Di
ruang makan lantai 2 Gedung Graha Wisesa terdapat pengumuman berbunyi “Alangkah terhormatnya saya karena tidak
memakai sandal jepit, kain sarung, celana pendek, kaos oblong di ruang makan
ini”. Salah seorang teman komplain dengan mengatakan bahwa menghadap Allah
saja kita pakai sarung, masak dilarang
atau dianggap tidak sopan saat digunakan di ruang makan? Meski dalam nada
gurauan, celetukan kawan tadi menurut saya memiliki nilai kritik yang tajam dan
strategis.
Tajam, karena selama
ini kita terlanjur terjebak dalam mindset
bahwa penggunaan sarung adalah sesuatu yang tidak pada tempatnya. Menghadap
pejabat dengan sarung bisa jadi akan dipandang sebagai sikap tidak sesuai tata
krama dan bahkan penghinaan. Mengikuti rapat dengan memakai sarung sangat
mungkin dianggap sebagai orang gila. Pesan eksplisit yang terkandung pada
kalimat yang terpampang di ruang makan tadi sangat jelas, yakni orang yang makan
dengan berpakaian kain sarung adalah orang yang tidak terhormat. Maka, kritik
terhadap mindset seperti itu adalah
kritik yang sangat tajam dan jernih. Pertanyaannya, mengapa sarung yang
merupakan warisan budaya dan tradisi bangsa, justru dihinakan sedemikian rendah
oleh bangsa kita sendiri, sementara Tuhan saja sangat senang menerima hamba-Nya
yang bersarung? Sejak kapan bangsa ini menjadikan sarung sebagai peluntur
kehormatan seorang manusia?
Jika
kita flashback kembali ke jaman
pergerakan kemerdekaan, tokoh nasionalis religius seperti H. Agus Salim selalu
menggunakan pakaian kombinasi adat Jawa dan Islam, yang mengandung unsur
sarung. Demikian pula KH. Mustofa Bisri, sering berpakaian selayaknya H. Agus
Salim, meski pada acara-acara formal kenegaraan. Toch, tidak satupun orang di seluruh dunia yang menilai H. Agus
Salim atau KH. Mustofa Bisri tidak punya kehormatan. Justru dengan sepenuh hati
dan kebanggaan mau menggunakan produk asli negerinya dan identitas kulturalnya,
menunjukkan mereka sebagai kader pemimpin yang sangat kokoh dan berwibawa. H.
Agus Salim, yang pernah menjabat sebagai Menteri Luar Negeri, bahkan pernah
dijuluki sebagai "Orang Tua Besar" (The Grand Old Man).
Kritik
diatas juga saya katakana strategis,
karena ternyata kita tidak tahu bahwa kita memiliki potensi budaya yang besar
namun kita abaikan begitu saja. Dari pada melarang menggunakan sarung di
ruangan makan, atau dalam pertemuan resmi di tempat kerja, mengapa tidak kita
ambil pilihan yang sebaliknya? Katakanlah misalnya himbauan untuk menggunakan
sarung setiap hari Jum’at bersamaan dengan penggunaan Batik? Atau, kenapa tidak
sekalian diajdikan sebagai pakaian resmi rakyat Indonesia? Mengapa kita lebih
bangga menggunakan seragam orang lain (jas) dibanding kekayaan bangsa sendiri?
Apa yang harus membuat kita malu untuk bersarung? Bukankah sarung justru adalah
salah satu keunikan budaya Indonesia? Bukankah sarung juga memiliki potensi
ekonomi sangat besar jika ditunjang oleh kebijakan publik yang berpihak?
Bukankah sarung juga bisa dimanfaatkan sebagai alat diplomasi internasional,
sebagaimana warisan budaya (heritage)
kita yang lain seperti Angklung, Gamelan, Kain Kebaya, dan deretan kekayaan
bangsa yang tidak terbatas?
Maka,
perubahan mindset melihat kondisi dan
potensi bangsa sendiri harus dilakukan secara revolusioner. Dalam hal ini, LAN
sebagai institusi pemikir dan institusi pendidikan milik seluruh rakyat Indonesia,
harus mengambil peran sebagai garda terdepan dalam reformasi pola pikir.
Langkah kecil di awal yang dapat dilakukan adalah mengganti pengumuman yang
mearang pemakaian sarung menjadi pengumuman yang berisi ajakan (encouragement) untuk memasyarakatkan sarung
dan menjadikannya sejajar dengan model-model pakaian yang lebih dahulu populer.
Issu-issu yang mengangkat kekayaan etnis, tradisi dan budaya bangsa sebaiknya
juga dipromosikan melalui adopsi dalam konten kurikulum (misalnya dalam sessi
DIT), atau bisa juga melalui aplikasi nyata yakni “mewajibkan” peserta diklat
di LAN untuk mengkombinasikan batik dengan sarung setiap hari Jum’at.
Mungkin
saja LAN, dalam hal ini Pusdiklat SPIMNAS Bidang Kepemimpinan, tidak berani
melakukannya. Namun kepada siapa lagi kita berharap ada elemen anak bangsa yang
peduli terhadap nasib warisan leluhur yang begitu berharga? Menurut saya
pribadi, jika LAN berani melakukannya, ini akan menjadi sebuah ide besar yang
inovatif, serta akan terus bergulir menjadi wacana publik, dan pada akhirnya
akan diadopsi menjadi kebijakan nasional yang berlaku di seluruh wilayah
nusantara. Tentu saja, nama, corak dan cara pemakaian “sarung” akan sangat
bervariasi di berbagai daerah, dan itu membuat pelangi keragaman semakin indah
dan patut dibanggakan.
Pelajaran
lain yang saya tarik dari kasus “sarung” ini adalah bahwa originalitas
kebijakan tidak harus dicari dari lingkungan eksternal organisasi atau bangsa
Indonesia. Pembelajaran tidak harus ditempuh dengan mengirim tim untuk studi
banding yang hanya menghambur-hamburkan anggaran negara. Di tengah-tengah
bangsa sendiri sesungguhnya terdapat banyak sekali ragam potensi yang belum
tergali dan menjadi sumber tak ternilai harganya sebagai input kebijakan
publik. Sudah saatnya kita tidak alergi dan tidak tabu dengan hal-hal yang
berbau etnis atau tradisi. Sebaliknya, hal-hal tersebut harus dikembangkan
sebagai faktor untuk meningkatkan mutu dan harga diri kita sebagai bangsa
secara keseluruhan.
Kampus
Pejompongan Jakarta
Senin,
1 Agustus 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar