TULISAN Indra J. Piliang, Demokrasi Lokal dan Akar Demokrasi, semakin meneguhkan sikap dan keyakinannya terhadap pentingnya parpol lokal dan pemilu langsung di daerah sebagai upaya mewujudkan kehidupan politik lokal yang lebih demokratis. Indra sangat percaya bahwa pemilu lokal merupakan bentuk asli demokrasi Indonesia yang sangat baik namun terlanjur telah diinjak-injak dan dinistakan oleh model demokrasi nasional yang dianggapnya busuk. Dengan alasan ini, bisa dimaklumi bahwa Indra sangat mendorong setiap langkah untuk mengembalikan praktek demokrasi kepada habitat aslinya, yaitu masyarakat lokal.
Saya sendiri tidak memiliki keraguan sedikitpun tentang perlunya percepatan dan penguatan demokrasi di tingkat akar rumput. Dalam tulisan saya sebelumnya, Demokrasi Lokal: Haruskah dengan Parpol dan Pemilu Lokal (SH, 17/2/03), saya lebih mengkritisi pendekatan, metode atau cara yang ditempuh dalam membangun demokrasi lokal. Dalam artikel itu, saya mengajukan paling tidak empat alasan mendasar yang mengantarkan saya pada kesimpulan bahwa parpol lokal dan pemilu lokal belum kita butuhkan untuk jangka pendek ini. Sebab, sistem pemilu lokal dengan perangkat parpol lokalnya hanyalah bagian kecil dari sistem demokrasi. Artinya, masih banyak opsi dan jalan lain yang lebih murah dan aman untuk dipilih dibanding pengaktifan parpol lokal serta pemberlakuan sistem pemilihan anggota legislatif dan Kepala Daerah secara langsung.
Memang gagasan pemilihan Kepala Daerah (belum termasuk anggota DPRD) secara langsung telah diatur dalam UU No. 18 dan 21 tahun 2001, serta diakomodir dalam draft revisi UU 22/1999. Bahkan saat ini banyak pihak termasuk Ginandjar Kartasasmita yang menginginkan agar Jawa Barat dapat menjadi propinsi pertama yang menyelenggarakan pemilihan gubernur secara langsung tanpa harus menunggu peraturan perundangan yang mendasarinya. Namun yang harus diingat adalah bahwa pengambilan keputusan politik yang terburu-buru dan kurang hati-hati hanya akan menghasilkan kemungkinan timbulnya berbagai persoalan baru di kemudian hari. Keinginan untuk menghasilkan output reformasi secara instant melalui perumusan kebijakan yang prematur, tidak jarang membuahkan benturan-benturan yang kontra produktif.
Sekedar mengambil analogi, gagasan untuk meluncurkan kereta api super-express seperti Shinkansen adalah mimpi belaka jika tidak disertai dengan perangkat penunjangnya seperti rel magnetik, sistem informasi mutakhir, kemampuan mesin penggerak, serta disiplin tinggi dari seluruh operator dan para pengguna jasa.
Dengan demikian, poin utama saya adalah bahwa kita membutuhkan proses dan kelembagaan politik yang hati-hati (prudent politics). Konkritnya, penerapan sistem pemilu lokal hanya akan efektif dan bermanfaat manakala infrastruktur ekonomi, sosial dan politiknya telah terpenuhi. Sayangnya, prakondisi untuk keberhasilan pemilu lokal tadi, dalam pandangan saya, belumlah memadai. Selain argumen makro yang telah saya kemukakan sebelumnya, beberapa butir tambahan berikut mungkin dapat sedikit lebih memperjelas apa yang ada dalam benak saya.
Isu pertama menyangkut kemampuan dan komitmen partai politik untuk mengabdi kepada masyarakat dan membangun daerah. Dalam artikelnya di buku Masyarakat versus Negara (Frans Parera, 1999), Didik Rachbini menyatakan diri sebagai salah seorang yang tidak percaya bahwa pemilu adalah satu-satunya upaya untuk menyelesaikan masalah bangsa. Penyebabnya tidak lain karena partai-partai yang ada memiliki naluri nasional kolektif yang tumpul. Parpol menjadi miskin program karena tergiring kedalam arena emosional dari udara kebebasan baru, bahkan sebagian tenggelam dalam hubungan dan komunikasi irasional kolektif yang setengah memabukkan. Yang terjadi kemudian adalah adu otot antar parpol dengan menggelar “karnaval politik” sebanyak mungkin. Fenomena ini oleh Didik disebut sebagai jebakan demokrasi.
Tentu kita sangat sedih dengan kenyataan dan figur parpol seperti itu. Oleh karenanya, alangkah bijaksananya jika bangsa ini tidak menyediakan jebakan-jebakan baru di tingkat daerah, paling tidak dalam jangka pendek. Sebelum kearifan dan kedewasaan politik para elit lokal tumbuh secara memadai, arena pemilu langsung di daerah dengan pelaku-pelaku parpol lokal akan menjadi ajang kompetisi yang tidak sehat dan perseteruan semata. Bisa jadi sikap seperti ini diterjemahkan sebagai kecurigaan atau pesimisme yang berlebihan, namun sekali lagi, saya lebih menekankan pentingnya kecermatan, kehati-hatian, serta kelayakan politis dari suatu kebijakan.
Kedua, Indra mengangkat isu Pilkades yang telah berlangsung minimal dalam satu abad terakhir sebagai akar demokrasi Indonesia. Kita boleh saja berbangga dengan model pemilihan pemimpin lokal ala Indonesia ini. Tapi hendaknya jangan diingkari bahwa praktek Pilkades dari masa ke masa, dari jaman Orde Baru hingga sekarang, selalu sarat dengan konflik horisontal. Kasus terbaru terjadi di desa Bunar, Kec. Balaraja, Kab. Tangerang dimana sebanyak 300 warga mengamuk dan membakar 10 poskamling karena tidak dapat menerima kekalahan calon Kades yang didukungnya (Republika, 22/02/03). Dalam kasus-kasus sebelumnya, berbagai pelanggaran dan dampak negatif dari Pilkades antara lain berbentuk kampanye terselubung dari seorang calkades dengan menjanjikan akan memberikan gaji Rp 250.000 kepada setiap ketua RT (PR, 16/12/02), menjadi arena perjudian dengan omzet sampai puluhan juta rupiah (kebumen.portal.dk3.com), jual beli kartu suara oleh kader calon tertentu (Buletin Flama no. 13), dan sebagainya. Jelaslah bahwa demokrasi model Pilkades tidak dapat terlalu kita banggakan, apalagi untuk dipromosikan sebagai model demokrasi pada level distrik dan propinsi.
Ketiga, Indra melansir isu partisipasi dengan menyatakan bahwa masyarakat memiliki kehendak yang tinggi untuk memilih wakil-wakilnya di DPRD termasuk Kepala Daerahnya secara langsung. Pertanyaannya, benarkah masyarakat menuntut partisipasi yang lebih luas? Sekedar ilustrasi ringan, ketika masyarakat diberi kesempatan untuk mengelola sendiri keamanan lingkungannya melalui siskamling, banyak diantara mereka yang membayar orang lain untuk mewakili melaksanakan kewajiban ronda. Kalaupun benar bahwa masyarakat menghendaki partisipasi yang lebih besar, kembali pertanyaan klasik dapat diajukan: kelompok masyarakat mana yang dirujuk oleh Indra? Sebab, kalau kita amati fakta disekeliling kita yang diindikaskan oleh tingkat melek huruf (literacy rate) serta kesenjangan sosial ekonomi (gini coefficient index), nyatalah bahwa sebagian besar penduduk Indonesia masih sangat rendah dalam indikator pendidikan dan pendapatan per kapitanya. Padahal, status sosial dan ekonomi akan sangat menentukan tinggi rendahnya partisipasi politik masyarakat (Samuel Huntington, Partisipasi Politik di Negara Berkembang). Saya sedikit khawatir Indra terlalu menggeneralisir tuntutan sekelompok masyarakat (berpendidikan dan berkecukupan) sebagai tuntutan rakyat secara kolektif.
Keempat, isu KKN dan efektivitas penyelenggaraan pemerintahan daerah. Benarkah pemimpin hasil pemilihan langsung dapat menjamin lahirnya sosok birokrasi yang lebih baik, bersih, terbuka, efektif, aspiratif dan produktif? Tentu kita sadari bersama bahwa pemilu dengan sistem apapun tidak akan pernah menghilangkan kegiatan penggalangan dan mobilisasi dari tokoh, ormas ataupun partai politik tertentu. Kalaupun money politic dapat dihindari pada proses pemilihan di tingkat panitia pemilihan, namun akan sulit diantisipasi pada tahap mobilisasi kader. Jika hal ini terjadi, maka siapapun yang terpilih sebagai pemimpin tidak akan lepas dari jaring-jaring KKN.
Terakhir, hal terpenting dari upaya membangun demokrasi lokal adalah bagaimana memperbanyak pilihan dan memperluas ruang bagi aspirasi masyarakat (amplifying people’s choice and voice). Orientasi lain dari politik lokal adalah menjaga interaksi yang positif antara pemerintah dengan warganya (in touch with people). Apapun pendekatan, metode atau cara yang dipakai sepanjang mampu memperkokoh pilihan dan suara rakyat dalam keseimbangan peran dan hubungan dengan pemerintah, maka hal itu sudah merupakan pencerminan dari kualitas demokrasi lokal.
Seiring dengan ide diatas, dapatlah dipahami mengapa isu pemilu dan parpol lokal tidak banyak kita temukan dalam buku-buku teks tentang demokrasi lokal. Dalam Rethinking Local Democracy (Desmond King dan Gerry Stoker, 1996) dan Renewing Local Democracy (Lawrence Pratchett, 2000) misalnya, tidak satu chapter-pun yang menekankan parpol dan pemilu lokal sebagai leveraging effect terhadap demokrasi lokal. Tentu hal ini tidak berarti menegasikan makna dan fungsi keduanya, namun semata-mata lebih menandaskan adanya prioritas lain yang lebih layak untuk dikembangkan.
Salah satu upaya yang ditekankan untuk memperkuat demokrasi lokal menurut dua buku tersebut justru melalui peningkatan akuntabilitas dan efisiensi pemerintahan daerah. Sebab, peluang tumbuhnya partisipasi publik dapat terhambat oleh lemahnya kapasitas pemerintah daerah. Atas dasar alasan itulah buku tadi menyarankan agar pemerintah daerah (otoritas lokal) harus mampu memerankan diri as a broker, an organizer of coalitions, and as a concencus builder. Pada saat bersamaan, masyarakat sipil perlu terus dibangun dengan memberi peran kepada otoritas lokal untuk membangun kerangka penyaluran aspirasi dan kepentingan rakyat.
Dengan demikian, demokrasi lokal lebih dimaknakan sebagai interaksi institusi lokal yang berbasis pada kepercayaan (trust) dan etika dari pada sekedar formalitas bentuk dan proses berdemokrasi. Peran baru otoritas lokal dalam konteks keseimbangan dengan masyarakat seperti inilah yang merupakan inti dari gagasan baru tentang green politics dan green democracy. Dan, walaupun reformasi, demokratisasi dan desentralisasi merupakan trend utama saat ini, alangkah manisnya jika kita tidak terjebak kepada apa yang disebut Gerry Stoker sebagai the trap of localism. © Tri Widodo WU.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar