Selasa, 02 Agustus 2011

Sarung dalam Diklat: Tabu atau Mutu?


Di ruang makan lantai 2 Gedung Graha Wisesa terdapat pengumuman berbunyi “Alangkah terhormatnya saya karena tidak memakai sandal jepit, kain sarung, celana pendek, kaos oblong di ruang makan ini”. Salah seorang teman komplain dengan mengatakan bahwa menghadap Allah saja kita pakai sarung, masak dilarang atau dianggap tidak sopan saat digunakan di ruang makan? Meski dalam nada gurauan, celetukan kawan tadi menurut saya memiliki nilai kritik yang tajam dan strategis.

Tajam, karena selama ini kita terlanjur terjebak dalam mindset bahwa penggunaan sarung adalah sesuatu yang tidak pada tempatnya. Menghadap pejabat dengan sarung bisa jadi akan dipandang sebagai sikap tidak sesuai tata krama dan bahkan penghinaan. Mengikuti rapat dengan memakai sarung sangat mungkin dianggap sebagai orang gila. Pesan eksplisit yang terkandung pada kalimat yang terpampang di ruang makan tadi sangat jelas, yakni orang yang makan dengan berpakaian kain sarung adalah orang yang tidak terhormat. Maka, kritik terhadap mindset seperti itu adalah kritik yang sangat tajam dan jernih. Pertanyaannya, mengapa sarung yang merupakan warisan budaya dan tradisi bangsa, justru dihinakan sedemikian rendah oleh bangsa kita sendiri, sementara Tuhan saja sangat senang menerima hamba-Nya yang bersarung? Sejak kapan bangsa ini menjadikan sarung sebagai peluntur kehormatan seorang manusia?

Jika kita flashback kembali ke jaman pergerakan kemerdekaan, tokoh nasionalis religius seperti H. Agus Salim selalu menggunakan pakaian kombinasi adat Jawa dan Islam, yang mengandung unsur sarung. Demikian pula KH. Mustofa Bisri, sering berpakaian selayaknya H. Agus Salim, meski pada acara-acara formal kenegaraan. Toch, tidak satupun orang di seluruh dunia yang menilai H. Agus Salim atau KH. Mustofa Bisri tidak punya kehormatan. Justru dengan sepenuh hati dan kebanggaan mau menggunakan produk asli negerinya dan identitas kulturalnya, menunjukkan mereka sebagai kader pemimpin yang sangat kokoh dan berwibawa. H. Agus Salim, yang pernah menjabat sebagai Menteri Luar Negeri, bahkan pernah dijuluki sebagai "Orang Tua Besar" (The Grand Old Man).

Kritik diatas juga saya katakana strategis, karena ternyata kita tidak tahu bahwa kita memiliki potensi budaya yang besar namun kita abaikan begitu saja. Dari pada melarang menggunakan sarung di ruangan makan, atau dalam pertemuan resmi di tempat kerja, mengapa tidak kita ambil pilihan yang sebaliknya? Katakanlah misalnya himbauan untuk menggunakan sarung setiap hari Jum’at bersamaan dengan penggunaan Batik? Atau, kenapa tidak sekalian diajdikan sebagai pakaian resmi rakyat Indonesia? Mengapa kita lebih bangga menggunakan seragam orang lain (jas) dibanding kekayaan bangsa sendiri? Apa yang harus membuat kita malu untuk bersarung? Bukankah sarung justru adalah salah satu keunikan budaya Indonesia? Bukankah sarung juga memiliki potensi ekonomi sangat besar jika ditunjang oleh kebijakan publik yang berpihak? Bukankah sarung juga bisa dimanfaatkan sebagai alat diplomasi internasional, sebagaimana warisan budaya (heritage) kita yang lain seperti Angklung, Gamelan, Kain Kebaya, dan deretan kekayaan bangsa yang tidak terbatas?

Maka, perubahan mindset melihat kondisi dan potensi bangsa sendiri harus dilakukan secara revolusioner. Dalam hal ini, LAN sebagai institusi pemikir dan institusi pendidikan milik seluruh rakyat Indonesia, harus mengambil peran sebagai garda terdepan dalam reformasi pola pikir. Langkah kecil di awal yang dapat dilakukan adalah mengganti pengumuman yang mearang pemakaian sarung menjadi pengumuman yang berisi ajakan (encouragement) untuk memasyarakatkan sarung dan menjadikannya sejajar dengan model-model pakaian yang lebih dahulu populer. Issu-issu yang mengangkat kekayaan etnis, tradisi dan budaya bangsa sebaiknya juga dipromosikan melalui adopsi dalam konten kurikulum (misalnya dalam sessi DIT), atau bisa juga melalui aplikasi nyata yakni “mewajibkan” peserta diklat di LAN untuk mengkombinasikan batik dengan sarung setiap hari Jum’at.

Mungkin saja LAN, dalam hal ini Pusdiklat SPIMNAS Bidang Kepemimpinan, tidak berani melakukannya. Namun kepada siapa lagi kita berharap ada elemen anak bangsa yang peduli terhadap nasib warisan leluhur yang begitu berharga? Menurut saya pribadi, jika LAN berani melakukannya, ini akan menjadi sebuah ide besar yang inovatif, serta akan terus bergulir menjadi wacana publik, dan pada akhirnya akan diadopsi menjadi kebijakan nasional yang berlaku di seluruh wilayah nusantara. Tentu saja, nama, corak dan cara pemakaian “sarung” akan sangat bervariasi di berbagai daerah, dan itu membuat pelangi keragaman semakin indah dan patut dibanggakan.

Pelajaran lain yang saya tarik dari kasus “sarung” ini adalah bahwa originalitas kebijakan tidak harus dicari dari lingkungan eksternal organisasi atau bangsa Indonesia. Pembelajaran tidak harus ditempuh dengan mengirim tim untuk studi banding yang hanya menghambur-hamburkan anggaran negara. Di tengah-tengah bangsa sendiri sesungguhnya terdapat banyak sekali ragam potensi yang belum tergali dan menjadi sumber tak ternilai harganya sebagai input kebijakan publik. Sudah saatnya kita tidak alergi dan tidak tabu dengan hal-hal yang berbau etnis atau tradisi. Sebaliknya, hal-hal tersebut harus dikembangkan sebagai faktor untuk meningkatkan mutu dan harga diri kita sebagai bangsa secara keseluruhan.

Kampus Pejompongan Jakarta
Senin, 1 Agustus 2011

Tidak ada komentar: