. Selain tidak ada manfaat yang nyata, pola yang tidak jelas malah menimbulkan polemik serta prasangka dan kebencian terselubung diantara sesama peserta. 

Saya sendiri memiliki pandangan bahwa untuk kondisi apa adanya saat ini, pemeringkatan nampaknya kurang tepat untuk dilakukan. Saya mengetahui betul bahwa ada dua orang Doktor yang KTP-2 nya adalah hasil karya Tuyul, namun tetap saja keduanya masuk rangking 10 besar. Tentu hal semacam ini menciderai persaingan yang sehat dan berimbang. Saya juga mengamati sebuah situasi antara dua orang yang sama-sama berasal dari kementerian yang sama, namun memiliki karakter yang berbeda. Si “A” lebih banyak bicara di kelas namun sangat minim kontribusinya dalam kerja kelompok. Sedangkan si “B” lebih sering diam dalam forum kelas namun memiliki kontribusi terhadap kelompok yang jauh lebih besar dibanding si “A”. dalam kacamata saya, si “B” jauh lebih layak masuk 10 besar, namun justru si “A”lah yang dua kali berturut-turut masuk 10 besar, sementara si “B” tidak sekalipun masuk 10 besar. Fakta lain, si “B” pernah ditunjuk jadi ketua kelompok KMS, sedang si “A” tidak pernah sekalipun memimpin kelompok. Sangat boleh jadi ada penilaian dari unsur lain, namun fakta yang saya paparkan mestinya juga menjadi pertimbangan serius dalam rangkaian sistem penilaian. 

Jika kelemahan-kelemahan dalam sistem penilaian dapat diatasi secara memuaskan, maka saya 1000 persen mendukung adanya sistem pemeringkatan dalam diklat aparatur, apapun jenis dan tingkatan diklatnya. Dalam ranah ideal saya, adanya pemeringkatan justru menjadi tolok ukur kualitas sebuah diklat. Program diklat yang berani mengukur dan mengumumkan kinerja peserta atau alumninya tanpa memunculkan sanggahan yang berarti dari mayoritas peserta (secara terbuka atau diam-diam) adalah program diklat yang dapat diandalkan. Program diklat yang berani mengukur dan mengumumkan kinerja peserta atau alumninya namun memunculkan banyak sanggahan, adalah program diklat yang ceroboh dan gegabah. Program diklat yang tidak berani mengukur dan mengumumkan kinerja peserta atau alumninya adalah program diklat yang asal-asalan dan sia-sia. 

Kampus Pejompongan Jakarta
Rabu, 10 Agustus 2011

Tidak ada komentar: