Sabtu, 06 Agustus 2011

Semua Kembali Kepada Diri Sendiri


Entah ada hubungannya atau tidak, tiba-tiba saya ingin menganalogikan diklat dengan agama. Selama ini orang mengkritik diklat dengan mengatakan bahwa alumni diklat tidak berubah setelah kembali ke induk organisasinya, atau bahwa alumni diklat banyak yang tersangkut kasus korupsi, atau bahwa mereka berkontribusi positif terhadap kinerja lembaga, dan seterusnya. Seolah-olah, diklat adalah obat mujarab untuk semua penyakit organisasi atau tempat pengecoran logam dimana kita bisa mengolah logam cair menjadi bentuk apapun yang kita kehendaki. Maka, diklat menjadi “tertuduh” ketika gagal menghasilkan manusia yang unggul dan bermutu tinggi, berbudi luhur dan berkarakter mulia, cekatan dan terampil, dan sebagainya.

Sama kasusnya dengan pendidikan agama. Meski sekolah agama bertebaran dimana-mana, pengajian dan kebaktian digelar dengan frekuensi yang amat tinggi, media dakwah juga beraneka ragam, tetap saja banyak kasus pelanggaran nilai-nilai keagamaan seperti mencuri (termasuk korupsi), berbohong, memfitnah, dan beragam tindakan tidak terpuji lainnya. Dalam kasus seperti itu, apakah agama harus disalahkan? Tentu saja tidak.

Diklat maupun agama hanyalah berisi program-program penyadaran dan pencerahan. Soal apakah keduanya dapat menjadikan orang tersadarkan atau tercerahkan, akan sangat tergantung kepada pribadi orang tersebut, apakah ada niat bulat untuk menerapkan nilai-nilai yang diperoleh dari diklat dan ajaran agama, atau tidak. Sebagai contoh, di Diklatpim II ini ada peserta yang sangat sungguh-sungguh belajar dengan segenap kemampuannya dilandasi hasrat meningkatkan kompetensi dirinya, namun ada pula yang sekedar mencari sertifikat kelulusan. Nah, ketika hasil yang mereka peroleh sangat bertolak belakang, semestinya bukan program diklat yang dikambinghitamkan. Sama halnya ketika banyak tindakan asusila atau perbuatan dosa yang dilakukan seseorang, bukan agama atau ustadznya yang dipersalahkan.

Hal terpenting adalah bahwa program diklat tersebut sudah didesain sedemikian rupa sehingga membentuk sebuah sistem yang dapat diandalkan untuk membangun profesionalisme seseorang. Soal apakah dia mau memanfaatkan kesempatan ikut diklat sebagai kesempatan emas membangun kapasitas individunya atau tidak, hal itu sepenuhnya berkaitan dengan motivasi intrinsiknya, bukan tanggungjawab program diklat. Dalam bahasa agama, kita tidak bisa memaksa seseorang untuk beriman, karena iman akan datang seiring dengan upaya kita mencari hidayah dari Sang Maha Pencipta.

Baik diklat maupun agama hanyalah trigger dari luar diri seseorang, yang kekuatannya jauh lebih kecil dibanding semangat dan motivasi yang berasal dari dalamnya lubuk hati. Dalam beberapa hal, nilai-nilai yang dikembangkan dalam diklat atau diajarkan dalam agama memang dapat merangsang tumbuhnya kesadaran seseorang untuk menjadikan dirinya lebih berkualitas atau lebih mulis (outside in). Namun, internalisasi nilai-nilai diluar kejiwaan seseorang ini seringkali bersifat temporer, sehingga tidak dapat terlalu diharapkan untuk merubah perilaku seseorang untuk jangka panjang. Model pembentukan karakter dan kepribadian yang jauh lebih efektif adalah melalui proses pengendapan, penghayatan dan penanaman keyakinan terhadap sebuah sistem nilai, untuk kemudian diaplikasikan dalam perbuatan sosial (inside out).

Oleh karena diklat maupun ceramah agama hanya dapat mempengaruhi sikap mental seseorang secara temporer, maka sedapat mungkin program diklat dan ceramah tadi harus dilakukan secara terus-menerus atau berkelanjutan (sustain) dan berulang-ulang (repetitive). Sesungguhnya hanya sebuah kemubaziran ketika satu jenjang jabatan (eselon) hanya menyediakan satu kali diklat. Akan lebih baik kiranya jika didesain program diklat yang pendek-pendek namun dengan frekuensi yang lebih sering. Selain dapat menjadi forum penyegaran terhadap materi yang pernah diberikan pada diklat yang sebelumnya, frekuensi keikutsertaan dalam diklat yang lebih banyak juga memberi peluang interaksi antar pejabat yang lebih sering pula, sehingga terjadi efek cross learning, experience sharing, sekaligus membangun mutual understanding antar institusi.

Ini hanyalah pemikiran sederhana yang mungkin dapat dipertimbangkan untuk mengupayakan perbaikan sistem diklat aparatur. Meskipun demikian, apapun upaya yang akan ditempuh, semuanya akan kembali kepada masing-masing individu, apakah akan menjadikan materi diklat sebagai pelecut kinerja, atau ceramah agama sebagai pengobar semangat berbuat kebaikan, ataukah tidak. Sebagaimana Firman Allah bahwa nasib suatu kaum tidak akan berubah kecuali kaum tersebut yang mengubahnya, maka kompetensi seseorang juga tidak akan pernah meningkat selama ia tidak sungguh-sungguh ingin meningkatkannya. Pandai dan bodoh bukanlah takdir, sebagaimana sukses dan gagal bukanlah kehendak Tuhan. Semuanya adalah pilihan dan kehendak bebas (free will) kita sendiri. Maka, tentukan pilihanmu … sekarang!

Kampus Pejompongan Jakarta
Jum’at, 5 Agustus 2011

Tidak ada komentar: