Hari
Kamis dan Jumat kemarin kami menjalani ujian KTP-2 (Karya Tulis Prestasi
Perseorangan). Penulisan KTP-2 sendiri mengikuti alur seperti penulisan karya
tulis ilmiah, yang didahului dengan penetapan pembimbing, pengajuan TOR atau
proposal, rangkaian konsultasi per bab, hingga kaidah penulisan yang haru
memenuhi standar akademis pula. Namun dilihat dari waktu yang tersedia serta tumpukan
tugas-tugas lainnya, agak sulit mengharapkan lahir sebuah karya tulis yang baik
dan mampu merumuskan rekomendasi kebijakan yang bersifat terobosan (breakthrough). Bayangkan saja, pada saat
berangkat SL sebagian besar peserta baru menyelesaikan Bab I dan II, bahkan
pembimbing baru memberikan persetujuan atas konsep Bab I. Namun hanya 2 hari
sepulang dari SL, peserta sudah harus menyerahkan draft KTP-2 lengkap. Akhirnya
mudah diterka, bahwa konsep KTP-2 yang diajukan peserta tidak mendapat
perhatian, catatan, dan perbaikan yang memadai dari widyaiswara pembimbing.
Dalam
keadaan KTP-2 yang tidak mendapat bimbingan cukup itulah kami harus paparkan di
depan widyaiswara penguji. Maka, mudah diterka pula jika penguji dengan mudah
menemukan banyak kekurangan dan kelemahan dari paparan peserta. Di pihak lain,
cukup wajar jika peserta yang merasa hasil karyanya “diobrak-abrik” oleh
penguji lantas mencari sisi lemah dari sistem atau pola penulisan dan
pembimbingan KTP-2 tersebut. Seperti yang dialami seorang dari Kalimantan yang
mendapat banyak catatan, beliau merasa keberatan karena diuji tanpa didampingi
oleh pembimbing. Teman ini lantas membandingkan dengan ujian thesis atau
disertasi yang selalu didampingi pembimbing atau promotor. Beliau juga
mengkhawatirkan adanya perbedaan persepsi antara pembimbing dan penguji, yang
berujung pada banyaknya catatan perbaikan saat ujian tersebut.
Pada
kasus lain, perbedaan persepsi diantara peserta tentang “binatang” bernama
KTP-2 juga tidak dapat dihindari. Salah seorang peserta yang bergelar Doktor
dan berprofesi sebagai dosen di PTN di Jakarta melihat KTP-2 murni sebagai
produk akademik sekelas thesis. Oleh karenanya, pada saat menjadi pembahas-pun
beliau menceritakan pengalaman pribadinya selaku penguji thesis, dan memberikan
komentar terhadap KTP-2 temannya benar-benar layaknya menguji thesis. Padahal,
bagi peserta lain (termasuk saya), KTP-2 bukanlah produk akademik sepenuhnya.
Dilihat dari proses penulisan serta metodologi yang digunakan saja, KTP-2
sangat jauh untuk disebut sebagai karya ilmiah sekelas thesis. KTP-2 lebih
merupakan dokumen kerja atau dokumen perencanaan dalam rangka penjabaran
Tupoksi organisasi, sehingga dialah yang diasumsikan paling memahami isi dari
KTP-2, bukan pembimbing, atau penguji, atau pembahas. Oleh sebab itu,
“mengobrak-abrik” KTP-2 orang lain semestinya bukan sebuah hal yang ideal,
sepanjang penulis KTP-2 benar-benar menguasai substansi serta benar-benar
bertanggungjawab terhadap isi karya tulisnya. Hal ini berbeda dengan karya
ilmiah thesis atau disertasi, dimana pembimbing (promotor) atau penguji memang
memiliki kompetensi akademik untuk “mengobrak-abrik” jika tidak sesuai dengan
kaidah ilmiah yang benar.
Satu
hal lagi, kesan umum yang agak sulit dihindari adanya kesan bahwa KTP-2 hanyalah
formalitas belaka dari rangkaian program Diklatpim II. Ketidakseriusan peserta
untuk bertanya secara tajam dan kritis adalah salah satu indikasinya. Indikasi
lain, banyak peserta yang sesungguhnya tidak menguasai apa yang disampaikan.
Mereka lebih fasih membaca dari pada menganalisis. Hal ini menghidupkan lagi
kecurigaan tentang kemungkinan “sumber yang sama” dalam penulisan KTP-2 dan
penyiapan paparan, terbukti dari banyaknya kemiripan yang sangat kentara dari
model slide powerpoint antar peserta.
Ironisnya, indikasi-indikasi seperti ini seolah-olah dipandang sebagai
kelaziman yang tidak diikuti dengan langkah konkrit untuk mengatasinya.
Dalam
konteks kedepan, sesi penulisan, pembimbingan dan ujian KTP-2 ini harus
diposisikan sebagai dimensi kritis dari upaya perbaikan sistem diklat,
khususnya Diklatpim II. Salah satunya adalah dengan melakukan pengaturan jadual
yang lebih realistis, serta pengurangan tugas-tugas yang tidak perlu namun
menyita waktu banyak (time consuming).
Pembenahan sistem penulisan hingga ujian KTP-2 juga sangat terkait dengan bergentayangannya
para tuyul yang merusak integritas peserta dan kredibilitas program diklat (Baca
Jurnal #15). Maka, menyempurnakan manajemen KTP-2 juga harus sistemik, sebagaimana
para Widyaiswara mengajarkan bahwa pejabat eselon II harus mampu berpikir secara
sistemik atau serba sistem.
Kampus
Pejompongan Jakarta
Sabtu,
20 Agustus 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar