Senin, 22 Agustus 2011

Tentang Ujian KTP-2


Hari Kamis dan Jumat kemarin kami menjalani ujian KTP-2 (Karya Tulis Prestasi Perseorangan). Penulisan KTP-2 sendiri mengikuti alur seperti penulisan karya tulis ilmiah, yang didahului dengan penetapan pembimbing, pengajuan TOR atau proposal, rangkaian konsultasi per bab, hingga kaidah penulisan yang haru memenuhi standar akademis pula. Namun dilihat dari waktu yang tersedia serta tumpukan tugas-tugas lainnya, agak sulit mengharapkan lahir sebuah karya tulis yang baik dan mampu merumuskan rekomendasi kebijakan yang bersifat terobosan (breakthrough). Bayangkan saja, pada saat berangkat SL sebagian besar peserta baru menyelesaikan Bab I dan II, bahkan pembimbing baru memberikan persetujuan atas konsep Bab I. Namun hanya 2 hari sepulang dari SL, peserta sudah harus menyerahkan draft KTP-2 lengkap. Akhirnya mudah diterka, bahwa konsep KTP-2 yang diajukan peserta tidak mendapat perhatian, catatan, dan perbaikan yang memadai dari widyaiswara pembimbing.

Dalam keadaan KTP-2 yang tidak mendapat bimbingan cukup itulah kami harus paparkan di depan widyaiswara penguji. Maka, mudah diterka pula jika penguji dengan mudah menemukan banyak kekurangan dan kelemahan dari paparan peserta. Di pihak lain, cukup wajar jika peserta yang merasa hasil karyanya “diobrak-abrik” oleh penguji lantas mencari sisi lemah dari sistem atau pola penulisan dan pembimbingan KTP-2 tersebut. Seperti yang dialami seorang dari Kalimantan yang mendapat banyak catatan, beliau merasa keberatan karena diuji tanpa didampingi oleh pembimbing. Teman ini lantas membandingkan dengan ujian thesis atau disertasi yang selalu didampingi pembimbing atau promotor. Beliau juga mengkhawatirkan adanya perbedaan persepsi antara pembimbing dan penguji, yang berujung pada banyaknya catatan perbaikan saat ujian tersebut. 

Pada kasus lain, perbedaan persepsi diantara peserta tentang “binatang” bernama KTP-2 juga tidak dapat dihindari. Salah seorang peserta yang bergelar Doktor dan berprofesi sebagai dosen di PTN di Jakarta melihat KTP-2 murni sebagai produk akademik sekelas thesis. Oleh karenanya, pada saat menjadi pembahas-pun beliau menceritakan pengalaman pribadinya selaku penguji thesis, dan memberikan komentar terhadap KTP-2 temannya benar-benar layaknya menguji thesis. Padahal, bagi peserta lain (termasuk saya), KTP-2 bukanlah produk akademik sepenuhnya. Dilihat dari proses penulisan serta metodologi yang digunakan saja, KTP-2 sangat jauh untuk disebut sebagai karya ilmiah sekelas thesis. KTP-2 lebih merupakan dokumen kerja atau dokumen perencanaan dalam rangka penjabaran Tupoksi organisasi, sehingga dialah yang diasumsikan paling memahami isi dari KTP-2, bukan pembimbing, atau penguji, atau pembahas. Oleh sebab itu, “mengobrak-abrik” KTP-2 orang lain semestinya bukan sebuah hal yang ideal, sepanjang penulis KTP-2 benar-benar menguasai substansi serta benar-benar bertanggungjawab terhadap isi karya tulisnya. Hal ini berbeda dengan karya ilmiah thesis atau disertasi, dimana pembimbing (promotor) atau penguji memang memiliki kompetensi akademik untuk “mengobrak-abrik” jika tidak sesuai dengan kaidah ilmiah yang benar.

Satu hal lagi, kesan umum yang agak sulit dihindari adanya kesan bahwa KTP-2 hanyalah formalitas belaka dari rangkaian program Diklatpim II. Ketidakseriusan peserta untuk bertanya secara tajam dan kritis adalah salah satu indikasinya. Indikasi lain, banyak peserta yang sesungguhnya tidak menguasai apa yang disampaikan. Mereka lebih fasih membaca dari pada menganalisis. Hal ini menghidupkan lagi kecurigaan tentang kemungkinan “sumber yang sama” dalam penulisan KTP-2 dan penyiapan paparan, terbukti dari banyaknya kemiripan yang sangat kentara dari model slide powerpoint antar peserta. Ironisnya, indikasi-indikasi seperti ini seolah-olah dipandang sebagai kelaziman yang tidak diikuti dengan langkah konkrit untuk mengatasinya. 

Dalam konteks kedepan, sesi penulisan, pembimbingan dan ujian KTP-2 ini harus diposisikan sebagai dimensi kritis dari upaya perbaikan sistem diklat, khususnya Diklatpim II. Salah satunya adalah dengan melakukan pengaturan jadual yang lebih realistis, serta pengurangan tugas-tugas yang tidak perlu namun menyita waktu banyak (time consuming). Pembenahan sistem penulisan hingga ujian KTP-2 juga sangat terkait dengan bergentayangannya para tuyul yang merusak integritas peserta dan kredibilitas program diklat (Baca Jurnal #15). Maka, menyempurnakan manajemen KTP-2 juga harus sistemik, sebagaimana para Widyaiswara mengajarkan bahwa pejabat eselon II harus mampu berpikir secara sistemik atau serba sistem. 

Kampus Pejompongan Jakarta
Sabtu, 20 Agustus 2011

Tidak ada komentar: