Sabtu, 13 Agustus 2011

Dari RPL ke RPL


RPL yang pertama adalah Recognition of Prior Learning sedangkan RPL kedua adalah Recognition of Post Learning. Mirip-mirip dengan konsep Pre-test dan Post-test, namun dengan proses dan treatment kebijakan yang sangat berbeda.  

Pada konsep Pre-test dan Post-test, calon peserta diberi soal ujian sebelum mengikuti program diklat, dan diberi soal yang sama setelah menyelesaikannya. Jika skor/nilai post-test lebih baik dibanding pre-test, maka disimpulkan bahwa diklat tersebut telah berhasil meningkatkan kompetensi peserta. Meski tidak sepenuhnya salah, namun konsep Pre-test dan Post-test ini mengandung banyak kelemahan. Salah satunya adalah hasil post-test tidak menunjukkan kompetensi yang sesungguhnya, apalagi jika belum ada direktori standar kompetensi, sehingga sulit untuk membandingkan antara capaian dengan standar yang ditetapkan. Kelemahan lain, ujian yang sama (dengan soal yang relatif sama) jika diberikan untuk kedua kali, tentu saja akan memberikan hasil yang lebih baik, karena peserta ujian sudah mengetahui jenis soal yang diberikan. Artinya, tanpa harus mengikuti diklatpun, dapat ditarik hipotesis bahwa post-test akan selalu lebih baik dari pada pre-test. 

Oleh karena itu, konsep RPL sementara ini diyakini sebagai sebuah terobosan yang lebih baik untuk mengukur peningkatan kompetensi peserta diklat sekaligus mengukur efektivitas program diklat. Cara kerja RPL (pertama) secara garis besar adalah sebagai berikut. Calon peserta diklat diseleksi secara administratif, dan jika memenuhi syarat administratif, kompetensinya diasses untuk mendeteksi atau memetakan kompetensi awal yang telah dimiliki. Apabila calon peserta tersebut dianggap telah memiliki kompetensi sebagai pejabat eselon tertentu, maka instansi yang bertanggungjawab di bidang pendayagunaan aparatur (MenPAN), menerbitkan sertifikat kompetensi dan yang bersangkutan tidak perlu mengikuti diklat. Namun ada kalanya calon peserta diklat tidak lulus assessment, dan hanya dinyatakan lulus bersyarat dalam tes seleksi. Dalam kasus seperti ini, maka calon peserta tersebut wajib mengikuti diklat untuk menutupi gap kompetensinya. Kemungkinan ketiga, ada calon peserta diklat yang tidak lulus assessment, dan diberikan kesempatan untuk mencoba ikut tes assessment sebanyak tiga kali. Jika gagal untuk ketiga kalinya, maka yang bersangkutan tidak diperkenankan mengikuti diklat. Asumsinya, meskipun diikutsertakan dalam diklat apapun, yang bersangkutan memang tidak memiliki dasar kompetensi yang memadai sehingga jika dipaksa masuk program diklat hanya menjadi pemborosan sumber daya. 

Dalam hal seseorang telah mengkuti diklat, maka pada akhir pembelajaran dilakukan RPL lagi (kedua). Jika dinyatakan lulus dan dianggap telah memiliki kompetensi baru, maka yang bersangkutan berubah status menjadi alumni dan diberi STTPP (sertifikat kompetensi) dari LAN atau Kantor MenPAN. Sedangkan calon peserta yang tidak lulus ujian, akan diberi kesempatan untuk mengikuti ujian ulang sampai dengan 3 (tiga) kali, jika tetap tidak lulus maka diberikan surat keterangan telah mengikuti diklat saja (bukan sertifikat kompetensi). 

Konsep baru ini menawarkan banyak keuntungan. Pertama, akan menekan inefisiensi dalam investasi SDM (human investment) sektor publik, karena mereka yang tidak layak atau tidak memiliki cukup kompetensi dasar akan terseleksi dengan sendirinya. Sementara bagi yang sudah memiliki kompetensi, juga tidak perlu membuang waktu hanya untuk mengikuti diklat. Pola baru seperti ini tidak memandang diklat (khususnya Diklat Kepemimpinan) sebagai program yang paling tepat untuk kondisi yang berbeda (one size fits all). Kedua, orang-orang yang masuk program diklat adalah mereka yang memiliki kadar kompetensi relatif berimbang, tidak ada yang terlalu tinggi, namun juga tidak terlalu rendah. Dengan tingkat kompetensi yang relatif berimbang ini, maka persaingan antar peserta selama berada dalam kelas diharapkan dapat berjalan lebih dinamis dan seimbang pula. 

Program Diklatpim II selama ini bukan berarti tidak memberi efek positif untuk peningkatan kompetensi peserta/alumni. Namun, saya yakin bahwa dengan menerapkan RPL (pre) dan RPL (post) dalam siklus diklat, maka kualitas diklat secara keseluruhan dapat ditingkatkan secara signifikan. Tentu saja banyak prakondisi yang ahrus disiapkan, namun jika tidak dimulai sekarang, kapan lagi? So, mari kita gulirkan terus ide reformasi diklat aparatur, mumpung nuansa reformasi birokrasi tengah bergaung dimana-mana. 

Kampus Pejompongan Jakarta
Selasa, 9 Agustus 2011

Tidak ada komentar: