Jumat, 02 April 2010

Demokratisasi Birokrasi: Apolitisasi Korpri di Era Reformasi


Latar Belakang


Beberapa waktu belakangan ini, keberadaan KORPRI mendapat kajian yang cukup intensif dari berbagai pihak, baik diluar maupun didalam lingkungan KORPRI sendiri. Kajian ini kemudian memunculkan kontroversi bagaimana seharusnya anggota KORPRI bersikap dalam kehidupan politik, khususnya menjelang pelaksanaan Pemilu pada bulan Mei yang akan datang. Polemik atau kontroversi mengenai posisi dan peran KORPRI dalam kepolitikan nasional pertama kali disulut oleh pernyataan Wakil Ketua KORPRI Pusat bahwa anggota KORPRI pasti kader Golkar dan harus mendukung (baca : memilih) Golkar. Pernyataan ini ternyata cukup membekas dihati masyarakat, sehingga mengundang pro dan kontra yang agak berkepanjangan.

Salah satu pandangan yang tidak sejalan dengan pernyataan Wakil Ketua KORPRI tadi adalah temuan hasil penelitian yang dilakukan oleh LIPI. Menurut LIPI, kebijaksanaan monoloyalitas yang semula diartikan sebagai loyal terhadap pemerintah dan negara, telah direduksikan menjadi loyal terhadap Golkar. Oleh karena itu, dewasa ini ada kebutuhan untuk mempertanyakan kembali penerapan kebijaksanaan monoloyali­tas birokasi setelah tiga puluh tahun kebijaksanaan itu berjalan. Pegawai negeri dalam pandangan LIPI dapat menyalurkan aspirasi politiknya ke partai manapun (Kompas, 27/2/97).

Hasil penelitian LIPI tersebut secara serta merta mendapat tanggapan dari Menteri Dalam Negeri dan Sekjen Depdagri. Mendagri Yogie S. Memet menegaskan bahwa undang-undang menjamin pegawai negeri sipil (PNS) memilih atau menjadi anggota suatu partai politik. Namun berdasarkan ketentuan hasil Munas IV KORPRI, maka anggota KORPRI tidak memiliki pilihan lain kecuali menyalurkan aspirasinya kepada salah satu OPP. Sementara itu Sekjen Depdagri yang juga Ketua KORPRI, Suryatna Subrata mengatakan bahwa monoloyalitas atau kesetiaan tunggal KORPRI diperlukan sesuai kapasitasnya sebagai abdi negara dan abdi masyarakat agar tidak terpecah-pecah. Selanjutnya Suryatna mengingatkan, karena pemerintah sekarang adalah pemerintah Golkar, maka anggota KORPRI harus mengabdi kepada pemerintah dan konsekuensinya harus mendukung kebijakan pemerintah atau Golkar (Kompas, 28/2/97).

Adanya kontroversi diatas tentu tidak dapat dilepaskan dari kepentingan politis kelompok-kelompok yang bersangkutan, karena bagaimanapun KORPRI merupakan "segmen" yang memiliki potensi sangat besar dalam pengumpulan suara. Oleh karena itu, siapa yang dapat menguasai "segmen" ini, maka dia akan mampu menarik keuntun­gan pada hari H Pemilu nanti.

Yang perlu kita perhatikan disini adalah bahwa penjelasan kedua tokoh politik nasional tadi terkesan tidak memungkinkan lagi untuk diadakan bantahan maupun argumentasi lanjutan yang sifatnya lebih akademis. Sebab, pernyataan Yogie lebih mendasarkan kepada “asas legalitas” yang harus dijunjung tinggi oleh setiap PNS sebagai anggota KORPRI, sedangkan pernyataan Suryatna lebih berlindung dibalik kepentingan persatuan dan kesatuan bangsa.

Padahal, atas pernyataan tadi dapat dikemukakan beberapa pertanyaan antara lain : bagaimana rasionalisasinya bahwa setiap PNS harus menjadi anggota KORPRI, dan mengapa KORPRI secara transparan memihak pada suatu OPP ? Atau pertanyaan lain yang mungkin muncul misalnya, jika memang anggota KORPRI mengandung potensi disintegrasi apabila diberi kebebasan memilih pada Pemilu, mengapa tidak sekalian saja dihilangkan hak pilihnya sebagaimana anggo­ta ABRI ? Dengan kata lain, perlukah KORPRI atau birokrasi bersikap netral dalam politik?

Tentu saja, pertanyaan-pertanyaan seperti itu perlu dituntaskan secara ilmiah atau akademis dengan maksud agar setiap anggota KORPRI memiliki kesadaran serta kemantapaan dalam mendukung setiap program maupun kebijakan pemerintah, tanpa rasa ragu bahwa tindakan atau perbuatannya merupakan "hasil rekayasa". Dengan latar belakang seperti tersebut diatas, makalah ini mencoba memberikan beberapa rasionalisasi mengenai kedudukan dan fungsi KORPRI dalam kepolitikan nasional. Untuk itu, pembahasan akan dimulai dari sejarah pembentukan KORPRI, netralisasi birokrasi, dan hubungan dinas publik bagi anggota KORPRI, serta diakhiri dengan penutup.


Sejarah Pembentukan KORPRI

Semenjak pemulihan kedaulatan (27 Desember 1949) dengan penggabungan Kementrian-Kementrian, Badan-Badan Pemerintah Jawatan-Jawatan R.I.S. dan R.I. berikut pegawai-pegawainya, maka Pegawai Negeri telah dijadikan arena perebutan dan pertarungan partai-partai politik sehingga pegawai negeri menjadi terpecah-belah, dikotak-kotakkan, dan timbul hirarkhi, disiplin dan loyalitas ganda, yaitu disatu fihak tunduk pada atasannya yang resmi sedangkan di fihak lain tunduk kepada pimpinan golongannya.

Dalam kenyataannya, apabila timbul perbedaan atau pertentangan antara kepen­tingan Negara dan kepentingan golongan, maka pada umumnya Pegawai yang bersang­kutan lebih mengutamakan kepentingan golongannya, dan sebagai kelanjutannya maka kepentingan golongan dijadikan dan tujuan Negara dijadikan alatnya. Karenanya bukan saja secara fisik, akan tetapi juga, mental, kesetiaan dan ketaatan Pegawai Negeri itu sendiri tidak dapat diandalkan. Sampailah akhirnya Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959 tentang Pembubaran Konstituante dan kembali ke Undang-Undang Dasar 1945.

Sebagai langkah pertama dalam rangka usaha penyehatan Aparatur Pemerintahan dan usaha-usaha Negara mencegah hal-hal yang dipadandang tidak baik sebagai akibat dari kehidupan Politik Pejabat-Pejabat Negara dalam arti kata yang seluas-luasnya, maka pada tanggal 27 Juli 1959 dikeluarkanlah Peraturan Presiden Nomor 2 tahun 1959 tentang Larangan Keanggotaan Partai Politik Bagi Pejabat Warga RI yang berlaku mulai tanggal 1 Agustus 1959.

Sehubungan dengan hak azasi Warga Negara sebagai dimaksud pasal 28 UUD 1945, maka ditegaskan dalam penjelasan Peraturan Presiden tersebut, sebagai berikut : "Pada azasnya setiap Warga Negara RI berhak menjadi anggota sesuatu Partai Politik atau penganut sesuatu aliran politik. Akan tetapi sekarang Pejabat Negeri yang berke­wajiban menjalankan sesuatu tugas Negara sebaiknya mempunyai kedudukan yang khusus, sehingga di dalam hubungan hak-hak azasi Warga Negara tersebut di atas perlu mendapat perlakuan secara khusus pula".

Sebenarnya tujuan pokok Pemerintah dari Peraturan Presiden Nomor 2 tahun 1959 itu adalah dalam rangka usaha memulihkan keutuhan dan kekompakan segenap Pegawai Negeri sebagai Aparatur Negara untuk menyelenggarakan Pemerintahan dan mengutamakan kepentingan Negara dan kepentingan umum di atas segala-galanya, tetapi perkembangan selanjutnya menunjukkan kenyataan yang berbeda.

Sementara itu dari kalangan Partai-Partai Politik timbul tuntutan yang keras agar Peraturan Presiden Nomor 2 tahun 1959 itu dicabut kembali karena dinilainya tidak memenuhi tuntutan hati nurani rakyat dalam rangka usaha Pengamanan Revolusi 17 Agustus 1945 dan Undang-Undang Dasar 1945. Akhirnya dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong, pada tanggal 11 Pebruari 1970 disahkan dan di undangkan UU Nomor 2 tahun 1970 tentang Pencabutan Peraturan Presi­den Nomor 2 Tahun 1959 dengan alasan bahwa pencabutan Peraturan Presiden itu adalah sesuai dengan hasrat Bangsa Indonesia untuk membina Negara Republik Indonesia yang bersifat demokratis dan yang hendak menyelenggarakan keadilan sosial dan peri kemanusaiaan, maka Negara Republik Indonesia memupuk dan menjamin kemerdekaan tiap-tiap warga negaranya untuk berserikat untuk berkumpul, mengerluar­kan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya.

Sebagai pelaksanaan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1970 tersebut, maka pada tanggal yang bersamaan (11 Pebruari 1970) telah dikeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 1980 tentang Peraturan Kehidupan Politik Pejabat-Pejabat Negeri Dalam Rangka Pembinaan Sistem Kepegawaian Negeri Republik Indonesia, yang inti­nya menginginkan berlakunya merit system dan meninggalkan spoil system dimana prestasi kerja, mutu kerja, kerajinan, kesehatan, penghargaan dilaksanakan tanpa adanya perbedaan keturunan, kelamin, agama, partai politik, organisasi masa, golongan dan daerah. Peraturan Pemerintah ini mengatur jabatan-jabatan tertentu yang tidak dapat diadakan perangkapan dengan keanggotaan Organisasi Politik.

Adapun tujuan pokok dari Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 1970 ini ada­lah:
a.    Usaha mengadakan pencegahan bagi Pegawai Negeri dalam melaksanakan tugas jabatannya melakukan kegiatan-kegiatan politik yang tidak sesuai dengan martabat, kedudukan dan kewajibannya.
b.    Usaha memulihkan keutuhan dan kekompakan segenap Pegawai Negeri.

Namun Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 1970 ini berlumlah merupakan landasan yang kuat membangun jiwa korps dan kesatuan yang bulat di kalangan peg­awai negeri, karena hanya pejabat-pejabat tertentu saja yang dilarang untuk memasuki atau menjadi anggota sesuatu organisasi politik, padahal mereka hanya merupakan sebagian kecil saja dari jumlah seluruh pegawai negeri. Itulah sebabnya, untuk dapat mewujudkan pegawai yang bersatu padu, bermental baik, berwibawa, dan bertanggung jawab, maka diperlukan sistem pembinaan pegawai yang baik.

Dalam kaitan ini, pembinaan pegawai dapat dibagi dalam 2 (dua) bidang, yaitu pembinaan kedinasan dan pembinaan diluar kedinasan. Pembinaan kedinasan ditujukan untuk menjamin dan mendorong kegairahan bekerja seluruh pegawai untuk mencapai prestasi yang optimal dibidangnya masing-masing. Sedangkan pembinaan diluar kedi­nasan memiliki tujuan untuk menjamin keutuhan dan kekompakan serta menciptakan dan memelihara jiwa korps dikalangan pegawai. Untuk maksud tersebut, diperlukan suatu wadah yang menghimpun dan membina segenap pegawai. Dan setelah melalui pembahasan yang cukup dalam, maka lahirnya Keputusan Presiden No. 82 Tahun 1971 tentang Pembentukan KORPRI.


Netralisasi Birokrasi

Uraian diatas sedikit banyak telah dapat menggambarkan bagaimana sesungguhnya posisi dan keberpihakan pegawai negeri (birokrasi) terhadap politik. Namun sebelum membahas lebih lanjut mengenai konsepsi netralisasi birokrasi, terlebih dahulu perlu diperjelas definisi atau pembatasan dari kata netralisasi itu sendiri. Netral disini diartikan sebagai suatu kondisi seseorang yang tidak memihak dan tidak memi­liki sikap tertentu kepada orang lain atau pihak tertentu. Atau bisa juga diartikan sebagai kondisi seseorang yang tidak mendapatkan pengaruh dari pihak manapun diluar dirinya.
Dengan demikian netralisasi birokrasi dapat dikatakan sebagai sekelompok aparatur pemerintah yang hanya berpikir untuk melaksanakan seluruh tugas-tugas umum pemerintahan dan tugas pembangunan, tanpa ikut serta dalam kegiatan politik (apolitic). Jika politik dimaksudkan sebagai kekuasaan untuk membuat keputusan, maka netralitas birokrasi berarti terbebasnya birokrasi dari kegiatan pembuatan kebija­kan politik.

Berbicara masalah netralitas birokrasi, tidak bisa dilepaskan dari paradigma administrasi yang pertama yaitu dikotomi administrasi dan politik yang dikembangkan oleh Woodrow Wilson. Menurut Wilson, administrasi negara atau birokrasi pemerin­tah berfungsi melaksanakan kebijaksanaan politik. Dalam kaitan dengan netralitas birokrasi, Wilson menegaskan bahwa administrasi atau birokrasi berada diluar kajian politik, dan persoalan-persoalan administrasi / birokrasi bukanlah kajian politik. Bidang kajian administrasi / birokrasi merupakan kajian business yang harus terpisah dengan segala macam "tetek bengek" politik (the hurry and strife of politics) (Miftah Thoha, 1992 : 53). Konsep Wilson ini lebih jauh dikuatkan lagi oleh Frank Goodnow yang mengajarkan bahwa terdapat dua fungsi pokok pemerintah yang amat berbeda satu sama lain, yaitu politik dan administrasi. Politik adalah pihak yang berkewajiban membuat dan merumuskan kebijakan, sementara administrasi berhubungan dengan pelaksanaan kebijakan tersebut.

Adapun netralisasi birokrasi di Indonesia tidak dapat dilepaskan dari sejarah birokrasi itu sendiri. Pada tahun-tahun 1945 hingga 1950, birokrasi merupakan sarana politik untuk mempersatukan bangsa dari ancaman kolonialisme Belanda. Sebab, hanya birokrasilah satu-satunya sarana yang menjangkau rakyat sampai ke desa-desa. Namun sayangnya, pada perkembangan selanjutnya birokrasi mulai dihinggapi aspirasi primor­dial yang cukup kuat. Itulah sebabnya, sejarah ketatanegaraan kita menunjukkan betapa seringnya terjadi pergantian kabinet yang mengindikasikan konflik internal yang tera­mat parah di tubuh birokrasi. Dengan demikian teranglah bahwa pada periode 1950 - 1959 ini birokrasi pemerintah sudah mulai tidak netral, dalam arti memihak kepada kepentingan partai atau golongan tertentu.

Selanjutnya pada periode 1960 - 1965, birokrasi Indonesia semakin diincar oleh kekuatan-kekuatan politik praktis. Dibawah label demokrasi terpimpin, 3 kekuatan politik yakni Nasakom (Nasionalis, Agama dan Komunis) bersaing untuk membangun akses kepada birokrasi pemerintah. Tidaklah mengherankan jika suasana saling curiga, saling tuduh dan saling menjegal menjadi hal yang biasa dalam kepolitikan nasional kala itu. Sebagai akibatnya, birokrasi saat itu memiliki ciri-ciri sangat birokratis, primordial dan patronikrasi yang sangat kental. Inilah masa ketika birokrasi sudah terperangkap kedalam jaring-jaring yang dipasang oleh kekutan politik Nasakom.

Dan terakhir, semenjak lahirnya Orde Baru tahun 1996 sampai dengan saat ini, birokrasi semakin transparan dalam memihak dan mendukung satu kekuatan sosial politik yang dominan. Kesadaran politik tahun-tahun awal kemerdekaan yang memandang bahwa birokrasi merupakan alat pemersatu bangsa, dipakai kembali pada periode ini.

Dari periodisasi tersebut diatas, dapat diketahui bahwa konsepsi netralitas birok­rasi pada dasarnya hanya ada dalam angan-angan semata. Artinya, birokrasi sebagai alat pemerintah (bukan alat negara) dan bagian dari lembaga eksekutif mau tidak mau harus mendukung pemerintah serta mensukseskan program-program eksekutif. Sebab sebagai alat pemerintah, birokrasi tidak mungkin hanya berperan sebagai pelaksana saja, me­lainkan juga sebagai perumus dan penentu kebijakan. Jika birokrasi hanya diberi kewenangan untuk melaksanakan kebijakan saja, maka birokrasi cenderung menjadi lemah.

Miftah Thoha (1992 : 60) berpendapat bahwa kurang tepat jika birokrasi dibiar­kan menjadi lemah. Selain itu, membedakan antara pelaksana dengan pembuat kebija­kan merupakan tindakan yang dikotomis sekali, yang menyebabkan tidak adanya sambung tanggung jawab serta tidak ada rasa memiliki. Sebaliknya, sistem birokrasi yang terlibat proses membuat keputusan akan membuat birokrasi menjadi kuat dan menimbulkan rasa tanggung jawab dalam melaksanakan keputusan yang dibuatnya sendiri.

Namun memang, kedua fungsi birokrasi baik sebagai konseptor maupun sebagai eksekutor kebijakan publik ini mengandung sisi negatif, yakni cenderung menjadi the single authoritarian yang menjurus kepada sifat-sifat arogan dan kebal terhadap kritik. Oleh karena itu, peran ganda tersebut dapat dipertahankan dengan syarat pengawasan atau kontrol terhadap birokrasi dapat terus dijalankan secara efektif.


Beberapa Masalah Sekitar KORPRI

Netralisasi birokrasi sebenarnya hanyalah merupakan salah satu permasalahan yang dihadapi oleh birokrasi Indonesia, dalam hal ini KORPRI. Disamping itu, KORPRI masih menghadapi masalah-masalah besar lainnya yang berkaitan dengan kewajiban secara pasif menjadi anggota KORPRI, penyaluran hak demokrasi anggota KORPRI, serta hubungan antara pemerintah dengan PNS.

Permasalahan pertama adalah apakah tidak bertentangan dengan Pasal 28 Undang-Undang Dasar 1945 apabila seluruh pegawai diharuskan dapat memasuki dan menjadi anggota satu wadah ?

Dalam pasal 28 UUD 1945 ditegaskan bahwa kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan UU. Namun sepanjang sejarah tidak pernah ada kebebasan mutlak, yang ada hanyalah kebebasan bersyarat yang dibatasi secara wajar. Artinya, apabila kebebasan berbuat itu tidak dibatasi secara wajar akan menimbulkan kekacauan, sebab kebebasan yang satu akan bersentuhan dengan orang lain.

Dalam kaitan ini perlu diingat bahwa salah satu fungsi hukum adalah membatasi kebebasan manusia itu secara wajar untuk menghindarkan bentrokan antara berbagai kebebasan, sehingga dengan demikian dapat diciptakan keamanan, ketertiban, dan ketenteraman dalam masyarakat. Adalah meru­pakan kewajiban dari setiap Pemerintah untuk melarang tersebarnya pendapat-pendapat yang berbahaya sebagaimana halnya melarang dan menindak setiap perbuatan yang sosial, seperti perampokan, pembunuhan, perkosaan dan lain-lain.

Permasalahan kedua, pegawai mana saja yang menjadi anggota dari wadah yang akan dibentuk itu ?

Mengenai stelsel keanggotaan dianut stelsel pasif, artinya setiap PNS, pegawai perusahaan negara, pegawai bank milik negara, dan pejabat yang menyelenggarakan pemerintahan di desa, dengan sendirinya menjadi anggota KORPRI. Berhubung dengan perkembangan keadaan, maka dalam Munas I KORPRI yang berlangsung di Jakarta pada tangal 29 Nopember sampai dengan 2 Desember 1978, dan kemudian disahkan dengan Keputusan Presiden Nomor 2 tahun 1979, diadakan beberapa penyem­purnaan di bidang keanggotaan KORPRI, yaitu :

a.    Berhubung dengan kenyataan bahwa sampai dengan penghujung tahun 1978 modal PERSERO seluruhnya bersumber dari Pemerintah, maka semua Pegawai PERSE­RO menjadi anggota KORPRI.
b.    Anggota ABRI yang dikaryakan pada instansi Pemerintah, Bank milik Negara, Bank milik Daerah, Badan Usaha Milik Negara dan Badan Usaha Milik Daerah menjadi anggota KORPRI selama mereka dikaryakan.
c.    Pensiunan Pegawai Republik Indonesia yang dinyatakan dirinya tetap/menjadi anggota KORPRI dimungkinkan menjadi anggota KORPRI.

Dengan adanya ketentuan baru ini maka stelsel keanggotaan KORPRI terdiri dari stelsel pasif dan stelsel aktif. Khusus bagi pensiunan dianut stelsel aktif, yang berarti bahwa pensiunan barulah dapat menjadi anggota KORPRI. Apabila mereka meminta menjadi anggota KORPRI.

Permasalahan ketiga, bagaimanakah penyaluran hak demokrasi pegawai warga negara menurut UUD 1945 ?

Menurut UUD 1945, wadah penyaluran hak demokrasi adalah Lembaga Perwakilan yang bertingkat yaitu DPR, DPRD I dan DPRD II. Pegawai sebagai warga negara dapat menyalurkan hak demokrasinya melalui Lembaga Perwakilan tersebut dengan cara memilih wakil-wakil rakyat yang terpercaya dalam Pemilihan Umum untuk duduk dalam Lembaga Perwakilan. Keinginan rakyat yang telah diputuskan oleh Lembaga Perwakilan Rakyat dilaksanakan oleh Pemerintah, baik Pusat maupun Daerah. Agar keinginan rakyat itu dapat terlaksana dengan baik, maka diperlukan adanya aparatur negara yang sempurna. Dan kesempurnaan aparatur negara, pada pokoknya tergantung kepada kesempurnaan pegawai negeri yang tergabung dalam wadah KORPRI.

Permasalahan keempat, bagaimana hubungan yang sebaik-baiknya antara Pemer­intah dengan Pegawai ?

Untuk menjawab pertanyaan ini, dapat dikemukakan ilustrasi bahwa Negara Republik Indonesia adalah ibarat kapal yang berlayar di samudera luas menuju cita-cita. Sedangkan pemerintah ibarat nahkoda yang menentukan arah yang dituju dalam mencapai tujuan. Dan KORPRI adalah ibarat motor penggerak yang melaksanakan segala kegiatan untuk mencapai tujuan sesuai dengan arah kebijaksanaan yang ditetap­kan oleh Pemerintah.

Menurut UUD 1945, Pemerintah sebagai nahkoda Republik Indonesia dapat saja berganti sekali dalam 5 (lima) tahun. Akan tetapi KORPRI sebagai motor penggerak harus dibina dengan baik secara terus menerus, sehingga penyelenggaraan pemerinta­han, pelaksanaan pembangunan, dan pelayanan masyarakat dapat tetap berjalan dengan baik pada setiap saat. Dalam membina kedudukan KORPRI yang demikian itu, maka perlu diadakan usaha-usaha yang terencana dan terarah, sehingga segenap Pegawai Republik Indonesia benar-benar memiliki kesetiaan dan ketaatan sepenuhnya kepada Pancasila, UUD 1945, Negara dan Pemerintah, serta memiliki mental baik, bersatu padu, berwibawa, kuat, bersih, berkualitas tinggi dan sadar akan tanggung jawabnya kepada Bangsa dan Negara.


Hubungan Dinas Publik Anggota KORPRI

Dari uraian-uraian diatas dapat kita simpulkan bahwa dalam pandangan politik, birokrasi dapat memainkan dua fungsi baik yang netral maupun yang tidak netral. Hal ini sangat tergantung dari penafsiran yang dianut oleh suatu pemerintah. Akan tetapi yang menjadi masalah sekarang adalah, bagaimana posisi anggota KORPRI dalam pandangan hukum publik ?

Untuk menjawab pertanyaan ini, perlu diketahui terlebih dahulu bahwa secara teoritis pegawai negeri sipil terikat oleh hubungan dinas publik dengan negara. Adapun yang dimaksud hubungan dinas publik menurut Logemann adalah bilamana seseorang mengikat dirinya untuk tunduk pada perintah dari pemerintah untuk melakukan sesuatu atau beberapa macam jabatan itu dihargai dengan pemberian gaji dan beberapa keun­tungan lain.

Jadi, inti dari hubungan dinas publik itu adalah kewajiban bagi pegawai yang bersangkutan untuk tunduk pada pengangkatan dalam beberapa macam jabatan yang berakibat bahwa pegawai yang bersangkutan tidak menolak (menerima tanpa syarat) pengangkatannya dalam satu jabatan yang telah ditentukan oleh pemerintah. Sebaliknya, pemerintah berhak mengangkat seseorang pegawai dalam jabatan tertentu tanpa harus adanya persesuaian kehendak dari yang besangkutan. Jadi yang terpenting dari hubungan dinas publik adalah kewajiban dari pegawai yang bersangkutan untuk tunduk pada pengangkatan oleh pemerintah dalam satu atau beberapa macam jabatan tertentu.

Tentang segi hukum pengangkatan pegawai negeri yang menimbulkan hubungan dinas publik itu telah timbul dua pendapat. Beberapa pengarang berpendapat bahwa hubungan dinas publik dan pengangkatan pegawai itu merupakan “suatu perjanjian” yakni karena adanya persesuaian kehendak atau “vrye verdrag” (kontrak sukarela) antara pegawai dengan pemerintah. Yang berpendapat seperti ini antara lain adalah Loge­mann, Krenenburg, Vegting, van Praag, Karable, Prins dan Buys.

Menurut Buys, vrye verdrag itu tidaklah didasarkan pada suatu perjanjian seba­gaimana yang diatur dalam pasal 1338 KUP Perdata, melainkan merupakan suatu kontrak istimewa (contract suigeneris) antara pemerintah dan pegawai negeri. Dalam contract suigeneris ini disyaratkan bahwa pegawai negeri harus setia dan taat selama menjadi pegawai negeri. Seorang sarjana Belanda bernama Heelskreek menyatakan ketidak-setujuannya dengan teori Buys. Sebab menurut Heelskreek, jika hak-hak asasi pegawai negeri itu dibatasi berarti pemerintah melakukan perbuatan in konstitusional atau melanggar undang-undang dasar.
                                                                                                         
Dalam teori Buys memang dikatakan bahwa pegawai negeri yang melakukan "contract suigeneris" itu tidak dapat melakukan hak-hak azasinya secara penuh sepanjang berkaitan dengan statusnya sebagai pegawai negeri yang memangku hubungan dinas publik, sebab kalau pegawai negeri itu berkeinginan melak­sanakan hak-hak asasinya secara penuh pemerintah dapat berkata bahwa pegawai negeri bersangkutan bukanlah orang ang diperlukan bantuannya oleh pemerintah. Menurut Buys (dalam teks aslinya) pemerintah dapat menyatakan :

Saya menghormati hak-hak tuan tetapi apabila tuan akan melaksanakan hak-hak itu tuan bukan orangnya yang saya perlukan dan kepada siapa saja minta bantuan.

Hukum kepegawaian di Indonesia cenderung menganut teori "kontrak istimewa" dari Buys ini yakni dengan adanya tuntutan dari pemerintah agar semua pegawai negeri bersikap monoloyalitas.

Sementara itu terdapat beberapa sarjana lain yang berpendapat bahwa pengangka­tan atau adanya hubungan dinas publik pada pegawai negeri itu bukanlah merupakan "kontrak istimewa" melainkan merupakan perbuatan hukum yang bersegi satu yang dilakukan oleh pemerintah. Inilah yang disebut sebagai “aanstelling”, yakni penunjukan terhadap pegawai yang bersangkutan untuk duduk dalam jabatannya.

Para sarjana yang berpendapat bahwa pengangkatan atau hubungan dinas publik pada pada pegawai negeri ini sebagai aanstelling, antara lain : adalah Kleintjes, Van der Pot, Van der Grinten, Van Urk dan Donner. Namun pada sisi lain Utrecht tidak sependapat dengan teori kedua ini dengan alasan bahwa meskipun dalam pengangkatannya pegawai negeri itu merupakan perbuatan hukum bersegi satu, tetapi aanstelling itu sebenarnya merupakan suatu akibat dari hubungan dinas publik dan bukan peristiwa hukum yang menimbul­kannya. Artinya, sebelum penunjukan itu terjadi, telah diadakan suatu perjanjian antara pelamar dan pemerintah, dan sebagai akibat perjanjian tersebut pelamar diangkat dalam satu jabatan, bahkan ia tidak terpaksa menerima pengangkatan itu.


Penutup

Dengan mengemukakan beberapa aspek politis dan aspek yuridis yang berkenaan dengan kedudukan dan fungsi KORPRI, maka jelaslah bagi kita bahwa sebagai bagian dari pemerintah serta unsur utama pelaku kebijaksanaan publik, sudah sepantasnya jika anggota KORPRI memberikan dukungan sepenuhnya kepada pemerintah demi sukses­nya penyelenggaraan tugas-tugas umum pemerintahan maupun tugas pembangunan. Selain itu, dari etika organisasi maupun etika profesi dapat kita simak bahwa manakala seseorang telah menentukan pilihannya terhadap suatu organisasi atau profesi, maka sejak saat itu ia telah dianggap menundukkan diri terhadap setiap aturan yang berlaku bagi organisasi atau profesi tersebut. Bahkan agama Islam juga mengajarkan bagi siapa saja yang hendak memeluk agama Islam, hendaklah ia mengakui ajaran Islam secara “kaffah” (totalitas).


Daftar Bacaan

1.             Marbun, SF, dan Mahfud, Moh., Pokok-Pokok Hukum Administrasi Negara, Yogyakarta : Liberty, 1987.
2.             Thoha, Miftah, Netralisasi Birokrasi Pemerintah di Indonesia, dalam Moerdiono et.al.), Birokrasi dan Administrasi Pembangunan, Jakarta : Sinar Harapan, 1992.
3.       KORPRI, Pokok-Pokok Program KORPRI Tahun 1994/1999, Jakarta, 1994.

Tidak ada komentar: