Entah
ada hubungannya atau tidak, tiba-tiba saya ingin menganalogikan diklat dengan
agama. Selama ini orang mengkritik diklat dengan mengatakan bahwa alumni diklat
tidak berubah setelah kembali ke induk organisasinya, atau bahwa alumni diklat
banyak yang tersangkut kasus korupsi, atau bahwa mereka berkontribusi positif
terhadap kinerja lembaga, dan seterusnya. Seolah-olah, diklat adalah obat mujarab
untuk semua penyakit organisasi atau tempat pengecoran logam dimana kita bisa
mengolah logam cair menjadi bentuk apapun yang kita kehendaki. Maka, diklat
menjadi “tertuduh” ketika gagal menghasilkan manusia yang unggul dan bermutu
tinggi, berbudi luhur dan berkarakter mulia, cekatan dan terampil, dan
sebagainya.
Sama kasusnya dengan pendidikan agama. Meski sekolah agama bertebaran dimana-mana, pengajian dan kebaktian digelar dengan frekuensi yang amat tinggi, media dakwah juga beraneka ragam, tetap saja banyak kasus pelanggaran nilai-nilai keagamaan seperti mencuri (termasuk korupsi), berbohong, memfitnah, dan beragam tindakan tidak terpuji lainnya. Dalam kasus seperti itu, apakah agama harus disalahkan? Tentu saja tidak.
Diklat
maupun agama hanyalah berisi program-program penyadaran dan pencerahan. Soal
apakah keduanya dapat menjadikan orang tersadarkan atau tercerahkan, akan
sangat tergantung kepada pribadi orang tersebut, apakah ada niat bulat untuk
menerapkan nilai-nilai yang diperoleh dari diklat dan ajaran agama, atau tidak.
Sebagai contoh, di Diklatpim II ini ada peserta yang sangat sungguh-sungguh
belajar dengan segenap kemampuannya dilandasi hasrat meningkatkan kompetensi
dirinya, namun ada pula yang sekedar mencari sertifikat kelulusan. Nah, ketika
hasil yang mereka peroleh sangat bertolak belakang, semestinya bukan program
diklat yang dikambinghitamkan. Sama halnya ketika banyak tindakan asusila atau
perbuatan dosa yang dilakukan seseorang, bukan agama atau ustadznya yang
dipersalahkan.
Hal
terpenting adalah bahwa program diklat tersebut sudah didesain sedemikian rupa
sehingga membentuk sebuah sistem yang dapat diandalkan untuk membangun
profesionalisme seseorang. Soal apakah dia mau memanfaatkan kesempatan ikut
diklat sebagai kesempatan emas membangun kapasitas individunya atau tidak, hal
itu sepenuhnya berkaitan dengan motivasi intrinsiknya, bukan tanggungjawab
program diklat. Dalam bahasa agama, kita tidak bisa memaksa seseorang untuk
beriman, karena iman akan datang seiring dengan upaya kita mencari hidayah dari
Sang Maha Pencipta.
Baik
diklat maupun agama hanyalah trigger dari
luar diri seseorang, yang kekuatannya jauh lebih kecil dibanding semangat dan
motivasi yang berasal dari dalamnya lubuk hati. Dalam beberapa hal, nilai-nilai
yang dikembangkan dalam diklat atau diajarkan dalam agama memang dapat
merangsang tumbuhnya kesadaran seseorang untuk menjadikan dirinya lebih
berkualitas atau lebih mulis (outside in).
Namun, internalisasi nilai-nilai diluar kejiwaan seseorang ini seringkali bersifat
temporer, sehingga tidak dapat terlalu diharapkan untuk merubah perilaku
seseorang untuk jangka panjang. Model pembentukan karakter dan kepribadian yang
jauh lebih efektif adalah melalui proses pengendapan, penghayatan dan penanaman
keyakinan terhadap sebuah sistem nilai, untuk kemudian diaplikasikan dalam
perbuatan sosial (inside out).
Oleh
karena diklat maupun ceramah agama hanya dapat mempengaruhi sikap mental
seseorang secara temporer, maka sedapat mungkin program diklat dan ceramah tadi
harus dilakukan secara terus-menerus atau berkelanjutan (sustain) dan berulang-ulang (repetitive).
Sesungguhnya hanya sebuah kemubaziran ketika satu jenjang jabatan (eselon)
hanya menyediakan satu kali diklat. Akan lebih baik kiranya jika didesain
program diklat yang pendek-pendek namun dengan frekuensi yang lebih sering.
Selain dapat menjadi forum penyegaran terhadap materi yang pernah diberikan
pada diklat yang sebelumnya, frekuensi keikutsertaan dalam diklat yang lebih banyak
juga memberi peluang interaksi antar pejabat yang lebih sering pula, sehingga
terjadi efek cross learning, experience sharing, sekaligus membangun mutual understanding antar institusi.
Ini
hanyalah pemikiran sederhana yang mungkin dapat dipertimbangkan untuk mengupayakan
perbaikan sistem diklat aparatur. Meskipun demikian, apapun upaya yang akan ditempuh,
semuanya akan kembali kepada masing-masing individu, apakah akan menjadikan materi
diklat sebagai pelecut kinerja, atau ceramah agama sebagai pengobar semangat berbuat
kebaikan, ataukah tidak. Sebagaimana Firman Allah bahwa nasib suatu kaum tidak akan
berubah kecuali kaum tersebut yang mengubahnya, maka kompetensi seseorang juga tidak
akan pernah meningkat selama ia tidak sungguh-sungguh ingin meningkatkannya. Pandai
dan bodoh bukanlah takdir, sebagaimana sukses dan gagal bukanlah kehendak Tuhan.
Semuanya adalah pilihan dan kehendak bebas (free
will) kita sendiri. Maka, tentukan pilihanmu … sekarang!
Kampus
Pejompongan Jakarta
Jum’at,
5 Agustus 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar