Hari
ini adalah hari kedua puasa, yang menjadi hari pertama puasa di kelas Diklatpim
II (hari pertama puasa diisi dengan belajar mandiri). Ada sedikit situasi yang
berbeda dibanding hari-hari sebelumnya, yakni suasana kelas yang lebih sepi
karena ada beberapa kawan yang mengambil ijin. Selebihnya, peserta terlihat
tetap enerjik dan semangat, tidak nampak raut-raut muka lesu. Entah karena baru
dua hari berpuasan atau alasan lain, yang pasti semangat peserta dalam belajar
sehari penuh membuat saya salut dan berbangga hati.
Hari
pertama pembelajaran pada bulan Ramadhan ini juga ditandai dengan kejutan
menyenangkan dari peserta yang baru kembali dari daerah. Saya sangat terkejut
ketika waktu berbuka tiba, ternyata di ruang makan telah terhampar begitu
banyak makanan khas daerah, yang paling banyak adalah empek-empek Palembang.
Ada juga kawan yang membawa Bolu Meranti khas Medan, jojorong khas Banten, dan
sebagainya. Sangat mungkin situasi ini tidak akan terulang besok dan hari-hari
berikutnya. Pemandangan di ruang makan tadi, sekali lagi, meyakinkan saya bahwa
bangsa kita teramat kaya dengan aneka ragam budaya, yang salah satu wujudnya
berupa aneka ragam makanan tradisional.
Seketika
saya terinspirasi oleh jurnal #33 tentang warisan budaya berupa sarung yang
selayaknya mendapat perhatian serius dari pimpinan nasional. Demikian pula, potensi
kuliner dari berbagai daerah juga harus dipromosikan secara optimal, misalnya
dengan menjadikannya sebagai menu pilihan pada program diklat yang
diselenggarakan oleh pemerintah.
Selama
ini saya mencermati bahwa kebijakan pemerintah belum cukup membuka ruang bagi
pengembangan produk unggulan lokal. Wacana keberpihakan begitu gencar namun
realisasi sering tidak sesuai dengan wacana yang didengung-dengungkan. Karena
bangsa kita lebih pandai berwacana, maka ketahanan pangan sulit sekali terwujud
meski Indonesia adalah negara agraris; kelangkaan air bersih terjadi
dimana-mana meski tingkat curah hujan sangat tinggi hingga menimbulkan bencana
banjir; pemasukan devisa sektor pariwisata rendah sementara potensi atraksi
budaya dan keanekaragaman wisata melimpah ruah; rakyat dan pemerintah miskin
meski kekayaan alam nyaris tak terbatas. Lebih ironis lagi, ketika kekayaan
kita di-claim oleh negara tetangga,
baru kita merasa kecolongan dan bertindak reaktif. Artinya, kesadaran sebagai
bangsa akan kekayaan dirinya sangat terlambat sebagai akibat kebijakan publik
yang seringkali tidak berpihak kepada diri sendiri dan lebih banyak melihat
keluar (outward looking).
Padahal,
kebijakan pemerintah sesungguhnya tidak hanya berfungsi regulatif untuk
menciptakan ketertiban ditengah masyarakat, namun juga untuk menggali dan
memberi nilai tambah terhadap potensi anak bangsa, sekaligus untuk menciptakan
keberdayaan rakyat kecil, komoditas yang berdaya saing lemah, serta melindungi
kelompok masyarakat yang tidak beruntung secara sosial ekonomi maupun politik (disadvantaged groups). Perkara sebuah kebijakan
harus berpandangan jauh melampaui spectrum (out
of the box), adalah sebuah kebutuhan. Namun jangan sampai pandangan keluar tadi
kemudian melenakan diri dari kewajiban untuk berpikir kedalam (inward looking). Dengan kata lain, harus
ada keseimbangan antara berpikir global dengan bertindak lokal (think globally, act locally).
Satu
hal lagi yang saya amati pada hari ini adalah “kemanjaan” peserta yang meminta dilakukan
penyesuaian jadual pembelajaran. Kemanjaan pertama sudah terjadi minggu lalu ketika
minta kepada penyelenggara untuk menetapkan hari senin, 1 Agustus, sebagai aktivitas
belajar mandiri. Implikasi dari penetapan sebagai belajar mandiri tadi, maka pada
hari Selasa dan Rabu ada tambahan jam belajar malam hari. Namun, pengurus kelas
– atas nama peserta – sekali lagi meminta dispensasi agar jam malam tadi ditarik
ke sore hari, sehingga jam 18.00 seluruh rangkaian belajar sudah dapat diakhiri.
Sebagai
peserta, tentu saja saya sangat tidak keberatan dengan opsi tersebut. Namun sebagai
bagian dari organisasi publik yang dituntut untuk mampu menunjukkan konsistensi
atas pilihan, ketaatan terhadap aturan, serta keteladanan bagi orang lain, saya
cenderung memilih untuk berpegang teguh pada jadual semula. Jika seorang pemimpin
atau calon pemimpin tidak memegang janjinya, apa yang akan terjadi dengan orang-orang
yang dipimpinnya? Jika pemimpin tidak mau bekerja keras dan berkorban diri, bagaimana
mungkin orang lain akan meneladaninya? Sikap manja dan upaya untuk selalu mencari
dispensasi jelas tidak mencerminkan jiwa kepemimpinan yang kokoh.
Saya
jadi mengerti kata pepatah: guru kencing berdiri,
murid kecing berlari. Pepatah serupa dari Arab mengatakan: saya lebih takut 1000 pasukan itik yang dipimpin
seekor singa, dari pada 1000 pasukan singa yang dipimpin oleh seekor itik. Pelajaran
yang terkandung dalam kedua pepatah tadi adalah, baik buruknya suatu organisasi,
maju mundurnya sebuah negara, dan berhasil tidaknya sebuah misi, akan sangat tergantung
pada pemimpinnya. Nah, jika dalam temporary
system saja peserta sudah manja, bagaimana ketika kembali ke permanent system nantinya?
Kampus
Pejompongan Jakarta
Selasa, 2 Agustus
2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar