Jumat, 02 April 2010

Pembaharuan Produk Hukum Daerah Dalam Rangka Penataan Sistem Manajemen Pemerintah Daerah


Abstrak:

 Secara substansial UU Nomor 22 tahun 1999, tentang Pemerintahan Daerah memiliki semangat baru yang berorientasi kepada pemberdayaan daerah dalam rangka peningkatan mutu pelayanan umum di daerah yang bersangkutan. Dengan berlakunya UU yang baru tersebut, harus dipahami akan menimbulkan implikasi-implikasi tertentu, baik secara politis, administratif, maupun yuridis. Dari ketiga implikasi dari berlakunya UU Nomor 22 tahun 1999 tersebut, terhadap aspek politis maupun administratif telah dilakukan banyak pengkajian maupun pembahasan, sedang aspek hukumnya relatif belum dikaji secara lengkap. Oleh karena itu, aspek hukum inilah yang akan diuraikan dalam kajian ini, dalam kaitannya dengan upaya menciptakan tertib administrasi pemerintahan di daerah dan efisiensi penyelenggaraan otonomi.



Latar Belakang


Seiring dengan derap reformasi yang melanda bangsa Indonesia, bidang pemerintahan juga mengalami hal sama, yang ditandai oleh penggantian UU Nomor 5 tahun 1974 (lex anteriori) dengan UU Nomor 22 tahun 1999 (lex posteriori). UU Nomor 22 tahun 1999 ini secara substansial memiliki semangat baru yang berorientasi kepada pemberdayaan daerah dalam rangka peningkatan mutu pelayanan umum di daerah yang bersangkutan. Dengan berlakunya UU yang baru tersebut, harus dipahami akan menimbulkan implikasi-implikasi tertentu, baik secara politis, administratif, maupun yuridis.

Implikasi politis berarti terjadinya reposisi hubungan Pusat dan Daerah, dimana hak dan peran pemerintah Pusat untuk “ikut campur” dalam kehidupan pemerintah Daerah semakin kecil dan berkurang. Pada saat yang bersamaan, fungsi dan kedudukan lembaga daerah khususnya legislatif, semakin diberdayakan. Implikasi politis ini pada gilirannya akan berdampak secara administratif dalam bentuk perlunya penataan kewenangan dan kelembagaan pemerintahan daerah. Sementara implikasi yuridis menyangkut bentuk-bentuk regulasi di tingkat daerah, kewenangan pengaturan lembaga-lembaga di tingkat daerah dan substansi materialnya, serta konsekuensi pengaturan dari masing-masing lembaga daerah yang berkewenangan.

Dari ketiga implikasi dari berlakunya UU Nomor 22 tahun 1999 tersebut, terhadap aspek politis maupun administratif telah dilakukan banyak pengkajian maupun pembahasan, sedang aspek hukumnya relatif belum dikaji secara lengkap. Oleh karena itu, aspek hukum inilah yang akan diuraikan dalam kajian ini, dalam kaitannya dengan upaya menciptakan tertib administrasi pemerintahan di daerah dan efisiensi penyelenggaraan otonomi.

Kondisi Saat Ini


Dari berbagi upaya untuk mensosialisasikan UU Nomor 22 tahun 1999 di daerah, terdapat kesan masih melekatnya pola pikir lama bahwa kebijakan (policy atau regulasi) selalu bersifat piramidal. Artinya, pemerintah daerah hanya dapat mengeluarkan kebijakan setelah secara umum diatur di tingkat Pusat. Dalam hal ini, fungsi kebijakan di tingkat daerah selalu diidentikkan sebagai penjabaran dari kebijakan makro di tingkat Pusat. Fenomena ini jelas bertentangan dengan hakikat otonomi dan desentralisasi yang dianut UU Nomor 22 tahun 1999.

Otonomi, dari asal katanya : auto (sendiri) dan nomos (urusan atau wewenang), berarti kewenangan untuk mengatur dan menyelenggarakan urusan rumah tangganya sendiri. Sedangkan desentralisasi, dari asal katanya : de (memisahkan / mengurangi), central (pusat), dan sasi (proses), berarti proses pengurangan campur tangan pusat terhadap daerah.

Keadaan diatas akan menjadikan perubahan kebijakan pada policy level – yakni penggatian UU Nomor 5 tahun 1974 mejadi UU Nomor 22 tahun 1999 – tidak menimbulkan efek yang berarti pada perumusan kebijakan tingkat operational level. Fakta empiris yang menunjukkan gejala ini dapat dicontohkan sebagai berikut :

1.      Nomenklatur daerah (Propinsi dan Kabupaten / Kota) sampai saat ini masih menggunakan pola lama (menggunakan istilah Tingkat I atau Tingkat II), padahal UU Nomor 22 tahun 1999 secara eksplisit telah menghilangkan hierarki / jenjang kedaerahan. Alasan yang dikemukakan adalah belum keluarnya peraturan (Mendagri) yang mengatur tentang “nomenklatur dan titelatur pemerintah daerah dan jabatan-jabatan di lingkungan pemerintah daerah”. Padahal, pasal 121 telah secara jelas menyebutkan perihal perubahan sebutan tersebut.

2.      Kebiasaan pengaturan berbagai aspek pemerintah daerah (eksekutif) melalui Perda. Hal ini tentu patut dipertanyakan, mengingat UU Nomor 22 tahun 1999 telah sangat jelas memisahkan Kepala Daerah dan perangkatnya sebagai badan eksekutif, dengan DPRD sebagai badan legislatif (bandingkan dengan pasal 13 UU Nomor 5 tahun 1974 yang memasukkan DPRD kedalam unsur eksekutif). Artinya, sepanjang substansi tertentu tidak menyangkut aspek kemasyarakatan, maka Kepala daerah berhak mengatur melalui instrumen yang dimiliki, yaitu Keputusan Kepala daerah. Secara konkrit, pengaturan bidang eksekutif melalui Perda dapat dicontohkan sebagai berikut :

·        Perda Propinsi Daerah Tingkat I Jawa Barat Nomor 5 tahun 1983 tentang Dinas Pariwisata Propinsi Daerah Tingkat I Jawa Barat.
·        Perda Propinsi Daerah Tingkat I Jawa Barat Nomor 5 Tahun 1981 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Dinas Pariwisata Propinsi Daerah Tingkat I Jawa Barat.
·        Perda Propinsi Daerah Tingkat I Jawa Barat Nomor 4 tahun 1974 tentang Dinas Pertambangan Propinsi Daerah Tingkat I Jawa Barat (baru direalisasi tahun 1987).
·        Perda Propinsi Daerah Tingkat I Jawa Barat Nomor 5 Dp.040/PD/ 1978 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Dinas Pertambangan Propinsi Daerah Tingkat I Jawa Barat.

Jika dilihat pengalaman pada masa-masa sebelumnya, pembentukan suatu Dinas otonom ternyata tidak harus melalui Peraturan Daerah, misalnya :

·        SK Gubernur KDH Tingkat I Jawa Barat Nomor 219/PO/V/ OM/SK/1971 jo. SK Gubernur KDH Tingkat I Jawa Barat Nomor 107/A.V/18/SK/1975 tentang Dinas Pendapatan Daerah Propinsi Daerah Tingkat I Jawa Barat.
·        SK Dewan Pemerintahan Swatantra Tingkat I Jawa Barat Nomor 4a/UP/VIII-H/SK/1959 jo. SK Gubernur KDH Tingkat I Jawa Barat Nomor 107/A.V/18/SK/1975 tentang Dinas Perburuhan Propinsi Daerah Tingkat I Jawa Barat.

Dari fenomena diatas sesungguhnya terdapat paling tidak 4 (empat) permasalahan atau kejanggalan yang menyangkut aspek peraturan perundang-undangan di daerah, yaitu :

a.       Dalam aspek atau materi yang sama, dibentuk/dikeluarkan dua peraturan daerah. Misalnya adalah pembentukan Dinas Pariwisata (Perda No. 5 tahun 1983) dan SOTK Dinas Pariwisata (Perda No. 5 tahun 1981).
b.      Aspek SOTK pada suatu dinas / lembaga tertentu diatur lebih dahulu dibanding pembentukan dinas / lembaga yang bersangkutan (contoh SOTK dan Pembentukan Dinas Pariwisata).
c.       Tata penomoran Perda yang tidak konsisten atau tidak konsekuen (contoh Perda Nomor 4 tahun 1974, dengan Perda Nomor 5 Dp.040/PD/ 1978).
d.      Kepala Daerah sebagai kepala pemerintah (executive) kurang memiliki kebebasan bertindak, karena seluruh tindakan hukumnya harus selalu melewati lembaga perwakilan.

Permasalahan  di atas perlu dimunculkan sebagai polemik untuk memancing timbulnya debat publik tentang sumber hukum dan tata urutan perundang-undangan di daerah. Sebab, menghadapi otonomi daerah yang luas dan utuh, daerah sangat memerlukan instrumen perundang-undangan yang lain, yakni Peraturan Pemerintah Daerah (PPD), sebagai analog terhadap Peraturan Pemerintah (PP) di tingkat Pusat. Sebagaimana kita ketahui, peraturan perundangan yang utama di daerah dewasa ini hanya berbentuk Perda (sebagai analog terhadp UU) dan Keputusan Kepala Daerah (sebagai analog terhadap Keputusan Presiden)

Dengan hanya memiliki dua bentuk peraturan perudang-undangan di tingkat top managerial,  tidak mengherankan jika kuantitas Perda menjadi begitu banyak. Dampaknya, beban kerja DPRD menjadi relatif semakin berat dan proses  lahirnya Perda tersebut juga menjadi lambat atau tersendat, baik secara substansial maupun temporal. Disisi lain, fleksibilitas dan kreativitas Kepala Daerah kurang optimal untuk menjalankan fungsi regulasi umum di daerah karena pembatasan tersebut. Pada gilirannya, beban kerja DPRD yang sangat tinggi bahkan cenderung overload  ditambah dengan fleksibilitas yang rendah dari Kepala Daerah, akan menyebabkan timbulnya kesan bahwa daya tanggap (responsiveness) pemerintah Daerah sangat kecil dalam menangkap aspirasi masyarakat. Kondisi tersebut – sekali lagi – mengisyaratkan perlunya dilakukan reformasi di bidang peraturan perundangan di daerah, yang salah satunya dengan cara menambahkan bentuk peraturan perundangan baru yakni Peraturan Pemerintah Daerah (PPD).

Khususnya yang berkenaan dengan kebiasaan pengaturan berbagai aspek pemerintah daerah (eksekutif) melalui Perda seperti disebutkan diatas, perlu ditegaskan mengenai kriteria-kriteria pembentukan peraturan perundang-undangan di daerah.

Interpretasi Yuridis Terhadap UU Nomor 22 tahun 1999


1.      Berdasarkan pasal 7, 9 dan 11, kewenangan daerah mencakup seluruh kewenangan dalam seluruh bidang pemerintahan, selain yang dikecualikan dalam pasal 7 dan 9. Ini berarti bahwa otonomi daerah bersifat luas, utuh dan bulat.
Dalam kaitan dengan otonomi yang luas, utuh dan bulat sebagaimana dianut UU Nomor 22 tahun 1999, maka daerah tidak hanya memiliki kewenangan untuk melaksanakan suatu urusan saja, tetapi juga kewenangan untuk mengatur pelaksanaan urusan tersebut. Dengan demikian, daerah memiliki kewenangan penuh untuk menerbitkan peraturan daerah (Perda), Keputusan Kepala Daerah, atau bentuk-bentuk regulasi yang lain dalam rangka menjalankan otonominya, tanpa harus menunggu “petunjuk” dari Pusat. Hal ini tidak berarti mengabaikan ketentuan pasal 12 bahwa pengaturan mengenai kewenangan daerah akan ditetapkan dengan PP. Pasal 12 ini harus diinterpretasikan sebagai pengaturan secara administratif yang berfungsi sebagai pedoman umum, tetapi tidak akan membatasi kewenangan daerah itu sendiri.

2.      Berdasarkan pasal 14, DPRD merupakan badan legislatif, sedangkan pemerintah daerah (Kepala Daerah dan perangkatnya) merupakan badan eksekutif.
Dikaitkan dengan pasal-pasal lain yang mengatur tentang kedudukan, hak dan kewajiban DPRD, maka  ketentuan pasal 14 ini sesungguhnya mengandung jiwa pemberdayaan lembaga perwakilan rakyat agar pemerintah daerah dapat meningkatkan kinerja sekaligus akuntabilitasnya. Namun demikian, pemberdayaan DPRD tidak seharusnya mengurangi hak, wewenang dan kompetensi Kepala Daerah dalam melakukan fungsi-fungsi pemerintahan (executive pouvoir atau pouvoir reglementair). Oleh karena itu, tidak seluruh kebijakan harus melalui pintu dewan, sebab justru akan menjadikan mekanisme penyelenggaraan pemerintah-an daerah menjadi relatif lamban dan kaku.

3.     Berdasarkan pasal 72, Kepala Daerah dapat menetapkan Keputusan Kepala Daerah untuk melaksanakan Peraturan Daerah dan atas kuasa peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Dalam kaitannya dengan butir (2) diatas, Kepala Daerah memiliki kewenangan yang besar untuk mengeluarkan kebijakan dalam bentuk Keputusan. Namun perlu diperhatikan bahwa wewenang utama (core competency) Kepala Daerah untuk mengeluarkan Keputusan adalah se-panjang menyangkut urusan kepemerin-tahan (eksekutif), sedangkan urusan di luar kepemerintahan menjadi kompetensi alat pemerintah Pusat/unsur dekonsen-trasi (c.q Gubernur).
Dengan demikian, seorang Gubernur akan dapat mengeluarkan kebijakan (Keputusan) dalam dua segi, yaitu : 1) sebagai Kepala Daerah, 2) sebagai Wakil Pemerintah Pusat. Sedangkan keputusan Kepala Daerah Kabupaten/ Kota hanya berkenaan dengan urusan desentralisasi (kedaerahan) belaka. Oleh karena itu, yang perlu diperjelas dalam hal ini adalah kriteria yang baku tentang Keputusan Gubernur selaku Kepala Daerah, dan Keputusan Gubernur selaku Wakil Pemerintah Pusat.

Kriteria Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan di Daerah


Untuk menghindari terjadinya kebingungan, kekaburan dan tumpang tindih pengaturan suatu materi tertentu kedalam bentuk dan atau tata urutan peraturan perundangan di daerah, maka sangat diperlukan adanya kejelasan tentang kriteria materialnya. Dalam kaitan ini, bentuk peraturan perundangan di daerah serta kriteria material yang dipergunakan, diusulkan sebagai berikut :

1.      Suatu materi dituangkan dalam bentuk Peraturan Daerah (atas persetujuan DPRD), jika secara material memenuhi kriteria sebagai berikut :
·        Mengikat masyarakat umum, membebankan kewajiban tertentu kepada penduduk, mengurangi kebebasan warga negara, atau memuat keharusan dan larangan tertentu.
·        Ada penyebutan secara limitatif dari peraturan perundangan yang lebih tinggi (UU, PP, Kepres) bahwa suatu aspek tertentu harus / dapat diatur dengan Perda.
·        Untuk melaksanakan pasal-pasal atau ketentuan dalam peraturan perundangan yang lebih tinggi yang tidak disebutkan secara limitatif, namun dipandang memiliki bobot kepentingan yang luas untuk daerah yang bersangkutan dan masyarakatnya.
·        Melaksanakan peraturan perundangan dalam bidang legislatif (UU Kepartaian, UU Pemilu, UU Susduk MPR/DPR/DPRD, dan sebagainya).

2.      Suatu materi dituangkan dalam bentuk Peraturan Pemerintah Daerah, jika secara material memenuhi kriteria sebagai berikut:
·        Melaksanakan ketentuan-ketentuan dalam Peraturan Daerah yang disebutkan secara limitatif.
·        Melaksanakan pasal-pasal atau ketentuan dalam Peraturan Daerah yang tidak disebutkan secara limitatif, namun dipandang memiliki bobot kepentingan yang luas untuk daerah yang bersangkutan dan masyarakatnya.

3.      Suatu materi dituangkan dalam bentuk Keputusan Kepala Daerah, jika secara material memenuhi kriteria sebagai berikut :
·        Melaksanakan ketentuan-ketentuan dalam Peraturan Daerah yang disebutkan secara limitatif.
·        Melaksanakan pasal-pasal atau ketentuan dalam Peraturan Daerah yang tidak disebutkan secara limitatif. namun dipandang memiliki bobot kepentingan yang luas untuk daerah yang bersangkutan dan masyarakatnya.
·        Menjalankan fungsi sebagai kepala pemerintahan (executive pouvoir).
·        Menjalankan tugas-tugas pembantuan yang dibebankan oleh Pusat kepada Gubernur selaku wakil pemerintah.
Dengan demikian, sifat PPD lebih kepada aspek pengaturan (regulated), sedangkan KKD lebih bersifat ketentuan-ketentuan atau keputusan (beschikking).

Rekomendasi Bagi Penataan Kelembagaan Perangkat Daerah di Jawa Barat

Mengingat masih banyaknya ditemui permasalahan sebagaimana disebutkan diatas, serta mengingat pula beban tugas DPRD yang semakin berat sebagai wadah penampung dan penyalur aspirasi masyarakat, maka direkomendasikan penataan kelembagaan secara yuridis sebagai berikut :

1.      Pemerintah Daerah Kota Bandung beserta DPRD menyusun Peraturan daerah tentang “Kewenangan Pemerintah Kota Bandung” yang berisi ketentuan umum (lex generalis) tentang kewenangan wajib daerah, pengaturan terhadap kemung-kinan munculnya kewenagnan baru, kewajiban Pemerintah Daerah untuk menjalin kerjasama dengan Kabupaten/ Kota lain atau dengan Propinsi.
Pengaturan terhadap masalah ini hendaknya serinci mungkin (mencakup seluruh rincian bidang kewenangan yang ada – baik yang menjadi tugas Sekretariat, Dinas, maupun Lemtek), tetapi jangan serigid mungkin (mengandung delegasi pengaturan). Tambahkan klausul yang fleksibel tetapi tegas. Misal:
·        Kewenganan-kewenangan lain yang belum diatur dalam Perda ini diatur oleh Kepala Daerah dengan menyampaikan tembusan keputusan kepada DPRD.
·        Sejauh pelaksanaan kewenangan-kewenangan tertentu dalam Perda ini mengandung untuk penetapan tarif, maka hal itu harus diatur tersendiri dalam Perda Penetapan Tarif.

2.      Pemerintah Kota Bandung beserta DPRD menyusun Peraturan daerah tentang “Organisasi Perangkat Dareah Kota Bandung” yang berisi pengaturan secara umum (lex generalis) mengenai pembentukan sekretariat / dinas / lembaga teknis; visi, misi dan kewenangannya; departementasi/ struktur oragnisasi secara umum; alokasi sumber daya.
Khusus untuk kecamatan/ kelurahan, sebaiknya diatur dalam Perda tersendiri tentang “Pembagian Wilayah Otonomi serta Organisasi dan Tata Kerja Kecamatan dan Kelurahan”. Sedangkan pengaturan secara lebih khusus (lex specialis) dalam bentuk SOTK dinas/lembaga teknis akan ditentukan dengan Peraturan Kepala Daerah.

Penutup

Dengan pengaturan kembali kaidah-kaidah yuridis dalam penataan organisasi pemerintah daerah (cq. di Jawa Barat/ Kota Bandung), diharapkan permasalahan yang terjadi selama ini dapat diatasi, dan DPRD sebagai lembaga legislatif tidak terlalu direpotkan dengan tugas-tugas yang sesungguhnya merupakan rumpun tugas eksekutif. Hal ini sekaligus diharapkan membawa pengaruh positif terhadap pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia, khususnya dalam upaya menciptakan keserasian / keseimbangan hubungan antara Kepala Daerah dengan DPRD, serta meningkatkan efisiensi dan efektivitas dalam berotonomi.

Tidak ada komentar: