SEMENJAK runtuhnya rejim pemerintahan Soeharto, suhu politik di Indonesia belum juga reda dari “demam tinggi” yang berkepanjangan. Bahkan agenda sepenting Sidang Umum Tahunan (SUT) MPR yang seharusnya menjadi forum rembug dan rekonsiliasi nasional, justru disikapi dengan ancang-ancang dari kekuatan atau kelompok kepentingan tertentu untuk unjuk gigi dan pasang jurus demi memperjuangkan aspirasi politisnya. Tidaklah mengherankan jika kemudian terdapat pihak-pihak yang menghendaki agar SUT dimodifikasi menjadi Sidang Istimewa (SI), dengan sasaran akhir terjadinya suksesi kepemimpinan nasional. Disisi lain, terdapat pihak-pihak tertentu yang rela berkorban apapun untuk mempertahankan pemerintahan yang sah atau legitimate.
Bagi masyarakat awam, fenomena “pertarungan” kelas elit tadi dapat dianalogikan sebagai perseteruan gajah melawan gajah yang hanya menimbulkan kerusakan dan malapetaka bagi pelanduk di sekelilingnya. Dengan kata lain, gejala perebutan kekuasaan nampaknya lebih menonjol dibanding upaya mengatasi krisis serta mengantarkan rakyat kedepan pintu gerbang kesejahteraan. Politisi kontemporer di Indonesia kelihatannya sedang berlomba untuk menerapkan ajaran Robson, bahwa the focus of interest of the political scientist (or actors - penulis) centers on the struggle to gain or retain power, to exercise power or influence over others, or to resist that exercise (fokus perhatian sarjana dan pelaku politik tertuju pada perjuangan mencapai atau mempertahankan kekuasaan, melaksanakan kekuasaan atau pengaruh atas orang lain, atau menentang pelaksanaan kekuasaan itu).
Padahal, jika kita tengok sejarah masa silam – khususnya pada jaman Majapahit – ada suatu pelajaran yang sangat penting dan harus dijadikan cermin dalam menjalankan hubungan antar kelompok atau antar kekuatan. Pelajaran itu adalah bahwa pertikaian politik tingkat tinggi tidak hanya menimbulkan kerugian fisik, finansial maupun berbagai bentuk kerugian sosial. Lebih dari itu, konflik politik yang berlarut-larut juga menghambat proses pembangunan karakter nasional (nation and character building), disamping dapat mengarah pula pada proses disintegrasi bahkan keruntuhan suatu negara bangsa (nation state).
* * *
Pada masa pemerintahan R. Wijaya atau Kertarajasa (1293 - 1309 M), sudah terjadi beberapa kali pemberontakan. Hanya karena “ketahanan nasional” yang kuat serta sikap Kertarajasa yang tegaslah maka beberapa pemberontakan tidak dapat berkembang secara optimal. Akan tetapi sepeninggal Kertarajasa dan kemudian digantikan oleh Kalagemet atau Sri Jayanegara yang lemah serta tidak memiliki ketegasan dan kewibawaan, benih-benih ketidakpuasan dari “arus bawah” dengan suburnya tumbuh menjadi gerakan-gerakan coup d’etat.
Ranggalawe, pengikut setia Kertarajasa, menurut Pararaton memberontak pada tahun Saka 1217 atau 1295 M, karena adanya perasaan tidak puas dengan kepemimpinan Kertarajasa. Ranggalawe yang memegang peranan penting dalam penyerbuan terhadap Jayakatwang (Raja Kediri), sebenarnya mengharapkan kedudukan sebagai Patih Majapahit. Akan tetapi yang diangkat menjadi patih adalah Nambi, anak Arya Wiraraja atau Banyak Wide, yang dalam pandangan Ranggalawe adalah orang yang lemah dan mustahil mampu mengemban tugas besar itu.
Kemungkinan besar R. Wijaya mengangkat Nambi sebagai Patih karena merasa berhutang budi kepada Arya Wiraraja yang berhasil memasukkan Wijaya ke keraton Jayakatwang, padahal Wijaya adalah menantu Kertanegara (Raja Singosari) yang dibunuh oleh Jayakatwang. Dan berkat jaminan Wiraraja pula, Wijaya diperbolehkan membuka hutan Tarik yang menjadi cikal bakal kerajaan Majapahit.
Budaya asli bangsa memang mengajarkan untuk membalas setiap kebaikan yang telah dilakukan orang kepada kita. Hal seperti ini merupakan kewajiban moral yang tidak mungkin dilupakan begitu saja. Namun dalam kasus ini, sebagai pemimpin bangsa Wijaya justru melupakan aspek lain dalam hal pengangkatan dan penempatan aparatur negara, yaitu aspek ketrampilan dan kemampuan (sumber daya) manusia. Agaknya Wijaya lebih menonjolkan unsur perasaan dan persaudaraan (kroni) dibanding ketepatgunaan dan kedayagunaan dalam penyelenggaraan pemerintahan. Inilah masalah kepemimpinan yang mula-mula sekali muncul. Barangkali Wijaya menyangka bahwa kebijaksanaannya akan dapat menjaga persatuan dan menghindarkan dari rasa ketidakpuasan para pembantunya, tetapi ternyata justru menimbulkan pertikaian.
Pada tahun Saka 1222 atau 1300 M, timbul lagi “pemberontakan” yang dipimpin oleh Lembu Sora, paman Ranggalawe, sebagai akibat fitnah yang dilancarkan Dyah Halayuda atau Mahapati. Peristiwa ini sendiri masih ada hubungannya dengan pemberontakan Ranggalawe, dimana Kebo Anabrang diperintahkan untuk menghadapi dan menghancurkan pemberontakan itu. Dan memang, Kebo Anabrang akhirnya berhasil membunuh Ranggalawe di Sungai Brantas. Demi melihat keponakannya terbunuh, marahlah Lembu Sora yang kemudian berhasil membunuh Kebo Anabrang. Raden Wijaya sendiri tidak mengambil tindakan pidana atas perbuatan Lembu Sora. Keadaan ini dimanfaatkan oleh Mahapati untuk mengail di air keruh. Kepada raja dikatakan bahwa para Menteri Kerajaan tidak puas dengan sikap R. Wijaya karena membiarkan Lembu Sora yang membunuh Kebo Anabrang. Oleh karena itu, demi keadilan, Lembu Sora harus dihukum. Lembu sora sendiri pasrah terhadap putusan raja dan berniat untuk menyerahkan diri. Akan tetapi oleh Mahapati difitnah bahwa Sora akan memberontak. Atas dasar laporan ini maka R. Wijaya mengambil tindakan “pembersihan” terhadap Sora dan kelompoknya. Merasa mendapat perlakuan yang tidak fair, para pengikut Sora seperti Juru Demung dan Gajah Biru malahan meneruskan gerakan hingga tahun 1314 M.
Disini terjadi lagi krisis kepemimpinan. Seorang pemimpin mestinya bersikap netral dan berdiri diatas semua golongan yang ada di negerinya. Ini mengandung pengertian bahwa pemimpin tidak boleh menelan begitu saja keterangan-keterangan dari suatu golongan mengenai golongan yang lain. Pemimpin harus mau dan mampu melihat, mendengar dan merasakan keluhan, penjelasan maupun fakta-fakta dari dua atau lebih arah yang berbeda, serta menerapkan asas praduga tak bersalah (presumption of innocent) sebelum menjatuhkan vonis / putusan atas suatu perkara.
Pada masa pemerintahan Jayanegara (Saka 1231 - 1250 atau 1309 - 1328 M), tepatnya pada tahun 1316 M, timbul pemberontakan yang dipimpin oleh Nambi dengan dibantu oleh Wiraraja dan sebagian menteri Majapahit. Pemberontakan inipun akibat dari fitnahan Mahapati, yang dalam Kitab Pararaton disebutkan sebagai tokoh yang sangat menginginkan jabatan Patih Amangkubumi dan tipe pemimpin yang tidak baik, sumber fitnah dan adu domba.
Selang beberapa waktu setelah ditumpasnya gerakan Nambi, pada tahun Saka 1241 (1319 M) terjadi lagi pemberontakan paling serius yang dipimpin oleh Kuti. Pasukan Kuti dapat merebut kerajaan, sehingga Jayanegara dan pengikutnya melarikan diri ke desa Badander. Namun berkat kesigapan Bekel Gadjah Mada, kekacauan ini dapat teratasi. Dan setelah usainya pemberontakan Kuti, barulah diketahui bahwa semua itu akibat perbuatan Mahapati, yang waktu itu sudah berhasil mencapai ambisinya menduduki jabatan Patih Mangkubumi. Mahapati akhirnya dihukum mati secara cineleng-celeng (dicincang).
Disini terlihat bahwa meskipun kasus tersebut tidak secara langsung berhubungan dengan kualitas kepemimpinan, tetapi jelas terdapat sesuatu yang kurang beres dalam sistem pemerintahan Majapahit. Tumbuh suburnya duri dalam daging atau musuh dalam selimut seperti Mahapati pastilah disebabkan oleh administrasi kenegaraan yang tidak tertib, tidak disiplin dan tidak dapat dipertanggungjawabkan. Kemungkinan lain, pada saat itu budaya Asal Bapak Senang sudah mendapatkan tempat yang nyaman dihati penguasa, sehingga siapa yang pandai memutar lidah dan fakta, serta dapat menyenangkan hati raja, dialah yang akan selalu memperoleh “ganjaran” dari sang raja.
Jayanegara yang dalam kepustakaan sejarah digambarkan sebagai raja yang berperangai buruk, meninggal pada tahun 1328 M karena dibunuh oleh tabib kerajaan yang bernama Tanca. Seperti diketahui, Tanca sebenarnya masih satu keluarga dengan Kuti yaitu keluarga Dharmaputra, sehingga — betapapun kecilnya — mau tidak mau dalam hatinya pasti tertanam rasa benci kepada Jayanegara. Hal ini sangat disadari oleh Gadjah Mada, sehingga saat raja sakit bisul, Tancalah yang dipanggil untuk “mengobati”. Dan sesaat setelah berhasil “menunaikan tugasnya”, giliran Gadjah Mada yang “memberesi” Tanca dengan tuduhan membunuh raja. Ini merupakan taktik yang sangat jitu dalam mengakhiri kekuasaan Jayanegara tanpa timbulnya gejolak.
Tahta kerajaan beralih kepada Tribhuwanatunggadewi. Ia dibantu oleh suaminya Kertawardhana, dan Gadjah Mada sebagai patih. Pada tahun 1350 M, Tribhuwanatunggadewi turun tahta dan diganti oleh putranya yang bernama Hayam Wuruk atau Rajasanegara. Pada masa raja Hayam Wuruk dan patih Gadjah Mada inilah Majapahit mencapai puncak kemegahannya, dengan semboyan patihnya yang sangat terkenal : Sumpah Palapa.
Akan tetapi semenjak Gadjah Mada meninggal pada tahun Saka 1286 (1364 M), timbul kesulitan untuk memilih siapa yang dapat menggantikan kedudukannya sebagai patih, dan ternyata tidak seorangpun yang mampu. Apalagi dengan meninggalnya Hayam Wuruk pada tahun 1389 M, maka timbullah krisis kepemimpinan yang sangat memprihatinkan sekaligus menegangkan, yaitu terjadinya pertentangan antara Wirabhumi dengan Wikramawardhana, menantu Hayam Wuruk. Agaknya sudah menjadi kehendak sejarah bahwa Majapahit harus mengalami peristiwa-peristiwa “berdarah” yang mengantarkan kepada kehancurannya.
Keadaan tersebut menunjukkan tidak terbinanya regenerasi dengan baik. Para pemimpin Majapahit terlena terhadap impian mewujudkan kesatuan seluruh wilayah nusantara, tetapi melupakan pendidikan dan pelatihan kader-kader pemimpin yang berkualitas. Paling tidak, ini membuktikan pula bahwa pandangan politik Majapahit waktu itu memiliki dua kelemahan, yaitu pertama bersifat kekinian dan tidak mempertimbangkan aspek futuristik-nya (prospek masa depan), dan kedua tidak dibudayakannya nation building dan institutional building.
Pertentangan antara Wirabhumi dan Wikramawardhana mulai timbul pada tahun Saka 1323 (1401 M). Kemungkinan besar hal itu terjadi karena Bhre Wirabumi sebagai anak Hayam Wuruk meskipun dari selir, merasa lebih berhak menduduki tahta kerajaan dari pada Wikramawardhana (Bhre Hyang Wisesa). Seperti kita ketahui, Wikramawardhana adalah anak dari adik Hayam Wuruk yaitu Bhre Pajang Rajasaduhiteswari, yang dikawinkan dengan putri mahkota Kusumawardhani. Namun demikian, yang memerintah dan mengendalikan kerajaan bukan Kusumawardhani melainkan suaminya.
Menurut Pararaton, pada tahun Saka 1326 (1404 M) antagonisme antara Wikramawardhana yang berkedudukan di Majapahit dengan Wirabhumi yang berkedudukan di Blambangan berkembang menjadi peperangan terbuka. Dalam perang itu mula-mula Kedaton kulon atau Majapahit menderita kekalahan, namun setelah mendapat bantuan Bhre Tumapel (Bhre Hyang Parameswara), Kedaton Wetan (Blambangan) dapat dikalahkan. Bhre Wirabhumi melarikan diri, dikejar oleh R. Gajah (Bhre Narapati), dan setelah tertangkap lalu dipenggal kepalanya. Peristiwa ini dalam serat Pararaton disebut Paregreg. Meninggalnya Bhre Wirabhumi tidak berarti selesainya pertikaian, justru merupakan benih timbulnya balas dendam.
Setelah Wikramawardhana meninggal tahun 1429 M, ia diganti oleh anaknya yaitu Suhita (1429 - 1447). Suhita adalah anak Bhre Hyang Wisesa sebagai hasil perkawinan dengan Bhre Mataram, anak Wirabhumi. Jadi pengangkatan Suhita secara politis dimaksudkan untuk meredakan persengketaan. Namun Kitab Pararaton memberitakan bahwa pada tahun Saka 1355 (1433 M), R. Gajah dibunuh karena dituduh telah memenggal Wirabhumi. Peristiwa ini menunjukkan bahwa persengketaan dinasti Majapahit terus berlangsung.
Demikianlah, persengketaan yang berlangsung terus-menerus mengenai masalah kepemimpinan negara dan perebutan kekuasaan, telah mengakibatkan semakin rapuhnya Majapahit, dan ditambah pula oleh perkembangan-perkembangan baru didaerah pesisir utara Jawa, akhirnya masa keemasan Majapahit tidak dapat dipertahankan lagi sampai pada keruntuhannya tahun Saka 1400 (Sirna Ilang Kertaning Bumi).
* * *
Tidak ada komentar:
Posting Komentar