Jumat, 02 April 2010

Demokrasi Lokal: Haruskah Dengan Parpol dan Pemilu Lokal?


ARUS pemikiran yang menghendaki penguatan dan percepatan proses demokratisasi lokal semakin mengkristal akhir-akhir ini. Dalam artikel berjudul Pendalaman Arah Demokrasi Lokal (2002) misalnya, Indra J. Piliang (IJP) menulis bahwa model demokrasi nasional kini kian busuk dan bangkrut. Siapapun pemenang pemilu nasional tahun 2004 dalam partai-partai nasional, tentulah bagian dari elite-elite yang bertikai selama empat tahun ini. Untuk itu, model itu penting dikritik sekaligus diseimbangkan lewat demokrasi lokal. IJP sendiri mengartikan demokrasi lokal sebagai kedaulatan rakyat di tingkat lokal lewat mekanisme pemilu lokal dan parpol lokal, sebagai upaya mendudukkan wakil-wakilnya dalam lembaga legislatif, baik lokal maupun nasional.

Hasrat untuk memunculkan parpol dan pemilu lokal sesungguhnya merupakan manifestasi wajar terhadap keinginan banyak pihak untuk lebih menghormati keberadaan dan peran masyarakat sipil dalam sistem politik dan ketatanegaraan di daerah. Terlebih lagi, kebijakan desentralisasi luas lewat UU 22/1999 telah digulirkan yang semestinya turut memperbaiki iklim demokrasi. Namun nampaknya, UU ini dipandang tidak cukup memberi peluang bagi berkembangnya partisipasi masyarakat secara langsung terhadap proses kebijakan publik di daerah. Akibatnya, muncullah gagasan tentang perlunya pemilu dan parpol lokal sebagai instrumen demokrasi, yang memang sama sekali tidak diatur dalam UU otonomi tadi.

Secara konseptual, ide ini merupakan terobosan penting dalam khazanah politik dan administrasi publik di tanah air. Namun untuk dapat operasional, banyak aspek yang perlu dikaji dan dipertimbangkan.

Pertama, mengikuti pola pikir IJP, model demokrasi nasional telah busuk dan bangkrut. Tentu dapat ditafsirkan bahwa pembusukan tadi tidak hanya menyangkut sistem dan praktik-praktik demokrasi saja, tetapi juga termasuk aktor-aktor atau politisinya. Dalam hal ini, tidak ada jaminan sama sekali bahwa model demokrasi lokal jauh lebih bersih, aspiratif dan efektif dibanding demokrasi tingkat pusat. Seorang pengamat Indonesia di Jepang justru melihat politisi lokal sebagai kendala utama bagi proses demokratisasi. Ia mengatakan: “politisi lokal kebanyakan lebih bersikap tradisional, otoriter, dan didominasi oleh kelas elit daerah yang berwawasan sempit, serta kurang terbiasa dengan proses demokratisasi dan keterbukaan informasi dibanding politisi nasional” (Kimura, 1999). Disisi lain, dari berbagai sumber bisa kita amati makin merebaknya korupsi di daerah sejak era otonomi secara luas. Dengan kata lain, gagasan pemilu / parpol lokal yang dipaksakan justru dikhawatirkan hanya memindahkan sekaligus menyebarkan kebusukan di tingkat nasional ke tingkat daerah.

Terkait dengan belum matangnya politisi lokal kita ini, mekanisme pemilu lokal oleh parpol lokal boleh jadi menghasilkan demokrasi perwakilan yang memiliki akuntabilitas sangat rendah. Persepsi klasik kita bahwa sistem perwakilan selalu berarti lebih demokratis, dan demokrasi selalu berarti lebih akuntabel, mungkin sekali keliru. Dengan mengutip pendapat Hirst, Rhodes (2000) mengingatkan bahwa representative democracy delivers low level of governmental accountability and public influence on decision-making.

Kedua, para penganjur demokrasi lokal sering memakai argumen bahwa dalam ukuran kecil seperti negara kota, potensi demokrasi lebih besar ketimbang pemerintahan rakyat dalam ukuran besar. Namun sesungguhnya paradigma ini sudah lama ditinggalkan, dan banyak negara maju yang melakukan penggabungan daerah-daerah kecil agar menjadi lebih besar, tanpa mengorbankan nilai-nilai demokrasi. Jepang misalnya, dewasa ini sedang giat melakukan amalgamasi dengan target pengurangan municipality dari 3.232 menjadi hanya 257 (Hayashi, 2002). Demikian halnya di Eropa. Di Swedia, unit pemda berkurang dari 1.006 pada tahun 1960-an menjadi 284 pada tahun 1980-an. Sementara pada periode yang sama, jumlah unit pemda di Belgia berkurang dari 2.663 menjadi 589; di Denmark dari 1.387 menjadi 275; di Jerman dari 24.282 menjadi 8.426; dan di Inggris dari 1.288 menjadi 457 (Allen, 1990). Singkatnya, tidak ada korelasi positif antara ukuran daerah / negara dengan kadar demokrasi.

Ketiga, dorongan terhadap demokrasi lokal juga bersumber dari keraguan terhadap efektivitas UU otonomi daerah yang baru, yang hanya berkutat seputar demokratisasi pemerintahan sehingga terjadi penjarakan politik yang lebar dengan masyarakat daerah. Namun, sekecil apapun harus diakui bahwa UU ini telah membawa perubahan yang cukup radikal dalam tata hukum dan tata pemerintahan kita. Kewenangan atau diskresi daerah yang jauh lebih besar dan perimbangan keuangan yang lebih proporsional, adalah dua upaya nyata untuk memberdayakan, memandirikan serta mendemokrasikan daerah. Bahwa grassroot democracy belum terjadi adalah betul, sebab desentralisasi yang ada saat ini baru merupakan desentralisasi tahap pertama (dari pusat kepada daerah). Untuk itu, yang kita butuhkan selanjutnya adalah desentralisasi tahap kedua (dari daerah kepada masyarakat), namun jelas dibutuhkan waktu yang cukup panjang untuk sampai pada tahap ini. Jika kita telah sampai pada tahap ini, maka konsep government yang telah berevolusi menjadi governance akan berproses lagi menjadi community governance atau citizen governance (Box, 1998). Dan pada saat itulah, kita semua akan menyaksikan wujud konkrit demokrasi yang kita cita-citakan.

Keempat, dalam artikel berjudul Budaya Imitasi dalam Birokrasi Lokal, saya melontarkan kritik terhadap kebiasaan untuk menerapkan sistem nasional di tingkat daerah, salah satunya adalah ide mengadopsi sistem pemilihan presiden secara langsung menjadi pemilihan kepala daerah (KDH) secara langsung (SH, 20/12/01). Secara substansial, saya tidak menolak ide pemilihan KDH secara langsung. Namun, terdapat empat hal yang harus dijawab sebelum ide ini dilaksanakan, yaitu: ada tidaknya konsep kedaulatan rakyat per daerah, mekanisme pertanggungjawaban KDH, tatalaksana hubungan KDH dengan DPRD, serta efektivitas jalannya pemerintahan. Kegagalan menjawab keempat hal ini, bagi saya sama artinya dengan tidak logisnya ide pemilihan langsung. Dan jika sistem pemilihan KDH secara langsung tidak diperlukan, maka pemilu / parpol lokal juga tidak dibutuhkan.

Kelima, perlu dicermati secara hati-hati agar demokrasi lokal tidak memperburuk semangat kedaerahan dan egoisme regional. Dalam konsep negara kesatuan, rakyat tidaklah terkotak-kotak berdasarkan batas-batas teritorial, sehingga rakyat Papua semestinya memiliki hak untuk ikut menentukan format pemerintahan DKI, dan sebaliknya.

Akhirnya, ada baiknya isu demokrasi lokal melalui pemilu dan parpol lokal ini dijadikan sebagai wacana dan debat publik sebelum dirumuskan secara formal dalam peraturan perundangan. Kita perlu belajar dari pemberlakuan otonomi daerah yang terburu-buru dan berakibat pada banyaknya masalah dalam tahap implementasinya. Oleh karena itu, sikap tergesa-gesa perlu dibuang jauh-jauh agar demokrasi yang sedang kita bangun benar-benar bermanfaat bagi rakyat banyak, dan tidak dipelintir oleh sekelompok elite untuk kepentingan diri dan kelompoknya semata. © Tri Widodo WU.

Tidak ada komentar: