Jumat, 02 April 2010

Menimbang Kembali Peran Pemerintah di Era Otonomi


FUNGSI dan keberadaan pemerintah kembali digugat. Amir Santoso dalam tulisan berjudul Apakah Pemerintah itu Ada (Kompas, 7/4/2003), memberi ilustrasi betapa pemerintah tidak banyak berbuat terhadap berbagai kesemerawutan yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari kita. Menurutnya, pemerintah menghilang bila berkaitan dengan urusan kesejahteraan dan keamanan rakyat, namun baru terasa ada bila mahasiswa dan buruh ditangkapi atau dipukuli karena berdemo minta harga-harga diturunkan. Pada akhir tulisannya, Amir mengajukan pertanyaan retorik: Apakah kita masih memerlukan pemerintah?

Pertanyaan diatas sesunguhnya lebih merupakan sindiran yang konstruktif untuk menggambarkan bahwa ada atau tidak ada pemerintah, kehidupan masyarakat tetap akan berjalan seperti biasa. Walaupun demikian, peran pemerintah tetap selalu dibutuhkan. Masalahnya, sebesar apa dan sejauh mana seharusnya pemerintah turut campur dalam kehidupan masyarakat?

Dalam wacana akademik, terdapat perdebatan yang tak kunjung usai tentang peran pemerintah ini. Disatu sisi, tulisan Amir Santoso bisa dikatakan mewakili kelompok yang menghendaki pemerintah ambil bagian dalam banyak aktivitas (maximalis), dari urusan sampah, perbaikan jalan, keamanan lingkungan, transportasi, kesehatan, hingga urusan kematian. Sementara disisi lain, mainstream utama yang berkembang dewasa ini lebih menghendaki sosok birokrasi yang ramping (minimalis), baik dilihat dari struktur organisasi, jumlah pegawai, anggaran yang digunakan, serta fungsi dan kewenangannya (discretion). Ditambah lagi dengan trend global tentang demokrasi, desentralisasi dan otonomi daerah, tuntutan perampingan birokrasi semakin tidak terhindarkan.

Meski demikian, penting untuk dicatat bahwa pemerintah minimalis tidak identik dengan pemerintahan yang tidak efektif. Justru, efektivitas output sering berkorelasi secara positif dengan efektivitas input. Dengan kata lain, kinerja pemerintah yang tinggi akan sangat ditentukan oleh ketepatan mendesain dan memanfaatkan input-input yang tersedia. Dalam kasus yang dibeberkan Amir Santoso, pemerintah terbukti tidak mampu menghasilkan unjuk kerja yang memuaskan, meskipun sebenarnya ditunjang oleh input yang memadai seperti anggaran / sumber pendapatan yang cukup banyak, SDM melimpah, dan sebagainya.
* * *
KITA dapat belajar dari pengalaman beberapa negara maju tentang preferensi untuk membentuk pemerintahan yang “kecil namun efektif”. Di Amerika misalnya, Bill Clinton sering mengatakan bahwa the era of big government is over (Clinton Aims, 1996: 258). Dalam paper berjudul The Fate of Big Government in the US, Mark Peterson (2000) menulis bahwa pada pertengahan tahun 1990-an, 60% penduduk menyarankan adanya “pemerintahan yang lebih kecil dengan fungsi yang lebih sedikit”. Mereka percaya bahwa the best government is the government that governs the least. Salah satu implikasinya, sistem pemberian tunjangan bagi penduduk usia 60 tahun keatas yang memiliki tanggungan, diganti dengan sistem block grant kepada negara bagian. Akibatnya, banyak perusahaan swasta yang kemudian mengajukan proposal untuk melaksanakan program yang baru (privatisasi).

Kajian yang lebih komprehensif untuk membatasi kekuasaan negara terdapat dalam buku berjudul Limiting Leviathan (Donal Racheter dan Richard Wagner, 1999). Dalam salah satu bab disebutkan bahwa abad 20 di Amerika adalah the century of government, sebagai sindiran atas terus berkembangnya pemerintah, yang dinilai telah menyalahi prinsip pembentukan negara oleh para pendirinya. Itulah sebabnya, pemerintah harus dibatasi tidak hanya dengan konstitusi, tetapi juga dengan cara lain seperti pembatasan hak memungut pajak dan hak mengeluarkan peraturan.

Pada kasus lain, Jepang pernah menerapkan kebijakan yang dikenal dengan istilah procrastination atau kebijakan tidak melakukan sesuatu (policy about nothing). Seperti dikemukakan Peter Drucker dalam artikel berjudul In Defense of Japanese Bureaucracy (1998), Jepang pasca PD II mengalami masalah sosial yang sangat serius berupa pengangguran penduduk desa. Padahal, saat itu 60% penduduk tinggal di daerah pedesaan dan menggantungkan hidupnya pada hasil pengolahan lahan. Ada 2 pilihan kebijakan yang dapat ditempuh ketika itu. Pertama, memberi subsidi kepada mereka (khususnya petani) yang tidak produktif (tidak menghasilkan sesuatu). Konsekuensinya, beban konsumen di perkotaan akan semakin berat karena penghasilan mereka juga sangat minimal. Kedua, tidak berbuat sesuatu untuk mendorong petani agar lebih produktif, namun beresiko pada timbulnya kerawanan sosial. Akhirnya, pilihan kedua-lah yang ditempuh. Dan sekarang, hasil yang diperoleh Jepang dari “aksi tidak berbuat sesuatu”nya adalah terintegrasinya petani dalam sistem ekonomi perkotaan tanpa menimbulkan persoalan sosial yang berarti.

Jepang juga memiliki pengalaman serupa di bidang perdagangan eceran. Pada akhir tahun 1950-an dan awal tahun 1960-an, system distribusi di Jepang adalah yang termahal dan paling tidak efisien diantara negara maju. Pemerintah saat itu tidak berusaha menolong para pedagang eceran, namun justru mengeluarkan regulasi untuk memperlambat pertumbuhan supermarket dan sejenisnya. Sekarang, orang-orang yang kehilangan pekerjaan atau pensiun pada usia 55, dapat dengan mudah bekerja di toko-toko eceran dengan yang cukup. Inilah social safety net model Jepang.
* * *
PADA kasus-kasus diatas, pemerintah cenderung menghindari untuk terlibat dalam suatu urusan tertentu. Hasil yang muncul justru terpenuhinya kebutuhan masyarakat secara lebih baik atau terbangunnya masyarakat industrial yang maju. Tentu saja tulisan ini tidak menyarankan agar pemerintah kita berdiam saja menyaksikan berbagai persoalan pelik ditengah kita. Ide pokoknya ialah bagaimana pemerintah memahami kapan suatu urusan lebih baik diurus sendiri, dan kapan urusan lain lebih efektif diserahkan ke pihak lain.

Berpijak dari hal tersebut, program efisiensi input (baca: perampingan birokrasi) merupakan agenda yang tidak bisa ditawar-tawar lagi. Kewenangan pemerintah sendiri sesungguhnya telah berkurang secara signifikan dengan adanya kebijakan otonomi luas bagi Kabupaten/Kota. Namun dari ketiga aspek lainnya (struktur, pegawai, anggaran), nampaknya masih terlalu besar. Padahal, setiap pengurangan fungsi harus diikuti pula oleh pengurangan aspek terkait lainnya dalam proporsi yang seimbang. Sebagai contoh, jika tugas dan fungsi pemerintah berkurang 50%, maka perlu ada pemotongan struktur organisasi, pegawai dan anggaran sebesar 50% pula. Jika tidak, yang terjadi kemudian adalah inefisiensi dalam pengelolaan sumber-sumber daya. Pada gilirannya, inefisiensi inilah yang mempengaruhi performa pemerintah dalam pelayanan publik.

Memang penciutan organisasi sektor publik implikasi multidimensional yang harus dikaji secara cermat. Namun penciutan ini telah menjadi proses alami dalam Administrasi Negara modern serta merupakan salah satu model pilihan dalam program reformasi birokrasi secara keseluruhan. Kesungguhan pemerintah untuk mengurangi peran / besarannya, kemudian mendistribusikannya kepada pemerintah daerah dan pelaku bisnis privat, sekaligus akan menjadi bukti sejauh mana komitmen pemerintah dalam membangun otonomi daerah yang demokratis. Dalam konteks ini pula, ungkapan small is beautiful dari Schumacher terasa sangat bermakna. © Tri Widodo WU.

Tidak ada komentar: