Hingga
Jurnal ke 44 ini, sesungguhnya masih teramat banyak ide yang ingin saya tulis
dan tuangkan dalam tulisan. Namun tugas-tugas lain yang mengantri panjang serta
kondisi domestik yang tidak memungkinkan, memaksa saya untuk mengerem diri,
jika bukan mengakhiri. Itulah sebabnya, pada catatan ke-44 ini saya tidak bicara
soal issu yang spesifik; saya mencoba mengumpulkan beberapa memori yang
berserakan yang pernah terpikir sepanjang keikutsertaan saya dalam Diklatpim
Tingkat II Angkatan XXXI ini.
Hal
pertama yang perlu diseriusi adalah soal standarisasi kualitas widyaiswara,
baik dalam penguasaan materi, teknik penyampaian materi, sikap / perlakuan
terhadap peserta. Dari Kajian Paradigma, dilanjutkan dengan Kajian Kebijakan
Publik, Kajian Manajemen Strategis, dan diakhiri dengan Aktualisasi, saya
merasakan kualitasnya semakin menurun. Entah karena mereka terserang kejenuhan
atau kemalasan, atau sebab lain, saya melihat penguasaan materi mereka sangat
minim dan serba menggantung saat ditanya oleh peserta. Tahap terakhir agaknya
menjadi tahap paling krusial, dimana widyaiswara dituntut memiliki kesamaan
pandangan soal format, proses, dan konten KKT Kelompok, SL, dan KKT Kelas,
namun sayangnya tidak terjadi. Bahkan sempat terjadi kompromi bahwa cara kerja
dan format laporan antar kelompok dibiarkan bebas sesuai perspektif
masing-masing kelompok. Saya menangkap kesan para widyaiswara kalah wibawa
dalam berargumentasi dengan peserta yang berdebat secara emosional, atau
mungkin mereka bermaksud menjaga wibawanya dengan melakukan “pembelaan” secara
parsial. Jika memang kelompok dibiarkan bebas berkreasi, untuk apa penjelasan
yang diberikan berkali-kali sebelumnya, untuk apa ada pedoman aktualisasi, dan
untuk apa ada KKT integrasi? Kompromi inilah yang paling mengecewakan saya
hingga saat ini.
Pengalaman
seperti ini harus benar-benar dipahami oleh penyelenggara, untuk kemudian
diambil langkah-langkah konsolidasi agar tidak terjadi lagi pada angkatan
selanjutnya. Pola penunjukan widyaiswara tidak boleh lagi didasarkan pada “urut
kacang” dan pemerataan, namun harus benar-benar berbasis kompetensi. Widyaiswara
harus dipetakan dan diklasifikasikan berdasarkan talent dan competence-nya,
sehingga seorang widyaiswara tidak bisa masuk ke seluruh talent-pool atau competence-pool.
Setelah pemetaan bakat dan kompetensi tercapai, masih ada “PR” lain yakni
menjamin bahwa widyaiswara yang berada pada pool yang sama harus benar-benar
memiliki cara pandang yang simetris, atau tidak saling memotong dan merasa diri
paling menonjol. Jika mereka tidak bisa menempatkan diri sebagai mitra antar
sesama widyaiswara, bagaimana mungkin mereka akan menjadi mitra yang baik untuk
peserta diklat?
Saran
kedua yang ingin saya sampaikan adalah soal memecah kekakuan hubungan antar
peserta atau icebreaking. Menurut saya, icebreaking diawal lebih baik dilakukan di tingkat kelas, bukan di
tingkat kelompok. Sebab, hingga masuk Kajian Manajemen Strategis, bahkan pada
saat berada di lokasi SL, masih ada saja beberapa teman yang salah menyebut
nama temannya, yang mengindikasikan bahwa mereka belum saling mengenal. Hubungan
yang belum mencair hingga 3/4 perjalanan program diklat, jelas mengurangi
kualitas komunikasi dan kualitas mekanisme kerja dalam setiap kelompok. Bahkan
jika perlu, perlu diciptakan momen-momen khusus yang mempertemukan kelas A dan
B, sehingga komunikasi tidak terbatas dalam ruang-ruang yang saling terpisah.
Jika perlu lagi, akan sangat baik jika ada forum komunikasi dan interaksi
antara peserta Diklatpim III, II dan I, sehingga suasana kampus benar-benar
merefleksikan kondisi riil dalam organisasi permanen.
Hal
lain yang juga sangat prinsip untuk dilakukan adalah mental-building. Caranya antara lain adalah: pada awal program,
peserta perlu dimotivasi sebaik mungkin untuk menyetel frekuensi hati, cara
berpikir, dan kesiapan mental peserta sebelum memasuki program diklat yang
panjang dan berat. Salah satunya adalah dengan mengingatkan tentang tujuh
kebiasaan manusia yang paling efektif, khususnya yang terakhir. Dalam bukunya,
Stephen R. Covey menegaskan bahwa manusia adalah ibarat gergaji. Gergaji
tersebut akan dapat berfungsi dengan baik jika terus diasah dan dipelihara
dengan baik pula. Jika gergaji tersebut dipakai secara terus menerus tanpa jeda
dan tanpa perawatan, maka akan cepat usang, tumpul, dan pada akhirnya rusak.
Saat ia rusak, maka tidak akan ada lagi yang peduli dengannya, bahkan dengan
mudahnya gergaji tersebut dicampakkan begitu saja, dibuang dalam tumpukan
sampah busuk, seolah-olah ia tidak pernah berjasa kepada tuannya. Demikian pula
kita sebagai pegawai pemerintah, secara periodik kita harus jeda untuk
menjalani treatment atau maintenance. Nah, pendidikan atau
pelatihan adalah salah satu bentuk maintenance
yang paling efektif untuk menjaga konsistensi dan meningkatkan kompetensi
seorang pegawai.
Program
diklatpim yang sedang diikuti, pada hakekatnya juga adalah waktu jeda dari
rutinitas harian yang begitu padat dan acapkali tidak memberi kesempatan kita
untuk menghela nafas. Dengan kata lain, diklat adalah “gergaji” yang memberikan
jaminan agar seorang pegawai tetap tajam, baik dalam pemikiran maupun
kinerjanya. Bayangkan jika seorang pegawai bekerja terus tanpa henti, pasti
akan mengalami kejenuhan, dan pada akhirnya mengalami penurunan kreativitas dan
penurunan kinerja. Oleh karena itu, diklat bukan hanya strategi untuk
membangkitkan kinerja pegawai, namun sekaligus juga wahana penyegaran (refreshment) dari dunia rutinitas agar
muncul ide-ide kreatif dan potensi inovatif yang ada dalam diri setiap pegawai.
Dan jika peserta sudah benar-benar memahami spirit diklat, maka mereka akan
mengikutinya dengan kesadaran penuh dan membuang jauh-jauh prinsip formalitas.
Ide
terserak terakhir yang ingin saya sumbangkan adalah soal sosiogram atau
penilaian antar sesama peserta. Dengan adanya model pemeringkatan 10 Besar yang
masih diragukan obyektivitasnya, semestinya sosiogram dapat menjadi kontrol
terhadap akurasi pada komponen penilaian lainnya. Namun yang terjadi dapat
sebaliknya, dimana sosiogram justru menjadi pengacau penilaian atau pengabur
obyektivitas. Ada kecenderungan peserta mengisi secara “ngawur” untuk menguji
apakah penyelenggara benar-benar memiliki instrumen yang mampu mendeteksi
kemampuan dan kinerja riil peserta. Oleh karena itu, sosiogram apa adanya
sekarang sulit diandalkan, dan untuk membenahinya perlu dilengkapi dengan
metode lain, misalnya survey secara aksidental. Maksudnya, penyelenggara
sebaiknya tidak “menelan mentah-mentah” informasi dalam sosiogram, namun juga berusaha
mencari cara lain sebagai media cross-check
terhadap kebenaran sosiogram tersebut. Salah satu caranya adalah dengan membuat
survey tadi, yakni menanyakan secara langsung kepada beberapa peserta tertentu yang
dinilai tepat, jujur, dan seimbang untuk menggambarkan situasi nyata di kelompok
maupun di kelas.
Sebenarnya
masih ada beberapa ide sederhana yang ingin saya utarakan, namun sekali lagi berbagai
keterbatasan membuat saya memilih untuk berhenti sampai disini dan mengambil jeda
hingga kesempatan yang lebih baik menyambangi saya … J
Kampus
Pejompongan Jakarta
Minggu,
21 Agustus 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar