Sabtu, 03 April 2010

Merenungkan Gerakan Mahasiswa


            Akhir-akhir ini eksistensi mahasiswa dengan hak protes atau hak kontrolnya kembali ramai dipertanyakan. Secara personal, mahasiswa merasa dirinya terkung­kung dalam “tembok almamater” yang sangat teguh, hingga sulit — bahkan terasa tidak mungkin — untuk menerobosnya. Darah muda mereka bergolak, jiwa pemba­haruan dan jiwa petualangannya menjerit, merintih, dan akhirnya berkata : “bu­barkan NKK - BKK, beri kami kebebasan menghirup udara politik, karena hal itu adalah bekal kami kelak ! Jangan halangi kami melakukan apa yang kami suka, dan jangan rintangi kami meluruskan keadaan-keadaan kebobrokan, keangkuhan dan kesenjangan sosial, yang semuanya itu dapat menimbulkan kebosanan dan kejenuhan sosial, sebuah penyakit masyarakat yang paling berbahaya !

            Begitulah barangkali suara “hati nurani” mahasiswa yang saat ini kondisinya memang mirip kerbau-kerbau yang diberangus mulutnya lalu digiring ke sawah untuk menyelesaikan satu pekerjaan, membajak sawah. Demi alasan-alasan keama­nan dan Ketahanan Nasional, pemanfaatan para pemuda khususnya mahasiswa, saat inipun hanya diarahkan kepada penguasaan kuliah secara optimal, tanpa adanya materi penajaman intuisi politis. Kalau dibandingkan permasalahannya dengan modernisasi pendidikan di Jepang pada zaman Restorasi Meiji, akan ditemui beberapa kontradiksi. Kasus di Jepang menunjukkan bahwa kewajiban belajar bagi seluruh warganya justru harus diimbangi dengan peningkatan kesadaran dan partisipasi politik. Keduanya ini akan menjadikan pelajar dan atau mahasiswa matang, baik dalam hal kemampuan berpikir maupun ketrampi­lan memecahkan masalah, mengambil keputusan dan merencanakan suatu sistem pengembangan institusi kemasyarakatan dan kenegaraan.

            Situasi dan kondisi yang dihadapi oleh setiap daerah atau negara memang tidak sama, namun bukan berarti bahwa setiap peristiwa harus berdiri sendiri. Antara satu peristiwa dengan peristiwa yang lain biasanya paling sedikit mengan­dung 2 (dua) hubungan, yaitu hubungan kausal atau saling pengaruh, dan hubun­gan yang sifatnya “pengambilan makna atau hikmah” terhadap peristiwa yang lebih dahulu terjadi. Untuk itulah maka tindakan berkaca terhadap pengalaman negeri atau orang lain tidaklah memalukan. Dan ulasan dalam bab ini memang ditujukan untuk mengetahui bagaimana mestinya manajemen pendidikan dan terutama bagaimana cara memanfaatkan potensi generasi muda (baca : mahasiswa) guna menciptakan insan akademis yang berilmu tinggi sekaligus memberikan bekal bagi mereka berupa perasaan peduli atas nasib yang menimpa saudara-saudaranya yang belum beruntung.

            Mahasiswa — yang dalam dirinya melekat predikat golongan intelektual — sebagai kaum muda, tidak bisa tidak, pastilah memiliki sifat dinamis, ingin maju, kreatif, dan mungkin sedikit radikal. Dan sebagai komunitas yang dianggap memiliki pengetahuan diatas rata-rata, mahasiswa merasa dituntut dan memikul tanggung jawab untuk mencoba memperbaiki, dan bila mungkin menyelesaikan, kegelisahan-kegelisahan sosial ataupun perubahan-perubahan sosial yang tidak menguntungkan. Bagaimana cara mahasiswa khususnya dan pemuda umum-nya untuk mengatasi problema-problema sosial itu? Salah satunya adalah dengan memberi kebebasan “mimbar” kepada mereka. Ini berarti ada kemerdekaan untuk menyalurkan sumbangan pemikiran kepada the rulling class dalam bentuk saran-saran maupun kritik. Dan apabila memang benar-benar diperlukan, mahasiswa dan pemuda bolehlah kiranya melakukan aksi protes atau unjuk rasa, asal memenuhi syarat-syarat terten­tu.

            Kebebasan untuk mengajukan kritik dan melancarkan protes itu pada dasarn­ya merupakan hak yang harus dimiliki oleh masyarakat akademis. Oleh karenanya, sudah sewajarnyalah apabila pemerintah memberikan kebebasan ini kepada maha­siswa, karena dari padanya bisa diharapkan datangnya pengawasan sosial (social control) terhadap jalannya kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Hanya sayangnya, pada tahun-tahun terakhir ini kebebasan semacam itu “agak” dibatasi ruang geraknya, meskipun tidak menunjukkan gejala-gejala destruktif. Pada umumnya gerakan mahasiswa justru menunjukkan bahwa diantara mereka telah terjadi proses kreatif dan positif, sehingga mereka bukanlah makhluk yang “mati”.

            Sartono Kartodirdjo menulis bahwa pergerakan sosial sebagai aktivitas kolek­tif bertujuan hendak mewujudkan atau sebaliknya, menolak suatu perubahan dari susunan masyarakat, sering kali ditempuh dengan jalan radikal dan revolusioner. Memang benar bahwa apabila mahasiswa diberi kesempatan untuk protes, jalan yang paling disukai yang dianggap paling efektif adalah melalui gerakan-gerakan demonstrasi.

            Jika diamati secara lebih cermat, gerakan mahasiswa itu sebenarnya tidak mempunyai tujuan-tujuan politik, sebagaimana gerakan-gerakan sosial pada abad 17 hingga 19 (periksa Bab I - II). Gerakan mahasiswa masa kini sifatnya hanya berupa reaksi-reaksi spontan saja. Meskipun demikian, agaknya pemerintah atau aparat keamanan merasa kuatir, apabila gerakan-gerakan itu dibiarkan, para aktivis yang tergabung didalamnya akan melakukan pengacauan dan pengrusak-an. Adalah tidak salah bahwa suatu gerakan terdiri dari sekelompok orang yang bersifat emosional, tetapi kerusuhan pastilah dapat dihindari dengan adanya saling pengertian antara yang dikritik dengan yang mengkritik. Dan oleh sebab itu pula, gerakan mahasiswa harus memperhatikan beberapa hal sebagai berikut :

1.    Gerakan mahasiswa harus mempunyai konsep yang jelas tentang sesuatu yang dianggap kurang benar dan perlu perbaikan. Mengapa mereka bergerak, apa tujuannya, dan alternatif apa yang mereka ajukan sebagai acuan penyelesaian masalah, adalah beberapa pertanyaan yang wajib dijawab sebelum dilaksana­kannya suatu gerakan. Dengan kata lain, gerakan mahasiswa harus diorganisasi secara ilmiah dan profesional, bukan sekedar kegiatan ikut-ikutan dan “asal bunyi”.
2.    Para aktivis gerakan harus menjunjung tinggi nilai-nilai yang ada, serta meme­gang teguh asas itikad baik. Ini berarti bahwa apa-apa yang mereka lakukan benar-benar dilandasi oleh niat untuk memperjuangkan kepentingan bersama, bukan ambisi pribadi, terlebih lagi bukan kepentingan yang “dititipkan” oleh kelompok tertentu.
3.    Mahasiswa harus lebih memperluas wawasan dan mempertimbangkan asas kebijaksanaan dengan mengubah pandangan bahwa segala sesuatu yang men­yangkut rakyat jelata pasti benar dan harus diperjuangkan. Memang benar bahwa “arus bawah” adalah kelompok masyarakat yang perlu dibela dan dilindungi, tetapi dalam kasus-kasus tertentu, kadang-kadang kita terpaksa merelakan mereka berkorban untuk kepentingan yang lebih besar lagi.

            Selanjutnya Sartono berpendapat bahwa pemakaian konsep-konsep dan analisa dari sosiologi akan dapat membantu mengungkapkan proses-proses sosial yang ada dibawah proses-proses politik, hubungan kausal antara pergerakan sosial dengan perubahan sosial yang disertai oleh kegelisahan sosial, desintegrasi sosial dan konflik sosial. Hal ini akan diuraikan dalam contoh dibawah, namun sebelumn­ya akan dikemukakan mengenai ciri-ciri gerakan mahasiswa.

            Menurut Marsilam Simanjuntak, gerakan mahasiswa semestinya merupakan suatu aksi massa, didahului oleh rapat umum yang dihadiri oleh ribuan mahasiswa, membawakan suara hati nurani rakyat, serta didukung oleh seluruh masyarakat mahasiswa dalam jiwa dan semangat persatuan dan kesatuan. Disamping itu harus dikoordinir secara resmi melalui saluran organisasi mahasiswa, dan sedapat mu­ngkin mencerminkan mufakat bulat antara seluruh orga-nisasi ekstra dan intra universiter. Dan yang terakhir, gerakan mahasiswa harus bebas dari vested inter­est, tidak mempunyai tujuan politik, tidak ditunggangi oleh kepentingan-kepentin­gan politik tertentu, serta berdasarkan kebenaran, keadilan dan memperhatikan aturan main (the rule of game) atau bersifat konstitusional.

            Ada lagi yang menambahkan syarat, gerakan mahasiswa harus mampu mengubah situasi dan kondisi sosial ekonomi dalam masyarakat. Tetapi apakah hal ini memungkinkan? Mengingat bahwa gerakan tersebut hanya bersifat spontan dan insidentil (sporadis), tanpa komando yang tegas, serta tidak didukung oleh dana dan kuasa yang cukup, sedang dilain pihak situasi sosial ekonomi tidak mungkin berubah hanya dalam waktu sekejap dan tanpa campur tangan pemerin­tah, maka langkah maksimal yang dapat ditempuh adalah menawarkan suatu konsep atau bentuk tertentu yang menurut mereka baik.

            Mengenai syarat bahwa demonstrasi harus membawakan suara hati nurani rakyat, ada beberapa pihak yang keberatan. Alasan mereka adalah bahwa dalam setiap demonstrasi akan selalu — setidaknya sering — meminta korban dari rakyat. Jika demikian, apakah itu bearti merupakan amanat penderitaan rakyat. Akan tetapi sesungguhnya, jatuhnya korban dalam setiap aksi adalah wajar, karena korban adalah konsekuensi logis dari suatu gerakan. Disinilah dituntut kedewasaan bertin­dak dari para demonstran dalam melakukan aksinya dan dari pemerintah dalam menghadapinya, guna menekan jatuhnya korban serendah mungkin.

            Satu keadaan yang sulit — bahkan hampir tidak mungkin — dihindari adalah bahwa suatu gerakan bebas dari kepentingan tertentu. Dengan kata lain, gerakan mahasiswa sering “ditunggangi” oleh pihak-pihak tertentu untuk “memancing di air keruh”. Memang harus diakui bahwa gerakan mahasiswa dapat mengadakan peru­bahan sosial dengan self-groupnya. Di Korea Selatan dan Birma, mahasiswa berkoa­lisi dengan buruh. Sedang di Indonesia pada tahun 1966, mahasiswa bergandengan dengan militer. Jadi yang pasti, ada penunggangan diatas aksi-aksi sosial. Pertan­yaannya sekarang, siapa menunggangi siapa? Marsilam Simanjuntak dalam hal ini memberikan ukuran, siapa yang menjadi korban, dialah yang ditunggangi. Dan siapa yang mencapai tujuannya dengan resiko yang lebih kecil, dialah yang menung- gangi.

            Dalam kaitannya dengan “tunggang-menunggang” itu, pertanyaan yang muncul kemudian, mestikah dalam setiap gerakan disertai oleh penunggangan? Bagaimana caranya agar suatu aksi protes tidak tercemar oleh aksi penunggangan? Apa tujuannya dan siapa dalang dibalik penunggangan itu? Kesemuanya ini akan selalu menjadi persoalan-persoalan aktual yang dapat dipastikan mencuat pada “musim-musim” demonstrasi. Jawaban atas pertanyaan tersebut tidak pernah memuaskan, juga tidak pernah sama, tergantung dari “beratnya” substansi yang dijadikan materi gerakan, luasnya cakupan wilayah gerakan, dan serius tidaknya dampak-dampak yang sedang atau telah dirasakan masyarakat, serta sikap yang diberikan oleh pemerintah dalam menghadapi gerakan-gerakan tersebut.

            Secara rinci tulisan ini tidak dimaksudkan untuk membahas masalah-masalah diatas, tetapi secara singkat akan mencoba meneropong gerakan mahasiswa di Indonesia tahun 1966, dari faktor-faktor penyebabnya hingga akibat-akibat yang dihasilkannya.

            Hingga saat ini, gerakan mahasiswa di Indonesia telah berkali-kali terjadi, antara lain Gerakan Anti Kebodohan yang diprakarsai mahasiswa ITB tahun 1977 yang mempersoalkan 8 (delapan) juta anak Indonesia yang tidak sempat menikmati pendidikan; Gerakan Malari tahun 1974 yang melawan materialisme; aksi maha­siswa Jakarta yang menentang kenaikan harga karcis bis kota  aksi mahasiswa untuk meminta sumbangan kepada para pejabat yang sedang main golf di lapangan Rawamangun guna membantu bencana kelaparan di Krawang, dan sebagainya. Namun dari berbagai macam dan bentuk gerakan mahasiswa, yang tercatat paling berhasil dan paling besar adalah gerakan mahasiswa tahun 1966 yang tergabung dalam aksi-aksi KAMI - KAPI - KAPPI.

            Sebagaimana kita ketahui bersama, terjadinya demonstrasi yang terdiri dari unsur pemuda dan mahasiswa itu dilatar belakangi oleh buruknya situasi-situasi sosial politik yang terjadi akibat sistem politik yang diterapkan oleh rezim Orde Lama. Orang-orang yang mendalami Hukum Tata Negara mengatakan bahwa apara­tur pemerintah waktu itu menyimpangi ketentuan-ketentuan UUD 1945 dan Panca­sila. PKI yang anti Tuhan mendapatkan kedudukan politis yang mantap serta memil­iki kesempatan luas untuk mengembangkan sayap dan menyebarkan pahamnya. Hutang luar negeri melonjak, ekonomi negara anjlok akibat mentalitas yang kurang terpuji dari beberapa “pemegang kekuasaan”, dan ditambah lagi dengan penga­cauan dibidang ekonomi oleh orang-orang Cina pendukung PKI, menyebabkan Indonesia berada pada jurang kehancuran serta kemelaratan. Dan puncak dari kerawanan tersebut adalah dilakukannya coup d’etat oleh PKI pada tanggal 30 September 1965.

            Proses-proses politik seperti itulah yang menyebabkan mahasiswa turun kejalan-jalan menuntut dikembalikannya keadaan seperti semula. Proses aksi yang timbul sebagai reaksi atas proses-proses politik ini disebut dengan proses sosial. Dalam proses sosial tersebut para mahasiswa mengajukan tuntutan yang dinama­kan Tritura (Tri Tuntutan Rakyat), yaitu turunkan harga, reshuffle kabinet dan bubarkan PKI.

            Parakitri Tahi Simbolon menyebutkan bahwa nama asli tuntutan tersebut adalah Suara Hati Mahasiswa Indonesia dalam bentuk Kebulatan Tekad Mahasiswa yang merupakan Tri Tuntutan Mahasiswa sekaligus merupakan Tri Tuntutan Ra­kyat. Jadi disini terdapat hubungan positif antara mahasiswa dengan rakyat, sehingga gerakan semacam itu bagaimanapun pasti mencerminkan kehendak ra­kyat.

            Masalahnya sekarang, mengapa mereka mengadakan tuntutan itu? Hal ini disebabkan karena setelah gagalnya pemberontakan PKI, timbullah kegelisahan massal dan disintegrasi sosial, sehingga seperti disebutkan diatas, mahasiswa merasa terpanggil atau merasa wajib untuk mengatasinya, minimal menyalurkan aspirasi rakyat. Mereka bergerak dengan radikal. Dan karena mereka bekerja sama dengan pihak militer, maka keamanan bagi para aktivisnya menjadi terjamin. Hubungan yang saling menguntungkan antara mahasiswa dan militer ini diyakini merupakan salah satu faktor penentu keberhasilan aksi-aksi protes.

            Apabila proses-proses sosial politik tersebut dikaitkan dengan pernyataan Sartono sebagaimana dikemukakan pada bagian awal bab ini, maka dapatlah disim­pulkan bahwa gerakan sosial — dalam hal ini gerakan mahasiswa Indonesia 1966 — bertujuan menolak keadaan sosial atau tatanan politik yang ada, dan mewujudkan keadaan sosial atau tatanan politik yang lebih baik, dan tentu saja yang diinginkan. Dan memang, setelah sekian lama melakukan protes atau unjuk rasa dengan segala konsekuensinya, akhirnya gerakan mahasiswa ini mampu membawa hasil nyata, yaitu lahirnya Orde Baru atau tatanan kemasyarakatan dan kenegaraan yang ingin melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen. Inilah jasa terbesar mahasiswa kepada bangsa dan rakyatnya.

            Tanpa peran dan campur tangan mahasiswa, keadaan akan menjadi lain. Jika saja pihak militer yang melakukan social control atau political therapy dengan kekuatan senjata, mau tidak mau akan menimbulkan anggapan bahwa militer telah melakukan perebutan kekuasaan. Oleh karena itu, andil dan partisipasi mahasiswa adalah sangat vital, tidak saja pada peristiwa yang telah menjadi “sejarah”, terlebih lagi untuk peristiwa yang sedang dan akan “menyejarah”. Mahasiswa ditantang untuk itu, dan tantangan itu harus dijawab dengan mantap, penuh kesungguhan dan pengabdian kepada rakyat.

Tidak ada komentar: