Dalam tulisan sebelumnya berjudul
“Memaknai Inovasi Secara Inklusif”, saya sempat menyinggung tentang inovasi
sosial dan inovasi administrasi negara. Inovasi sosial digagas oleh Institut
Inovasi Sosial Indonesia, sedangkan inovasi administrasi negara merupakan salah
satu ruang lingkup dari tugas utama LAN. Mungkin saja diantara keduanya
memiliki batas-batas yang tipis, atau mungkin juga inovasi administrasi negara
dapat dimasukkan sebagai bagian dari inovasi sosial. Hanya saja, karena LAN
memiliki fokus yang lebih sempit dari khazanah ilmu sosial yang amat luas, maka
muncullah konsep inovasi administrasi negara tersebut. Selain dari scope substansinya, inovasi administrasi
negara juga berbeda dari inovasi sosial dilihat dari pelaku inovasinya. Dalam
hal ini, inovasi administrasi negara lebih diarahkan kepada setiap perubahan
positif yang terjadi di institusi pemerintahan dan dilakukan oleh aparatur
pemerintahan. Tentu saja, ini hanya definisi umum untuk membedakan dengan
inovasi sosial yang lebih berbasis masyarakat, namun dalam prakteknya tidak
dapat dilakukan pembedaan secara hitam putih.
Mengingat karakteristiknya yang
berbeda tipis, maka keduanya dapat merancang sebuah inovasi secara bersama-sama.
Sebab, dalam banyak hal keduanya memang bisa membentuk irisan atau interseksi.
Misalnya, ruang lingkup substansinya berhubungan dengan inovasi administrasi
negara, namun dari sisi pelakunya murni oleh masyarakat madani. Apa contoh
konkritnya?
Pada tanggal 26-2-2014 kemaren, Kompas Online memberitakan event yang dikelola
oleh Mahkamah Agung, yakni “Kampung Hukum”. Ketika pertama kali membaca judul
berita, saya langsung memiliki gambaran besar tentang kampung hukum itu, dan
seketika saya menyebutnya sebagai inovasi. Namun setelah membaca paragraf demi
paragraf, ternyata sangat kontras dengan gambaran saya. Event ini ternyata
hanya temporer saja, tepatnya hanya berlangsung 1 hari, jauh dari bayangan saya
sebagai sebuah program yang permanen dengan pembinaan rutin dari MA dan lembaga
hukum lainnya. Event ini juga diikuti oleh lembaga-lembaga pemerintah yang
bergerak di bidang hukum seperti MA, Kejaksaan Agung, PPATK, Kementerian Hukum
dan HAM, Kepolisian, dan lain-lain, yang memberikan informasi terkait dengan
tugas dan fungsi mereka. Akibatnya, event ini lebih menyerupai pameran, jauh
dari yang saya bayangkan sebagai praktek kehidupan sosial yang taat hukum dari
sekelompok anggota masyarakat.
Karena ternyata bersifat rutin
tahunan dan tidak ada unsur kebaruan (novelty)
dari event tersebut, maka dengan terpaksa saya mencabut pernyataan saya bahwa
“Kampung Hukum” itu adalah sebuah inovasi. Sungguh sangat disayangkan, ketika
ada peluang untuk membuat program yang lebih mendasar dengan kemanfaatan yang
lebih besar, namun akhirnya hanya berupa aktivitas yang standar, untuk tidak
menyebut formalitas belaka. Mudah-mudahan, pada kesempatan mendatang “Kampung
Hukum” itu benar-benar berupa kampung yang dijadikan sebagai daerah binaan atau
“laboratorium sosial” oleh MA sebagai role
model terhadap kesadaran dan ketaatan hukum.
Dalam “Kampung Hukum” sebagai
model inovasi, tingkat ketaatan hukum sangat tinggi sehingga menghasilkan
pelanggaran hukum yang minimal bahkan nihil (zero disobedience). “Kampung Hukum” juga dicirikan dengan tingkat
melek hukum (law literacy) yang
sangat baik, dalam arti memiliki pemahaman yang baik sehingga meminimalisasi
kemungkinan terjadinya kesalahan dalam menginterpretasikan dan menerapkan hukum
atau kebijakan pemerintah. Tentu saja, itu semua butuh usaha dan proses yang
sungguh-sungguh dari pembina “Kampung Hukum”. Selanjutnya, jika pembinaan
terhadap sebuah kampung berhasil, maka model pembinaan akan dapat
direplikasikan dan diciptakan kampung-kampung hukum lainnya. Diharapkan, adanya
kampung hukum ini akan menjadi strategi budaya untuk mewujudkan bangsa yang
bukan hanya sadar hukum dan taat hukum, namun juga cerdas hukum. Selanjutnya,
masyarakat yang cerdas dan taat hukum ini akan menjadi pondasi yang kokoh untuk
membangun interaksi sesama warga negara dan relasi antar institusi yang
berbasis saling percaya (mutual trust).
Ujung-ujungnya, tindak kriminalitas dapat ditekan, sementara penyalahgunaan
wewenang juga makin minimal, sehingga lahirnya kehidupan kebangsaan yang
harmonis.
Dalam model inovasi seperti itu,
ruang lingkup dan substansinya berkaitan dengan administrasi negara, namun
dilihat dari pelakunya lebih cenderung pada inovasi sosial. Itulah sebabnya,
saya mengatakan bahwa antara inovasi administrasi negara dan inovasi sosial membentuk
irisan yang dinamis dan saling memperkuat. Selain dalam kasus kampung hukum, “perkawinan”
antara inovasi administrasi negara dan inovasi sosial juga dapat menjelma dalam
berbagai kasus lainnya.
Kalau MA punya kampung hukum,
Kementerian Pendidikan mestinya punya “kampung wajib belajar”. Sasarannya
adalah terwujudnya sebuah kampung yang tidak memiliki pekerja anak dibawah
umur, tidak ada kasus putus sekolah, tidak ada buta huruf, serta kampung yang
memiliki prasarana belajar seperti perpustakaan, sanggar belajar, dan
sebagainya. Kampung ini juga kedisiplinan anak-anak untuk belajar pada jam
tertentu (misalnya jam 19.00–21.00) serta aktivitas kurikuler yang mendukung
pelajaran. Dengan demikian, ketika anak-anak bermain di sore hari, mereka tidak
sekedar bermain, namun bermain yang sudah dikemas dengan muatan pendidikan
maupun tujuan meraih prestasi. Sebagai contoh, jika mereka bermain futsal, itu
dilakukan dengan pendampingan pelatih yang memberikan dasar-dasar teknik
futsal, sehingga aspek fun sekaligus
prestasi didapatkan dalam satu aktivitas. Model-model pembelajaran kolektif
seperti ini menurut saya harus mendapat perhatian yang proporsional dari
pemerintah, termasuk hak untuk mendapat alokasi pengganggaran dari 20% APBN/D.
Model pembelajaran konvensional di kelas sudah sangat ketinggalan jaman,
sehingga perlu modifikasi dan kombinasi dengan berbagai sistem yang lain
termasuk model “kampung wajib belajar” ini.
Hal serupa dapat dilakukan oleh
instansi pemerintah yang lain seperti Kementerian Koperasi dan UKM, Kementerian
Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, dan seterusnya. Jika selama ini
sudah ada konsep Kabupaten/Kota Koperasi atau Kabupaten/Kota Bebas Pekerja
Anak, maka konsep itu dapat diturunkan pada level kampung. Nah, kampung yang dijadikan
percontohan sebagai kampung koperasi adalah kampung yang memiliki kehidupan
sosial yang guyub (gemeinschaft)
serta mendasarkan proses pemecahan masalah berbasis pengambilan keputusan
secara musyawarah mufakat. Kampung ini juga memiliki spirit investasi melalui
tradisi menabung, dan jauh dari pola hidup konsumtif. Lebih penting lagi,
kampung koperasi juga perlu diarahkan sebagai model pengelolaan usaha berbasis
kelompok yang didukung oleh kebijakan kredit lunak dari kalangan perbankan.
Model pembinaan masyarakat desa yang dikembangkan Grameen Bank di Bangladesh dapat menajdi benchmark untuk membina kampung koperasi yang berjiwa entrepreneur.
Sementara sebuah daerah yang
ditetapkan sebagai daerah ramah anak atau daerah bebas pekerja anak, model
pembinaan yang dilakukan haruslah mampu mewujudkan lingkungan sosial yang anti bullying, bebas dari KDRT, serta ada
kebebasan berekspresi bagi anak untuk mengungkapkan segenap kreativitasnya.
Kampung ramah anak juga harus berisi program pendidikan yang meningkatkan
kepedulian anak terhadap lingkungan, kepedulian terhadap teman sepermainan, dan
kepedulian terhadap masa depan mereka sekaligus masa depan bangsa. Intinya,
kampung ramah anak harus menyediakan berbagai infrastruktur yang dibutuhkan
untuk berkembangnya potensi anak secara natural dan optimal.
Gagasan tentang kampung hukum,
kampung koperasi, kampung ramah anak, atau mungkin juga kampung sehat, kampung
sholeh/kampung integritas, kampung olahraga, dan lain-lain, akan melengkapi
konsep “desa wisata” yang saat ini semakin merebak. Secara konsep sudah sangat
baik, tinggal perlu ditingkatkan pembinaannya, agar segala sesuatu yang ada di
desa/kampung itu benar-benar mencerminkan potensi wisata yang layak “dijual”
hingga mancanegara. Dan seandainya saja setiap institusi pemerintah memiliki
daerah/kampung binaan, bisa dibayangkan betapa kemajuan tidak hanya terjadi di
ibukota dan kota-kota besar lainnya, namun justru tumbuh dari bawah. Ini jelas
sebuah inovasi teramat besar dalam sistem administrasi negara maupun sistem
sosial di tanah air. Semoga momentum Pemilu 2014 akan menjadi milestone dalam kebijakan publik di
Indonesia dalam mendorong konsep mengelola pemerintahan dari bawah (governing from below).
Salam Inovasi
Tol Cikampek Km 21 menuju
Bandung.
27 Februari 2014.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar