RPL
yang pertama adalah Recognition of Prior
Learning sedangkan RPL kedua adalah Recognition
of Post Learning. Mirip-mirip dengan konsep Pre-test dan Post-test,
namun dengan proses dan treatment kebijakan
yang sangat berbeda.
Pada
konsep Pre-test dan Post-test, calon peserta diberi soal
ujian sebelum mengikuti program diklat, dan diberi soal yang sama setelah
menyelesaikannya. Jika skor/nilai post-test
lebih baik dibanding pre-test,
maka disimpulkan bahwa diklat tersebut telah berhasil meningkatkan kompetensi peserta.
Meski tidak sepenuhnya salah, namun konsep Pre-test
dan Post-test ini mengandung
banyak kelemahan. Salah satunya adalah hasil post-test tidak menunjukkan kompetensi yang sesungguhnya, apalagi
jika belum ada direktori standar kompetensi, sehingga sulit untuk membandingkan
antara capaian dengan standar yang ditetapkan. Kelemahan lain, ujian yang sama
(dengan soal yang relatif sama) jika diberikan untuk kedua kali, tentu saja
akan memberikan hasil yang lebih baik, karena peserta ujian sudah mengetahui jenis
soal yang diberikan. Artinya, tanpa harus mengikuti diklatpun, dapat ditarik
hipotesis bahwa post-test akan selalu
lebih baik dari pada pre-test.
Oleh
karena itu, konsep RPL sementara ini diyakini sebagai sebuah terobosan yang
lebih baik untuk mengukur peningkatan kompetensi peserta diklat sekaligus
mengukur efektivitas program diklat. Cara kerja RPL (pertama) secara garis
besar adalah sebagai berikut. Calon peserta diklat diseleksi secara administratif,
dan jika memenuhi syarat administratif, kompetensinya diasses
untuk mendeteksi
atau memetakan kompetensi awal yang telah dimiliki. Apabila calon
peserta tersebut dianggap
telah memiliki kompetensi sebagai pejabat eselon tertentu, maka instansi yang bertanggungjawab di bidang pendayagunaan aparatur (MenPAN), menerbitkan sertifikat kompetensi dan yang bersangkutan
tidak perlu mengikuti diklat. Namun ada kalanya calon
peserta diklat tidak lulus assessment, dan hanya dinyatakan
lulus bersyarat dalam tes seleksi. Dalam kasus seperti ini, maka calon peserta tersebut wajib mengikuti diklat untuk menutupi gap kompetensinya. Kemungkinan ketiga, ada calon
peserta diklat yang tidak lulus assessment, dan diberikan kesempatan untuk
mencoba ikut tes assessment sebanyak tiga kali. Jika gagal untuk ketiga
kalinya, maka yang bersangkutan tidak diperkenankan mengikuti diklat.
Asumsinya, meskipun diikutsertakan dalam diklat apapun, yang bersangkutan
memang tidak memiliki dasar kompetensi yang memadai sehingga jika dipaksa masuk
program diklat hanya menjadi pemborosan sumber daya.
Dalam
hal seseorang telah mengkuti diklat, maka pada akhir pembelajaran dilakukan RPL
lagi (kedua). Jika dinyatakan lulus dan dianggap telah memiliki kompetensi
baru, maka yang bersangkutan berubah status menjadi alumni dan diberi
STTPP (sertifikat
kompetensi) dari LAN atau Kantor MenPAN. Sedangkan calon peserta
yang tidak lulus ujian,
akan diberi kesempatan untuk mengikuti ujian ulang
sampai dengan 3 (tiga) kali, jika tetap tidak lulus maka diberikan surat
keterangan telah mengikuti diklat saja (bukan sertifikat kompetensi).
Konsep
baru ini menawarkan banyak keuntungan. Pertama,
akan menekan inefisiensi dalam investasi SDM (human investment) sektor publik, karena mereka yang tidak layak
atau tidak memiliki cukup kompetensi dasar akan terseleksi dengan sendirinya. Sementara
bagi yang sudah memiliki kompetensi, juga tidak perlu membuang waktu hanya untuk
mengikuti diklat. Pola baru seperti ini tidak memandang diklat (khususnya
Diklat Kepemimpinan) sebagai program yang paling tepat untuk kondisi yang
berbeda (one size fits all). Kedua, orang-orang yang masuk program
diklat adalah mereka yang memiliki kadar kompetensi relatif berimbang, tidak
ada yang terlalu tinggi, namun juga tidak terlalu rendah. Dengan tingkat
kompetensi yang relatif berimbang ini, maka persaingan antar peserta selama
berada dalam kelas diharapkan dapat berjalan lebih dinamis dan seimbang pula.
Program
Diklatpim II selama ini bukan berarti tidak memberi efek positif untuk
peningkatan kompetensi peserta/alumni. Namun, saya yakin bahwa dengan
menerapkan RPL (pre) dan RPL (post) dalam siklus diklat, maka kualitas
diklat secara keseluruhan dapat ditingkatkan secara signifikan. Tentu saja
banyak prakondisi yang ahrus disiapkan, namun jika tidak dimulai sekarang,
kapan lagi? So, mari kita gulirkan
terus ide reformasi diklat aparatur, mumpung nuansa reformasi birokrasi tengah
bergaung dimana-mana.
Kampus
Pejompongan Jakarta
Selasa, 9 Agustus
2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar