Sabtu, 06 Agustus 2011

Ide Kecil dari Survey Sederhana tentang Diklatpim II


Hari ini, tidak ada peristiwa yang menarik untuk dicermati. Semua berjalan normal dan rutin, tanpa dinamika yang unique atau peristiwa menarik. Sebagai gantinya, saya mencoba melakukan penelusuran tentang persepsi teman-teman peserta terhadap program diklat yang sedang kami jalani bersama. Tentu, metodologinya tidak ilmiah meskipun kaidah-kaidah metodologis tidak saya abaikan sama sekali. Sebagai contoh, “responden” yang saya pilih adalah mereka yang di mata saya memiliki keseriusan untuk mengikuti diklat. Bagi mereka yang hanya melihat diklat sebagai formalitas pejabat eselon II, atau sekedar mencari teman baru, atau hanya mengikutinya dengan setengah hati, jauh dari kriteria saya untuk menjadikannya selaku nara sumber.

Pertanyaan yang saya ajukan hanya satu dan sangat sederhana meski bersifat eksploratif. Pertanyaan saya: menurut anda, apa yang perlu dilakukan untuk membenahi penyelenggaraan Diklatpim II dimasa mendatang? Jawabannya cukup beragam, dan saya hanya menggarisbawahi beberapa saja yang menurut saya layak dan kebetulan sejalan dengan pemikiran saya sendiri.

Jawaban yang paling banyak saya terima adalah waktu yang terlalu panjang dan cenderung tidak efektif karena mengejar target kuantitas dari pada kualitas. Tanpa harus mengorbankan kualitas, sebenarnya durasi diklat bisa lebih dipersingkat dengan mengurangi penugasan-penugasan yang tidak terlalu urgen. Dengan penugasan yang begitu banyak, akhirnya peserta cenderung mengejar target penyelesaian tugas namun berimplikasi pada proses dan mutu yang tidak optimal.

Untuk diketahui, produk pembelajaran yang harus dihasilkan peserta teramat banyak dengan waktu yang saling berkejar-kejaran. Belum lagi tugas A tuntas, sudah peserta juga harus mengerjakan tugas B, C dan D secara bersamaan. Belum lagi tugas DIT Individu selesai, misalnya, mereka juga harus menyusun jurnal harian, DIT integrasi, KTP-2, KKT, TOR SL, atau bahkan presentasi bahasa Inggris. Keadaan overload seperti ini terus “menghantui” peserta sejak awal hingga akhir, ibaratnya sekedar untuk menghela nafaspun tak lagi sempat. Sekeras apapun peserta bekerja, tetap saja tidak bisa maksimal. Ujung-ujungnya, munculnya istilah “ah, ini kan cuma latihan”, atau “tidak usah terlalu ngoyo lah, yang penting tugas selesai”, atau “siapa juga yang akan ngoreksi hasil kerja peserta yang sedemikian banyak, paling cuma dibaca secara sekilas”, atau ungkapan-ungkapan lainnya yang jelas tidak mendukung semangat membangun kualitas.

Pada dasarnya, mayoritas peserta sangat eager untuk menyerap materi pembelajaran, namun konsentrasi mereka menjadi terpecah belah dengan adanya target-target laporan. Akibatnya, ditengah-tengah materi pembelajaran, malah banyak yang mengerjakan tugas-tugas tersebut, sehingga proses pembelajaran menjadi kurang efektif.

Maka, alangkah baiknya jika urusan kuantitas mulai dikurangi dan difokuskan pada proses yang lebih kualitatif. Peserta hendaknya tidak diarahkan untuk menjadi “atlet loncat gawang” yang harus meloncati satu gawang untuk beralih ke gawang berikutnya dan melupakan gawang sebelumnya. Mungkin ada baiknya peserta diarahkan untuk memilih dan memiliki satu gawang, dan gawang itulah yang harus dia jaga betul, dia percantik, dia kembangkan, dia perkuat, sehingga pada akhirnya benar-benar menjadi gawang yang kokoh dan indah. Peserta hendaknya juga tidak dibentuk sekedar menjadi generalis yang mengetahui banyak hal secara sedikit, atau menjadi spesialis yang hanya mengetahui sedikit hal secara mendalam, namun harusnya menjadi sosok generalis yang terspesialisasi.

Konsep pembelajaran yang berlaku saat ini boleh saja diteruskan karena membangun kompetensi generalis, namun dengan dua catatan. Pertama, kurangi frekuensi penugasan yang berujung formalitas. Kedua, beri kesempatan peserta untuk memilih satu atau dua materi atau jenis kompetensi tertentu untuk didalami. Setiap peserta boleh saja memilih jenis keahlian yang berbeda, misalnya SWOT, Analisis Kebijakan, Scenario Planning, atau yang lain. Tugas penyelenggara adalah menyediakan pembimbing yang memiliki kompetensi tidak setengah-setengah dalam setiap bidang kompetensi tersebut. Dengan cara ini, pada akhir diklat setiap peserta tidak hanya improved kompetensi generalisnya, namun juga memiliki keahlian khusus sesuai minat dan kebutuhannya. Artinya, status peserta hanya boleh beralih menjadi alumni jika benar-benar telah memiliki spesialisasi tertentu. Jika perlu, LAN dapat mengeluarkan sertifikat khusus atau surat keterangan tambahan yang menerangkan bahwa yang bersangkutan benar-benar telah memiliki spesialisasi di bidang tertentu.

Hal lain yang saya tangkap dari pendapat teman-teman adalah tidak adanya sistem insentif dalam diklat kepemimpinan sehingga tidak merangsang tumbuhnya motivasi. Idealnya, memang diklat formal yang merupakan amanat peraturan perundang-undangan, haruslah memberi reward atau insentif, misalnya berupa civil effect (efek kepegawaian). Sebagai contoh, seseorang yang berhasil menduduki peringkat 1 hingga 3 mendapat hak kenaikan pangkat istimewa dari negara, medali penghargaan (gold medal) dari Kepala LAN, dan plakat dari Kapus Diklat SPIMNAS Bidang Kepemimpinan. Selanjutnya, peringkat 4 hingga 6 akan mendapat medali penghargaan (silver medal) dari Kepala LAN dan plakat dari Kapus Diklat SPIMNAS Bidang Kepemimpinan. Adapun peringkat 7 hingga 10 akan menerima medali penghargaan (bronze medal) dari Kepala LAN dan plakat dari Kapus Diklat SPIMNAS Bidang Kepemimpinan. Selain plakat, Kepala LAN juga dapat memberikan surat rekomendasi kepada pimpinan instansi peserta yang berprestasi, yang berisi pernyataan bahwa peserta tersebut sangat layak untuk mendapatkan promosi jabatan setingkat lebih tinggi.

Dengan iming-iming seperti itu, gairah peserta tentu akan terbangkitkan dan adrenalin mereka pun pasti bergejolak dahsyat. Namun, jika hal ini akan direalisasi, tentu penyelenggara harus melakukan pembenahan menyeluruh dalam sistem penyelenggaraan diklat agar tidak menimbulkan kesan subyektivitas, dugaan KKN, atau kemungkinan lain yang tidak diinginkan. Namun, tantangan seperti ini bagi saya adalah sebuah “godaan” yang menggelorakan dan seolah-olah menuntut pembuktian bahwa kita benar-benar “laki-laki”. Maka, bagi saya pribadi, tidak ada jawaban lain kecuali Siaaaappppppp grak !!

Kampus Pejompongan Jakarta
Kamis, 4 Agustus 2011

2 komentar:

Anonim mengatakan...

Mantap sekali bos....saya juga memikirkan hal itu....lanjutkan

Tri Widodo W Utomo mengatakan...

Siap ndan ... makasih supportnya yah ... :)