Senin, 22 Agustus 2011

Sekedar Gagasan Ringan Untuk Beberapa Perbaikan


Hingga Jurnal ke 44 ini, sesungguhnya masih teramat banyak ide yang ingin saya tulis dan tuangkan dalam tulisan. Namun tugas-tugas lain yang mengantri panjang serta kondisi domestik yang tidak memungkinkan, memaksa saya untuk mengerem diri, jika bukan mengakhiri. Itulah sebabnya, pada catatan ke-44 ini saya tidak bicara soal issu yang spesifik; saya mencoba mengumpulkan beberapa memori yang berserakan yang pernah terpikir sepanjang keikutsertaan saya dalam Diklatpim Tingkat II Angkatan XXXI ini. 

Hal pertama yang perlu diseriusi adalah soal standarisasi kualitas widyaiswara, baik dalam penguasaan materi, teknik penyampaian materi, sikap / perlakuan terhadap peserta. Dari Kajian Paradigma, dilanjutkan dengan Kajian Kebijakan Publik, Kajian Manajemen Strategis, dan diakhiri dengan Aktualisasi, saya merasakan kualitasnya semakin menurun. Entah karena mereka terserang kejenuhan atau kemalasan, atau sebab lain, saya melihat penguasaan materi mereka sangat minim dan serba menggantung saat ditanya oleh peserta. Tahap terakhir agaknya menjadi tahap paling krusial, dimana widyaiswara dituntut memiliki kesamaan pandangan soal format, proses, dan konten KKT Kelompok, SL, dan KKT Kelas, namun sayangnya tidak terjadi. Bahkan sempat terjadi kompromi bahwa cara kerja dan format laporan antar kelompok dibiarkan bebas sesuai perspektif masing-masing kelompok. Saya menangkap kesan para widyaiswara kalah wibawa dalam berargumentasi dengan peserta yang berdebat secara emosional, atau mungkin mereka bermaksud menjaga wibawanya dengan melakukan “pembelaan” secara parsial. Jika memang kelompok dibiarkan bebas berkreasi, untuk apa penjelasan yang diberikan berkali-kali sebelumnya, untuk apa ada pedoman aktualisasi, dan untuk apa ada KKT integrasi? Kompromi inilah yang paling mengecewakan saya hingga saat ini. 

Pengalaman seperti ini harus benar-benar dipahami oleh penyelenggara, untuk kemudian diambil langkah-langkah konsolidasi agar tidak terjadi lagi pada angkatan selanjutnya. Pola penunjukan widyaiswara tidak boleh lagi didasarkan pada “urut kacang” dan pemerataan, namun harus benar-benar berbasis kompetensi. Widyaiswara harus dipetakan dan diklasifikasikan berdasarkan talent dan competence-nya, sehingga seorang widyaiswara tidak bisa masuk ke seluruh talent-pool atau competence-pool. Setelah pemetaan bakat dan kompetensi tercapai, masih ada “PR” lain yakni menjamin bahwa widyaiswara yang berada pada pool yang sama harus benar-benar memiliki cara pandang yang simetris, atau tidak saling memotong dan merasa diri paling menonjol. Jika mereka tidak bisa menempatkan diri sebagai mitra antar sesama widyaiswara, bagaimana mungkin mereka akan menjadi mitra yang baik untuk peserta diklat?

Saran kedua yang ingin saya sampaikan adalah soal memecah kekakuan hubungan antar peserta atau icebreaking. Menurut saya, icebreaking diawal lebih baik dilakukan di tingkat kelas, bukan di tingkat kelompok. Sebab, hingga masuk Kajian Manajemen Strategis, bahkan pada saat berada di lokasi SL, masih ada saja beberapa teman yang salah menyebut nama temannya, yang mengindikasikan bahwa mereka belum saling mengenal. Hubungan yang belum mencair hingga 3/4 perjalanan program diklat, jelas mengurangi kualitas komunikasi dan kualitas mekanisme kerja dalam setiap kelompok. Bahkan jika perlu, perlu diciptakan momen-momen khusus yang mempertemukan kelas A dan B, sehingga komunikasi tidak terbatas dalam ruang-ruang yang saling terpisah. Jika perlu lagi, akan sangat baik jika ada forum komunikasi dan interaksi antara peserta Diklatpim III, II dan I, sehingga suasana kampus benar-benar merefleksikan kondisi riil dalam organisasi permanen.  

Hal lain yang juga sangat prinsip untuk dilakukan adalah mental-building. Caranya antara lain adalah: pada awal program, peserta perlu dimotivasi sebaik mungkin untuk menyetel frekuensi hati, cara berpikir, dan kesiapan mental peserta sebelum memasuki program diklat yang panjang dan berat. Salah satunya adalah dengan mengingatkan tentang tujuh kebiasaan manusia yang paling efektif, khususnya yang terakhir. Dalam bukunya, Stephen R. Covey menegaskan bahwa manusia adalah ibarat gergaji. Gergaji tersebut akan dapat berfungsi dengan baik jika terus diasah dan dipelihara dengan baik pula. Jika gergaji tersebut dipakai secara terus menerus tanpa jeda dan tanpa perawatan, maka akan cepat usang, tumpul, dan pada akhirnya rusak. Saat ia rusak, maka tidak akan ada lagi yang peduli dengannya, bahkan dengan mudahnya gergaji tersebut dicampakkan begitu saja, dibuang dalam tumpukan sampah busuk, seolah-olah ia tidak pernah berjasa kepada tuannya. Demikian pula kita sebagai pegawai pemerintah, secara periodik kita harus jeda untuk menjalani treatment atau maintenance. Nah, pendidikan atau pelatihan adalah salah satu bentuk maintenance yang paling efektif untuk menjaga konsistensi dan meningkatkan kompetensi seorang pegawai.  

Program diklatpim yang sedang diikuti, pada hakekatnya juga adalah waktu jeda dari rutinitas harian yang begitu padat dan acapkali tidak memberi kesempatan kita untuk menghela nafas. Dengan kata lain, diklat adalah “gergaji” yang memberikan jaminan agar seorang pegawai tetap tajam, baik dalam pemikiran maupun kinerjanya. Bayangkan jika seorang pegawai bekerja terus tanpa henti, pasti akan mengalami kejenuhan, dan pada akhirnya mengalami penurunan kreativitas dan penurunan kinerja. Oleh karena itu, diklat bukan hanya strategi untuk membangkitkan kinerja pegawai, namun sekaligus juga wahana penyegaran (refreshment) dari dunia rutinitas agar muncul ide-ide kreatif dan potensi inovatif yang ada dalam diri setiap pegawai. Dan jika peserta sudah benar-benar memahami spirit diklat, maka mereka akan mengikutinya dengan kesadaran penuh dan membuang jauh-jauh prinsip formalitas. 

Ide terserak terakhir yang ingin saya sumbangkan adalah soal sosiogram atau penilaian antar sesama peserta. Dengan adanya model pemeringkatan 10 Besar yang masih diragukan obyektivitasnya, semestinya sosiogram dapat menjadi kontrol terhadap akurasi pada komponen penilaian lainnya. Namun yang terjadi dapat sebaliknya, dimana sosiogram justru menjadi pengacau penilaian atau pengabur obyektivitas. Ada kecenderungan peserta mengisi secara “ngawur” untuk menguji apakah penyelenggara benar-benar memiliki instrumen yang mampu mendeteksi kemampuan dan kinerja riil peserta. Oleh karena itu, sosiogram apa adanya sekarang sulit diandalkan, dan untuk membenahinya perlu dilengkapi dengan metode lain, misalnya survey secara aksidental. Maksudnya, penyelenggara sebaiknya tidak “menelan mentah-mentah” informasi dalam sosiogram, namun juga berusaha mencari cara lain sebagai media cross-check terhadap kebenaran sosiogram tersebut. Salah satu caranya adalah dengan membuat survey tadi, yakni menanyakan secara langsung kepada beberapa peserta tertentu yang dinilai tepat, jujur, dan seimbang untuk menggambarkan situasi nyata di kelompok maupun di kelas.

Sebenarnya masih ada beberapa ide sederhana yang ingin saya utarakan, namun sekali lagi berbagai keterbatasan membuat saya memilih untuk berhenti sampai disini dan mengambil jeda hingga kesempatan yang lebih baik menyambangi saya … J 

Kampus Pejompongan Jakarta
Minggu, 21 Agustus 2011

Tidak ada komentar: